Monday 16 November 2015

Pembagian Dalil-Dalil Mukhtalaf


Pembagian Dalil-Dalil Mukhtalaf
Oleh: Iswahyudi

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap manusia pastilah membutuhkan interaksi dengan orang lain, baik dalam urusan umum ataupun keagamaan. Manusia tidak dapat terlepas dari hal ini karena manusia adalah makhluk sosial, dan bukanlah makhluk individu yang dapat hidup sendirian tanpa membutuhkan orang lain.
Disaat berhubungan dengan orang lain itu, ada aturan-aturan yang harus dilakukan dan dijaga agar hbungan dengan orang lain itu terjaga kebaikannya.
Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan tuhan lewat ritual-ritual ibadah yang setiap hari dilaksanakan. Baik ibadah mahdhah maupun yang lainnya.
Islam dalam hal tidaklah berdiam diri, hal ini telah di atur semuanya dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh dengan segala ketentuannya yang berlaku. Ilmu fiqh dan uhul fiqh telah membahas semua tanpa kecuali. Ilmu Ushul fiqh merupakan ilmu pengetahuan mengenai pokok dasar hukum islam (yaitu mengenai Alquran, sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Di dalam ilmu ushul fiqh terbagi atas mutafaq alaih (yang disepakati seperti al-qur’an dan sunnah) dan mukhtalaf (yang belum disepakati).
Oleh karena itu didalam makalah ini akan dibahas tentang mukhtalaf yaitu pembagiannya ada 7 macam seperti Al-Istihsan,  Al-Istishhab, Qaul ash-Shahabi, Al-Urf, Syar’u man qoblana, Maslahah Mursalah dan Adz-Dzari’ah.
Semoga pembahasan ini mendapat petunjuk dari Allah sehingga memudahkan untuk belajar dan memahaminya, serta mengamalkannya, Aamiin.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah Al-Istihsan itu?
2.      Bagaimanakah Al-Istishhab itu?
3.      Bagaimanakah Qaul ash-Shahabi itu?
4.      Bagaimanakah Al-Urf?
5.      Bagaimanakah Syar’u man qoblana itu?
6.      Bagaimanakah Maslahah Mursalah itu?
7.      Bagaimanakah Adz-Dzari’ah?

BAB 2
PEMBAHASAN

A.    AL-ISTIHSAN
1.      Pengertian Istihsan
Dari segi etimologi, istihsan berarti menilai sesuatu sebagai baik. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh Istihsan  adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas ( Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang samar-samar ( Qiyas khafi, dll ) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat[1], terdapat banyak beberapa definisinya yang salah satunya adalah pendapat dari ulama Wahbah az-Zuhaili, beliau merumuskan dua definisi yaitu;
Pertama:
تَرْجِيْحُ قِياَسٍ خَفِيٍّ جَلِيٍّ بِناَءً دَلِيْلٍ
Lebih mengunggulkan qiyas khafi dari pada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.
Kedua:
اِسْتِسْنَا ءُ مَسْآلَةٍ جْزْئِيَّةٍ مِنْ أَصْلِ كُلِّيٍّ أَوْ قَضِيَّةٍ عَا مَّةً بِنَا ءَ عَلَى دَلِيْلٍ خَا صٍّ يَقْضِي ذَلِكَ
Mengecualikan hukum kasus tertentu dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.

Mengecualikan definisi-definisi di atas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri atas dua macam yaitu: istihsan qiyasi dan istihsan istihna’I. Dibawah ini gambaran tentang keduanya:
a.   Istihsan Qiyasi
Istihsan Qiyasi adalah, suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jail kepda ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut.  Alasan yang kuat yang dimaksudkan di sini adalah kemaslahatan. Istihsan dakam bentuk pertama inilah disebut istihsan qiyasi.
Contohnya, apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum, maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkannya itu termasuk hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan bentuk-bentuk lainnya yang berkaitan dengan tanah tersebut.

b.   Istihsan Istitsna’i
Istihsan istitsna’I ialah, qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus. Istihsan bentuk yang kedua ini adalah istihsan istitsna’I. Istihsan bentuk kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut:

1). Istihsan bi an-Nashsh
Istihsan bi an-nashsh ialah, pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang umum kepda ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashs yang mengecualikannya, baik nashs tersebut Al-qur’an maupun sunnah.
Contoh istishsan istitsna’I berdasarkan nashs Alquran ialah, berlakunya ketentuan wasiat setelah seorang wafat padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena telah berali kepada ahli warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Alquran, antara lain Surah an-Nisa’ (4): 12:

sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Contoh istihsan istitsna’I yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa orang yang makan karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ قَا لَ رَسُوْلُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَا ئِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهً فَاِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Dari Abu Hurairah, katanya, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang lupa sedang ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang member makan dan minum kepadanya”.
2) Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan bi al-ijma’ ialah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya. Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’ (seseorang bertransaksi dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu ), padahal menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang yang belum ada. Rasulullah Saw, bersabda:
لا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Jangan jual belikan sesuatu yang belum ada padamu.
Berdasarkan hadits diatas, seharusnya transaksinya tersebut batal, karena ketika transaksi berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, transaksi istitsna belum ada tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama.
(3) Istihsan bi al-‘Urf
Istihsan bi al-‘urf ialah, pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contoh istihsan bi al-‘urf, menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedahkan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui istihsan, transaksi tersebut di perbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.
            (4) Istihsan bi ad-Dzarurah
Istihsan bu ad-Dzarurah ialah, suatu kedaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan sucinya air sumur atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya. Sebab, ketika air sedang dikuras, maka air akan terus mengeluarkan air yang kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat tersebut sehingga air akan tetap bernajis. Akan tetapi, demi kebutuhan mengahadapi kadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci stelah dikuras.
(5) Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah, ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berda di bawah pengampun (curatale, mahjur ‘alaih), baik karena ia kurang akal maupun  karena berprilaku boros. Menurut ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta (tasharruf) dari orang yang di bawah pengampun tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya, di mana tujuan pengampun itu sendiri adalah untuk memelihara hartanya. Akan tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut di pandang sah.
2.       Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi, Maliki, dan Mazham Imam bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang meolak penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’I, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa mengunakan istihsan sebenarnya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan latar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. Di antara mereka adalah Imam as-Syafi’I. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahanya sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’I berkata “Barangsiapa yang menggunakan  istihsan berarti ia telah hukum syara’ sendiri.
Pada hakikatnya, istihsan, dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang berdasarkan suatu dalil Syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini menjadi substansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulama pun yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.[2]

B.     AL-ISTISHHAB
1.      Pengertian Al-Istishab
Dari segi makna etimologi, istishab berarti meminta kebersamaan (thalab al-mushahabah), atau berlanjut kebersamaan (istimrar ash-shubah). Sedangkan dari segi terminologi definisi istishab yaitu salah satu yang di kemukakan ulama adalah menurut:
Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah (w. 715):
أِسْتِدَا مَةُ مَا كَا نَ ثَا بِتًا وَنَفَي حَتَّى يَقُوْم دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيُّرِ اْاحَا لِ
Mengukuhkan berlakunya suatu hukum yang telah ada, atau menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut.
Maksud definisi Ibnu al-Qoyyim diatas ialah, suatu hukum, baik dalam bentuk positif ataupun negatif , tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus berlaku.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan ulama, dapat di pahami bahwa yang di maksud dengan istishab memiliki beberapa unsur ketentuan sebagai berikut:
1.      Setiap hukum yang telah ada pada masa lalu, baik dalam bentuk itsbat (pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy (penegasian hukum), maka  hukum tersebut dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
2.      Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya.
3.      Berbeda dengan ulama lainnya, Ibnu Hazm menegaskan, pengakuan terhadap berlakunya hukum di masa lalu itu harus berdasarkan dalil nashsh. Tidak cukup hanya berdasarkan prinsip al-ibahah ash-ashliyyah. Akan tetapi, jika deperhatikan lebih jauh, perbedaan pendapat tersebut tidak sampai menimbulakan pertentangan hukum.

2.      Dalil Kehujjahan al-Istishhab
Sebagai dalil syara’, istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi syara’ maupun logika. Landasan dari segi syara’ ialah, berbagai hasil penelitian hukum menunjukan, bahwa suatu hukum syara’ senantiasa tetap berlaku, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Sebagai contoh, syara’ menetapkan bahwa semua minuman yang memabukan adalah haram, kecuali jika terjadi perubahan pada sifatnya; Jika sifat memabukannya hilang, karena berubah menjadi cuka, misalnya, maka hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal. Demikianlah watak hukum syara’, ia tidak akan berubah kecuali jika ada dalil lain yang mengubahnya.
Adapun landasan dari segi logika, secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar pasti mendukung sepenuhnya prinsib al-istishhab. Misalnya, jika seseorang dinyatakan sebagai pemilik suatu barang, maka logika akan menetapkan, statusnya sebagai pemilik tidak akan berubah, kecuali jika ada alasan dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena ia menjual atau menhadiahkan barang tersebut kepada orang lain. Demikian juga, jika seseorang telah dinyatakan sah melakukan perkawinan dengan seorang wanita, maka logika dengan mudah menetapkan bahwa status perkawinan mereka tetap berlaku kecuali ada dalil lain yang mengubahnya, misalnya, karena si suami menceraikan istrinya.

3.      Macam-Macam al-Istishhab
Al-Istishhab terdiri atas beberapa macam sebagai berikut:
a.      Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)
Adapun yang dimaksud dengan istishhab bentuk pertama ini ialah, setelah datangnya agama islam, pada dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan segala sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara’ yang menegaskan hukum tertentu terhadapnya. Perlu ditegaskan, ketentuan istishhab bentuk pertama ini hanya berlaku dalam bidang muamalah; tidak dalam bidang ibadah dan akidah.
b.      Istishhab ma dalla asy-syar’aw al-‘aql ‘ala wujudih (istishhab terhadap sesuatu yang menuntut akal atau syara’ diakui keberadaannya)
Contoh istishhab bentuk kedua di atas ialah, tetap berlakunya hak kepemilikan ketika ada sebabnya, misalnya karena akad, sampai ada alasan lain yang menghilangkan hak tersebut. Demikian juga, tetapnya tanggung jawab membayar utang, misalnya karena merusakkan barang orang lain, sampai ada bukti bahwa utang tersebut telah dibayar atau karena dibebaskan oleh yang berpiutang.
c.       Istishhab al-‘umum ila an yarid at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umum sampai ada yang menghususkannya)
Pada dasarnya  semua ulama juga sepakat dengan istishhab bentuk ketiga ini, karena konteks pembicaraan pada bentuk yang ketiga ini berkaitan dengan waktu setelah datangnya syari’at sampai berhentinya wahyu karena wafatnya Rasulullah Saw. Persoalan yang timbul hanya berkaitan dengan perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kriteria yang harus dipenuhi untuk menyatakan suatu nashsh bersifat ‘amm atau khashsh. Demikian juga perbedaan di seputar apakah suatu nashsh dipandang tetap berlaku atau sudah di-naskh oleh dalil lain.
d.      Istishhab al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berkaitan dengan sifat)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab yang keempat ini sebagai dalil syara’. Dalam hal ini, ulama syafi’iyyah dan hanabilah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara’. Sedangkan ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, istishhab bentuk ini hanya dapat menjadi dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru (shalih li ad-daf’i), tetapi tidak dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum yang baru (ghair shalih li al-itsbat).[3]

C.    QAUL ASH-SHAHABI
1.      Pengertian
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut istilah qaul ash-shahabi dengan istilah madzhab ash-shahabi. Sebenarnya kedua istilah ini tidak persis sama maknanya. Sebab yang dimaksud dengan qaul ash-shahabi ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Saw secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat, baik dalam al-qur’an maupun sunnah, di mana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara keduanya ialah, qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan, yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat lainnya dapat berbeda. Sedangkan madzhab ash-shahabi merupakan pendapat bersama. Dalam hal ini, madzhab ash-shahabi lebih tepat disebut dengan istilah ijma’ ash-shahabi.
2.      Pendapat Ulama tentang Qaul ash-Shahabi
Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al-khobar at-tawqifi (Informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah Saw.
Para ulama juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi), baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih), maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti), yang dalam istilah lain disebut dengan mazhab shahabi, misalnya bagian warisan nenek perempuan adalah seperenam harta warisan.
Menurut jumhur, yaitu ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qaddim), dan menurut pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada bebrapa dalil sebagai berikut:
a.       Firman Allah pada surah Ali Imron (3): 110:
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 \
110.  Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
        Ayat ini ditujukan kepada para sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
b.      Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Husain.
عَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْ نَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْ نَهُمْ
Dari Nabi Saw, beliau bersabda:” Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
c.       Dari segi alasan logika, pendapat sahabat diajadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal dari Rasulullah Saw. Di samping itu, karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal itu memberikan pengelaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariah dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum syara’ (maqashid asy-syari’ah).
 Menurut ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah salah satu pendapat asy- Syafi’I (qaul al-jadid) dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal: qaul ash-shahabi bukan merupakan hujjah. Alasan pendapat mereka adalah sebagai berikut.
a.       Firman Allah pada surah al-Hasyr (52):
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
b.      Ijma’ telah terjadi di kalangan sahabat, bahwa diantara sesama sahabat boleh berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat mereka bukan merupakan hujjah.
c.       Dari segi logika, para sahabat termasuk golongan mujtahid juga, sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa. Oleh karena itu, mujtahid dari generasi tabiin dan sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul ash-shahabi.
d.      Fakta sejarah menunjukan, beberapa sahabat mengakui hasil ijtihad tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika memang qaul ash-shahabi merupakan hujjah.[4]

D.    AL-‘URF
1.      Pengertian
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang berarti dikenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).
Adapun dari terminoloig, kata ‘urf  mengandung makna:
مَا اعْتَا دَهُ النَّا سُ وَسَا رُوْا عَلَيْهِ مِنْ كُلِّ فِعْلٍ شَاعَ بَيْنَهُمْ, أَوْ لَفْظٌ تَعاَ رَفُوْ ا أِطْلا قَةُ عَلَى مَعْنً خَا صٍّ لا تَأَ لَّفَهُ الُّلغَةُ وَلا يَتَبَا دَرُ غَيْرَهُ  عِنْدَ سِمَا عِهِ
Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
Kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al’adah (kebiasaan), yaitu:
مَا اسْتَقَرَّ فِى النُّفُوْسِ مِنْ جِهَّةِ اْلغُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَا عُ السَّلِيْمَةُ بِا لْقَبُوْلِ
Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami, al-‘urf terdiri dari atas dua bentuk yaitu, al-‘urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan).
‘Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar dengan “hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh ‘urf dalam bentuk perkataan, misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orangtuamu” dalam masyarakat islam Indonesia, mengandung arti talak.

2.      Pembagian al-‘Urf
Ditinjau dari segi jangkauanya, ‘urf dapat dibagi dua, yaitu: al-‘urf al-amm dan al-‘urf al-khashsh.
a.      Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tetentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum.
b.      Al-‘Urf al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjukan pengertian luas tanah 10 X 10 meter.  Demikin juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a.      Al-‘Urf ash-Shahihah (‘Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum islam. Dengan kata lain, ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang.
b.      Al-‘Urf al-Fasidah (‘Urf yang Rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebalik dari al-‘Urf ash-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menhalalkan hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta.

3.      Kedudukan al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaaanya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argument-argumen berikut ini.
a.       Firman Allah SWT pada surah al-‘araf (7): 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِي
199.  Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Melalui ayat diatas Allah memrintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut yang ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak menusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
b.      Ucapan sahabat Rasulullah Abdullah bin Mas’ud:
فَمَا آهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَا للهِ حَسَنٌ وَمَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئاً فَهُوَ عِنْدَاللهِ سَيْءٌ
Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk disisi Allah”.
Ungakapan Abdullah bin Mas’ud diatas , baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukan bahwa kebiasaaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim sejalan dengan tuntutan umum syariat islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik disisi Allah. 

4.      Hukum Dapat Berubah karena Perubahan ‘Urf
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa sebagai adat kebiasaan, ‘urf dapat berubah karena adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan:
ااْحُكْمُ يَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الاَّزْمِنْةِ وَالأمْكِنَةِ والأحْوالِوالأشْخاصِ والبِيْئاتِ    
Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu. Tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan.[5]

E.     SYAR’U MAN QABLANA
1.      Pengertian
Syar’u man qablana artinya ialah, syariat orang-rang yang sebelum kita. Yang dimaksud dengan syar’u man qablana ialah, syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi ‘alaihim ash-shalat wa as-salam sebelum Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul, seperti: syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain-lain.
Sebagaimana diyakini, syariat Nabi Muhammad Saw merupakan syariat terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia. Dalam pada itu, baik Alquran Maupun hadits Nabi Saw banyak berisi kisah para Nabi dan Rasul Allah yang dahulu, serta hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan umatnya. Berkaitan dengan syariat para Nabi tersebut, dalam kajian ushul fiqh, para ulama mengemukakan pembahasan tentang persoalan. 

2.      Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Semua ulama sepakat, syar’u man qablana yang tidak terdapat dalam Alqur’an maupun sunnah, tidak berlaku bagi Nabi Saw dan umat beliau. Sebab syariat Nabi Muhammad nersifat menggantikan syariat terdahulu. Dengan demikian, dengan datangnya syariat Nabi Muhammad Saw maka semua syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam nashsh Alquran dan sunnah dengan sendirinya menjadi berlaku. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang berkuku genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian pakaian yang terkena najis.
Selanjutnya, para ulama juga sepakat , syar’u man qablana yang tercantum dalam Alquran atau sunnah dan cara tegas dinyatakan berlaku oleh Rasulullah Saw
keberlakuannya bukan karena kedudukannya sebagai syar’u man qablana, melainkan karena disyariatkan oleh Alquran sunnah Rasulullah Saw. Syariat Puasa, Misalanya: diberlakukan kepada Nabi Saw dan umatnya, bukan karena ia merupakan syar’u man qablana, melainkan karena diasyariatkan oleh Alquran, sebagaiman terdapat dalam firman Allah surah al-Baqarah (2) : 183. Bukan karena semata ia merupakan syar’u man qablana. Tambah lagi kedua syariat ibadah tersebut memiliki perbedaan-perbedaan dengan ibadah puasa dan haji yang berlaku pada para Nabi dan rasul terdahulu.
Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama ialah, hukum dari masalah-masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syariat pada Nabi Muhammad
Mayoritas ulama Hanafiyyah, ualama Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan sebagian Hanabillah, anatara lain: at-Tamimi, berpendapat, syar’u man qabalana berlaku bagi umat islam, jika syariat syariat tersebut diinformasikan melalui Rasulullah, bukan karena terdapat dalam kitab-kitab suci mereka yang telah mengalami perubahan, dan tidak terdapat nashsh syara’ yang membatahnya.
Ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syiah, sebagin ulama Syafi’yyah dan mayoritas ulama Hanabillah berpendapat, syar’u man qablana yang tidak ada ketegasan pemberlakuannya dan tidak pula ada nash yang me-nasakh-kannya, maka ia tidak berlaku bagi Nabi Muhammad Saw Saw dan umatnya.[6]

F.     MASLAHAH MURSALAH
1.      Defenisi Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah secara istilah terdiri dari dua kata yaitu maslaha dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa artinya “manfaat” dan kata mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan Abdul wahab kallaf berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
Maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkan (maslahah yang bersifat umum), menurut istilah ulama ushul yaitu maslahah dimana syar’i tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Contohnya: maslahah yang karena maslahah itu, sahabat mensyariatkan pengadaan penjara, atau mencetak mata uang atau menetapkan (hak milik) tanah pertanian sebagai hasil kemenangan warga sahabat itu sendiri dan ditentukan pajak pengasilannya, atau maslahah-maslahah lain yang harus dituntut oleh keadaan-keadaan darurat, kebutuhan atau karena kebaikan, dan belum di syariatkan hukumnya, juga tidak terdapat saksi syara’ yang mengakuinya atau membatalkannya.

2.      Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Ada bebrapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah Mursalah diantaranya adalah :
a)      Al Quran.
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah SWT.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al Anbiya : 107)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. ( Q.S. Yunus : 57).

b)      Hadits.
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan syar’i atas kehujahan maslahah mursalah adalah sabda Nabi saw.

Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan.
 (H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini berkualitas hasan) 
c)      Perbuatan Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh maslahah mursalah di muka telah dijelaskan, bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin Khathab dan para imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan prinsip maslahah. Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan maslahah musrsalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya, karenanya, kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dangan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.[3]
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a.       Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
b.      Sebenarnya para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.

3.      Macam-macam Maslahah Mursalah
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu :
1)            Maslahah Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila di tinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu agama,jiwa, akal, keturunan dan harta.
2)      Maslahah Hajjiyah
أَمَّا اْلمَصْلَحَةُ اْلحَاجِيَّةِ فَهِيَ عِبَارَةُ عَنِ اْلأَعْمَالِ وَالتَّصَرُّفَاتِ التِّيْ لاَ تَتَوَقَفُ عَلَيْهَا تِلْكَ اْلأُصُوْلِ الخَمْسَةِ بَلْ تَتَحَقَّقُ
بِدُوْنِهَا وَلَكِنْ صِيَانَةِ مَعَ الضَيِّقِ وَاْلحَرَجِ
“Maslahah Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan”.
3)      Maslahah Tahsiniyah
أَمَّا اْلمَصَالِحُ التَّحْسِيْنِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةِ عَنْ اْلأُمْوْرِ التِيْ تَفْتَضِيْهَا المُرُوْءَةِ وَمَكَارِمِ اْلأَخْلاَقِ وَمَحَاسِنِ اْلعَادَاتِ
“ Maslahah Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.

4.      Kedudukan atau Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa maslahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukumdalam bidang ibadah karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya yang diwariskan oleh rasulullah SAW,  dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.[4]
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
a.       Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir
b.      Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehigga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya
c.       Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat. Diantara ulama yang paling banyak melakuakn atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.

5.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Abdul wahab kallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah yaitu:
1.      Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudaratan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemamfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya. Minsalnya yang disebut terahir ini adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu berada di tangan wanita bukan lagi ditangan pria adalah maslahat yang palsu, karena bertentangan dengan ketentuan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk menjatuhkan  talak berada di tangan suami sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:
“dari ibnu umar sesungguhnya dia pernah menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid hal ini diceritakan kepada nabi SAW, maka beliau bersabda: suruh ibnu umar untuk merujuknya lagi, kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil” (HR. Ibnu majah)
2.      Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum bukan kepentingan pribadi
3.      Sesuatu yang dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditegaskan dalam  Alquran atau sunnah Rasulullah atau bertentangan dengan ijma’.[5]
6.      Maslahah Mursalah di Zaman Kontenporer
Didalam penerapan realita penulis akan mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No. 9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari dan tidak pula dijumpai nash yang melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan dampak yang positif bagi umat manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah itu tidak bertentangan dengan tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah mursalah.
 Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974 jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Seperti halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang secara lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.
 Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundang­undangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.
Selain ketentuan-ketentuan hukum produk pemerintah, perlu dikemukakan keputusan-keputusan hukum oleh organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, sehingga akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pembinaan hukum di Indonesia. Namun di sini penulis hanya akan mengemukakan secara global saja tentang kasus-kasus tertentu yang keputusannya didasarkan atas pertimbangan maslahah.
Sebagai akibat modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak kasusu-kasus yang timbul yang tenth memerlukan status hukum, contoh seperti program KB, bayi tabung, iminasi buatan pada hewan, pencangkokan organ tubuh, donor darah, operasi plastik dan lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak terdapat nash hukumnya dalam Al Quran dan As Sunah. Dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan status hukum pars Ulama tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar maslahahlah yang paling tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif pemecahannya. Para Ulama yang tergabung dalam tiga organisasi keagamaan tersebut, pada dasarnya boleh dikatakan sepakat memper-bolehkan masalah-masalah tersebut dengan berbagai pariasi keputusan dan syarat-syarat tertentu yang sedikit ada perbedaan yang terkadang menunjukkan spesifikasi masing-masing. Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat antara tiga organisasi tersebut ada sedikit perbedaan dalam cara beristimbat, seperti NU misalnya, dalam menetapkan hukum biasanya hanya didasarkan pada kitab kuning dengan cara memperluas pengertiannya di samping selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh tertentu yang dalam hal ini madzhab Syafi’i . meskipun keputusan NU itu dasarnya adalah kitab kuning, tapi kalau dikaji secara metodologis, jelas banyak sekali keputusan-keputusan hukum yang sebenarnya didasarkan atas pertimbangan maslahah atau maslahah mursalah.[7]

G.    ADZ-DZARI’AH
1.      Pengertian Adz- dzari’ah
Dari segi bahasa, adz-dzari’ah (jama: zara’i) berarti: media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah dibagi dua;
a.         Sadd adz-dzari’ah
Yang di maksud sadd adz-dzari’ah (makna generik: menutup jalan) ialah, mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang Sebagai contoh, pada dasarnya, menjuar anggyr adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang halal di makan. Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman  keras dan menjadi terlarang.
b.      Fath adz-dzari’ah
Yang di maksud Fath adz-dzari’ah (makan generik: membuka jalan) adalah kebalikan dari sad adz-dzari’ah yaitu, menganjurkan media/jalan yang menyampaikan kepada sesuatu yang dapat menimbulkan al-maslahah (manfaat/kebaikan), jika akan menghasilkan kebaikan. Sebagai contoh, dianjurkan untuk membangun industri tekstil, karena hal itu akan mengahasilkan kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup auratnya.

Sebagai objek hukum syara’, perbuatan yang merupakan adz-dzari’ah berperan sebagai jalan/media/perantara untuk mencapai tujuan hukum, dapat diberi predikat salah satu dari huku taklifi yang lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

2.      Metode Penentuan Hukum adz-Dzariah
Predikat-predikat hukum syara’ yang diletakkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzari’ah dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a.       Ditinjau dari segi al-ba’its (motif pelaku).
b.      Ditinjau dari segi dampak yang ditimbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi motif dan niat pelaku.

3.      Kedudukan adz-Dzari’ah dalam Hukum Islam
Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil hukum syara’. Sementara Abu Hanifah dan asy-Syafi’I terkadang menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Sebagai contoh, asy-syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur (seperti sakit dan musafir) meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur, namun hendaknya ia mengerjakan shalat zhuhur tersebut secara tersembunyi dan diam-diam agar tidak dituduh orang sengaja meninggalkan shalat jum’at. Selanjutnya, ulama Syi’ah juga menggunakan sad adz-dzari’ah. Akan tetapi Ibnu Hazm azh-Zhahiri sama sekali menolak adz-dzari’ah sebagai dalil syara’ (hujjah).[8]
               
BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ushul fiqh tebntang pembagian mukhtalaf., dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Istihsan  adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas ( Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang samar-samar ( Qiyas khafi, dll ) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat. Dan terbagi menjadi dua yaitu: Istihsan Qiyasi dan Istihsan istitsna’I.

2.      Istishhab adalah , suatu hukum, baik dalam bentuk positif ataupun negatif , tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus berlaku.

3.      Qaul ash-shahabi ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Saw secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat, baik dalam al-qur’an maupun sunnah, di mana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara mereka.

4.      Al-‘Urf adalah Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.

5.      Syar’u man qablana ialah, syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi alaihim ash-shalat wa as-salam sebelum Nabi Muhammad Saw diutus menjadi rasul, seperti: syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain-lain.

6.      Al-Mashlahah Mursalah adalah sesuatu yang member faedah atau kebaikan tanpa ada hukum yang melarang.

7.      Adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah

Hanafie, A. 1962. Ushul Fiqh. Jakarta.


 #makalah_s1_fakultas_syariah_dan_hukum_UIN_rafah



[1]  A. Hanafie, Usul Fiqh, Cetakan ketiga 1962, halaman 157-159
[2] Abd. Rahman Dahlan. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2011. hlm. 197-203
[3] Ibid. hlm. 217-219
[4] Ibid. hlm. 225-229
[5]  Ibid. hlm. 209-215.
[6] Ibid. hlm. 230-233.
[8] Ibid. hlm.236-239.
loading...