Oleh Iswahyudi, SH
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum mempunyai fungsi untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa
terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan
manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat
berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah
dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini
menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
dan keadilan (Gerechtigkeit).
Penemuan hukum bukanlah merupakan
ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktekan selama ini oleh hakim,
pembentuk undang-undang dan para sarjana hukum yang tugasnya memecahkan masalah-masalah hukum. Dalam literatur
Belanda telah banyak ditulis orang mengenai penemuan hukum (retchtsvinding)
ini.
Penemuan hukum pada dasarnya
merupakan kegiatan dalam praktek hukum (hakim, pembentuk undang-undang dan
sebagainya). Akan tetapi penemuan hukum tidak dapat dipisahkan dari ilmu
(teori) hukum. Kalaupun secara historis teoritis praktek hukum itu lahirnya
lebih dulu dari ilmu hukum, tetapi dalam perkembangannya praktek hukum memerlukan
landasan teoritis dari ilmu hukum, sebaliknya ilmu hukum memerlukan materialnya
dari praktek hukum. Jadi dalam prakteknya praktek hukum dan ilmu hukum itu
saling memerlukan satu sama lain. Oleh karena itu, perlu kita kiranya
mengetahui tentang penemuan hukum dan pada makalah ini akan di bahasa mengenai
berbagai aspek di dalam penemuan hukum.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.
Apa
sajakah dari peristilahan, batasan, sistem penemuan hukum dan dasar hukum
positif dari penemuan hukum?
2.
Apa
sajakah sumber dan metode penemuan hukum?
3.
Bagaimanakah
berbagai aspek yang menyangkut tentang putusan hakim?
4.
Apa
kegunaan dari penemuan hukum?
5.
Bagaimanakah
penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Penemuan Hukum
1.
Peristilahan
Penemuan hukum lazimnya diartikan
sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya
yang diberi tugas melaksanakan hukum terhada peristiwa-peristiwa hukum yang
konkrit.[1]
Sering dipermasalahkan mengenai istilah
“penemuan hukum”; apakah tidak lebih tepat istilah pelaksanaan hukum, penerapan
hukum, pembentukan hukum atau penciptaan hukum.
Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya sengketa dan
pelanggaran. Ini meliputi meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga negara
setiap hari yang sering tidak di dasarinya dan juga oleh aparat negara, seperti
misalnya seorang polisi yang berdiri diperempatan jalan mengatur lalu lintas (law
enforcement).
Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan (peraturan hukum yang abstrak
sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan (peraturan) hukum pada peristiwa konkrit
secara langsung tidak mungkin.
Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum, bagi
setiap orang. Lazimnya pembuntikan hukum ini di lakukan oleh pembuat peraturan
undang-undang dan hakim.
Sedangkan istilah penciptaan
hukum kiranya kurang tepat, karena member kesan bahwa hukumnya itu sama
sekali tidak ada, kemudian diciptakan: dari tidak ada menjadi ada. Hukum
bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat berupa
prilaku atau peristiwa. Didalam prilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku
itulah harus dipertemukan atau digali kaedah atau hukumnya (lihat pasal 27 UU
no. 14 tahun 1970). Maka kiranya istilah penemuan hukumlah yang tepat.
2.
Batasan
Kegiatan kehidupan manusia itu
sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga ta’ mungkin tercakup
dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh kerana
itu, hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan.
Perhatian dan kesadaran akan sifat
dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran
penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad 19 dikenal dengan hermeunitik
yuridis (hermeneutika =ilmu penafsiran).
Apa yang dimaksud penemuan hukum
lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit.
Menemukan hukum merupakan karya
manusia dan ini berarti antara lain bahwa setiap penerapan hukum selalu
didahului oleh seleksi subyektif mengenai peristiwa-peristiwa dan
peraturan-peraturan yang relevan.
Problematika dengan penemuan hukum
pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Terutama
hakim melakukan penemuan hukum, karena tiap harinya ia dihadapkan pada
peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, Jadi sifatnya konfliktif.
Selanjutnya pembentuk undang-undangpun melakukan penemuan hukum juga. Bedanya
penemuan hukum oleh hakim ialah bahwa hakim menghadapi peristiwa konkrit atau
konflik, sedangkan pembentuk undang-undang tidak. Yang dihadapi oleh pembentuk
undang-undang bukanlah pertanyaan “Bagaimanakah saya seyogyanya
menyelesaikan konflik kongkrit ini?” atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu
(yang belum terjadi, tetapi besar kemungkinannya akan terjadi) diwaktu
mendatang?”. Jadi sifatnya adalah perspektif.
Selanjutnya dosen serta peneliti
hukum melakukan penemuan hukum juga sifatnya teoritis, sehingga hasil penemuan
hukumnya bukan merupakan hukum, melainkan merupakan sumber hukum (doktrin).
Uraian tentang penemuan hukum ini
dibatasi pada penemuan hukum oleh hakim.
3.
Sistem Penemuan Hukum
Apa pada
hakekatnya yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi peristiwa konkrit,
kasus atau konflik? Ia harus memecahkan atau menyelesainkannya dan untuk itu ia
harus tahu mencari atau menemukan hukumnya untuk diterapkan pada kasusnaya.
Menurut
pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montoesquite dank ant, hakim dalam
menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak
menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau
corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah
kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah atau tidak pula dapat
menguranginya. Oleh Karen itu demi
kepastian hukum, ketentuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam
oleh kebebasan hakim, hakim harus ada dibawah undang-undang.
Pasal 20 AB dan
21 AB berasal dari pandangan tersebut diatas. Bunyi pasal 20 AB adalah seperti
brikut: “Hakim harus mengadili menurut undang-undang, ia dilarang
menilai isi dan keadilan dari undang-undang” . Oleh karena itu hakim tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara (pasal 14 UU no. 14 tahun 1970,
22 AB).
Kemudian bunyi
pasal 21 AB adalah seperti berikut: Hakim dilarang, berdasarkan peraturan umum,
penetapan atau peraturan atau memutuskan yang tergantung padanya. Ini berarti
bahwa hakim hanya boleh memriksa dan mengadili peristiwa konkrit dan tidak
boleh menciptakan peraturan-peraturan umum dalam putusannya. Keunggulan
undang-undang tampak dari pasal 21 A, yaitu bahwa putusan hanya berlaku bagi
peristiwa konkrit dan tidak member kekuatan umum atau memberlakukan secara umum
untuk situasi-situasi semacam itu. Ini berarti hakim tidak boleh menempatkan
diri sebagai pembentuk undang-undang. Ia hanya boleh memeriksa dan memutus
perkara konkrit dan tidak boleh membuat peraturan yang mengikat umum.
Menurut
pandangan klasik ini semua hukum terdapat secara lengkap dan sistematis dalam
undang-undang dan tugas hakim adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi
undang-undang. Oleh karena itu dapat difahami bahwa pasal 15 AB mengatakan
bahwa kebiasaannya merupakan sumber hukum kalau undang-undang menetapkan
demikian.
4.
Dasar Hukum Positif
Dalam pasal 1
UU no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. “Merdeka” di sini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah
bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Yang dimaksudkan dengan kebebasan
peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur tangan dari pihak ekstra yudisiil.
Sebagaimana
telah diketengahkan di muka maka asas mengenal pengecualian, penyimpangan atau
pembatasan.
Penemuan hukum,
di samping didasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menemukan
dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada pasal 27 UU no. 14 tahun 1970, yang
berbunyi: Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan
bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih
harus digali. Jadi hukumnya tidak ada, tetapi masih harus digali, dicari dan
diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten mengatakan
bahwa di dalam prilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan
setiap saat manusia dalam masyarakat berprilaku, berbuat atau berkarya, oleh
karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukanya.[2]
B.
Sumber dan Metode Penemuan Hukum
1.
Sumber Penemuan Hukum
Sumber penemuan
hukum tidak lain adalah sumber atau tempat terutama bagi hakim dapat menemukan
hukumnya.
Sumber utama
penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan,
yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. Jadi terdapat hirarkhi
atau kewerdaan dalam sumber hukum, ada tingkatan-tingkatan.
Dalam ajaran
penemuan hukum undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber
hukum lainnya, Kalau hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata, maka dicarilah
terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan
berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, kalau
hendak mencari undang-undang seyogyanya dicari dalam Lembaran Negara.
Seperti telah
diketahui undang-undang itu terdiri dari konsiderans, diktum dan ketentuan
peralihan. Konsiderans berisi pertimbangan mengapa diterbitkan undang-undang
yang bersangkutan. Pada umumnya alinea-alinea dalam konsiderens diawali dengan
“Menimbang …………..”Membaca ………..”,”Mengingat ………..” atau “Berpendapat ……….”. Yang akhir ini disebut desideratum.
Diktum merupakan bagian utama undang-undang yang berisi pasal-pasal. Bagian
terahir undang-undang ialah ketentuan peralihan, yang fungsinya untuk
memelihara kesinambungan berlakunya kaedah hukum, mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Oleh karena itu
membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi
harus pula dibaca penjelasan penjelasannya dan juga konsideransinya.
Kalau ternyata
dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuannya atau jawabannya, maka
barulah kita mencari dalam hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang
tidak tertulis. Untuk menemukannya harus dengan cara bertanya kepada warga atau
tokoh masyarakat yang dianggap tahu.
Kemudian
apabilah hukum kebiasaan ternyata tidak member jawaban, maka di cari didalam yurisprudensi.
Yurisprudensi dapat berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara
sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi dan yang
pada umumnya diberi annotatie oleh pakar dibidang peradilan.
Contoh
yusrisprudensi sebagai sumber penemuan hukum dapat dikemukakan mengenai
“fiducia”. Dalam hal gadai, apabila benda gadai dibiarkan tetap dalam kekuasaan
yang berhutang atau pemberi gadai adalah tidak sah (pas. 1152 KUHPPerd). Akan
tetapi dalam dalam hal fiducia, barang jaminan (“gadai”) boleh ada di tangan
peminjam uang (pemberi jaminan).
Kemudian
putusan hakim terdiri dari kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan
berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa”. Didalam perkara perdata lazimnya pertimbangan
tentang duduknya perkara diuraikan terpisah dari pertimbangan tentang hukumnya,
sedangkan didalam putusan pidana kedua pertimbangan itu terjalin menjadi satu.
Dalam bagian deklaratif dari amar diuraikan tentang hubungan hukum atau
peristiwa hukumnya, sedangkan dalam bagian dispositif diuraikan tentang pokok
putusannya.
2.
Metode Penemuan Hukum
Telah
dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan tidak pula
lengkap. Oleh karena itu, harus diketemukan hukumnya dengan menjelasakan,
menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangangannya. Untuk menemukan
hukumnya tersedia beberapa metode penemuan hukum.
Dalam metode
penafsirannya sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu sebagai brikut:
1.
Interpretasi Gramatikal
Hukum memerlukan bahasa. Hukum ta’ mungkin ada tanpa bahasa. Oleh
karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan
perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan
disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjianpun
diperlukan bahasa.
Untuk menegatahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan
undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut
bahasa umum sehari-hari. Disini arti atau makna ketentuan undang-undang itu
ditafsirkan atau dijelaskna menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penemuan
hukum ini disebut
interprestasi
gramatikal atau penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau
penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan dengan metode
interprestasi yang lain.
2.
Interpretasi Sistematis atau Logis
Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari
keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di
dalam sistem hukum. Diluar sistem hukum, lepas dari hubungannnya dengan
peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak mempunyai
arti.
Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya
dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem
hukum disebut penafsiran sistematis.
Dalam penafsiran sistematis hukum dilihat oleh hakim sebagai suatu
kesatuan, sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihatnya sebagai
peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem. Jadi
kalu rumusan atau interprestasi suatu peraturan didasarkan pada letak peraturan
itu dalam keseluruhan sistem peraturan, maka disebut interpretasi sistematsis,
3.
Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang menurut
terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interpretasi hitoris
meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut sejarah
terjadinya undang-undang.
Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kepentingan atau
kebutuhan social untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat
dijelaskan secara historis.
4.
Interpretasi Teologis atau Sosiologis
Disini hakim mencari tujuan peraturan perundang-undangan Tujuan ini
– berbeda dengan penafsiran historis menurut undang-undang yang subyektif - ditentukan secara obyektif.
Interpretasi terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyrakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan
dengan hubungan dan situasi social yang baru.
Dapatlah dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya
merupakan penafsiran teologis.
Disampaing itu dikenal interprestasi komparatif dan interpretasi antisipatif,
yaitu sebagai berikut:
o Interprestasi Komparatif
Interprestasi komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan.
Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan
mengenai undang-undang.
Pada interprestasi komparatif maka penafsiran peraturan itu
dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di
berbagai negara. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional penting. Diluar hukum internasional
kegunaan metode ini terbatas.
o Interpretasi Antisipatif atau
Futuristis
Pada
penafsiran interpretasi antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan
–peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan
undang-undang.[3]
C.
Putusan Hakim
1.
Menemukan Hukum
Bagi hakim
dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau
peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan
yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.
Contoh: Sebuah
mobil tabrakan dengan sepeda motor. Pengendara mobil dan sepeda motor saling
menyalahkan. “Saudara tidak menurut peraturan” kata yang tahu. Yang
lainnya menjawab: “Mungkin, tetapi saya tidak dapat menuntut peraturan,
karena karena perbuatan saudara saya terpaksa berbuat apa yang telah saya
lakukan”. Hakim artinya akan menemukan kesalahan dengan menilai peristiwa
itu keseluruhannya. Di dalam peristiwa itu sendiri tersimpul hukumnya.
Hakim dianggap
tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan
hakim dan bukan soalnya kedua belah pihak. Maka oleh karena itu hakim dalam
mempretimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapai alasan-alasan
yang tidak dikemukakan oleh para pihak. (Pasal 179 ayat 1 HIR dan Pasal 189
ayat 1 Rbg).
2.
Prosedur Penemuan Hukum
Kegiatan apa
sajakah yang terjadi dalam persidangan dan apa sajakah yang dilakukan oleh
hakim perdata dalam memeriksa perkara?
Penggugat dalam
gugatannya mengajukan peristiwa konkrit juga sebagai jawaban terhadap gugatan
penggugat. Dalam hal ini ada 3 kemungkinan.
(a). Tergugat
mengajukan peristiwa konkrit sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat yang
sama dengan peristiwa konkrit yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya.
(b).
Kemungkinan kedua ialah bahwa peristiwa konkrit yang diajukan oleh tergugat sama
sekali tidak sama dengan peristiwa konkrit dari penggugat, misalnya penggugat
mengemukakan tentang jual beli, sedangkan tergugat mengemukakan tentang hutang
piutang.
(c). Sedangkan
kemungkinan ketiga ialah bahwa peristiwa konkrit dari tergugat ada yang tidak
sama dengan peristiwa dari penggugat, tetapi ada juga yang sama.
Setelah
hukumnya di temukan dan kemudian undang-undangnya diterapkan pada peristiwa
hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusannya. Untuk ini harus
memperhatikan 3 faktor yang seyogyanya diterapkan secara proporsional, yaitu :
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Dalam menjatuhkan setiap putusan
hakim harus memperhatikan keadilan, kepastia hukum dan kemanfaatan. Putusan itu
harus adil,
harus mengandung kepastian hukum, tetapi putusan itu harus pula mengandung manfaat bagi yang bersangkutan dan masyarakat. Hanya memperhatikan salah satu faktor berarti mengorbankan faktor-faktor lainnya.[4]
harus mengandung kepastian hukum, tetapi putusan itu harus pula mengandung manfaat bagi yang bersangkutan dan masyarakat. Hanya memperhatikan salah satu faktor berarti mengorbankan faktor-faktor lainnya.[4]
Prosedur Penerpan/Penemuan Hukum, Sumber: slideplayer.info (oleh Prof. H. Abdul Manan) |
Sumber-sumber
untuk menemukan hukum bagi hakim ialah: perundang-undangan, hukum yang tidak
tertulis, putusan desa, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Sekalipun
kadang-kadang sukar untuk menemukan hukumnya, tetapi menerapkan ketentuan
undang-undang pada peristiwa yang telah dikemukakan pada umumnya dapat
diakatakan mudah.
Hukum yang
tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk
menemukan hukum. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27
ayat 1 UU No. 14/tahun 1970). Hakim harus memahami kenyataan sosial yang hidup
dalam masyarakat dan ia harus member putusan berdasar atas kenyataan sosial
yang hidup dalam masyarakat itu. Dalam hal ini hakim dapat meminta keterangan
dari para ahli, kepala adat atau sebagainya.[5]
Bahwa putusan
desa merupakan sumber untuk menemukan hukum bagi hakim diletakkan secara
tertulis dalam pasal 120a HIR (Pasal 143a Rbg).
Yurisprudensi
merupakan sumber hukum juga. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat pada putusan
menegenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Suatu putusan itu
hanyalah mengikat para pihak (Pasal 1917 KUHP Perdata).
Kemudian ada
beberapa pihak dalam hal ini yang menjadi sasaran hakim dalam menetapkan suatu
hukum, yaitu para pihak, masyarakat, pengadilan banding dan ilmu pengetahuan.
3.
Beberapa Aliran Dalam Menemukan Hukum Oleh Hakim
o Legismes
Pada abad
pertengahan timbullah ailran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
undang-undang pada peristiwa yang konkrit (Pasal 20, 21 Peraturan Umum
Mengenai Perundang-undangan
Untuk Indonesia/S.1847-23). Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan
metode yang dipakai adalah geometri yuridis[6].
Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh
undang-undang.
(Pasal 3
Peraturan Umum tersebut diatas). Hukum dan undang-undang adalah identik. Yang
dipentingkan di sini adalah kepastian hukum.
Ajaran ini
sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalitis dari abad ke 17 dan 18.
o Begriffsjurisprudensi
Menurut aliran
ini undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran penting, tetapi
hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Di samping undang-undang masih ada
sumber hukum lain antara lain kebiasaan.
Aliran ini
melihat hukum sebagai satu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai semua
tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu sistem azas-azas hukum serta
pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang sudah pasti untuk setiap
peristiwa konkrit. Hakim memang bebas dari ikatan undang-undang tetapi harus
bekerja dalam sistem hukum yang tertutup.[7]
o Aliran yang berlaku sekarang
Pandangan-pandangan
ekstrim tersebut diatas ternyata tidak dapat bertahan. Timbullah kemudian
aliran baru yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau
peradilan saja. Undang-undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan
oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah lengkap karena tidak mungkin mencakup
segala kehidupan manusia. Banyak hal-hal yang tidak sempat diatur oleh
undang-undang : Undang-undang banyak kekosongannya. Kekosongan ini diisi oleh
peradilan. Dengan jalan penafsiran hakim mengisi kekosongan undang-undang itu.
Di samping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam
masyarakat, yaitu hukum kebiasaan.
Pekerjaan hakim
kecuali bersifat praktis rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya
menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan
pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar putusannya.[8]
D.
Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari
dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang
tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga
didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa :
a.
Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan
istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga
dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b. Adakalanya
istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan
perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan
lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam
masyarakat;
Adakalanya terjadi
suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah
tersebut.
Dalam
menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi
hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan
hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum
yang sedang dihadapi.
Persoalan pokok
yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
1. Unsur
sistem hukum, meliputi :
Hukum
undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara
tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
Hukum kebiasaan
yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya
kedamaian.
Hukum
Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
Hukum Traktat :
hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
Hukum Ilmiah
(ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
2.
Pembidangan sistem hukum
Ius Constitutum
(hukum yang kini berlaku).
Ius
Constituendum (hukum yang kelak berlaku)
Dasar pembedaannya
adalah ruang dan waktu
3.
Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum
Masyarakat
hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya kedamaian.
Subyek hukum
Hukum dan
kewajiban
Peristiwa hukum
Hubungan hukum
; sederajat dan timpang
Obyek hukum
Pengertian
butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya hukum yang merupakan
bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari
manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang
menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum
tidak diperlukan.
E.
Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia
Indonesia dalam
perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum
civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua
sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di
dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum lainnya
yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law) dan sistem
hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil, akibat
penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui
kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum
tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amandemen) yang menyatakan : “segala badan
negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan
aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh
Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law.
Salah satu
karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis
dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan
aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka
difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam
menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum
apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di
dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut
ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak
yang bersengketa.
Pengunaan
aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala
tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat
dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat
selalu dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu
masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas
masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal
yang esensial demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan
hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan
menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di
masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa
memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika
tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of
justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat
menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.
Untuk
menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk
mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun
demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan.
Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari
kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication
function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making
function). Sehingga diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum
(rechtsvinding) oleh hakim dengan menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di
dalam keluarga-keluarga sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari keluarga
hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem Eropa Kontinental ini, mengutamakan
hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem hukum eropa
kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai . Pemikiran
kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 – 19. Untuk
melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian
hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih
lanjut pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum
(algemeen). Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua,
undang-undang harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan
pandangan ini Pemerintah dan Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas
untuk menerapkan undang-undang (secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem
eropa continental, sistem anglo saxon yang biasa disebut dengan sistem common
law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di
dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini merupakan keputusan-keputusan hakim
mengenai suatu perkara konkret yang kemudian putusan tersebut menciptakan
kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi hakim-hakim berikutnya
di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan
perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris kemudian ke
daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat,
Canada, Australia dan lain-lain. Namun demikian, pada perkembangannya kedua
sistem hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai
dengan peranan yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi
sistem common law dan sebaliknya peranan yang signifikan pula dari
yurisprudensi dalam sistem Eropa Kontinental.
Makin besarnya
peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal, diantaranya
ialah :
a.
Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah
diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis,
bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;
b.
Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena
kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
Struktur dan
sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga memungkinkan untuk
diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya; dan
d.
Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan.
Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk
membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat.
Tetapi tidak
berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung
masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah :
a.
Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan
peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan
peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu.
Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya
maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat.
Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan
kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri
akan “terpaksa” menerima peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah
ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat
dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan
masyarakat;
b.
Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala
peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut
kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan
peraturan perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran
Cicero-ubi societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum.
Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum
apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak ada.
Kelemahan-kelemahan
dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep
penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang
menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim melakukan penemuan
hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmungkinan dari apa
yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan pandangan dari
positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa “tidak mungkin terdapat suatu
kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu kepada
suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas secara
hukum. sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan kebebasan
pribadinya”. Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum sangat
mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of
justice) dimana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah
masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat. Kebangkrutan
keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi dimana hukum tidak dapat
menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
Melihat dua
pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini adalah
mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun
konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan
fakta-fakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian
dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di
dalam masyarakat akibat proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan
sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang menyatakan terjadinya kekosongan
hukum dapat menimbulkan kebangkrutan keadilan titik tekannya adalah kehidupan
yang selalu berkembang di dalam masyarakat, memungkinkan hukum selalu
tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh
karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi
antara kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok
dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh
hukum.
Pada konteks
tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum adalah
hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber hukum
satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan hakim yang
lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka mengisi
kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan
penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal
ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau penemuan hukum
(rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana dalam Pasal 16 ayat (1),
dinyatakan sebagai berikut :
“pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pada Pasal 16
ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa
hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar
hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di
perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun demikian, persoalan yang
muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki
kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti
di dalam hukum common law.
Pengertian
judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim
memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang
didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini
benar-benar membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum
maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim
terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara
hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan ketidakadlian maka
hakim harus menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas
membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam konteks
tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum didasarkan
pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada
ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas
tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan
bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat istiadat di
dalam masyarakat, oleh karenanya ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi.
Ajaran kedua memandang hukum dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan
kodrati yang sudah ada untuk manusia, ketentuan kodrati ini tertuang di dalam
kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan dan
moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Dan ajaran
ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak hanya
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih dari
itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks mengoreksi dan
jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan membentuk
norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.
Pada konteks
hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana dimaksud
di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut :
(1).
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat.
(2).
Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat
yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat
dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan
hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal
ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas
(vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih
terikat oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di posisikan
sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari
aturan perundang-undangan tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan
aturan hukum yang ada sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat,
yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis.
Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat sangat
identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam masyarakat. Namun tidak
sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga dapat
ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan
tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang
tidak dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara.
Salah satu
contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia, misalnya
dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining
(peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi
mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman
kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang
unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau
mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian,
yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921,
564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan
status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus oleh
Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973
dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.
Penemuan hukum
secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang
menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu
menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor
di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam
suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat
menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi
kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena
kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri
dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum
adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam
konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek
lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem
formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha
mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari
hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga
hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip).
Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut
konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan
argumentum a contrario.
Di dalam
melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa
prinsip di bawah ini :
1.
Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara
literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut
harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
2.
Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara
terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal
dari bagiannya.
3.
Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks,
keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek
objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum
tersebut dan terutama dari pembuat hukum tersebut;
4.
Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks
hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
Keempat prinsip
tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam
rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam
masyarakat dapat terjalin secara baik.[9]
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah tentang penemuan hukum, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penemuan
hukum merupakan pembentukan atau putusan
hakim yang dialakukan oleh hakim atau petugas hukum lainnya dalam menyelesaikan
masalah yang konkrit. Di dalam peristilahan penemuan hukum juga sering
disebut dengan pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum dan
penciptaan hukum. Kemudian batasannya adalah bahwa tentang penemuan
hukum ini dibatasi penemuan hukum oleh hakim. Dan sistem penemuan hukum bahwa hakim dalam menetapkan suatu perkara
harus berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dan dasar hukum positif
pada pasa; 27 UU no. 14 tahun 1970, yang berbunyi: Hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
2.
Sumber
penemuan hukum adalah sebagai
sumber utama penemuan hukum bahwa peraturan perundang-undangan, kemudian hukum
kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. Kemudian, metode
penemuan hukum di bagi 4 yaitu: interpretasi gramatikal, sistematis,
hitoris dan teologis. Disamping itu dikenal interprestasi komparatif dan
interprestasi antisipatif.
3.
Kemudian
mengenai putusan hakim bahwa yang menemukan hukum bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang
dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.
Kemudian, prosedur dalam penemuan hukum yaitu: peristiwa yang diajukan
dalam gugatan penggugat – peristiwa yang diajukan dalam jawaban tergugat –
peristiwa konkrit yang harus dibuktikan – peristiwa konkrit, yang dikonstatir –
peristiwa konkrit – peristiwa hukum dan terahir keputusan yang penerapannya
berdasarkan undang-undang. Dan aliran dalam menemukan hukum oleh hakim
yaitu: legisme, begriffsjurisprudenz dan aliran yang berlaku sekarang.
4.
Kegunaan
dari penemuan hukum adalah mencari
dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang
tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga
didalam masyarakat.
5.
Penemuan
Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia bahwa Indonesia dalam perspektif
keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil law yang
sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Dan hukum positif Indonesia bersumber kepada hukum islam, hukum
belanda dan hukum adat.
DAFTAR
ISI
Algra, Mr. N.E,. 1975. Rechtsaanvang, Drukkerij Elinkwijk.
Utrecht.
Apeldoorn. 1954. Inleiding tot de studie van het Nederlandse
Recht. Zwolle: Tjeenk Wilink.
Sanusi, Achmad. 1977. Pengantar ilmu hukum dan pengantar tata
hukum Indonesia. Bandung: Tarsito.
Supomo. 1958. Hukum acara
perdata negeri. Jakarta: Fasco.
Mertokusomo, Sudikno. 1996. Penemuan hukum sebuah pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
. 1975. Tugas hakim dan pembangunan. Yogyakarta:
Ceramah dalam pecan ceramah Fakultas Hukum UGM.
. Pitlom,
Mr. A. 1993. , Bab-bab tentang penemuan hukum. Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/penemuan-hukum-atau-rechtsvinding/.
Diakses sabtu, 20/4/13, jam 22.00, Online.
[1] Algra, Rechtsaanvang, Drukkerij Elinkwij BV,
Utrecht, 1975, hlm. 219.
[3]
Ibid, hlm. 48-61.
[4]
Sudikno Mertokusumo, dan Mr. A.pitlo, Bab-bab tentang penemuan hukum,
Penerbit Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 32-36.
[5] Supomo, Hukum acara perdata negeri,
Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 128.
[6]
Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, W.E.J.
Tjeenk Wilink, Zwolle, 1954, hal 301.
[7] Achmad Sanusi, Pengantar ilmu hukum dan
pengantar tata hukum Indonesia, Penerbit Tarsito, Bandung, 1977, hlm. 53.
[8] Sudikno Mertokusumo, Tugas hakim dan
pembangunan, ceramah dalam pecan ceramah Fakultas Hukum UGM, 31 Agustus
1975.