Tuesday 17 November 2015

Wudhu Dalam Persfektif Fiqh Ibadah

Wudhu
Oleh: Iswahyudi

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Thaharah merupakan bersuci atau suci dari hadast dan najis. Suci dari hadast dilakukan dengan cara wudhu’, mandi dan tayamum.
Dalam memahami pengertian wudhu, diperlukan pemahaman terhadap beberapa elemen internal wudhu’ itu sendiri dimulai dari yang terkecil yaitu kosa kata yang digunakan sampai dengan tata cara wudhu’ itu sendiri..
Oleh karena itu makalah ini kami susun berdasarkan beberapa aspek penilaian disebabkan karena banyaknya pendapat para ulama tentang tata cara berwudhu.
Sebelum melaksanakan ibadah, setiap manusia diwajibkan untuk berwudhu agar mereka suci dan bersih dari hadats kecil.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dari wudhu?
2.      Bagaimanakah dengan asal usul pensyari’atan wudhu?
3.      Apa landasan hukum tentang wudhu?
4.      Apa sajakah tujuan dan fungsi wudhu?
5.      Apa sajakah keistimewaan wudhu?
6.      Apa sajakah hukum-hukum wudhu?
7.      Apa sajakah fardhu (rukun) wudhu?
8.      Apa sajakah syarat-syarat wudhu?
9.      Apa sajakah sunnah-sunnah wudhu?
10.  Apa sajakah makruh-makruh wudhu?
11.  Apa sajakah hal-hal membatalkan wudhu?
12.  Bagaimanakah tata cara (praktek Wudhu)?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wudhu
Wudhu secara etimologi berasal dari kata shighat, yang artinya bagus atau bersih.[1] Menurut Wahbah Al-Zuhaili pengertian wudhu adalah mempergunakan air pada anggota tubuh tertentu dengan maksud untuk membersihkan dan menyucikan.[2]
 Sedangkan menurut istilah fiqih wudhu didefinisikan sebafai berikut:
نظافة مخصوصة با سعتمال الماء في أعضاء مخصوصة وهي الوجه, واليدان, والرأس, والرجلان, بكيفية مجصوصة
Proses pembersihan yang spesifik dengan menggunakan air pada anggota badan tertentu –wajah, dua tangan, kepala, dan dua kaki –dengan cara-cara tertentu. (Hasan, Ta’rifat).[3]
Adapun menurut syara’, wudhu adalah membersihkan  anggota tubuh tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.[4]
Dengan demikian, dapat dirumuskan wudhu merupakan sebuah proses pembersihan diri dari hadas kecil dengan membasuh beberapa anggota (bagian) badan dan menyapu bagian lainya dengan mutlaq (air yang bersih dan membersihkan) sesuai dengan ketentuan syari’at.
Adapun yang dimaksud dengan membasuh adalah mengalirkan air di atas permukaan kulit. Dan ukuran minimal membasuh adalah air tersebut sampai menetes dari permukaan kulit yang paling sedikit dua tetes (Hasan, Ta’tifat).[5]

B.     Pensyari’atan Wudhu
Pada zaman jahiliyah, pra Islam, Wudhu belum dikenal. Dalam syari’at Islam Wudhu berkaitan dan berhubungan erat dengan pelaksanaan ibadah tertentu terutama ibadah sholat. Bahkan ibadah-ibadah semacam itu tidak sah tanpa wudhu. Oleh Karena itu, wudhu sudah disyari’atkan Allah SWT sejak awal-awal Islam. Ketika Allah SWT mensyari’atkan sholat pada malam isro’ dan mi’roj; yaitu beberapa tahun sebelum hijiriahnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihu wasallam ke Madinah al-Munawwaroh, wudhu pun disyari’atkan.[6]

C.    Landasan Hukum
Berwudhu ini tegas di syariatkan berdasarkan tiga macam landasan hukum atau alasan :
·         QS. Al-Maidah : 6 ö
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

6.  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, …

·         Sunnah
 Di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
لاَ يَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ أَحَدُكُمْ إِذَا أَحْدَث َحَتَّى يَتَوَضّأ
“Allah tidak menerima sholat seseorang diantaramu bila ia berhadast, sampai ia berwudhu”.
·         Ijma’
Telah terjalin kesepakatan kaum muslimin atas di syari’atkan wudhu, semenjak zaman Rosulullah SAW. Hingga sekarang ini, hingga tak dapat disangkai lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama.[7]

D.    Tujuan dan Fungsi Wudhu
Para ulama fiqih berpendapat bahwa hadas itu dibagi menjadi dua bagian, pertama: Hadast kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhu’ saja. Kedua: Hadas besar yang kedua ini pun dibagi dua: ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan.
Orang yang berhadas kecil dilarang melakukan beberapa hal dibawah ini:
1.      Shalat, baik itu sunnah maupun wajib, menurut kesepakatan semua ulama. Hanya Imamiyah berpendapat lain tentang shalat jenazah. Bagi Imamiyah: dalam shalat jenazah tidak diwajibkan berwudhu, hanya disunnahkan saja, karena ia hanya mendoakan saja pada dasarnya, bukan shalat yang sebenarnya.
2.      Thawaf, ia seperti shalat, maksudnya tidak sah melakukan thawaf tanpa berwudhu terlebih dahulu, begitulah menurut Maliki, Syafi’I, Imamiyah dan Hambali berdasarkan  hadits: “Berthawaf di Baitullah adalah shalat”. Hanafi: Barang siapa yang bertawaf di Baitullah dalam keadaan hadas, ia tetap sah, sekalipun berdosa.
3.      Sujud Tilawah dan sujud syukur juga wajib suci (berwudhu), menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah hanya disunnahkan.
4.      Menyentuh Mushaf. Semua Mazhab sepakat bahwa tidak boleh menyentuh tulisan Al-Qur’an kecuali. Hanya mereka berbeda pendapat tentang orang yang berhadas kecil, apakah ia boleh menulis Al-Qur’an dan membacanya baik ada Al-Qur’annya maupun tidak ada, dan menyentuhnya dengan aling-aling serta membawanya demi menjaganya.
Maliki: Tidak boleh menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling tetapi boleh melafalkan dengan  membaca maupun tidak, atau sentuhannya dengan aling-aling dan membawanya demi menjaganya.
Hambali: Boleh menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan aling-aling.
Syafi’i: Tidak boleh menyentuh kulitnya, walau ia terpisah dengan isinya, juga tidak boleh menyentuh talinya selama ia masi melekat dengan Al-Qur’an, tetapi boleh menulisnya dan membawanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi sulaman dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Hanafi: Tidak boleh menulisnya dan menyentuhnya walaupun ditulis dengan bahada asing, tetapi boleh membacanya tanpa memakai Al-Qur’an.
Imamiyah: Diharamkan menyentuh Al-Qur’an bertuliskan huruf Arab tanpa aling-aling (alas), baik tulisan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun tidak, tetapi tidak diharamkan membaca dan menulis, membawa demi menjaganya dan menyentuh tulisan selain tulisan Arab, kecuali kata ”Allah”, maka diharamkan bagi orang yang berhadas menyentuhnya dalam bentuk tulisan apa pun juga, dengan bahasa apa pun dan dimana saja, baik yang ada di Al-Qur’an maupun bukan.[8]

E.     Keistimewaan Wudhu
Wudhu tergolong salah satu ibadat yang bersifat ta’abudi, yakni ibadah yang tidak terjangkau oleh akal maksud dan tujuan serta hikmahnya.
Wudhu merupakan syarat sah bagi pelaksanaan beberapa ibadah, seperti shalat dan thawaf. Tidak hanya itu, wudhu juga menjadi syara’ di bolehkannya seseorang menyentuh mushaf sebagai kitab-kitab suci yang didalamnya termaktub firman-firman Allah SWT.
Disamping kegunaan-kegunaan yang hendak dicapai di atas berwudhu juga akan menghapuskan atau paling tidak akan mengurangi dosa,

Mengenai tentang keistimewaan wudhu, Rasulullah saw bersabda, yang artinya sebagai berikut :
“Bila seorang hamba berwudhu lalu berkumur-kumur, maka keluarlah dosa-dosa dari mulutnya ; jika ia membersihkan hidung, maka dosa-dosanya akan keluar dari hidungnya, begitu juga tatkala ia membasuh muka, maka dosa-dosanya akan keluar dari mukanya sampai-sampai dari bawah pinggir kelopak matanya. Jika ia membasuh kedua tangan, maka dosa-dosanya akan keluar dari kedua tangan ia sampai-sampai dari bawah kukunya, demikian pula halnya dengan ia menyapu kepala, maka dosa-dosanya akan keluar dari kepala bahkan dari kedua telinganya. Begitupun tatkala ia membasuh kedua kaki, maka keluarlah dosa-dosa tersebut dari dalamnya, sampai-sampai bawah kuku  jari-jari kakinya. Kemudian tinggallah perjalanannya ke masjid dan shalatnya menjadi pahala yang bersih baginya“. (HR. Malik, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim).[9]

F.      Hukum-Hukum Wudhu
Hukum wudhu tidak bersifat mutlak tetapi tergantung kondisi dan kebutuhan. Berikut ini adalah hukum-hukum wudhu:

1.      Fardhu
a.       Apabila ingin melaksanakan shalat dalam keadaan berhadats.
Orang yang berhadats wajib berwudhu ketika hendak melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunat, sempurna atau tidak sempurna. Barang siapa berwudhu untuk satu jenis saja maka ia boleh melakukan semuanya.

b.      Ketika hendak memegang mushaf Al-Qur’an berdasarkan Al-Qur’an:
Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
Ulama hanafiah membolehkan menyentuh mushaf atau menuliskannya tanpa berwudhu dengan syarat:[10]
1. Kondisi darurat / terpaksa.
2. Adanya pembungkus yang terpisah atau kulit yang bersambung dengannya.
3. Usia belum baligh, tetapi bagi yang sudah baligh dan wanita haidh tetap tidak boleh menyentuhnya kecuali dengan berwudhu baik dia sebagai guru atau murid.
4.      Hendaklah ia seorang Muslim, tidak boleh seorang Muslim membiarkan orang kafir menyentuhnya selagi dia sanggup melarangnya.

2.      Wajib
Wudhu wajib hukumnya bagi orang yang akan melaksanakan thawaf. Jumhur Ulama sepakat behwa hukum berwudhu bagi orang yang hendak thawaf adalah wajib.[11]

3.      Sunat / Mandub / Mustahab
Hukum wudhu adalah mandub (sunat) dalam banyak kondisi antara lain:
a. Sebelum berdzikir dan berdo’a.
b. Sebelum tidur.
c. Setiap kali berhadats.
d. Setiap kali akan melaksanakan shalat.
e. Setelah membawa jenazah.
f. Ketika marah.
g. Beberapa pekerjaan baik, seperti adzan, iqamat, menyampaikan khutbah, mengkhitbah (melamar) perempuan dan ziarah ke makan Rasulullah.
h. Sesudah melakukan kesalahan.

4.      Makruh
Wudhu hukumnya makruh dilakukan ketika mengulang wudhu sebelum menunaikan shalat dengan wudhu yang pertama, artinya berwudhu di atas wudhu yang lain hukumnya makruh.[12]
5.      Mubah
Wudhu hukumnya mubah, jika wudhu dilakukan untuk kebersihan dan kesegaran.[13]

6.      Mamnu’ / Haram
Hanafiah beralasan ketika berwudhu dengan air rampasan dan anak yatim. Pengikut Madzab Hambali mengatakan: Tidak sah wudhu dengan air hasil rampasan (ghasab).[14]

G.    Fardhu (Rukun Wudhu)
·         Niat
Niat adalah maksud hati terhadap sesuatu yang disertai dengan pelaksanaannya. Adapun niat wudhu adalah suatu ketetapan hati untuk melakukan wudhu sebagai pelaksanaan dari perintah Allah SWT.
Adapun dalil tentang kewajiban niat berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:[15]
 “Sesunggguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya” (HR. Bukhari)
Niat merupakan tujuan untuk berbuat (melakukan) dengan memotivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah. Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melakukan wudhu itu.
Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat; maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan badanya atau untuk membersihkan badannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu, lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final dari wudhu itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah tercapai, hanya Hanafi mengecualikan sesuatu bercampur dengan sisa-sisa keledai atau anggur terbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan wajibnya niat.[16]
·         Membasuh Muka
Dalil wajibnya membasuh wajah adalah firman Allah SWT:
فَا غْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ ...
“Maka basuhlah wajahmu.” (QS. Al-Maidah:6)
Membasuh (al-ghaslu) adalah mengalirkan air ke anggota tubuh denganmerata. Menurut pendapat yang lain al-ghaslu adalah mengalirkan air ke atas sesuatu dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran atau sejenisnya.            Adapun batas membasud wajah adalah tinggi dari tempat tumbuhnya rambut (atas kening) sampai ke bawah dagu, lebar adalah jarak dua daun telinga. Bagi orang yang memiliki jenggot tipis hendaklah membasuh sampai air mengenai kulitnya. Bagi orang yang memiliki jenggot tebal hendaklah ia mentakhlilnya (menyela-nyela).[17]
Kemudian yang di maksud dengan membasuh muka menurut ulama mazhab adalah mengalirkan air pada muka. Ia wajib cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu. Syafi’i: Juga wajib membasahi sesuatu yang di bawah dagu. Imamiyah dan Maliki: Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk. Mazhab-mazhab yang lain: Batas membasuh muka itu dari anak kuping kiri keanak kuping kanan. Empat mazhab: Kewajibanya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas itu adalah lebih utama.[18]

·         Membasuh Dua Tangan
Dalil perintah membasuh kedua tangan sampai siku adalah firman Allah:
·                وَ اَيْدِيْكُمْ اِلىَ الْمَرَافِقِ ...
”Dan membasuh kedua tangan sampai siku” (QS. Al-Maidah: 6)

Tangan adalah organ tubuh antara ujung jari sampai siku. Sedangkan siku adalah sendi yang terletak antara pangkal lengan dengan pergelangan tangan. Oleh sebab itu membasuh dua siku adalah wajib.
Cara membasuh kedua tangan sampai siku adalah dimulai dari tangan kanan: ujung jari dengan membersihkan sela-sela jari, menggosok lengan sampai ke siku. Setelah selesai dengan tangan kanan sebanyak 3 kali, dilanjutkan tangan kiri dengan cara yang sama.[19]
Kaum muslimin sepakat bahwa membasuh dua tangan sampai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib.
Imamiyah: Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya, sebagaimana Imamiyah mewajibkan mendahulukan tangan yang kanan dari tangan yang kiri. Mazhab-mazhab yang lain: yang wajib itu adalah membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari jemari adalah lebih utama.[20]

·         Mengusap Kepala
Menyapu kepala termasuk telinga sebagai rukun wudhu didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 6:
وَامْسَحُوْ بِرُءُ وْسِكُم ...
”Dan sapulah kepalamu”
Menyapu (almashu) adalah melewatkan tangan yang basah di atas anggota tubuh. Sedangkan kepala adalah suatu tempat yang biasa ditumbuhi rambut yang letaknya dari atas kening sampai ke belakang tengkuk dan termasuk kedalamnya adalah pelipis yang letaknya diatas tulang yang biasa timbul di wajah. 
Adapun menyapu sebagian kepala baik sedikit atau banyak, diperbolehkan sepanjang ia masih dalam pengertian yang benar tentang menyapu dan tentang menyapu satu atau tiga helai rambut saja hal itu tidaklah benar.


Ada tiga cara mengusap kepala:
a.       Pertama, mengusap dengan dua tangan dimulai dari bagian dpan, terus kebelakang, kemudian dari belakang diteruskan ke dapan dan memasukkan jari telunjuk ke dalam kedua telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagaian luar.
b.      Kedua, apabial seseorang mengenakan serban dikepalanya maka cukup membasuh serbannya. Ketiga, membasuh ubun-ubun dan serban sekaligus.[21]
Menurut Hambali: Wajib mengusap semua kepala dan dua telinga. Menurut Hambali adalah cukup sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya diatas kepala. Maliki: Wajib mengusap semua kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya.
Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau mengiram sebagai pengganti dari mengusap.
Imamiyah: Wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cukup dengan sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala, tetapi tidak boleh membasahi dan tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana Imamiyah mewajibkan mengusapknya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air baru serta mengusap dengannya, maka wudhunya batal. Empat mazhab: Wajib mengusap dengan air baru.[22]

·         Membasuh/mengusap Kedua Kaki
Perintah membasuh kedua kaki sampai mata kaki dalam berwudhu berdasarkan firman Allah SWT Surah Al-Maidah 6:
وَاَرْجُلَكُمْ اِلَىالْكَعْبَيْنِ قلى
”Dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Dua mata kaki (ka’bain) adalah dua tulang yang menonol disamping, tepatnya dipersendian betis dengan telapak kaki. Membasuh kaki adalah wajib sesuai dengan kesepakatan umat berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits.
Cara membasuh kedua kaki adlah dimulai dengan membasuh ujung-ujung jari sampai mata kaki, mencuci mata kaki dan membersihkan sela-sela jari kaki. Setelah selesai kaki kanan sebanyak 3 kali, dilanjutkan kaki kiri dengan cara yang sama.[23]
Menurut Empat mazhab: Wajib membasuhnya sampai mata kaki satu kali. Imamiyah: Wajib mengusapnya dari ujung jari-jemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan ulama mazhab: Boleh mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah mengusap atau membasuh dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6 surah al-ma’idah:


6.  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
Kata arjul ada yang membaca dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan fatha, yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap berarti menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru’us sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nasabnya fil mahalli (berada di tempat), karena setiap di kasrahkan lafaznya ia di-nashabkan-kan (di-fathah-kan) pada mahal tempat.
Dan orang berpendapat dengan membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan) dengan menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya.[24]

·         Tertib
Tertib dalam melakukan wudhu hukumnya wajib. Artinya jika mendahulukan sebagian anggota dan mengakhirkan yang lain bukan menurut aturan sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an, maka wudhunya batal

atau tidak sah. Praktek wudhu menurut sunah (contoh Rasul) adalah tertib. Tidak terdapat suatu riwayatpun tentang wudhu melinkan beliau melakukannya dengan tertib. Yang dimaksud tertib disini adalah tersusun sebagaimana urutan dalam Al-Qur’an.[25]
Tertib ini berdasarkan keterangan ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. Ia wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut Imamiyah, Syafi’i dan Hambali.
Hanafi dan Maliki: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua kaki dan berakhir di muka.

·         Muwalat
Yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera.
Imamiyah dan Hambali: Wajib muwalat, hanya Imamiyah mensyaratkan tidak sampai kering anggota yang dibasuh  itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya. Kalau sampai kering anggota wudhu itu, maka batallah wudhunya, dan wajib memulai lagi.
Hanafi dan Syafi’i : Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan memisahkan dalam membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur, bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu.
Maliki: muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia tidak sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tanganya, atau air yang akan dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun diatas keyakinannya, sekalipun telah lama.[26]

H.    Syarat-Syarat Wudhu
Wudhu itu mempunyai beberapa syarat, di antaranya adalah: Airnya harus mutlak dan suci, dan tidak dipergunakan untuk menghilangkan kotoran dan hadas, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam bab air. Juga tidak ada larangan untuk mempergunakan air, baik karena sakit atau karena sangat membutuhkannya. Dan anggota-anggota wudhu itu suci, tidak ada batas yang mencegah sampainya air ke kulit. Juga waktunya luas.
Menurut Imamiyah: mensyaratkan bahwa air, bejana, dan tempat orang yang berwudhu harus halal, bukan rampasan dari orang lain (ghasab). Kalau salah satu dari hal tersebut ada yang ghasab, maka batallah wudhunya, tetapi menurut mazhab-mazhab lain, wudhunya tetap sah, hanya ia berdosa.[27]
Sedangkan syarat menurut para ulama fiqh adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri. Ketiadaannya, hukum pun tidak ada. Fuqaha membagi syarat wudhu menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat sah wudhu.
·         Syarat Wajib Wudhu
Wahbah al-Zuhaili, guru besar fiqih Universitas Damaskus mengemukakan bahwa wudhu diwajibkan kepada seseorang apabila ia memenuhi delapan syarat berikut:
1. Muslim, karena yang mendapat perintah dari Allah (Haakim) adalah khusus  orang Islam (mahkum ’alaih).
2. Baligh, wudhu tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh, tetapi wudhunya tetap sah.
3. Berakal, wudhu tidak wajib bagi orang gila, pingsan, kesurupan, tidur.
4. Mampu menggunakan air yang suci dan cukup. Kemampuan orang yang menggunakan air menjadi syarat wajib wudhu, maka tidak wajib berwudhu bagi orang sakit karena ia tidak bisa mengunakannya juga ketika air tidak ada dan kalau seseorang mendapatkan sedikit air maka ia boleh membasuh satu kali satu kali.
5. Sedang berhadats kecil, seseorang yang telah berwudhu tidak ada kewajiban untuk mengulang lagi wudhunya.
6.  Tidak sedang haid.
7. Tidak sedang nifas.
8. Ketika waktu untuk mengerjakan ibadah sudah datang.
·         Syarat Sah Wudhu
Fuqaha madzhab Hanafi mengemukakan syarat sah wudhu ada tiga, sementara menurut jumhur ada empat, yaitu:
a. Menyiramkan air secara merata ke semua anggota tubuh yang dibasuh.
b. Menghilangkan apa-apa yang dapat menghalangi sampainya air ke anggota tubuh yang dibasuh.
c.   Berhentinya segala yang membatalkan wudhu ketika wudhu dimulai, seperti haid, nifas dan hadats kecil
d.  Berwudhu setelah masuk waktu seperti halnya orang yang bertayamum dan bagi yang memiliki udzur selalu berhadats seperti menetesnya air seni. Syarat keempat ini menurut jumhur fuqaha selain Hanafiah.[28]
I.       Sunah-Sunnah Wudhu
Ada sepuluh, bahkan lebih, sunnah-sunnah wudhu berdasarkan mazhaf syafi’i. Sunnah-sunnah wudhu ini ada yang dilakukan sebelum berwudhu, ada yang dilaksanakan ketika sedang berwudhu, dan ada yang dilakukan ketika selesai berwudhu. Yaitu sebagai berikut:
1.            Sebelum berwudhu:
a)      Membaca Basmalah (al-tasmiyah).
b)      Membasuh kedua tangan.
c)      Bersiwak.
d)     Berkumur-kumur dan memasukan air kedalam hidung.

2.            Pada saat berwudhu:
a)      Menyapu seluruh kepala dengan air.
b)      Menyapun seluruh telinga.
c)      Menyelati janggut yang tebal.
d)     Melafalkan aniat.
e)      Mendahulukan anggota badan yang kanan dari yang sebelah kiri.
f)       Membasuh dan menyapu masing-masing anggota wudhu (al-Tatslits).
g)      Menyelati jari-jemari tangan.
h)      Menyelati jari-jemari kaki.
i)        Dilakukan secara mandiri.
j)        Tidak memutuskan niat selama berwudhu.
k)      Mengahadap kiblat.
l)        Menggosok-gosok setiap anggota wudhu.
m)    Memulai membasuh muka di bagian sebelah atas.
n)      Melebihkan wilayah basuhan ketika membasuh muka dengan membasuh juga sedikit bagian depan kepala dan kiri kanan kuduk atau leher.
o)      Melebihkan wilayah basuhan ketika membasuh tangan dengan membasuh juga sedikit bagian lengan atas.
p)      Melebihkan wilayah basuhan ketika membasuh kaki dengan membasuh juga sedikit bagian bawah betis.
q)      Memulai membasuh tangan dari ujung jemarinya.
r)       Tidak berkata-kata selain zikir selama berwudhu kecuali sangat dibutuhkan.
s)       Menggerak-gerakan cincin.
t)       Menghindari percikan-percikan (yang berlebihan).
u)      Muwalat (berturut-turut seluruh proses wudhu dari awal hingga akhir).
v)      Berhemat dengan air.
3.            Sesudah berwudhu:
a)      Tidak menyeka air bekas berwudhu yang ada pada anggota wudhu.
b)      Mengucapkan dua kalimat syahadat.
c)      Berdoa.
d)     Melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah berwudhu.[29]

Kemudian ada beberapa perbuatan yang untuk melakukannya disunnahkan dalam keadaan berwudhu yaitu:
a)      Membaca Al-Qur’an dan atau mendengarkan bacaan.
b)      Membaca hadits dan atau mendengarkan bacaanya.
c)      Membawa buku tafsir, hadits dan fikih.
d)     Membaca ilmu syari’at.
e)      Adzan.
f)       Memasuki masjid atau duduk didalamnya.
g)      Wukuf di a’rofah.
h)      Sa’i.
i)        Ziarah ke kuburan Rasulullah Saw.
j)        Ketika hendak tidur.
k)      Ketika bangun dari tidur.
l)        Setelah memikul atau menyentuh jenazah.
m)    Setelah berbekam.
n)      Sehabis muntah.
o)      Sehabis makan nagging unta.
p)      Sehabis tertawa terbahak-bahak.
q)      Sehabis menyentu badan khuntsa.
r)       Sehabis menyentuh kemaluan.
s)       Ketika marah atau mengucapkan kata-kata yang buruk.
t)       Hendak membaca khotbah selain khotbah jum’at.[30]

Kemudian dalam persfektif mazhab lain sunnah-sunnah wudhu juga banyak sekali, diantaranya: Memulai membasuh kedua telapak tangan, kumur-kumur dan menghirup air kedalam hidung lalu dihembuskan (dalam dua hal ini Hambali mewajibkannya), sedangkan Imamiyah tidak membolehkannya; memakai siwak (sikat gigi) dan menghadap kiblat ketika berwudhu; berdoa dengan doa matsur dan setiap membasuh muka, tangan, sampai tiga kali, menurut empat mazhab.
Imamiyah: Basuhan pertama adalah wajib, sedangkan kedua kalinya adalah disunnahkan, tapi ketiga kalinya adalah bid’ah, dan orang yang mengerjakannya adalah dosa kalau ketika melaksanakannya berniat mengikuti syara’, tapi kalau tidak berniat seperti itu maka tidaklah dosa, hanya wudhu nya menjadi batal kalau mengusapnya dengan air tersebut.[31
J.      Makruh-Makruh Wudhu
Makruh adalah sesuatu yang diminta oleh syari’ untuk ditinggalkan dengan permintaan yang tidak harus. Apabila hal itu ditinggalkan oleh seorang mukallaf maka ia mendapat pahala dan apabila dikerjakan maka ia tidak mendapat siksa.

Adapun Hal – hal yang makruh dalam wudhu, antara lain :

1.    Berlebih – lebihan dalam menggunakan air.
Selain air yang mauquf (diwaqafkan untuk bersama) maka dalam hal ini berlebih – lebihan hukumnya adalah haram, dengan syarat air tersebut tidak terdapat dikolam atau di bak tempat wudhu’, maka yang demikian tidaklah haram, karena air tersebut dapat kembali lagi kedalam kolam bak air itu.Akan tetapi hukumnya makruh saja.

2.    Berbicara ketika sedang malakukan wudhu.

4.            Berlebih – lebihan dalam berkumur – kumur bagi orang yang berpuasa, atau ber –istinsyak.

5.            Berwudhu’ ditempat yang mutanajjis.


6.            Mengusap anggota wudhu’ lebih dari tiga kali.

K.    Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu
Batal Yaitu Tidak cukup syarat dan rukunnya atau salah. Jadi apabila sesuatu pekerjaan atau perkara tidak memenuhi syarat dan rukunnya maka perkara itu tidak sah atau batal.
Hal yang dapat membatalkan wudhu dibagi menjadi 2 bagian  :
Pertama : Sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu Qubul dan dubur. Hal ini dibagi lagi menjadi 2,yaitu :
1.      Sesuatu yang biasa keluar.
Sesuatu yang biasa keluar dari salah satu dua jalan yaitu qubul dan dubur, ada yang membatalkan wudhu’ saja dan ada yang mewajibkan mandi. Adapun yang hanya membatalkan wudhu’ dan tidak mewajibkan mandi adalah kencing, madzi dan wadi.
Air madzi adalah air kuning encer yang pada ghalibnya / biasanya ia keluar dari kubul ketika ia merasakan nikmat. Air wadi adalah air kental dan putih serupa dengan air mani ; umumnya ia  keluar setelah kencing. Yang serupa dengan air wadi adalah air hadi yaitu air putih yang keluar dari qubul wanita hamil sebelum melahirkan dan air mani yang keluar tanpa merasakan nikmat. Tidak dapat disangkal bahwa semua ini adalah keluar dari qubul. Sedangkan Sesuatu yang keluar dari dubur adalah tahi, dan kentut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا )  أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya kemudian dia ragu-ragu apakah dia mengeluarkan sesuatu (kentut) atau tidak maka janganlah sekali-kali ia keluar dari masjid kecuali ia mendengar suara atau mencium baunya" Dikeluarkan oleh Muslim. 
2.      Sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan dengan cara yang tidak biasa.
Sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan dengan cara yang tidak biasa, seperti batu kerikil, ulat, darah, air nanah yang tidak bercampur dengan darah dan air nanah yang bercampur dengan darah. Ia dapat membatalkan wudhu’, baik ia keluar dari qubul maupun dubur.

Kedua : Sesuatu yang menyebabkan batalnya wudhu’ selain yang keluar dari salah satu dua jalan. Hal ini dibagi menjadi 4, Yaitu :
1.      Hilang Akal, Baik karena gila, ayan, mabuk, pingsan maupun tidur.
Tidur dapat membatalkan wudhu’ bukan karena tidur itu sendiri melainkan karena terjadinya hadats yang disebabkan karena tidur. Tidur itu dapat membatalkan wudhu’ jika pantatnya tidak tetap diatas tanah atau lainnya, sekalipun dapat dipastikan tidak keluar hadats. Tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila orang yang tidur itu tidak duduk mantap diatas tempatnya, misalnya ia tidur sambil duduk atau sambil mengendarai sesuatu tanpa ada renggang antara tempat duduk dan tempat menetapnya. Jika ia tidur telentang atau miring; antara tempat duduknya dan tempat tetapnya itu ada renggang, karena ia kurus, maka batallah wudhu’nya. Dan wudhu’ itu tidak batal disebabkan karena ngantuk, yaitu rasa berat pada otak akan tetapi bersamaan dengan itu pula masih dapat mendengar pembicaraan orang – orang yang ada disekitarnya walaupun tidak dapat memahaminya.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ رُؤُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِ
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: pernah para shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pada jamannya menunggu waktu isya' sampai kepala mereka terangguk-angguk (karena kantuk) kemudian mereka shalat dan tidak berwudlu Dikeluarkan oleh Abu Dawud shahih menurut Daruquthni dan berasal dari riwayat Muslim.
2.      Menyentuh seseorang yang dapat mengundang syahwat, baik ia wanita atau laki – laki muda.
Menyentuh wanita bukan muhrim dapat membatalkan wudhu’ secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat, sekalipun laki – lakinya lemah tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak menarik (berwajah jelek). Mungkin juga dikatakan bahwa persoalan seorang wanita tua yang sudah lemah dan tidak menarik itu adalah tidak adanya rasa nikmat dengan menyentuhnya. Selama wanita itu masih hidup maka tidak akan hilang darinya rasa nikmat dengan menyentuhnya.
Dan sentuhan itu dapat membatalkan wudhu’ hanya apabila antara kulit yang menyentuh dan kulit yang disentuh itu tidak ada batas penghalang. Wudhu seseorang tidaklah batal dengan menyentuh seorang wanita muhrim, yaitu wanita yang haram dinikahi untuk selama – lamanya karena ada hubungan nasab (keturunan) atau susuan atau karena pernikahan. Sedangkan Wanita – wanita yang tidak haram dinikahi selama – lamanya adalah seperti saudara perempuan isteri (ipar perempuan), saudara perempuan dari pihak ayah isteri dan saudara perempuan dari pihak ibu isteri (bibi isteri dari pihak ayah / ibu), maka apabila menyentuh salah seorang dari mereka ini batallah wudhu’nya. Begitu pula wudhu’ dapat batal  dengan menyentuh wanita yang disetubuhi dengan subhat dan anak perempuannya. Sekalipun menikahi keduanya itu adalah haram untuk selama – lamanya akan tetapi haramnya itu bukan disebabkan karena nasab, bukan karena susuan dan bukan pula karena perkawinan .
Seorang laki – laki yang menyentuh laki – laki lain tidaklah batal wudhu’nya walaupun laki – laki yang disentuh itu adalah seorang anak muda yang belum berjanggut dan tampan, akan tetapi disunnatkan baginya untuk berwudhu. Dan tidak batal pula seorang wanita yang menyentuh sejenisnya, begitu pula seorang banci yang menyentuh banci lainnya ataupun ia menyentuh seorang laki – laki atau seorang wanita. Wudhunya tidaklah batal kecuali apabila yang menyentuh dan yang disentuh itu sampai mencapai batas syahwat bagi mereka yang mempunyai tabi’at (kejiwaan) yang sehat. Wudhu’ juga dapat batal apabila menyentuh mayat; akan tetapi bagi orang yang memandikan mayyit, maka ia wajib mandi setelahnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )  أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه وَقَالَ أَحْمَدُ لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa yang memandikan mayyit hendaknya ia mandi dan barangsiapa yang membawanya hendaknya ia berwudlu" Dikeluarkan oleh Ahmad Nasa'i dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan sedang Ahmad berkata: tak ada sesuatu yang shahih dalam bab ini. 
3.      Menyentuh Kemaluan (Dzakar) dengan tangan.
Menyentuh dzakar itu dapat membatalkan wudhu’, baik terhadap dzakarnya sendiri maupun dzakar orang lain, walaupun yang disentuh itu adalah dzakar anak kecil atau dzakar mayat. Yang batal wudhu’nya adalah yang menyentuh, bukan yang disentu. Begitu pula bisa batal wudhu’  seorang wanita apabila ia menyentuh qubulnya, sebagaimana juga batal wudhu’ seorang laki – laki yang menyentuhnya. Lingkaran dubur itu adalah sama hukumnya dengan qubul wanita. Berbeda halnya dengan buah pelir dan bulu dzakar, maka wudhu’ itu tidak batal dengan menyentuhnya.  Memegang dzakar itu membatalkan wudhu’ berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW :
عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّان َ وَقَالَ اَلْبُخَارِيُّ هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ
Dari Busrah binti Shofwan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudlu" Dikeluarkan oleh Imam Lima dan hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban Imam Bukhari menyatakan bahwa ia adalah hadits yang paling shahih dalam bab ini.
Namun ada sebagian menganggap bahwa memegang dzakar itu tidak membatalkan wudhu’ berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW :
وَعَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ )  أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان  وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَة
Thalq Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki berkata: saya menyentuh kemaluanku atau ia berkata: seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada waktu shalat apakah ia wajib berwudlu؟ Nabi menjawab: "Tidak karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu" Dikeluarkan oleh Imam Lima dan shahih menurut Ibnu Hibban Ibnul Madiny berkata: Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.
Wudhu’ tidak dapat batal apabila menyentuh tempat potongan dzakar (tempat sunatannya), dengan syarat – syarat berikut :
a.    Adanya suatu penghalang
b.    Sentuhan itu tidak dilakukan dengan menggunakan telapak tangan atau jemari tangan bagian dalam.
Yang disebut dengan telapak tangan atau jemari tangan bagian dalam adalah bagian yang tertutup disaat kedua tangan itu dirapatkan dengan sedikit ditekan. Oleh sebab itu maka wudhu’ tersebut tidak batal dengan menyentuh dzakar menggunakan bagian pinggir telapak tangannya atau dengan menggunakan ujung jemarinya dan dengan menggunakan bagian yang terdapat antara pinggir telapak tangan dan ujung jemari.
4.      Sesuatu yang keluar dari badan manusia selain dari qubul dan dubur, seperti nanah yang keluar dari bisul atau darah yang keluar karena sebab bisul itu, atau disebabkan karena luka.
Wudhu’ juga bisa batal disebabkan karena murtad. Apabila seseorang yang mempunyai wudhu; keluar dari islam, maka wudhu’nya batal. Hal itu banyak terjadi pada orang – orang bodoh yang dikuasai oleh perasaan sangat marah lalu mereka menghina agama dan berucap dengan kata – kata yang dapat mengkafirkan tanpa sadar kemudian mereka menyesal setelahnya, maka wudhu’ mereka batal bila mereka mempunyai wudhu’. Wudhu’ tidaklah batal disebabkan karena tertawa dengan terbahak – bahak dalam sholat.
Wudhu’ juga tidak batal disebabkan karena ragu – ragu dalam hadats. Dalam hal itu terdapat 2 bentuk :
Pertama : Ia berwudhu’ dengan yakin, kemudian ia ragu apakah ia berhadats ataupun tidak. Keraguan ini tidaklah membatalkan wudhu’nya, karena ia ragu akan terjadinya hadats setelah melakukan wudhu’. Sedangkan keraguan tidak dapat menghilangkan keyakinan tentang adanya thaharah.
Kedua : Ia berwudhu’ dengan yakin dan berhadats dengan yakin pula, akan tetapi iaragu apakah ia berwudhu’ sebelum hadats, maka dalam hal ini wudhu’nya batal karena hadats atau ia berwudhu’ setelah hadats, maka dalam hal ini wudhu’nya itu masih.
Dalam kasus semacam ini terdapat 2 hal :
1.      Sebelum itu ia ingat akan wudhu’ dan hadats yang diragukan itu, akan tetapi ia tidak tahu mana diantara keduanya yang terjadi terlebih dahulu. Jika ingat bahwa ia berhadats sebelum berwudhu’, maka ia dianggap mempunyai wudhu’ karena telah tetap suatu keyakinan bahwa ia berwudhu’ setelah hadats pertama, dan ia ragu apakah ia berhadats lagi atau tidak.
Contohnya adalah, jika ada seorang berwudhu’ setelah sholat dzuhur dengan yakin, dan berhadats dengan yakin, akan tetapi ia ragu apakah hadats yang membatalkan itu terjadi terlebih dahulu, maka dalam hal ini maka wudhu’nya masih; atau ia berwudhu’ terlebih dahulu, maka dalam hal ini maka wudhu’nya batal karena hadats tersebut.
Dalam hal ini hendaknya ia melihat terhadap apa yang ada pada dirinya sebelum sholat dzuhur. Jika ia ingat bahwa ia berhadats sebelum sholat dzuhur, maka ia dianggap Mutathahhir (suci dari hadats) setelah dzuhur, karena ia meyakini hadats pertama itu terjadi setelah dzuhur dan meyakini adanya wudhu’ yang ia lakukan setelah dzuhur; serta ragu terhadap hadats kedua yang terjadi setelah dzuhur, apakah hadats itu terjadi sebelum wudhu’ atau sesudahnya?  Keraguan tidaklah menghilangkan hadats tersebut, maka dengan demikian berarti ia masih mempunyai wudhu’.
2.      Ia ingat bahwa ia berwudhu’ sebelum dzuhur, kemudian ia berwudhu’ lagi setelah dzuhur dan berhadats.
Semua ini adalah apabila orang tersebut ragu setelah wudhu’nya itu sempurna. Sedangkan apabila ia ragu disaat pertengahan wudhu’ tentang anggota wudhu’ yang disucikannya, maka ia wajib mengulangi mensucikan anggota wudhu’ yang diragukan itu.[32]

L.     Tata Cara (Praktek Wudhu)
Sebelum kita mengambil air wudhu, hendaknya kita membaca basmalah seperti dikemukakan hadits berikut:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَلاَ وُضُوْءَ لِمَنْ لاَ يَذْ كُرِاسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Tidak sah shalat seseorang yang tidak berwudhu sebelumnya, dan tidak sah wudhu seseorang jika tidak diawali dengan membaca basmalah. (HR Ahmad).
Wudhu diawali dengan mencuci tangan tiga kali, berkumur lalu membersihkan lubang hidung masing-masing tiga kali. Setelah itu kita membasuh muka, lalu membasuh kedua lengan sampai siku (lengan kanan terlebih dahulu), masing-masing juga tiga kali. Selesai membasuh tangan dilanjutkan dengan membasuh kepala. Caranya, kepala kita usap dengan tangan basah, yaitu mulai dari depan ke belakang terus dibalikkan ketelinga bagian dalam dan ibu jari mengusap telinga bagian luar sekali, kemudian dilanjutkan dengan membasuh kedua kaki hingga mata kaki (kaki kanan lebih dahuli), masing-masing tiga kali. Cara Wudhu Rasulullah Saw. Dapat dilihat dalam hadits berikut ini.

قِيْلَ لِعَبْدِاللهِ بْنِ زَيْدٍ : تَوَضَّأْ رَسُوْ لِ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِاِ نَاءٍ فَا كْفَأَ مِنْهُ عَلَ يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَ ثًا ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَا سْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَا سْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَالِكَ ثَلاَثًا, ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَا سْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَ ثاً, ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَا سْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَاَقْبَلَ بِيَديْهِ وَاَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ اِلىَ الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ: هَاكَذَا كَانَ وُضُوْءَ رَسًوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Seseorang berkata kepada ‘Abdullah bin Zaid,” Coba jelaskan kepadaku praktek wudhu Rasulullah Saw.! Untuk itu, ‘Abdullah kemudian mengambil satu bejana berisi air, lalu mengucurkan air pada kedua tangannya, kemudian membasuh kedua tangan tiga kali. Setelah itu, ia memasukkan tangan kedalam bejana berisi air, lalu berkumur dan menghisap air ke hidung dari telapak tangan tiga kali, terus memasukkan bejana berisi air, lalu di keluarkan lagi, terus membasuh muka tiga kali. Setelah itu, ia memasukkan lagi tangannya hingga ke siku tiga kali, kemudian memasukkan lagi tangan ke wadah dan mengeluarkannya, lalu mengusap kepala, yaitu menggerakan kedua tangan pada kepala bagian depan ke belakang. Setelah itu, membasuh dua kakinya hingga mata kaki, lalu dia (A’bdullah bin Zaid) berkata, “Nah begitulah praktek wudhu Rasulullah.” (HR. Bukhori-Muslim).
 Catatan: menurut riwayat Bukhari, Ibnu ‘Abbas dan dari ‘Abdullah bin Zaid, Rasulullah Saw. Pernah berwudhu sekali-sekali, pernah juga dua kali-dua, dan juga menurut riwayat muslim dari ‘Utsman, Rasulullah Saw. Pernah berwudhu kali-tiga kali.
Bagi orang yang menggunakan sorban atau ikat kepala, seperti banyak suku bangsa di Indonesia dan sejumlah bangsa muslim lainnya, tutup kepala boleh tidak dilepas, cukup digeserkan sedikit ke belakang agar sebagian rambut atau kepala bagian depan bisa terlihat, lalu rambut itu diusap, disekalikan dengan mengusap sorban (ikat kepala). Kebolehan praktek demikian didasarkan pada hadits berikut:
بَعَثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً فَاَ مَرَهُمْ اَنْ يَمْسَحُوْا عَلَى الْعَصَا ئِبِ يَعْنِى الْمَمَا ئِم   - وَالنَّسَا خَيْنِ – يَعْنِى الْخِفَافَ
Rasulullah Saw. Pernah mengirimkan pasukan (ke medan perang), beliau menyuruh pasukan tersebut agar (pada waktu berwudhu cukup dengan) mengusap sorban dan sepatunya saja. (HR. Ahmad, Abu Daud).
Demikian juga, bagi orang yang memakai sepatu, ia boleh tidak usah membuka sepatu asalkan bagian atas sepatu itu diusap dengan tangan yang basah. Adapun kebolehan tidak usah membuka sepatu adalah bagi orang yang sedang berpergian selama tiga hari tiga malam. Tetapi bagi yang tidak berpergian hanya diperbolehkan sehari-semalam.
جَعَلَ النَّبِيُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةَ اَيَّا مٍ وَلَيَا لِيَهُنَّ لِلْمُسَا فِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ – يَعْنِى فِى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
Nabi Saw. Menetapkan tiga hari tiga malam bagi yang sedang berpergian dan sehari bagi yang tidak berpergian, yaitu dalam hal mengusap sepatu bagian atas. (HR. Muslim).[33]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tentang wudhu, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pengertian wudhu adalah membersihkan  anggota tubuh tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.
2.      Pensyariatan wudhu sudah disyari’atkan Allah SWT sejak awal-awal Islam, ketika Allah SWT mensyari’atkan sholat pada malam isro’ dan mi’roj.
3.      Adapun landasan hukum wudhu yaitu Surah Al-Maidah ayat 6, dan hadits yang artinya yaitu “Allah tidak menerima sholat seseorang diantaramu bila ia berhadast, sampai ia berwudhu”. Serta Ijma’ yang telah terjalin kesepakatan kaum muslimin atas di syari’atkan wudhu, semenjak zaman Rosulullah SAW.
4.      Para ulama fiqih berpendapat bahwa hadas itu dibagi menjadi dua bagian, pertama: Hadast kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhu’ saja. Kedua: Hadas besar yang kedua ini pun dibagi dua: ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan.
5.      Keistimewaan Wudhu merupakan syarat sah bagi pelaksanaan beberapa ibadah, seperti shalat dan thawaf. Tidak hanya itu, wudhu juga menjadi syara’ di bolehkannya seseorang menyentuh mushaf sebagai kitab-kitab suci yang didalamnya termaktub firman-firman Allah SWT. Disamping kegunaan-kegunaan yang hendak dicapai di atas berwudhu juga akan menghapuskan atau paling tidak akan mengurangi dosa.
6.      Adapun hukum wudhu tidak bersifat mutlak tetapi tergantung kondisi dan kebutuhan, seperti fardu, wajib, sunat / mandub / mustahab, makruh, mubah dan mamnu’/ haram.
7.      Adapun fardhu-fardhu (rukun wudhu) yaitu Niat, membasuh muka, membasuh dua telapak tangan, mengusap kepala, membasuh dua kaki, tertib dan muwalat.
8.      Adapun syara’ wajib wudhu yaitu muslim, baligh, berakal, mampu menggunakan air yang suci dan cukup, sedang beradas keci;, tidak haid, tidak nifas dan ketika waktu untuk mengerjakan ibadah sudah datang. Sedangkan syarat sah wudhu yaitu menyiram air secara merata, menghilangkan apa-apa yang menghalangii wudhu, memberhentikan wudhu apabila terlarang wudhu’ seperti haid, nifas dll, dan berwudhu setelah masuk waktu dekat dengan masuk waktu.
9.      Ada sepuluh, bahkan lebih, sunnah-sunnah wudhu berdasarkan mazhaf syafi’i. Sunnah-sunnah wudhu ini ada yang dilakukan sebelum berwudhu, ada yang dilaksanakan ketika sedang berwudhu, dan ada yang dilakukan ketika selesai berwudhu.
10.  Adapun makruh-makruh wudhu yaitu menggunakan air berlebihan, berbicara ketika wudhu, berlebih lebihan dalam berkumur dan berkumur bagi orang yang berpuasa, atau ber –istinsyak, berwudhu’ ditempat yang mutanajjis, menyapu/membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali.
11.  Hal yang dapat membatalkan wudhu dibagi menjadi 2 bagian: Pertama ialah Sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu Qubul dan dubur, Kedua ialah Sesuatu yang menyebabkan batalnya wudhu’ selain yang keluar dari salah satu dua jalan.
12.  Wudhu diawali dengan mencuci tangan tiga kali, berkumur lalu membersihkan lubang hidung masing-masing tiga kali. Setelah itu kita membasuh muka, lalu membasuh kedua lengan sampai siku (lengan kanan terlebih dahulu), masing-masing juga tiga kali. Selesai membasuh tangan dilanjutkan dengan membasuh kepala. Caranya, kepala kita usap dengan tangan basah, yaitu mulai dari depan ke belakang terus dibalikkan ketelinga bagian dalam dan ibu jari mengusap telinga bagian luar sekali, kemudian dilanjutkan dengan membasuh kedua kaki hingga mata kaki (kaki kanan lebih dahuli), masing-masing tiga kali.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Al-Rahman. 1996. Silsilah-Arba’ah, Juz 1.Mesir: Dar al-Fikr.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu. Mesir: Dar al-Fikr.
                                   Tafsir Munir. Mesir: Dar al-Fikr.
Cholidi. 2012. BERSIH Dalam Persfektif Fiqh (Berbasis Mazhab Syafi’i). Palembang : Syari’ah IAIN Raden Fatah Press.
Labib. 2000. Rangkuman Shalat Lengkap. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Munawwir, A.W. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Cet Ke-4. Surabaya: Pustaka Progresif.
Saqiran. 2007. Mukjizat Gerakan Shalat. Jakarta: Qultumedia.
Sayid, Sabiq. 1937. Fiqih Sunnah 1. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Sukandi, Syarief. 2011. Bimbingan Praktis Fiqh Ibadah, Cet III. Bandung: Kiblat.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 2013. Fiqih Lima Mazhab, Cetakan Ke-28. Jakarta: Lentera Anggota IKAPI.
Blog Archive. Belajar Tanpa Batas. diakses dari http://tulisanserat.blogspot.com/2012/10/hal-hal-yang-makruh-dalam-berwudhu.html. Pada tanggal 28 Oktober 2013 pukul 22.47.



[1] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,Cet. Ke-4, (Surabaya:Pustaka Progressif, 1997), hlm. 1564.
[2] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, (Mesir: Daar al-Fikri), hlm.359-360.
[3] Prof. DR. Cholidi, MA, BERSIH Dalam persfektif fikih (Berbasis Mazhab Syafi’i), (Palembang: Syari’ah   IAIN Raden Fatah Press,  2012), hlm. 67.
[4] al-Rahman al-Jaziri, Silsilah –Arba’ah, Juz 1, (Mesir: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 44.
[5] Prof. DR. Cholidi, MA,, Op.Cit., Loc.
[6] Ibid, hlm. 67-68.
[7]  Sabiq sayid, fiqih Sunah 1,(Bandung:PT Al ma’arif,1937),hlm.84-93.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cetakan ke-28, (Jakarta: Lentera Anggota IKAPI, 2013), hlm. 20-21.
[9] Ust. Labib Mz, Rangkuman Shalat Lengkap (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2000), hlm. 37.
[10] Abdu al-Rahman al-Jaziri, Silsilah –Arba’ah, Juz 1, (Mesir: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 203.
[11] Wahbah Al-Zuhaily, op.cit., hlm. 361.
[12] Ibid, hlm. 364.
[13] Ibid, hlm. 365.
[14] Ibid, hlm. 364.
[15] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhaj Al-Shahih Muslim, (Daar Al-Fikr: Beirut, 1995), hlm. 167.
[16] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 22.
[17] Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir munir, Op. Cit, hlm. 211.
[18] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Loc.
[19] Saqiran, Mukjizat Gerakan Shalat, (Jakarta: Qultummedia, 2007), hlm. 10.
[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 23.
[21] Wahbah Zuhaili, Op.Cit., hlm. 371-374.
[22] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Loc.
[23] Wahbah Al-Zuhaily, Op.Cit., hlm. 214
[24] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 23-24.
[25] Wahbah Al-Zuhaily, Op.Cit., hlm. 215
[26] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 24-25.
[27] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 26.
[28] Wahbah Al-Zuhaily, Op. cit., hlm. 391-392.
[29] Prof. Dr. Cholidi, MA, Op. Cit, hlm. 97-115.
[30] Ibid, hlm. 116-117.
[31] Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Loc.
[32] Blog Archive, Belajar Tanpa Batas, diakses dari http://tulisanserat.blogspot.com/2012/10/hal-hal-yang-makruh-dalam-berwudhu.html, pada tanggal 28 Oktober 2013 pukul 22.47.
[33] KH. Syarief Sukandi, Bimbingan Praktis Fiqh Ibadah, Cet III, (Bandung: Kiblat, 2011), hlm. 18-20.

#makalah_s1_fakultas_syariah_dan_hukum_UIN_Rafah
loading...