![]() |
Penelusuran Hukum dan Dokumentasi Hukum #source: mardeka.com |
PENELUSURAN HUKUM
DAN DOKUMENTASI HUKUM
Oleh:
Usmawadi ,SH.,MH[1]
A.
Pengantar
Bentuk penulisan
hukum dapat dibedakan berdasarkan profesi, yaitu profesi dibidang pengembangan
ilmu hukum (akademisi) dan profesi
dibidang penerapan hukum (praktisi). Baik bentuk maupun isi yang dipakai sesuai
dengan kebutuhan yang bersangkutan. Secara garis besar bentuk penulisan hukum
terdiri dari surat, makalah (paper), buku dan laporan penelitian. Sedangkan
menurut isinya penulisan hukum juga dapat dikelompokan dalam dua kepentingan.
Bagi kalangan praktisi, ada 8 macam atau jenis tulisan yaitu:
(1) Memorandum hukum
(legal memorandum);
(2) Pembelaan hukum
di pengadilan;
(3) Pendapat hukum;
(4) Penulisan untuk
Penyuluhan Hukum;
(5) Penulisan
Rancangan Perundang-undangan;
(6) Penulisan
instrumen-instrumen hukum;
(7) Artikel untuk
Majalah Hukum Ilmiah;dan
(8) Penulisan hukum
jurnalistik.
Bagi
kalangan akademisi, bentuk-bentuk penulisan hukum yang banyak dilakukan,
terdiri dari (1) Laporan Penelitian; (2)
Skripsi; (3) Thesis; (4) Disertasi, dan (5) Laporan mandiri.
Semua bentuk
penulisan bidang hukum, baik untuk kalangan praktisi maupun akademisi dalam
pembuatan atau penulisannya tidak dapat dilepaskan dari peroses penelitian
hukum (legal research). Hal ini selaras dengan pendapat salah seorang ahli yang
menyatakan bahwa:[2]
“… sesungguhnya kegiatan sehari-hari seorang dosen, seorang hakim, seorang
pengacara, jaksa, notaris, konsultan hukum, dan penulis di bidang hukum tidak
terlepas dari “legal research”.
Jadi suatu “penelitian hukum” dapat, bahkan secara
tanpa disadari telah dilakukan oleh kalangan yang tugasnya berkaitan dengan
masalah hukum dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari. Pada dasarnya, tulisan
kedua kalangan ini, dapat dikelompokkan dalam dua jenis penelitian hukum.
Pertama, penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan (data-data)
yang sudah dalam bentuk tertulis, dikenal dengan “penelitian hukum normatif”.
Kedua, “penelitian empiris atau sosiologis” yang lebih menfokuskan pengumpulan
bahan-bahan atau data-datanya langsung dari sumber pertama di lapangan. Tulisan
kalangan praktisi tentu lebih banyak bersentuhan dengan jenis yang pertama.
Kemudian, sesuai dengan topik
kegiatan ini, maka daam tulisan ini pembahasan lebih dititik beratkan pada
bentuk-bentuk tulisan untuk kalangan praktisi.
B. Bentuk-Bentuk Tulisan
Hukum.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa
bentuk tulisan hukum dapat dibedakan berdasarkan profesi, yaitu profesi dan
bidang pengembangan ilmu hukum
(akademisi) dan profesi dibidang penerapan hukum (praktisi). Sejalan
dengan itu penulisan hukum dapat dilihat dari segi bentuk dan isi. Bentuk
penulisan hukum dapat digunakan baik oleh kalangan akademisi maupun kalangan
praktisi. Bentuk yang akan dipakai sesuai dengan kebutuhan yang bersangkutan.
Berdasarkan bentuk
penulisan hukum terdiri dari:[3]
1.
Surat;
2.
Makalah (paper); dan
3.
Buku
Kemudian
berdasarkan isinya, penulisan hukum dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
tulisan untuk kepentingan kalangan akademisi dan kalangan praktisi. Dalam
tulisan sederhana ini akan diuraikan secara agak detil adalah penulisan hukum
untuk kalangan akademisi.
Penulisan hukum
untuk kalangan praktisi setidaknya ada 8 macam atau jenis tulisan. Tetapi dalam
tulisan ini, hanya akan diulas secara singkat hanya empat bentuk, sebagai
berikut:[4]
1.
Memorandum hukum (legal memorandum).
Tujuan dari tulisan
jenis ini adalah untuk melakukan analisis terhadap masalah hukum dalam
rangka mencari penyelesaian atas masalah tersebut. Memorandum hukum biasanya
diawali dengan perumusan masalah, dan berbagai argumentasi. Argumentasi baik
yang pro maupun yang kontra atas suatu posisi yang dikemukakan untuk dijadikan
bahan diskusi tentang kemungkinan penyelesaian masalah. Kemudian dari berbagai
alternatif yang ada dipilih satu penyelesaian yang terbaik bagi klien.
2.
Pendapat hukum (Legal opinion).
Pendapat hukum adalah penulisan hukum yang dibuat oleh kantor
hukum (law office) untuk keperluan kliennya. Penulisan jenis ini biasanya untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan klien tentang suatu permasalahan hukum.
Misalnya, suatu perusahaan asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia
dalam bentuk “Joint venture”. Sebagai langkah awal biasanya perusahaan itu
ingin mengetahui segala ketentuan hukum yang mengatur kegiatan yang diminatinya.
Berhubung pendapat hukum ini dimaksudkan untuk memberikan
keterangan kepada klien yang ingin mengetahui segala hal yang berkenaan dengan
masalah yang dihadapinya, maka isinya harus dapat memenuhi harapan si klien
tersebut. Oleh sebab itu, pendapat hukum tidak hanya mengemukakan segi
substantif dari segala peraturan, aspek struktural tentang lembaga-lembaga apa
saja yang berkaitan dengan pertanyaan klien, tetapi juga harus mengemukakan
aspek budaya hukum yang meliputi sistem nilai yang berpengaruh terhadap sikap-tindak
warga masyarakat yang bersangkut paut dengan pertanyaan klien. Pendapat hukum
tidak cukup hanya mengemukakan perihal yang seharusnya saja, tetapi juga harus
menyatakan apa yang senyatanya ada.
3.
Pembelaan hukum di pengadilan.
Tujuan pembelaan adalah
untuk melakukan pendekatan agar pengadilan mengambil pandangan tertentu, dan
bertindak sesuai dengan pandangan tersebut. Pendekatan tidak hanya dilakukan
berdasarkan logika, tetapi jika perlu dengan usaha mempengaruhi emosi, itulah
sebabnya dalam pembelaan ini segi-segi negatif klien jarang diungkapkan.
Berbeda dengan legal memorandum yang dalam melakukan analisis
terhadap masalah hukum menawarkan aneka penyelesaian, pembelaan di pengadilan
langsung memperjuangkan satu jenis pemecahan masalah.
4.
Penulisan instrumen-instrumen hukum
Ada berbagai instrumen hukum tertulis yang diperlukan dalam
sikap-tindak hukum, misalnya: perjanjian (kontrak), surat kuasa, dan beraneka
macam akta (misalnya akta kelahiran, akta perkawinan, dll).
Sebagian dari instrumen hukum ini telah ada bentuk bakunya.
Misalnya jenis akta yang dibuat oleh Notaris. Instrumen hukum berbentuk baku
ini seringkali menggunakan kata-kata yang sangat klise, yang dianggap sebagai
kata-kata baku, yang mungkin pada masa sekarang sudah tidak mudah lagi dipahami
oleh para pihak yang berkepentingan. Banyak buku yang telah dibuat oleh para
ahli, yang merupakan kumpulan dari instrumen-instrumen hukum. Di antaranya Buku
Seri Contoh-Contoh Kontrak, Rekes & Surat Resmi Sehar-hari yang ditulis
oleh Sudargo Gautama (Gow Giok Siong).[5]
Dari keempat tulisan
hukum kalangan praktisi di atas, dapat lagi dibedakan berdasarkan lingkup
kegunaannya, yaitu dipakai dalam proses pengadilan (litigasi) atau di luar
proses pengadilan.(non litigasi). Adapun
dokumen-dokumen dimaksud adalah:
1.
Non Litigasi, terdiri dari:
- Legal Memorandum
(Memorandum Hukum);
- Legal Opinion (Pendapat
Hukum); dan
- Penulisan Instrumen-Instrumen
Hukum, antara lain:
- Kontrak (Perjanjian);
- Akta;
- Dll
2.
Litigasi, terdiri dari:
- Surat Kuasa (Litigasi
& Non-Litigasi);
- Somasi;
- Gugatan;
- Eksepsi;
- Replik;
- Duplik;
- Kesimpulan;
- Bnding;
- Kasasi;
- Peninjauan
Kembali ; dan
- Dokumen-Dokumen
Bukti.
C.
Khalayak
Sasaran (Audience) Tulisan Kalangan Praktisi.
Tulisan hukum yang
dibuat oleh kalangan praktisi (advokat) tentu bentuknya tergantung kepada calon
audience atau khalayak atau calon
pembaca tulisan. Adapun khalayak atau calom pembaca tulisan kalangan advokat
dapat dikelompokan dalam empat kategori, yaitu:[6]
1.
Klien;
5.
Rekan dalam Kantor Hukum;
6.
Pengacara Pihak Lawan; dan
7.
Hakim dan Pengadilan.
1.
Klien
Klien akan meletakan harapan yang besar kepada konsultan
hukum atau pengacaranya (advokatnya) agar mampu menyelesaikan masalah hukum
yang dihadapinya. Sehingga sebagai orang dipercaya, seorang konsultan hukum
atau advokat harus mampu menunjukan kemampuannya sedemikian rupa, sehingga
klien merasa aman. Oleh sebab itu, seorang konsultan atau advokat harus
menjelaskan kepada kliennya tentang
langkah-langkah yang akan ditempuhnya untuk menyelesaikan suatu masalah, dan
menjelaskan mengapa cara tersebut dipilih.
Dalam bidang litigasi,
umumnya klien merasa sedikit takut menghadapi proses di pengadilan, terutama
jika pemahaman mereka mengenai bidang hukum sangat terbatas. Menghadapi kondisi
seperti ini, pengacara/ advokat harus memilih kata-kata dan nada yang
sedemikian rupa dalam tulisannya, agar dapat membebaskan klien dari segala ketakutannya.
Dengan demikian, berarti seorang pengacara/advokat harus mampu menjelaskan
masalah hukum yang kompleks dengan memakai kata-kata yang mudah dipahami dan
menghindari pemakaian istilah-istilah hukum yang membingungkan.
2.
Rekan dalam Kantor Hukum
Khalayak atau pembaca yang bekerja pada kantor hukum yang
baik, biasanya adalah mereka yang sangat sibuk. Mereka ini memerlukan informasi
yang akurat dan padat mereka baca dengan cepat. Orang-orang sekantor ini adalah
sahabat baik dalam bidang ide maupun misi perjuangan, tidak seperti pengacara
pihak lawan. Oleh sebab itu, informasi yang disampaikan kepada kelompok ini
harus langsung mengenai inti dari materinya. Isinya dapat berupa alternatif
atas segala kemungkinan bahasan, dan disampaikan dalam bentuk yang mudah
terbaca.
4.
Pengacara pihak lawan
Seringkali antar para pengacara (advokat) yang membela klien
masing-masing yang bersengketa melakukan surat-menyurat. Dalam kondisi seperti
ini berarti masing-masing pihak penghadapi khalayak (audience) yang paling
sulit. Dikatakan sulit, karena masing-masing pihak (advokat) berada dalam
kedudukan yang berseberangan (membela klien). Dalam menghadapi kondisi seperti
ini, masing-masing harus hati-hati dan teliti agar tidak merugikan klien yang
bersangkutan. Sebab itu, harus disiapkan argumen-argumen yang meyakinkan
pengacara pihak lawan.
5.
Hakim dan Pengadilan
Bagi sebagian besar penulis hukum, hakim dan pengadilan
adalah khalayak yang paling mengkhawatirkan. Dalam tulisan yang ditujukan
kepada kalangan ini, penulis harus meyakinkan suatu pandangan tertentu kepada
orang yang memiliki kekuasaan yang tidak kecil dalam bidang hukum ini. Surat
gugatan, pledoi, pembelaan tertulis dan bentuk tulisan hukum yang dibuat untuk
kalangan ini harus memperhatikan pengalaman, bias pandangan atau prasangka,
lama profesi, dan dalam suasana apa mereka membaca tulisan atau informasi.
D.
Jenis Bahan Hukum
Sebagaimana diketahui
bahwa dalam membuat tulisan-tulisan di atas, perlu dilakukan pengumpulan
bahan-bahan hukum yang dikenal dalam penelitian hukum normatif. Dalam
penelitian hukum normatif, yang diutamakan adalah data sekunder (pustaka). [7]
Dalam penelitian hukum normatif teknik pengumpulan data adalah studi
kepustakaan, yaitu mengumpulkan bahan-bahan yang sudah berbentuk tertulis yang
disebut “bahan hukum”.
Bahan-bahan hukum terdiri dari:
1.
Bahan hukum Primer;
2.
Bahan hukum Sekunder; dan
3.
Bahan hukum Tersier.
Dimkasud dengan “bahan hukum” di atas adalah:[8]
1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan
hukum yang mengikat, dan terdiri dari:
a.
Norma (dasar) atau kaedah dasar,
yaitu Pembukaan UUD 1945;
b.
Peraturan Dasar: Batang Tubuh UUD
1945, TAP MPR;
c.
Peraturan Perundang-undangan: UU,
Perpu, PP, Kepres, Kepmen, Perda.
d.
Bahan hukum yang tidak
dikodifikasikan, misalnya hukum adat;
e.
Yurisprudensi;
f.
Traktat;
g.
Bahan hukum dari jaman penjajahan,
seperti KUHP, KUH. Perdata, dll
2.
Bahan hukum sekunder, yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, buku-buku teks, rancangan
undang-undang, hasil penelitian, hasil karya kalangan hukum, dan lain
sebagainya;
3.
Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Contoh, kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif dan lain-lain.
E.
Sumber
Hukum Dan Tata Urutan Perundang-Undangan Di Indonesia.
Bahan hukum,
khususnya bahan hukum primer, perlu dikaitkan dengan sumber hukum dan tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
RI yaitu berikut:
1. Pada tahun 1966,
tata urutan perundangan ditetapkan oleh MPRS melalui Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Tata urutan perundang-undangan tersebut terdiri dari :
b. Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945;
c. Ketetapan MPR
(Tap MPR);
d. Undang-Undang
(UU);
e. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
f. Peratuan
Pemerintah (PP); dan
g. Keputusan
Presiden (Keppres),
2.
Tata urutan tersebut kemudian berubah lagi pada tahun 2000. Perubahan tata
urutan ini tertuang dalam bentuk pasal 2 TAP MPR/No.III/MPR/2000. Tata urutan
perubahan kewenangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945
b. Ketetapan MPR
(Tap MPR)
c. Undang-Undang
(UU)
d. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
e. Peraturan
Pemerintah (PP)
f. Keputusan
Presiden (Keppres)
g. Peraturan Daerah
3. Tata
urutan di atas, mengalami perubahan tahun 2004, melalui UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan
perundang-undangan terbaru adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945
b. Undang-Undang
(UU) / Peraturan Pemeerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
c. Peraturan
Pemerintah (PP)
d. Peraturan
Presiden (Perpres)
e. Peraturan Daerah
(Perda), terdiri dari :
f. Perda Propinsi
g. Perda
Kabupaten/Kota
h. Peraturan
Desa/Peraturan yang setingkat.
4. Tata urutan tahun
2004 mengalami perubahan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan perundang-undangan terbaru adalah
sebagai berikut:[9]
a. Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. Undang-Undang
(UU) / Peraturan Pemeerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
d. Peraturan
Pemerintah (PP)
e. Peraturan
Presiden (Perpres)
f. Peraturan Daerah
Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
F.
Metode
Penelusuran Bahan Hukum
Perlu dikemukakan
bahwa yang perlu diketahui adalah tempat-tempat yang diperkirakan menyimpan
bahan dan dokumen hukum. Adapun tempat-tempat dimaksud adalah:
1.
Perpustakaan;
2.
Pusat Dokumentasi;
3.
Arsip; dan
4.
Museum.
Jenis bahan-bahan
hukum, selain berupa peraturan perundang-undangan, juga tulisan-tulisan yang
berkaitan dengan topik tulisan yang akan dibuat. Khusus mengenai bahan hukum
berupa peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam:
1.
Lembaran Negara;
2.
Himpunan Negara;
3.
Himpunan Departemen;
4.
Berita Negara;
5.
Lembaran Daerah;
6.
Himpunan PERDA;
7.
Dll.
Selanjutnya,
penelusuran bahan-bahan hukum dapat dilakukan melaui dua metode (cara) yaitu
secara manual dan secara online
(melalui sarana internet).
1.
Secara
Manual
Secara manual,
berarti kita harus mendatangi tempat-tempat yang diperkirakan menyimpan bahan
atau dokumen hukum seperti disebutkan di atas. Langkah-langkah yang harus ditempuh
dalam pengumpulkan data, khususnya di perpustakaan adalah:[10]
a.
mempelajari ketentuan atau peraturan
yang digunakan oleh perpustakaan dimana kegiatan penelitian dilakukan.
b.
harus mengetahui sistem pelayan
perpustakaan tersebut: -Sistem terbuka; dan sistem pelayanan tertutup.
c.
perlu mengetahui bentuk dan jenis
bahan pustaka yang dimiliki oleh perpustakaan yang bersangkutan.
d.
harus memeriksa apakah bahan pustaka
yang diperlukan atau diinginkan ada dalam koleksi perpustakaan itu, dengan
memakai alat penelusuran yang disebut katalog.
e.
mencari informasi melalui katalog.
Dapat dilakukan melalui tiga cara:
- memakai kartu pengarang atau penulis;
- kartu judul,
- kartu subyek (pokok bahasan).
f.
membuat catatan-catatan setelah bahan
yang diperlukan diperoleh. Catatan ditulis pada kartu yang berisi hal-hal yang
dianggap penting dan berguna bagi penelitian yang sedang dilakukan, gunanya
agar peneliti dengan mudah dapat menelusuri kembali data yang telah diperoleh
sewaktu mengolah data dan membuat tulisan.
2.
Secara
Online
Dengan kemajuan
teknologi di bidang komunikasi dan informasi, dapat dikatakan bahwa kesulitan
yang dialami dalam pengumpulan bahan dan dokumen hukum secara manual dapat
teratasi dengan bantuan sarana internet (metode online). Secara garis besar penelusuran dan pengumpulan bahan dan
dokumen hukum melalui sarana internet adalah:
a.
Hubungkan Komputer dengan salah satu
internet server (INDOSAT, TELKOMNET, DLL);
b.
Hubungkan ke salah satu internet Directory (YAHOO, GOOGLE, DLL);
c.
Hubungkan ke WEBSITE yang dituju/dikehendaki;
Misalnya:
- http://www.depkumham.go.id
- http://www.setneg.go.id
- http://www.untreaty.org
- http://www.itlos.org
- http://www.mpr.go.id
- http://www.mahkamahagung.go.id
- Dll
d.
Atau kalau website yang dituju tidak
diketahui, dapat dilakukan secara lasngung mencari objek (topik) yang dicari.
Misalnya:
- UU NO……TAHUN……..
- Penanaman Modal di Indonesia.
- Legal opinion tentang RUU RUU APP
-
Analisa atas Keputusan………
- Contoh Surat Kuasa….
- DLL
Kemudian
perlu ditambahkan bahwa setelah bahan-bahan atau dokumen hukum yang diperlukan
telah berhasil dikumpulkan, maka bahan atau dokumen tersebut dipakai untuk
membuat yang tulisan hukum yang dikehendaki. Dalam kegiatan ini, penulis
melakukan analisis data. Bentuk analisis data tergantung dengan jenis data,
yaitu tulisan apakah secara kualitatif atau kuantitaif.[11]
Analisa secara kuantitatif digunakan apabila data yang diperoleh kebanyakan
bersifat pengukuran (angka-angka karena menggunakan kuestioner). Sebaliknya
dipakai analisa secara kualitatif jika
datanya berupa keterangan dan bahan-bahan tertulis. Di antara kedua cara
analisis ini, cara analisis kualitatif paling banyak digunakan dalam penelitian
hukum. Begitu juga dalam penulisan hukum untuk kalangan praktisi.
Analisis
terhadap bahan-bahan (data) yang telah dikumpulkan dan diolah dilakukan menurut
cara-cara analisis atau penafsiran (interpretasi) hukum yang dikenal yaitu
penafsiran:[12]
a.
autentik;
b.
menurut tata bahasa (gramatikal);
c.
berdasarkan sejarah
perundang-undangan atau sejarah hukum;
d.
sistimatis;
e.
sosiologis;
f.
teleologis;
g.
fungsional, ataupun
h.
penafsiran futuristik (sebagai
prakiraan).
Dimaksud
dengan penafsiran autentik adalah penafsiran yang diberikan oleh pembentuk
undang-undang. Penafsiran menurut tata
bahasa (gramatikal) adalah penafsiran berdasarkan kata-kata yang dipakai
dalam undang-undang yang ber-sangkutan, sebagaimana lazim diartikan dalam
bahasa sehari-hari. Penafsiran berdasarkan sejarah perundang-undangan atau
sejarah hukum (historis) adalah yaitu
penafsiran dengan mencari riwayat terjadinya suatu undang-undang sejak mulai dibuat.
Penafsiran sosiologis adalah
penafsiran dengan mencari maksud atau tujuan dari suatu undang-undang dalam
masyarakat. Penafsiran sistimatis
adalah penafsiran dengan cara
memperhatikan adanya hubungan antara satu pasal dengan pasal yang lain dalam suatu
undang.[13]
Kemudian penafsiran fungsional adalah interpretasi bebas yang tidak
mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata-kata peraturan, melainkan
mencoba untuk untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan
menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap dapat memberikan kejelasan yang
lebih memuaskan.[14]
G.
Penutup
Sebagai
penutup dari tulisan ini dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Kalangan praktisi dalam membuat
tulisan hukum tidak terlepas dari kegiatan penelitian hukum, yakni diawali oleh
pengumpulan bahan dan dokumentasi hukum, analisa hingga penyusunan/pembuatan
tulisan;
2.
Bentuk tulisan yang dibuat oleh
kalangan praktisi, sangat tergantung pada khalayak yang ditujui. Oleh sebab
itu, tulisan yang dibuat harus disesuaikan dengan khalayak yang dituju; dan
3.
Dalam membuat tulisan hukum bagi praktisi
(terutama kantor hukum yang besar & sibuk) diperlukan adanya “tim khusus”
yang melakukan kegiatan penelusuran hukum dan dokumentasi hukum.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Agus Brotosusilo dkk., Penulisan Hukum.,Dikti Konsorsium Ilmu
Hukum, Jakarta, 1992
J.C.T.
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia,
Gunung Agung, Jakarta,Kec.ke 11, 1962
Ronny Hanitijo Soemitro., Metode Penelitian Hukum., Ghalia
Indonesia, Jakarta., 1982
Sanapiah Faisal., Format-Format Penelitian Sosial.,
Rajawali Pers., Cet.ke 4, 1999
Satjipto Raharjo, Ilmu
Hukum, PT.CITRA ADITYA BAKTI,Bandung, 2000
Soerjono Soekanto., Pengantar Penelitian Hukum, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1981
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji., Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.,
Radjawali Pers, Jakarta, Cet. Ketiga, 1990
Sudargo
Gautama. Contoh-Contoh Kontrak, Rekes dan Surat Resmi Sehari-hari, Binacipta, Bandung, 1990
Sunaryati
Hartono., Penelitian Hukum Di Indonesia
Pada Akhir Abad ke-20., Alumni, Bandung, Cet. I, 1994.
[1].
Dosen Hukum Internasional, Hukum Laut Internasional dan Hukum Pidana
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
[2].
Sunarjati Hartono, Penelitian Hukum
di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, 1994, hal. 131
[3].
Agus Brotosusilo dkk., Penulisan Hukum.,Dikti
Konsorsium Ilmu Hukum, Jakarta, 1992, hal..24-25
[4]. Ibid., hal.
30- 36. Delapan jenis tulisan kalangan prktisi dimaksud adalah: 1. Memorandum hukum
(legal memorandum); 2. Pembelaan hukum di pengadilan; 3. Pendapat hukum (Legal
opinion); 4. Penulisan untuk Penyuluhan Hukum; 5. Penulisan Rancangan
Perundang-undangan; 6. Penulisan instrumen-instrumen hukum; 7. Artikel untuk
Majalah Hukum Ilmiah; dan 8. Penulisan hukum jurnalistik
[5]. Sudargo Gautama (Gow Gik Siong) menulis buku seri
contoh-contoh kontrak, rekes & surat
resmi sehari-hari sampai tahun 1990 ada 5 jilid.
[6]. Op.Cit., Agus Broto Susilo, hal. 8-12
[7].
Secara umum data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah
fakta-fakta yang dikumpulkan secara langsung dari hasil penelitian di lapangan
oleh yang bersangkutan dalam penelitian. Sedangkan data sekunder adalah
berbagai informasi yang sudah berbentuk bahan tertulis. Data primer akan
menjadi data sekunder jika dipergunakan oleh orang yang tidak berhubungan
langsung dengan penelitian yang bersangkutan.
[8]. Soerjono S & Sri Mamuji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat., Radjawali Pers,
Jakarta, Cet. Ketiga, 1990, hal. 52
[9]. Lihat
pasal 7 ayat (1)
[10]. Ibid., hal. 50-60
[11]. Dijelaskan
oleh Soerjono Soekanto bahwa dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya dipengaruhi
oleh dua perspektif teoritis pokok, yaitu aliran positivis dan fenomologi. Perbedaan pokok antara keduanya, antara lain:
a.
Pada positivisme yang terpenting adalah meneliti fakta atau sebab-sebab
terjadinya gejala-gejala sosial tertentu;
b.
Pada fenomologi yang terpenting adalah memahami perilaku manusia dari
sudut pandangan orang itu sendiri;
c.
Para
positivis berusaha untuk mengumpulkan data melalui daftar pertanyaan yang
berstruktur dan alat-alat pengumpulan data lainnya, yang menghasilkan data
kuantitatif serta memungkinkan untuk membuat korelasi antara gejala-gejala,
dengan mempergunakan statistik;
d.
Seorang fenomenoloog akan berusaha untuk mengumpulkan data dengan
tertutama menggunakan pengamatan terlibat, pedoman pertanyaan, dan mungkin
menganalisa dokumen-dokumen pribadi.
Bertolak dari perspektif-perspektif di atas, maka ada
suatu kecenderungan bahwa para fenomenolog lebih mementingkan pengolahan,
analisa dan konstruksi data secara kualitatif. Sebaliknya para positivis lebih
kepada penggunaan metode kuantitatif. Lihat lebih lanjut, Ibid, hal.
249-151
[12]. Sunarjati Hartono.,Op cit,hal. 152-153
[13]. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono
Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, Gunung Agung, Jakarta,Kec.ke
11, 1962, hal. 11-12
[14].
Satjipto Rahardjo., Ilmu Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung ,
2000., hal. 95