Monday, 16 November 2015

Penemuan Hukum (Rechtsvinding) - Ilmu Hukum

PENEMUAN HUKUM- (Rechtsvinding) 
Oleh Iswahyudi, SH

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit).
Penemuan hukum bukanlah merupakan ilmu baru, tetapi telah lama dikenal dan dipraktekan selama ini oleh hakim, pembentuk undang-undang dan para sarjana hukum yang tugasnya memecahkan  masalah-masalah hukum. Dalam literatur Belanda telah banyak ditulis orang mengenai penemuan hukum (retchtsvinding) ini.
Penemuan hukum pada dasarnya merupakan kegiatan dalam praktek hukum (hakim, pembentuk undang-undang dan sebagainya). Akan tetapi penemuan hukum tidak dapat dipisahkan dari ilmu (teori) hukum. Kalaupun secara historis teoritis praktek hukum itu lahirnya lebih dulu dari ilmu hukum, tetapi dalam perkembangannya praktek hukum memerlukan landasan teoritis dari ilmu hukum, sebaliknya ilmu hukum memerlukan materialnya dari praktek hukum. Jadi dalam prakteknya praktek hukum dan ilmu hukum itu saling memerlukan satu sama lain. Oleh karena itu, perlu kita kiranya mengetahui tentang penemuan hukum dan pada makalah ini akan di bahasa mengenai berbagai aspek di dalam penemuan hukum.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.      Apa sajakah dari peristilahan, batasan, sistem penemuan hukum dan dasar hukum positif dari penemuan hukum?
2.      Apa sajakah sumber dan metode penemuan hukum?
3.      Bagaimanakah berbagai aspek yang menyangkut tentang putusan hakim?
4.      Apa kegunaan dari penemuan hukum?
5.      Bagaimanakah penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia?

                                                                            BAB 2
PEMBAHASAN

A.    Penemuan Hukum
1.      Peristilahan
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhada peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit.[1]
Sering dipermasalahkan mengenai istilah “penemuan hukum”; apakah tidak lebih tepat istilah pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum atau penciptaan hukum.
Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya sengketa dan pelanggaran. Ini meliputi meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga negara setiap hari yang sering tidak di dasarinya dan juga oleh aparat negara, seperti misalnya seorang polisi yang berdiri diperempatan jalan mengatur lalu lintas (law enforcement).
Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan (peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan (peraturan) hukum pada peristiwa konkrit secara langsung tidak mungkin.
Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum, bagi setiap orang. Lazimnya pembuntikan hukum ini di lakukan oleh pembuat peraturan undang-undang dan hakim.
Sedangkan istilah penciptaan hukum kiranya kurang tepat, karena member kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan: dari tidak ada menjadi ada. Hukum bukanlah selalu berupa kaedah baik tertulis maupun tidak, tetapi dapat berupa prilaku atau peristiwa. Didalam prilaku itulah terdapat hukumnya. Dari perilaku itulah harus dipertemukan atau digali kaedah atau hukumnya (lihat pasal 27 UU no. 14 tahun 1970). Maka kiranya istilah penemuan hukumlah yang tepat.
2.      Batasan
Kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga ta’ mungkin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Oleh kerana itu, hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan diketemukan.
Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, ajaran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad 19 dikenal dengan hermeunitik yuridis (hermeneutika =ilmu penafsiran).
Apa yang dimaksud penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.
Menemukan hukum merupakan karya manusia dan ini berarti antara lain bahwa setiap penerapan hukum selalu didahului oleh seleksi subyektif mengenai peristiwa-peristiwa dan peraturan-peraturan yang relevan.
Problematika dengan penemuan hukum pada umumnya dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Terutama hakim melakukan penemuan hukum, karena tiap harinya ia dihadapkan pada peristiwa konkrit atau konflik untuk diselesaikannya, Jadi sifatnya konfliktif. Selanjutnya pembentuk undang-undangpun melakukan penemuan hukum juga. Bedanya penemuan hukum oleh hakim ialah bahwa hakim menghadapi peristiwa konkrit atau konflik, sedangkan pembentuk undang-undang tidak. Yang dihadapi oleh pembentuk undang-undang bukanlah pertanyaan “Bagaimanakah saya seyogyanya menyelesaikan konflik kongkrit ini?” atau memecahkan peristiwa abstrak tertentu (yang belum terjadi, tetapi besar kemungkinannya akan terjadi) diwaktu mendatang?”. Jadi sifatnya adalah perspektif.
Selanjutnya dosen serta peneliti hukum melakukan penemuan hukum juga sifatnya teoritis, sehingga hasil penemuan hukumnya bukan merupakan hukum, melainkan merupakan sumber hukum (doktrin).
Uraian tentang penemuan hukum ini dibatasi pada penemuan hukum oleh hakim.

3.      Sistem Penemuan Hukum
Apa pada hakekatnya yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi peristiwa konkrit, kasus atau konflik? Ia harus memecahkan atau menyelesainkannya dan untuk itu ia harus tahu mencari atau menemukan hukumnya untuk diterapkan pada kasusnaya.
Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montoesquite dank ant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah atau tidak pula dapat menguranginya.  Oleh Karen itu demi kepastian hukum, ketentuan hukum serta kebebasan warga negara yang terancam oleh kebebasan hakim, hakim harus ada dibawah undang-undang.  
Pasal 20 AB dan 21 AB berasal dari pandangan tersebut diatas. Bunyi pasal 20 AB adalah seperti brikut: “Hakim harus mengadili menurut undang-undang, ia dilarang menilai isi dan keadilan dari undang-undang” . Oleh karena itu hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara (pasal 14 UU no. 14 tahun 1970, 22 AB).
Kemudian bunyi pasal 21 AB adalah seperti berikut: Hakim dilarang, berdasarkan peraturan umum, penetapan atau peraturan atau memutuskan yang tergantung padanya. Ini berarti bahwa hakim hanya boleh memriksa dan mengadili peristiwa konkrit dan tidak boleh menciptakan peraturan-peraturan umum dalam putusannya. Keunggulan undang-undang tampak dari pasal 21 A, yaitu bahwa putusan hanya berlaku bagi peristiwa konkrit dan tidak member kekuatan umum atau memberlakukan secara umum untuk situasi-situasi semacam itu. Ini berarti hakim tidak boleh menempatkan diri sebagai pembentuk undang-undang. Ia hanya boleh memeriksa dan memutus perkara konkrit dan tidak boleh membuat peraturan yang mengikat umum.
Menurut pandangan klasik ini semua hukum terdapat secara lengkap dan sistematis dalam undang-undang dan tugas hakim adalah mengadili sesuai atau menurut bunyi undang-undang. Oleh karena itu dapat difahami bahwa pasal 15 AB mengatakan bahwa kebiasaannya merupakan sumber hukum kalau undang-undang menetapkan demikian.

4.      Dasar Hukum Positif
Dalam pasal 1 UU no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. “Merdeka” di sini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Yang dimaksudkan dengan kebebasan peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur  tangan dari pihak ekstra yudisiil.
Sebagaimana telah diketengahkan di muka maka asas mengenal pengecualian, penyimpangan atau pembatasan.
Penemuan hukum, di samping didasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menemukan dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada pasal 27 UU no. 14 tahun 1970, yang berbunyi: Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya tidak ada, tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten mengatakan bahwa di dalam prilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berprilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukanya.[2]

B.     Sumber dan Metode Penemuan Hukum
1.      Sumber Penemuan Hukum
Sumber penemuan hukum tidak lain adalah sumber atau tempat terutama bagi hakim dapat menemukan hukumnya.
Sumber utama penemuan hukum adalah peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. Jadi terdapat hirarkhi atau kewerdaan dalam sumber hukum, ada tingkatan-tingkatan.
Dalam ajaran penemuan hukum undang-undang diprioritaskan atau didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya, Kalau hendak mencari hukumnya, arti sebuah kata, maka dicarilah terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat otentik dan berbentuk tertulis, yang lebih menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, kalau hendak mencari undang-undang seyogyanya dicari dalam Lembaran Negara.
Seperti telah diketahui undang-undang itu terdiri dari konsiderans, diktum dan ketentuan peralihan. Konsiderans berisi pertimbangan mengapa diterbitkan undang-undang yang bersangkutan. Pada umumnya alinea-alinea dalam konsiderens diawali dengan “Menimbang …………..”Membaca ………..”,”Mengingat ………..” atau “Berpendapat  ……….”. Yang akhir ini disebut desideratum. Diktum merupakan bagian utama undang-undang yang berisi pasal-pasal. Bagian terahir undang-undang ialah ketentuan peralihan, yang fungsinya untuk memelihara kesinambungan berlakunya kaedah hukum, mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum).
Oleh karena itu membaca undang-undang tidaklah cukup dengan membaca pasal-pasalnya saja, tetapi harus pula dibaca penjelasan penjelasannya dan juga konsideransinya.
Kalau ternyata dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuannya atau jawabannya, maka barulah kita mencari dalam hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan adalah hukum yang tidak tertulis. Untuk menemukannya harus dengan cara bertanya kepada warga atau tokoh masyarakat yang dianggap tahu.
Kemudian apabilah hukum kebiasaan ternyata tidak member jawaban, maka di cari didalam yurisprudensi. Yurisprudensi dapat berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi dan yang pada umumnya diberi annotatie oleh pakar dibidang peradilan.
Contoh yusrisprudensi sebagai sumber penemuan hukum dapat dikemukakan mengenai “fiducia”. Dalam hal gadai, apabila benda gadai dibiarkan tetap dalam kekuasaan yang berhutang atau pemberi gadai adalah tidak sah (pas. 1152 KUHPPerd). Akan tetapi dalam dalam hal fiducia, barang jaminan (“gadai”) boleh ada di tangan peminjam uang (pemberi jaminan).
Kemudian putusan hakim terdiri dari kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa”. Didalam perkara perdata lazimnya pertimbangan tentang duduknya perkara diuraikan terpisah dari pertimbangan tentang hukumnya, sedangkan didalam putusan pidana kedua pertimbangan itu terjalin menjadi satu. Dalam bagian deklaratif dari amar diuraikan tentang hubungan hukum atau peristiwa hukumnya, sedangkan dalam bagian dispositif diuraikan tentang pokok putusannya.

2.      Metode Penemuan Hukum
Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan tidak pula lengkap. Oleh karena itu, harus diketemukan hukumnya dengan menjelasakan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangangannya. Untuk menemukan hukumnya tersedia beberapa metode penemuan hukum.
Dalam metode penafsirannya sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu sebagai brikut:
1.      Interpretasi Gramatikal
Hukum memerlukan bahasa. Hukum ta’ mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjianpun diperlukan bahasa.
Untuk menegatahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Disini arti atau makna ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskna menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penemuan hukum ini disebut

interprestasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan dengan metode interprestasi yang lain.

2.      Interpretasi Sistematis atau Logis
Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Diluar sistem hukum, lepas dari hubungannnya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak mempunyai arti.
Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematis.
Dalam penafsiran sistematis hukum dilihat oleh hakim sebagai suatu kesatuan, sebagai sistem peraturan. Satu peraturan tidak dilihatnya sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem. Jadi kalu rumusan atau interprestasi suatu peraturan didasarkan pada letak peraturan itu dalam keseluruhan sistem peraturan, maka disebut interpretasi sistematsis,

3.      Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interpretasi hitoris meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut sejarah terjadinya undang-undang.
Undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kepentingan atau kebutuhan social untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia yang dapat dijelaskan secara historis.
4.      Interpretasi Teologis atau Sosiologis
Disini hakim mencari tujuan peraturan perundang-undangan Tujuan ini – berbeda dengan penafsiran historis menurut undang-undang yang subyektif  - ditentukan secara obyektif.
Interpretasi terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyrakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi social yang baru.
Dapatlah dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya merupakan penafsiran teologis.


Disampaing itu dikenal interprestasi komparatif dan interpretasi antisipatif, yaitu sebagai berikut:
o   Interprestasi Komparatif
Interprestasi komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan mengenai undang-undang.
Pada interprestasi komparatif maka penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai negara. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian  internasional penting. Diluar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas.
o   Interpretasi Antisipatif atau Futuristis
Pada penafsiran interpretasi antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan –peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.[3]

C.    Putusan Hakim
1.      Menemukan Hukum
Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.
Contoh: Sebuah mobil tabrakan dengan sepeda motor. Pengendara mobil dan sepeda motor saling menyalahkan. “Saudara tidak menurut peraturan” kata yang tahu. Yang lainnya menjawab: “Mungkin, tetapi saya tidak dapat menuntut peraturan, karena karena perbuatan saudara saya terpaksa berbuat apa yang telah saya lakukan”. Hakim artinya akan menemukan kesalahan dengan menilai peristiwa itu keseluruhannya. Di dalam peristiwa itu sendiri tersimpul hukumnya.
Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Soal menemukan hukumnya adalah urusan hakim dan bukan soalnya kedua belah pihak. Maka oleh karena itu hakim dalam mempretimbangkan putusannya wajib karena jabatannya melengkapai alasan-alasan yang tidak dikemukakan oleh para pihak. (Pasal 179 ayat 1 HIR dan Pasal 189 ayat 1 Rbg).
2.      Prosedur Penemuan Hukum
Kegiatan apa sajakah yang terjadi dalam persidangan dan apa sajakah yang dilakukan oleh hakim perdata dalam memeriksa perkara?
Penggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkrit juga sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat. Dalam hal ini ada 3 kemungkinan.
(a). Tergugat mengajukan peristiwa konkrit sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat yang sama dengan peristiwa konkrit yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya.
(b). Kemungkinan kedua ialah bahwa peristiwa konkrit yang diajukan oleh tergugat sama sekali tidak sama dengan peristiwa konkrit dari penggugat, misalnya penggugat mengemukakan tentang jual beli, sedangkan tergugat mengemukakan tentang hutang piutang.
(c). Sedangkan kemungkinan ketiga ialah bahwa peristiwa konkrit dari tergugat ada yang tidak sama dengan peristiwa dari penggugat, tetapi ada juga yang sama.
Setelah hukumnya di temukan dan kemudian undang-undangnya diterapkan pada peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusannya. Untuk ini harus memperhatikan 3 faktor yang seyogyanya diterapkan secara proporsional, yaitu : keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Dalam menjatuhkan setiap putusan hakim harus memperhatikan keadilan, kepastia hukum dan kemanfaatan. Putusan itu harus adil,
harus mengandung kepastian hukum, tetapi putusan itu harus pula mengandung manfaat bagi yang bersangkutan dan masyarakat. Hanya memperhatikan salah satu faktor berarti mengorbankan faktor-faktor lainnya.[4]
Untuk lebih mudah memperoleh gambaran tentang prosedur penerapan/penemuan hukum lihatlah pada bagan berikut:
Image result for prosedur penemuan hukum
Prosedur Penerpan/Penemuan Hukum, Sumber: slideplayer.info (oleh Prof. H. Abdul Manan)
Sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim ialah: perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan desa, yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Sekalipun kadang-kadang sukar untuk menemukan hukumnya, tetapi menerapkan ketentuan undang-undang pada peristiwa yang telah dikemukakan pada umumnya dapat diakatakan mudah.
Hukum yang tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat merupakan sumber bagi hakim untuk menemukan hukum. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 ayat 1 UU No. 14/tahun 1970). Hakim harus memahami kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat dan ia harus member putusan berdasar atas kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat itu. Dalam hal ini hakim dapat meminta keterangan dari para ahli, kepala adat atau sebagainya.[5]
Bahwa putusan desa merupakan sumber untuk menemukan hukum bagi hakim diletakkan secara tertulis dalam pasal 120a HIR (Pasal 143a Rbg).
Yurisprudensi merupakan sumber hukum juga. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat pada putusan menegenai perkara yang sejenis yang pernah diputuskan. Suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak (Pasal 1917 KUHP Perdata).
Kemudian ada beberapa pihak dalam hal ini yang menjadi sasaran hakim dalam menetapkan suatu hukum, yaitu para pihak, masyarakat, pengadilan banding dan ilmu pengetahuan.

3.      Beberapa Aliran Dalam Menemukan Hukum Oleh Hakim
o   Legismes
Pada abad pertengahan timbullah ailran yang berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit (Pasal 20, 21 Peraturan Umum
Mengenai Perundang-undangan Untuk Indonesia/S.1847-23). Hakim hanyalah subsumptie automaat, sedangkan metode yang dipakai adalah geometri yuridis[6]. Kebiasaannya hanya mempunyai kekuatan hukum apabila ditunjuk oleh undang-undang.
(Pasal 3 Peraturan Umum tersebut diatas). Hukum dan undang-undang adalah identik. Yang dipentingkan di sini adalah kepastian hukum.
Ajaran ini sesuai dengan hukum kodrat yang rasionalitis dari abad ke 17 dan 18.
o   Begriffsjurisprudensi
Menurut aliran ini undang-undang sekalipun tidak lengkap tetap mempunyai peran penting, tetapi hakim mempunyai peran yang lebih aktif. Di samping undang-undang masih ada sumber hukum lain antara lain kebiasaan.
Aliran ini melihat hukum sebagai satu sistem atau kesatuan tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial. Dasar dari hukum adalah suatu sistem azas-azas hukum serta pengertian dasar yang menyediakan kaedah yang sudah pasti untuk setiap peristiwa konkrit. Hakim memang bebas dari ikatan undang-undang tetapi harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup.[7]

o   Aliran yang berlaku sekarang
Pandangan-pandangan ekstrim tersebut diatas ternyata tidak dapat bertahan. Timbullah kemudian aliran baru yang berpendapat bahwa sumber hukum tidak hanya undang-undang atau peradilan saja. Undang-undang yang merupakan peraturan umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang itu tidaklah lengkap karena tidak mungkin mencakup segala kehidupan manusia. Banyak hal-hal yang tidak sempat diatur oleh undang-undang : Undang-undang banyak kekosongannya. Kekosongan ini diisi oleh peradilan. Dengan jalan penafsiran hakim mengisi kekosongan undang-undang itu. Di samping undang-undang dan peradilan masih terdapat hukum yang tumbuh di dalam masyarakat, yaitu hukum kebiasaan.
Pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar putusannya.[8]

D.    Kegunaan Penemuan Hukum
   Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa :
a.  Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b.  Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan didalam masyarakat;
Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perudang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.
Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
1.  Unsur sistem hukum, meliputi :
Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian.

Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
2.  Pembidangan sistem hukum
Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku).
Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)
Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu
3.  Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum
Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang tujuannya kedamaian.
Subyek hukum
Hukum dan kewajiban
Peristiwa hukum
Hubungan hukum ; sederajat dan timpang
Obyek hukum
Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya  hukum yang merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan.

E.     Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia
Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Kedua sistem hukum ini merupakan dua sistem hukum utama yang banyak diterapkan di dunia, namun selain dua sistem hukum tersebut terdapat beberapa hukum lainnya yang diterapkan di dunia yakni sistem hukum Islam (Islamic Law) dan sistem hukum komunis (Communist Law). Indonesia menganut sistem hukum sipil, akibat penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama kurun waktu 350 tahun melalui kebijakan bewuste rechtspolitiek, yang kemudian pasca kemerdekaan tata hukum tersebut diresepsi menjadi tata hukum nasional Indonesia melalui Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II (Pra Amandemen) yang menyatakan : “segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Oleh karenanya, keberadaan lembaga dan aturan-aturan yang ada merupakan lembaga dan aturan-aturan yang dibawa oleh Belanda yang merupakan negara yang menganut sistem civil law.
Salah satu karakteristik utama dari civil law ialah penggunaan aturan-aturan yang tertulis dan terbukukan (terkodifikasi) sebagai sumber hukumnya. Untuk menerjemahkan aturan-aturan hukum tersebut, kepada peristiwa-peristiwa konkret, maka difungsikanlah seorang hakim. Seorang hakim memiliki kedudukan pasif di dalam menerapkan aturan hukum tersebut, dia akan menerjemahkan suatu aturan hukum apabila telah terjadi sengketa diantara individu satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat yang kemudian hasil terjemahan aturan hukum tersebut ditetapkan di dalam suatu putusan pengadilan yang mengikat pada pihak-pihak yang bersengketa.
Pengunaan aturan hukum tertulis di dalam civil law, terkadang memiliki kendala-kendala tertentu. Salah satu kendala utama ialah, relevansi suatu aturan yang dibuat dengan perkembangan masyarakat. Hal ini dikarenakan akitivitas masyarakat selalu dinamis, oleh karenanya segala aturan hukum yang dibentuk pada suatu masa tertentu belum tentu relevan dengan masa sekarang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aturan hukum selalu berada satu langkah dibelakang realitas masyarakat. Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal yang esensial demi terciptanya keadilan dan ketertiban di masyarakat. Aturan hukum yang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan, dan menjadi persoalan karena tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada di masyarakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa hukum harus bisa memecahkan suatu persoalan dari suatu realitas baru masyarakat. Sehingga jika tidak, akan menyebabkan terjadinya apa yang disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu kepada kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, maka diberikanlah kewenangan kepada hakim untuk mampu mengembangkan hukum atau melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), namun demikian dalam konteks sistem hukum civil law hal ini menjadi suatu persoalan. Hakim pada prinsipnya merupakan corong dari undang-undang, dimana peranan dari kekuasaan kehakimanan hanya sebagai penerap undang-undang (rule adjudication function) yang bukan merupakan kekuasaan pembuat undang-undang (rule making function). Sehingga diperlukan batasan-batasan mengenai penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim dengan menggunakan konstruksi hukum, Indonesia di dalam keluarga-keluarga sistem hukum dunia, termasuk salah satu dari keluarga hukum Eropa Kontinental (civil law). Sistem Eropa Kontinental ini, mengutamakan hukum tertulis dan terkodifikasi sebagai sendi utama dari sistem hukum eropa kontinental ini, oleh karenanya sering pula disebut sebagai . Pemikiran kodifikasi ini dipengaruhi oleh konsepsi hukum abad ke-18 – 19. Untuk melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan sewenang-wenang dan demi kepastian hukum, kaidah-kaidah hukum harus tertulis dalam benruk undang-undang. Lebih lanjut pemikiran ini menyatakan bahwa, suatu undang-undang harus bersifat umum (algemeen). Umum baik mengenai waktu, tempat, orang atau obyeknya. Kedua, undang-undang harus lengkap, tersusun dalam suatu kodifikasi. Berdasarkan pandangan ini Pemerintah dan Hakim tidak lebih dari sebuah mesin yang bertugas untuk menerapkan undang-undang (secara mekanis). Berkebalikan dengan sistem eropa continental, sistem anglo saxon yang biasa disebut dengan sistem common law merupakan sistem hukum yang menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama di dalam sistem hukumnya. Yurisprudensi ini merupakan keputusan-keputusan hakim mengenai suatu perkara konkret yang kemudian putusan tersebut menciptakan kaidah dan asas-asas hukum yang kemudian mengikat bagi hakim-hakim berikutnya di dalam memutus suatu perkara yang memiliki karakteristik yang sama dengan perkara sebelumnya. Aliran hukum ini menyebar dari daratan Inggris kemudian ke daerah-derah persemakmuran Inggris (eks jajahan Inggris), Amerika Serikat, Canada, Australia dan lain-lain. Namun demikian, pada perkembangannya kedua sistem hukum tersebut mengalami konvergensi (saling mendekat), yang ditandai dengan peranan yang cukup penting suatu peraturan perundang-undangan bagi sistem common law dan sebaliknya peranan yang signifikan pula dari yurisprudensi dalam sistem Eropa Kontinental.
Makin besarnya peranan peraturan perundang-undangan terjadi karena beberapa hal, diantaranya ialah :
a.  Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah dikenali, mudah diketemukan kembali dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis dan tempatnya jelas. Begitu pula pembuatnya;
b.  Peraturan perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;
Struktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jel sehingga memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi muatannya; dan
d.  Pembentukan dan pengembangan peraturan perundang-undangan dapat direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Tetapi tidak berarti pemanfaatan peraturan perundang-undangan tidak mengandung masalah-masalah, adapun masalah-masalah tersebut ialah :
a.  Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tata cara tertentu. Sementara itu masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya maka terjadi semacam jurang antara peraturan perundang-undangan dan masyarakat. Dalam keadaan demikian, masyarakat akan menumbuhkan hukum sendiri sesuai dengan kebutuhan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menumbuhkan hukum-hukum sendiri akan “terpaksa” menerima peraturan-peraturan perundangan-undangan yang sudah ketinggalan. Penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai itu dapat dirasakan sebagai ketidakadilan dan dapat menjadi hambatan perkembangan masyarakat;
b.  Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi segala peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum atau rechstvacuum. Barangkali yang tepat adalah kekosongan peraturan perundang-undangan bukan kekosongan huku. Hal ini dikarenakan ajaran Cicero-ubi societas ubi ius- maka tidak akan pernah ada kekosongan hukum. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme untuk menciptakan kaidah-kaidah hukum apabila “hukum resmi” tidak memadai atau tidak ada.
Kelemahan-kelemahan dari peraturan perundang-undangan inilah yang kemudian menimbulkan konsep penemuan hukum oleh hakim. Namun demikian, terdapat beberapa pandangan yang menyatakan bahwa penemuan hukum tidak diperkenankan hakim melakukan penemuan hukum. Gagasan penolakan ini lebih disebabkan oleh ketidakmungkinan dari apa yang disebut dengan kekosongan hukum. Hal ini merupakan pandangan dari positivisme Kelsen, yang menyatakan bahwa “tidak mungkin terdapat suatu kekosongan hukum dikarenakan jika tata hukum tidak mewajibkan para individu kepada suatu perbuatan tertentu, maka individu-individu tersebut adalah bebas secara hukum. sepanjang negara tidak menetapkan apa-apa maka itu merupakan kebebasan pribadinya”. Berkebalikan dengan pandangan ini, justru kekosongan hukum sangat mungkin terjadi dan akan menimbulkan kebangkrutan keadilan (bankruptcy of justice) dimana hukum tidak dapat memfungsikan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat. Kebangkrutan keadilan, merupakan konsekuensi dari kondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu sengketa yang timbul di dalam masyarakat.
Melihat dua pandangan yang saling bertentangan tersebut, maka kekosongan hukum ini adalah mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan argumentasi Kelsen yang membangun konstruksi berpikirnya hanya pada ranah logikal, namun tidak memperhatikan fakta-fakta empiris dimana hukum tidak semata-mata merupakan apa yang kemudian dinyatakan oleh negara sebagai hukum. Lebih dari itu, hukum juga terdapat di dalam masyarakat akibat proses interaksi yang sangat dinamis dari kehidupan sehari-hari. Kemudian, argumentasi dari yang menyatakan terjadinya kekosongan hukum dapat menimbulkan kebangkrutan keadilan titik tekannya adalah kehidupan yang selalu berkembang di dalam masyarakat, memungkinkan hukum selalu tertinggal satu langkah di bandingkan fakta-fakta sosial kemasyarakatan, oleh karenanya fakta sosial yang demikian dinamis kadang kala merupakan friksi antara kepentingan individu-individu, individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok dan menjadi kontraproduktif jika tidak dapat diselesaikan oleh hukum.
Pada konteks tersebut di atas kekosongan hukum yang berujung pada kebangkrutan hukum adalah hal yang dipastikan dapat terjadi, jika hanya menyatakan bahwa sumber hukum satu-satunya adalah undang-undang. Oleh karenannya, dituntut peranan hakim yang lebih besar dari pada sekedar corong undang-undang. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum ini, maka hakim memiliki kewenangan untuk melakukan penafsiran, melakukan analogi, melakukan penghalusan hukum dan lain-lain. Hal ini kemudian yang sering diistilahkan jugde made law atau penemuan hukum (rechtsvinding). Konsep ini di Indonesia, diakomodir di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor : 4 Tahun 2004 dimana dalam Pasal 16 ayat (1), dinyatakan sebagai berikut :
“pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pada Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara atas dasar ketiadaan dasar hukum. Sehingga dalam konteks hukum Indonesia kebangkrutan hukum tidaklah di perbolehkan, dengan adanya ketentuan ini. Pasal 16 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang sebelumnya ada pada Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakiman. Namun demikian, persoalan yang muncul adalah mengenai apakah hakim dalam konteks penemuan hukum memiliki kesamaan pengertian dengan konsep hakim membuat hukum (judge made law) seperti di dalam hukum common law.
Pengertian judge made law dalam pengertian sistem hukum common law, ialah bahwa hakim memiliki peranan di dalam membentuk suatu norma hukum yang mengikat yang didasarkan pada kasus-kasus konkrit, sehingga hukum di dalam pengertian ini benar-benar membentuk suatu norma hukum baru, guna mencapai kepastian hukum maka dikembangkanlah sistem precedent, dimana hakim terikat dengan keputusan hakim terdahulu menyangkut suatu perkara yang identik. Apabila dalam suatu perkara hakim di dalam menerapkan precedent justru akan melahirkan ketidakadlian maka hakim harus menemukan faktor atau unsur perbedaannya. Dengan demikian ia bebas membuat putusan baru yang menyimpang dari putusan lama.
Dalam konteks tersebut sistem Eropa Kontinental khususnya Belanda, penemun hukum didasarkan pada ajaran menemukan hukum dengan bebas (vrije rechtsvinding), yang pada ajaran tersebut terbagi menjadi tiga ajaran menyangkut dimanakah hukum bebas tersebut dapat ditemukan. Ajaran pertama yang dimotori oleh Hamaker menyatakan bahwa hukum bebas dapat ditemukan dengan menggalinya dari adat istiadat di dalam masyarakat, oleh karenanya ajaran ini disebut pula ajaran aliran sosiologi. Ajaran kedua memandang hukum dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan kodrati yang sudah ada untuk manusia, ketentuan kodrati ini tertuang di dalam kitab-kitab suci dan perenungan-perenungan kefilsafatan tentang keadilan dan moralitas, oleh karenanya, hukum ini disebut dengan hukum kodrat. Dan ajaran ketiga ialah ajaran yang menghendaki hakim dalam menemukan hukum, tidak hanya berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada namun lebih dari itu, hakim di dalam menemukan hukum harus juga dalam konteks mengoreksi dan jika perlu membatalkan peraturan perundang-undangan tersebut dan membentuk norma hukum baru, aliran ini disebut juga rechter-koningschap.
Pada konteks hukum positif tampaknya kewenangan hakim menemukan hukum sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 14 ayat (1) undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus ditafsirkan secara sistematis dengan Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut :
(1).  Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
(2).  Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dari kedua ayat dalam pasal tersebut, dengan jelas dinyatakan hakim menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat dan memperhatikan hal-hal yang baik dan jahat dari terdakwa sebelum memutus suatu perkara. Hal ini menunjukan bahwa, Indonesia memang menganut ajaran penemuan hukum bebas (vrije rechstvinding), namun menyangkut hukum bebas tersebut hakim masih terikat oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga hukum bebas di posisikan sebagai tambahan dari aturan perundang-undangan dia tidak dapat menyimpang dari aturan perundang-undangan tersebut, akan tetapi hakim dapat mengkontekskan aturan hukum yang ada sesuai dengan rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat, yang merupakan inti dari ajaran penemuan hukum bebas yang beraliran sosiologis. Hukum bebas dalam pengertian rasa keadilan dan nilai-nilai masyarakat sangat identik dengan hukum agama dan adat yang ada di dalam masyarakat. Namun tidak sebatas itu, tafsir rasa keadilan dan nilai-nilali masyarakat juga dapat ditafafsirkan di dalam dinamika sosial kemasyakatan. Dimana aspek tuntutan dan tekanan masyarakat, mengenai mana yang adil dan tidak adil menjadi aspek yang tidak dapat diabaikan dalam memutus suatu perkara.
Salah satu contoh penemuan hukum yang menjadi preseden di dalam hukum Indonesia, misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining (peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (ekstensif) di dalam definisi mengenai barang dalam Pasal 378 oleh Bintan Siregar kemudian pada zaman kolonial dengan beberapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang unsur-unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin sebagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973 dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.
Penemuan hukum secara operasional dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan penafsiran, yang menggunakan asas-asas logika. Namun demikian, penafsiran tidak melulu menggunakan asas-asas logika, terdapat pula aspek-aspek lain yang menjadi faktor di dalam menentukan suatu keputusan hakim menyangkut penerapan hukum ke dalam suatu perkara. Faktor-faktor yang sifatnya non logikal dan non yuridis, dapat menghaluskan hukum (rechstvervijning), dimana hukum tidak menjadi keras bagi kelompok-kelompok tertentu. Misalkan seorang pencuri yang didesak karena kebutuhan ekonominya tentu akan berbeda hukumannya dengan pencuri yang mencuri dikarenakan ketamakan. Sehingga adagium lex dura, sed tamen scripta (hukum adalah keras, tetapi memang demikian bunyinya) menjadi tidak relevan di dalam konteks ini. Keseluruhan operasi logika dan penafsiran menggunakan aspek-aspek lainnya, ditujukan untuk mengisi ruang kosong yang terdapat di dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materil dari hukum. Dengan mencari persamaan dalam sistem materil yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan, sehingga membentuk pengertian hukum (rechtsbegrip). Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario.
Di dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengikuti beberapa prinsip di bawah ini :
1.  Prinsip objektivitas : penafsiran hendaknya berdasarkan pada arti secara literal dari aturan hukum dan berdasarkan hakekat dari aturan hukum tersebut harus dibuat sejelas mungkin untuk perkembangan selanjutnya.
2.  Prinsip kesatuan : setiap norma harus dibaca dengan teks dan tidak secara terpisah. Bagian harus berasal dari keseluruhan dan keseluruhan harus berasal dari bagiannya.
3.  Prinsip penafsiran genetis : selama melakukan penafsiran terhadap teks, keberadaan teks asli harus dijadikan pertimbangan, terutama dalam aspek objektifitas, tata bahasa, budaya dan kondisi sosial dari pembentukan hukum tersebut dan terutama dari pembuat hukum tersebut;
4.  Prinsip perbandingan : prinsip ini ialah prinsip untuk membandingkan suatu teks hukum dengan teks hukum lainnya menyangkut hal yang sama di suatu waktu.
Keempat prinsip tersebut merupakan prinsip yang dijadikan semacam panduan bagi penafsiran dalam rangka menemukan hukum, sehingga kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat dapat terjalin secara baik.[9]

BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tentang penemuan hukum, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Penemuan hukum merupakan pembentukan atau putusan hakim yang dialakukan oleh hakim atau petugas hukum lainnya dalam menyelesaikan masalah yang konkrit. Di dalam peristilahan penemuan hukum juga sering disebut dengan pelaksanaan hukum, penerapan hukum, pembentukan hukum dan penciptaan hukum. Kemudian batasannya adalah bahwa tentang penemuan hukum ini dibatasi penemuan hukum oleh hakim. Dan sistem penemuan hukum  bahwa hakim dalam menetapkan suatu perkara harus berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dan dasar hukum positif pada pasa; 27 UU no. 14 tahun 1970, yang berbunyi: Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

2.      Sumber penemuan hukum adalah sebagai sumber utama penemuan hukum bahwa peraturan perundang-undangan, kemudian hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional barulah doktrin. Kemudian, metode penemuan hukum di bagi 4 yaitu: interpretasi gramatikal, sistematis, hitoris dan teologis. Disamping itu dikenal interprestasi komparatif dan interprestasi antisipatif.

3.      Kemudian mengenai putusan hakim bahwa yang menemukan hukum bagi hakim dalam  mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya. Kemudian, prosedur dalam penemuan hukum yaitu: peristiwa yang diajukan dalam gugatan penggugat – peristiwa yang diajukan dalam jawaban tergugat – peristiwa konkrit yang harus dibuktikan – peristiwa konkrit, yang dikonstatir – peristiwa konkrit – peristiwa hukum dan terahir keputusan yang penerapannya berdasarkan undang-undang. Dan aliran dalam menemukan hukum oleh hakim yaitu: legisme, begriffsjurisprudenz dan aliran yang berlaku sekarang.

4.      Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga didalam masyarakat.

5.      Penemuan Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia bahwa  Indonesia dalam perspektif keluarga-keluarga hukum di dunia termasuk kedalam kelurga hukum civil law yang sering diperlawankan dengan keluarga hukum common law. Dan hukum positif  Indonesia bersumber kepada hukum islam, hukum belanda dan hukum adat.


DAFTAR ISI

Algra, Mr. N.E,. 1975. Rechtsaanvang, Drukkerij Elinkwijk. Utrecht.
Apeldoorn. 1954. Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht. Zwolle:  Tjeenk Wilink.
Sanusi, Achmad. 1977. Pengantar ilmu hukum dan pengantar tata hukum Indonesia. Bandung: Tarsito.
Supomo. 1958.  Hukum acara perdata negeri. Jakarta: Fasco.
Mertokusomo, Sudikno. 1996. Penemuan hukum sebuah pengantar. Yogyakarta: Liberty.
                                        . 1975. Tugas hakim dan pembangunan. Yogyakarta: Ceramah dalam pecan ceramah Fakultas Hukum UGM.
                                           . Pitlom, Mr. A. 1993. , Bab-bab tentang penemuan hukum. Yogyakarta: Citra Aditya Bakti.




[1]  Algra, Rechtsaanvang, Drukkerij Elinkwij BV, Utrecht, 1975, hlm. 219.
 [2] Sudikno Merokusomo, Penemuan hukum sebuah pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), Cet.I, hlm. 36-47.
[3] Ibid, hlm. 48-61.
[4] Sudikno Mertokusumo, dan Mr. A.pitlo, Bab-bab tentang penemuan hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993, hlm. 32-36.
[5]  Supomo, Hukum acara perdata negeri, Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 128.
[6] Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, W.E.J. Tjeenk Wilink, Zwolle, 1954, hal 301.
[7]  Achmad Sanusi, Pengantar ilmu hukum dan pengantar tata hukum Indonesia, Penerbit Tarsito, Bandung, 1977, hlm. 53.
[8]  Sudikno Mertokusumo, Tugas hakim dan pembangunan, ceramah dalam pecan ceramah Fakultas Hukum UGM, 31 Agustus 1975.
loading...