Wednesday, 2 December 2015

Penyelesaian Masalah Waris Kakek Bersama Saudara Menurut Ulama Faraid

PEMBAHASAN
Penyelesaian Masalah Waris Kakek
Bersama Saudara Menurut Ulama Faraid
 Oleh: Iswahyudi


A.    Pengertian Kakek Yang Sahih
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk kedalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang sahih."[1]

B.     Hukum Waris Antara Kakek Dengan Saudara
Mengenai kakek telah menjadi ahli waris bila ayah sudah tidak ada. Kewarisan ditetapkan sendiri dalam sunnah Nabi sebagai furudh dan juga tercakup dalam Sunnah Nabi yang membicarakan ahli waris sisa harta. Disamping itu kakek tertampung pula dalam perluasan kata abb (ayah) yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai pengganti ayah dalam hal memperoleh hak baik sebagai furudh atau ashabah telah disepakati oleh ulama. Dalam hal kedudukannya sebagai penghijab saudara seibu juga disepakati oleh para ulama.[2]
Dalam pembicaraan tentang hadirnya kakek bersama saudara dalam satu kelompok ahli waris timbul masalah. Masalah ini timbul karena melihat kedudukan masing-masing dalam kewarisan. Disatu sisi terlihat kedudukan saudara lebih tinggi dari kakek dengan melihat sumber hukum yang menetapkannya. Saudara ditetapkan berdasarkan dalil yang qath’i dari Al-Qur’an, sedangkan kakek melalui sunnah Nabi yang belum diyakini kebenarannya. Diterimanya hadits ini oleh ulama adalah sejalan dengan pengembangan kata “ayah” kepada “kakek” secara penggunaan bahasa.Para ulama menempatkan kakek itu sebagai pengganti ayah kalau sudah tidak ada ayah, sedangkan ayah sendiri menurut kesepakatan hampir semua ulama menghijab saudara-saudara yang atas pemikiranini tentunya kakek menghijab saudaranya.[3]

C.    Pendapat Ulama Tentang Waris Kakek Bersama Saudara
Pendapat pertama, tentang para saudara, terhalang oleh keberadaan kakek karena kakek menggantikan posisi ayah. Bila ashobah banyak arahnya, maka didahulukan arah ashobah yang paling dekat dan tidak berubah atau hilang sebelum arah terdekat tidak ada. Madzhab Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan diikuti Madzhab Hanafi.
Golongan ini mengemukakan argumenya sebagai berikut:
a.       Sabda Nabi yang Hadits nya berbunyi:
الحقوا الفرائض بأ هلها قما بقي فهو لأول رجل ذكر
“Berikan furudh itu kepada yang berhak menerima dan selebihnya berikan kepada yang terdekat dari laki-laki dalam garis laki-laki”.
Dalam urutan kekerabatan kakek berada di atas saudara oleh karenanya ini menutup saudara.
b.      Bahwa dalam pengertian Al-Qur’an “kakek” termasuk dalam kata “ayah”. Dengan demikian, maka ia mewarisi dengan menggantikan ayah dalam kondisi tidak tidakadanya ayah. Ia menutup anak dari ayah sebagaimana yang berlaku untuk ayah.
Kemudian pendapat kedua, bahwa Saudara kandung laki-laki dan perempuan atau saudara laki-laki seayah berhak mewarisi bersama kakek.Alasannya karena, derajat pewarisan ayah dan saudara adalah sama. Kebutuhan saudara yang jelas lebih muda lebih diutamakan dari pada kebutuhan kakek. Pendapat ini dianut oleh tiga Imam, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad serta diikuti dua murid Abu Hanifah yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat yang dianut jumhur sahabat dan tabi’in. (Zaid bin Tsabit, Ali bin AbiTholib, IbnuMas’ud, asySyi’bi dan penduduk Madinah)
Alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah:
a.       Bahwa saudara-saudara itu hak kewarisannya ditetapkan dengan nash yang sharih (jelas dan pasti) dan tidak mungkin ia dihijab kecuali bila dinyatakan oleh nash atau ijama’. Tidak ditemukan keterangan dari keduanya yang menyatakan terhijabnya saudara oleh kakek.
b.      Bahwa mereka memiliki kedudukan yang sama dalam faktor yang menyebabkan mereka mendapatkan hak waris, dan oleh karena itu ia juga berhak mendapatkannya. Ia dihubungkan kepada pewaris melalui ayah sebagaimana juga kakek dihubungkan kepada kakek kepada pewaris melalui ayah. Ia hanya akan terhijab oleh ayah yang menghubungkannya kepada pewaris dan tidak terhijab oleh kakek.[4]
Berikut contoh pembagian waris menurut jumhur ulama:
1.    Tidak ada ashhabul furudh, hanya kakek dan saudara yang menjadi ahli waris. Bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya agar lebih banyak memperoleh harta warisan dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara pembagian dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga.
a.    Pembagian yang lebih menguntungkan kakek
·      Kakek dengan saudara kandung perempuan, 2/3
·      Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan, ½
·      Kakek dengan tiga saudara kandung  perempuan, 2/5
·      Kakek dengan saudara kandung lakilaki, ½
·      Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan, 2/5
b.   Pembagian dan jumlah 1/3 yang berimbang
·      Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki
·      Kakek dengan empat saudara kandung perempuan
·      Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan
c.    Pembagian sepertiga lebih menguntungkan kakek
·      Kakek dengan bersama tiga orang saudara
·      Kakek dengan lima saudara perempuan atau lebih
2.  Ada ashhabulfurudh, ada kakek dan saudara, maka dipilihkan dari yang paling menguntungkan bagi kakek dari pilihan pilihan berikut :
a.    Dengan pembagian, menerima 1/3
b.   Menerima 1/6 dari seluruh harta yang ditinggalkan pewaris
c.    Bila hanya tersisa 1/6 atau kurang, kakek mendapatkan 1/6 secara fardh. Para saudara kandung digugurkan atau dikurangi haknya
Contoh keadaan kedua ini adalah
·      Suami ½,  kakek 1/4, saudara kandung laki-laki ¼. Kakek lebih beruntung karena mendapatkan lebih dari 1/6
·      Ibu 1/6, kakek 1/3 dari sisa  harta setelah diambil ibu, saudara laki-laki dan perempuan dapat sisa akhir
·      Anak perempuan ½, nenek 1/6, kakek 1/6, saudara kandung perempuan sisanya
·      Suami ¼, lima anak perempuan 2/3, kakek 1/6, empat saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa
·      Kedua orang istri 1/8, anak perempuan ½, cucu perempuan 1/6, ibu 1/6, kakek 1/6, sepuluh saudara perempuan kandung tidak mendapat apa-apa.[5]

D.    Akdariyah dan Penyelesainya
Dinamakan Akdariyah karenamenurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu. Dalam hal ini juga yang dipertimbangkan adalah hak yang akan diterima oleh kakek jangan sampai ia mendapat sedikit.
Jika kakek ditempatkan sebagai ashobah karena ia satu-satunya kerabat laki-laki maka ia tidak akan dapat apa-apa karena harta habis terbagi di kalangan dzawil furud. Suami mendapat ½ karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima 1/3 karena tidak ada anak dan demikian pula seorang saudara perempuan mendapat ½ karena pewaris adalah kalalah. Jumlah furudh akan menjadi ½ + ½ + 1/3 = 3/6 + 3/6 + 2/6 = 8/6.
Kalau kakek diberi hak sebagai furudh 1/6 maka hal ini juga berbenturan dengan prinsip sebagai ayah, kakek harus menerima banyak lebih dari ibu, sedangkan dalam kedudukan sebagai seoarang laki-laki tentu tidak mungkin ia menerima lebih kecil dari saudara perempuan. Dalam hal ini kakek berada dalam posisi yang serba tidak enak.
Menurut cara Abu Bakar, penyelesaiannya adalah sebagai berikut: suami mendapat ½ sebagai furudh, ibu menerima 1/3 sebagai furudh dan kakek menerima sisanya yaitu 1/6 sebagai asobah. Sedangkan saudara perempuan terhalang oleh kakek dan dengan demikian tidak mendapatkan warisan. Karena kakek sudah menerima kemungkinan terbaik, maka masalah dianggap selesai.
Umar dan Ibnu Mas’ud memeberikan solusi sebagai berikut: suami 1/2 , saudara perempuan ½, untuk kakek 1/6 sebagai furudh dan untuk ibu 1/6. Kemudian pembagiannya diselesaikan secara ‘aul. Ibu diberi 1/6 dengan pertimbangan supaya haknya tidak melebihi hak kakek. Namun alasan perubahan persentase bagian yang di dapat ibu (1/6) dari yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, tidak pernah dijelaskan baik oleh Umar maupun Ibnu Mas’ud. Dalam kasus ini, berarti keduanya lebih mementingkan perasaan daripada tuntutan hukum.
Zaid bn Tsabit memberikan penyelesaian yang jenius dan memberikan porsi yang lebih besar kepada kakek meskipun membentur beberapa prinsip lainnya. Metode yang dilakukannya adalah sebagai berikut: Setiap orang ditentukan furudhnya, yaitu:
·         Suami ½ = 3/6
·         Ibu 1/3 = 2/6
·         Saudara perempuan ½ = 3/6
·         Kakek 1/6 = 1/6
Jumlah: 9/6
Setelah dilakukan ‘aul hak masing-masing adalah:
·         Suami menjadi 3/9
·         Ibu menjadi 2/9
·         Saudara perempuan menjadi 3/9
·         Kakek menjadi 1/9

Masing-masing ibu dan suami sebagai orang luar yang mendampingi kakek dan saudara perempuan diberikan haknya, sudah itu hak saudara perempuan dan kakek digabung menjadi 3/9 + 1/9 = 4/9. Jumlah ini dibagikan kepada kakek dan saudara perempuan dengan perbandingan 2:1. Dengan demikian:
·         Hak kakek menjadi 2/3 x 4/9 = 8/27
·         Bagian saudara perempuan 1/3 x 4/9 = 4/27
Dari penyelesaian menurut Zaid tersebut memang telah terpenuhi keinginan untuk menjadikan hak kakek (8/27) lebih besar dari saudara perempuan (4/27) dan ibu. Namun saudara perempuan yang semestinya mendapatkan ½ atau setelah di’aulkan menjadi 3/9 atau 9/27 menjadi 4/27. Hal ini berarti menjadi korban dari kebijakan diatas.[6]


PENUTUP
Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
·         Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya.
·         Mengenai kakek telah menjadi ahli waris bila ayah sudah tidak ada. Kewarisan ditetapkan sendiri dalam sunnah Nabi sebagai furudh dan juga tercakup dalam Sunnah Nabi yang membicarakan ahli waris sisa harta. Disamping itu kakek tertampung pula dalam perluasan kata abb (ayah) yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedudukannya sebagai pengganti ayah dalam hal memperoleh hak baik sebagai furudh atau ashabah telah disepakati oleh ulama.
Pendapat pertama, tentang para saudara, terhalang oleh keberadaan kakek karena kakek menggantikan posisi ayah. Bila ashobah banyak arahnya, maka didahulukan arah ashobah yang paling dekat dan tidak berubah atau hilang sebelum arah terdekat tidak ada Golongan ini mengemukakan argumenya sebagai berikut:
a.       Sabda Nabi yang Hadits nya berbunyi:
الحقوا الفرائض بأ هلها قما بقي فهو لأول رجل ذكر
“Berikan furudh itu kepada yang berhak menerima dan selebihnya berikan kepada yang terdekat dari laki-laki dalam garis laki-laki”.
Dalam urutan kekerabatan kakek berada di atas saudara oleh karenanya ini menutup saudara.
b.      Bahwa dalam pengertian Al-Qur’an “kakek” termasuk dalam kata “ayah”. Dengan demikian, maka ia mewarisi dengan menggantikan ayah dalam kondisi tidak tidakadanya ayah. Ia menutup anak dari ayah sebagaimana yang berlaku untuk ayah.
·         Kemudian pendapat kedua, bahwa Saudara kandung laki-laki dan perempuan atau saudara laki-laki seayah berhak mewarisi bersama kakek.Alasannya karena, derajat pewarisan ayah dan saudara adalah sama.
·         Tentang Akdariyah dinamakan Akdariyah karena menurut suatu pendapat yang mengajukan persoalan ini bernama Akdar. Dalam kasus akdariyah ini, susunan ahli waris adalah suami, kakek, saudara perempuan dan ibu.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Hadits

K. Lubis, SuhrawardidanKomisSimajuntak. HukumWaris Islam. 1999. Jakarta: SinarGrafika.

Syarifuddin, Amir. HukumKewarisan Islam. 2012. Jakarta: KENANA PRENADA MEDIA GROUP.

Umam, Dian Khairul. Fiqh Mawaris. 1999. Bandung: Pustaka Setia.

Googgle Muslim, “Hakwariskakekbersamasaudara”, https://googlemuslim.wordpress.com/2013/09/06/hak-waris-kakek-bersama-saudara/ (Download: 14 November 2015)



[1]Suhrawardi K. Lubis, KomisSimanjuntak, HukumWaris Islam, (Jakarta: SinarGrafika, 1999), hlm. 93.
[2] Amir Syarifuddin, HukumKewarisan Islam, (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2012), hlm. 118
[3]Ibid
[4]Ibid, hlm. 119-120
[5]Googgle Muslim, “Hakwariskakekbersamasaudara”, https://googlemuslim.wordpress.com/2013/09/06/hak-waris-kakek-bersama-saudara/ (Download: 14 November 2015)
[6] Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) hlm. 190-194


#makalah s1 syariah dan hukum UIN RAFAH
loading...