Oleh: Iswahyudi
A. Waktu-waktu Shalat
Dari
keterangan al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan berdasarkan berbagai
penelitian dalam ilmu Falak, maka dapat dijelaskan secara rinci ketentuan
aktu-waktu shalat sebagai berikut:
1.
Awal Waktu
Zhuhur
Waktu dzuhur dimulai apabila matahari
tergelincir pada tengah hari tepat. Dalam Al-qur’an Surah Al-Isra ayat 78
difirmankan dengan “lidulikisysyamsi” yakni sejak tergelincir
matahari. Dalam ilmu Falak dikenal dengan istilah matahari berkulminasi yaitu
sesaat setelah matahari mencapai kedudukannya yang tertinggi di langit dalam
perjalanan hariannya sampai datangnya waktu ashar.
2. Awal Waktu
Ashar
Waktu ashar selama matahari belum menguning dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Nasa’i, dan Tirmidzi dari Jabir bin Abdullah ra. Disebutkan dimulai
apabila panjang bayang-bayang sebuah benda sama panjang dengan bendanya, Dalam
surah Qaaf ayat 39 disebutkan awal aku shalat
adalah “qablaghuruub” yakni sampai sebelum terbenamnya matahari.
3. Awal Waktu
Maghrib
Waktu maghrib dimulai sejak matahari terbenam atau sperti yang disebutkan dalam
surah Hud ayat 114 sebagai “zulafam minal lail” yakni bagian
permulaan malam yang ditandai dengan terbenamnya matahari atau terlihatnya mega
merah dilangit sampai datangnya waktu isya atau hilangnya mega merah.
4.
Awal Waktu Isya
Waktu isya dimulai sejak hilangnya syafaq (mega merah pada awan dilangit bagian
barat dan berakhirnya saat datangnya fajar(awal waktu shubuh).
5.. Awal
Waktu Imsak
Waktu imsak merupakan waktu ihtiyat(hati-hati) untuk imsak dalam melakukan
puasa. Sebagai dasarnya hadits dari Anas bin Zaid bin Tsabit, ia berkata “kami
sahur bersama Rasulullah kemudian kami melakukan shalat shubuh” saya berkata;
“berapa lama ukuran antara sahur dan shubuh”? nabi bersabda :”seukuran membaca
50 ayat al-Qur’an” para ulama berbeda pendapat tentang lama membaca 50 ayat
tersebut, ada yang mengatakan lamanya selama melakukan wudlu, ada yang
menyatakan lamanya sekitar 12 menit.
6. Awal Waktu Shubuh
Waktu
shubuh dimulai sejak terbit fajar dan berakhir saat terbit matahari. Atau dalam
surah At-Thuur ayat 49 waktu shubuh dimulai
sejak “idbarannujum” yakni menghilangnya
atau meredupnya bintang-bintang dan
berakhhir seperti yang disebutkan dalam surah Qaaf ayat 39 saat “ thuulu
‘isysyamsi” yakni terbitnya matahari.
7. Waktu Terbit
Terbit matahari ditandai dengan piringan atas matahari bersinggungan dengan
ufuk sebelah timur, sehingga ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk maghrib
berlaku pula untuk waktu matahari terbit.
8. Waktu Dhuha
Dalam wacana fiqh, awal Dhuha dimulai sejak
matahari naik setinggi tombak.
B. Kedudukan dan Tinggi Matahari dalam
Penentuan Waktu Shalat.
Bertolak
dari ketentuan-ketentuan syar’i tentang waktu-waktu shalat diatas, yakni
tergelincirnya matahari panjang pendeknya bayang-bayang sesuatu, terbenam
matahari dan lain sebagainya, seluruhnya merupakan fenomena matahari. Sementara
yang dimaksud dengan tinggi matahari dalam kajian ini adalah ketinggian posisi
matahariyang terlihat pada awal dan akhirwaktu shalat yang di ukur dari ufuk.
Karena itu, dalam penentuan awal waktu shalat,m data astronomi (zij) terpenting
adalah posisi matahari, terutama tinggi, h, atau jarak
zenit (bu’du as-sumti), Zm= 90۫ –
h. fenomena awal fajar (morning twislight), matahari terbit (sunrise), matahari
melintasi meridian (culimination), matahari terbenam (sunset), dan akhir senja
(evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit matahari.
Kedudukan dan tinggi matahari dalam penentuan awal waktu shalat adalah sebagai
berikut:
1. Tinggi
Matahari Awal Waktu Zhuhur
Sebenarnya data tinggi matahari untuk menghitung awal waktu zhuhur tidak
diperlukan karena data untuk awal waktu zhuhur secara langsung dapat dilihat
almanak-almanak astronomis yaitu data saat matahari berkulminasi. Pada hakeketnya
waktu zhuhur dimulai sesaat matahari terlepas dari titik kulminasi atas, atau
matahari terlepas dari meridian langit, biasanya biambil sekitar 2 menit
setelah lewat matahari.
Pada saat itu waktu pertengahan belum tentu menujukkan jam 12, melainkan kadang
masih kurang atau bahkan sudah lebih dari jam 12 tergantung pada nilai equation
of time (e). Oleh karenanya, waktu pertengahan pada saat matahari
berada di meridian (Meridian Pass) dirumuskan dengan MP = 12-e. sesaat
waktu itulah sebagai permulaan waktu zhuhur menurut waktu pertengahan dam waktu
ini pulalah sebagai pangkal hitungan untuk waktu-waktu shalat lainnya.
2. Tinggi Matahari Awal Waktu Ashar
Awal waktu ashar dimulai ketika
bayangan matahari sama dengan benda tegaknya, artinya apabila pada saat
matahari berkulminasi atas membuat bayangan senilai 0 (tidak ada
bayangan) atau juga pada saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya
yaitu apabila matahari berkulminasi sudah mempunyai bayangan sepanjang benda
tegaknya. Keadaan seperti ini dipengaruhi oleh deklinasi
matahari. Berdasarkan penjelasan diatas maka secara astronomis tinggi
matahari pada awal waktu ashar ada dua pendapat.
1. Apabila
bayang-bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya maka tinggi matahari
dapat dirumuskan dengan:
Cotan ashar =
tan /p-δ/+1
atau
Cotan ashar =
tan ZM + 1 ø
2. Apabila
bayang-bayang suatu benda dua kali panjang bendanya, maka tinggi matahari dapat
dirumuskan dengan:
Cotan
ashar = tan /p-δ/ + 2
atau
Cotan ashar = tan ZM + 2
Sementara panentuan awal waktu asharnya di selesaikan dengan rumus:
Cos t = -tanφ tan δ + sin ashar : cos φ : cos φ, kemudian ditambah atau
dikurang dengan koreksi waktu dan ihtiyat.
3. Tinggi Matahari Awal Waktu Maghrib
Waktu maghrib dirumuskan secara astronomis
sebagai keadaan bila piringan bagian atas matahari berimpit dengan ufuk mar’I
(horison visible atau horison yang terlihat) . Piringan matahari berdiameter 32
menit busur, setengahnya berarti 16 menit busur, selain itu di dekat horison
terdapat refraksi (inkisar al-jawwi) yang menyebabkan kedudukan matahari lebih
tinggi dari kenyataan sebenarnya yang diasomsikan 34 menit busur.
Selanjutnya oleh ketinggian mata kita di atas perrmukaan bumi menjadikan
ufuk mar’i teerlihat lebih rendah, peristiwa ini disebut dengan kerendehan
ufuk. Keadaan-keadaan itu seetelah dilakukan penelitian astronomis bahwa jaraj
zenit matahari pada saat itu = 90۫˚ + (34΄ +
16΄ + 10) untuk tempat yang berada di tepi pantai, atau sama dengan 91۫˚ atau dengan demikian tinggi matahari pada saat itu =
-1˚. Untuk tempat-tempat lain hendaknya disesuaiakan tinggi tempat itu dan
pengaruhnya terhadap kerendahan ufuk dengan rumus D΄= 1,75√m.
Untuk penentuan maghrib diselesaikan dengan rumus
(Cos t = -tan φ
tan δ + sin -1˚ : cos φ : cos δ )
Untuk penentuan
waktu maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada
larangan melakukan shalat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi
atas.
4. Tinggi Matahari Awal Waktu Isya
Menurut pengertian astronomi waktu isya saat dimana bintang-bintang di
langit cahayanya mencapai titik maksimal saat pecinta perbintangan mulai
melakukan aktifiitasnya (astronomical twilight). Dimana tinggi matahari
pada saat itu sudah mencapai -18˚. Untuk penentuan awal waktu isya dicari
dengan rumus :
Cos t = -tan φ tan δ + sin -18˚ : cos φ :
cos δ, selanjutnya koreksi waktu dan ihtiyat.
5. Tinggi
Matahari Waktu Imsak
Terdapat banyak perbedaan pendapat jarak waktu imsak yangdiisyaratkan nabi
seukuran membaca 50 ayat al-Qur’an . salah satunya menurut Muhyiddin Khazin
dalam bukunya “Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik” waktu yang diperlukan untuk
membaca 50 ayat al-Qur’an itu sekitar 8 menit maka itu sama dengan 2˚k tinggi
matahari pada waktu imsak (h im) ditetapkan -22˚ dibawah ufuk timur atau h im =
-22˚.
6. Tinggi
Matahari Awal Waktu Shubuh
Fenomena awal shubuh hampir sama dengan awal isya. Apabila isya ditandai dengan
bintang-bintang dilangit cahayanya mencapai titik maksimal akibat hilangnya
cahaya merah di langit sebelah timur yang menandakan adanya perubahan dati
terng ke gelap, maka shubuh ditandai dengan mulai surtnya cahaya
bintang-bintang dilangit disebabkan oleh pengaruh sinar matahari yang datang
dilangit sebelah timur yang menandakan adanya perubahan dari gelap ke terang.
Pada saat itu jarak zenit matahari adalah 90˚ + 20˚ atau tinggi matahari pada
saat itu = -20˚. Untuk menentukan awal waktu isya dapay dicari dengan rumus :
(Cos t =
-tan φ tan δ + sin -20˚ : cos φ : cos δ.)
7. Tinggi
Matahari Waktu Terbit
Terbitnya matahari ditandai dengan piringan atas matahari bersinggungan dengan
ufuk sebelah timur, sehingga ketentuan yang berlaku pada waktu maghrib berlaku
pula untuk waktu matahari terbit. Oleh karena itu, waktu shubuh ditandai dengan
posisi matahari berada pada ketinggian matahari -1˚ disebelah timur.
8. Tinggi
Matahari Waktu Dhuha
Waktu dhuha dimulai ketika matahari setinggi tombak, dapat pula diaplikasikan
dengan ukuran falakiyah apabila matahari naik setinggi 3˚ 30˚ oleh karena itu h
dl = 3˚ 30˚
C. Data-data yang
Diperlukan Untuk Menghitung Awal Waktu Sholat.
a) Meridian
Pass (MD)
Saat matahari berkulminasi
dinyatakan dengan istilah Meridian Pass (MP). Data saat kulminasi
matahari dapat diperoleh dengan cara mengurangi Waktu Hakiki (waktu
matahari) dengan Perata Waktu (Equation Of Time, yang
disimbolkan dengan e). dengan demikian MP dapat dirumuskan, MP = kulminasi
– equation of time = 12-e
b) Sudut
Waktu Matahari Awal Waktu Shalat (t)
Sudut waktu
disebut juga hour Angel/Fadl Al-dair adalah jarak antara suatu benda
langit dengan titik kulminsinya atau sudut yang dibentuk oleh lingkaran
deklinasi suatu benda langit dengan lingkaran meridian. Lambang Sudut Waktu
ialah huruf (t) kecil.
Ada beberapa
rumus yang digunakan untuk menghitung Sudut Waktu Matahari, yaitu :
· j
: Lintang Tempat.
Data ini dapat
diperoleh dari almanak, atau referensi lainnya. Misalnya Jamiliyah, atau
Atlas Der Gehele Aarde, dll.
· d
: Deklinasi Matahari
Yaitu jarak
posisi matahari dengan ekuator langit diukur sepanjang lingkaran deklinasi atau
Lingkaran Waktu.
· z
: Jarak Zenith
Data z ini digunakan
untuk mencari t (sudut waktu) matahari. Darai sudut waktu inilah kemudian
dicari awal waktu shalat.
· h
: Ketinggian Matahari
yaitu tinggi
matahari untuk awalwaktu-waktu shalat.
c) Koreksi
Waktu Daerah (KWD)
KWD = ((LMT –
1) / 15)
I
= Bujur daerah (markas)
LMT
= Lokal Mean Time (waktu standar daerah), yaitu :
WIB = 105˚,
WITA = 120˚, WIT = 135˚
d) Ihtiyath
Ihtiyath yang
diartikan “pengaman”, yaitu suatu langkah pengaman dalam perhitungan awal waktu
shalat dengan cara menambah atau mengurangi sebesar 1 s/d 2 menit waktu dari
hasil perhitungan yang sebenarnya.
Ihtiyath yang
dimaksudkan :
Agar hasil perhitungan dapat mencakup daerah-daerah
sekitarnya, terutama yang berada di sebelah baratnya. 2 menit = ± 27,5 km. Menjadikan
pembulatan pada satuan terkecil dalam menit waktu, sehingga penggunaannya lebih
mudah.
· Untuk
memberikan koreksi atas kesalahan dalam perhitungan, agar menambah keyakinan
bahwa waktu shalat benar-benar sudah masuk, sehingga ibadah shalat itu
benar-benar dilaksanakan dalam waktunya.
DAFTAR PUSTAKA
Khanzin,
Muhyiddin. 2004. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik.Yogyakarta:Buana
Pustaka.
Izzuddin,
Ahmad. 2006. ILMU FALAK PRAKTIS (Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya). Semarang:
Komala Grafika Dengan IAIN Walisongo.
Azhari,
Susiknan, Dr, MA. 2007. ILMU FALAK Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains
Modern. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Murtadho, Moh,
Drs, M.HI. 2008. Ilmu Falak Praktis. Malang: UIN-Malang Press.
Toruan,
M. S. L. 1957. Ilmu Falak (Kosmografi). Semarang: Banteng Timur
Maskufa,
Dra, MA. 2009. Ilmu Falaq. Jakarta: Gaung persada (GP Press)
Rachim, Abdul,
Drs. 1983. Ilmu Falak. Yogyakarta: Liberty
#praktikum_falak_syariah_dan_hukum_UIN_rafah