Zakat
Profesi dan Kehalalan Kopi Luwak
A.
Alasan Tentang Zakat Profesi
Zakat yang
diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan
gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam
kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad
atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama’
Dari berbagai mazhab telah menyatakan:
الأَصْلُ فِي
العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ
“Hukum asal
dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang.”
Berdasarkan kaidah
ini, para ulama’ menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau
mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari
dalil yang membolehkan atau mensyari’atkannya. Bila tidak, maka amalan itu
terlarang atau tercakup dalam amalan bid’ah:
مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم
“Barang siapa
yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan
itu tertolak.” (Riwayat Muslim)
Coba anda
renungkan: Zakat adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana syahadatain,
shalat, puasa, dan haji. Mungkinkah anda dapat menolerir bila ada seseorang
yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan sholat selain
sholat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat,
maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat
ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup
umat manusia, begitu juga haji, diadakan di masing-masing negara guna efisiensi
dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan puasa ramadhan
dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para
pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya.
Mungkinkah anda
dapat menerima ijtihad ngawur semacam ini? Bila anda tidak menerimanya, maka
semestinya anda juga tidak menerima ijtihad zakat profesi, karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah
dan rukun Islam.
Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah
bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal
apa yang disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan
gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut
dengan al ‘atha’ dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah.
Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.
Ditambah lagi,
bila kita mengkaji pendapat ini dengan seksama, maka kita akan dapatkan banyak
kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan
penyelewengan tersebut:
1.
Orang-orang yang mewajibkan zakat
profesi meng-qiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil
pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian
adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan
biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun
zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah
qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah
dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang
tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat
memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan
berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.
2.
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji
lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama
sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.
3.
Orang-orang yang memfatwakan zakat profesi
telah nyata-nyata melanggar ijma’/kesepakatan ulama’ selama 14 abad, yaitu
dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.
4.
Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia
secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu
kala. Berikut beberapa buktinya:
Sahabat Umar
bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu pernah menjalankan suatu
tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu iapun di
beri upah oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada
awalnya, sahabat Umar radhiallahu ‘anhumenolak upah tersebut, akan
tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil)
dan sedekahkanlah.” (Riwayat Muslim)
Seusai sahabat
Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah,
beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau
sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu
‘anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu
Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah
mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas
ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umarpun menjawab: “Kita
akan meberimu secukupmu.” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqy)
Imam Al Bukhary
juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tentang
hal ini,
لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ
تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ
أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه
“Sungguh kaumku
telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku,
sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang
keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal),
sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” (Riwayat
Bukhary)
Ini semua
membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru,
akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama’ yang
memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi
tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu
hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).
Oleh karena itu
ulama’ ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini,
diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata: “Zakat gaji yang berupa
uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun
dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang
dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan
sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.” (Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh
Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.)
Fatwa serupa
juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia,
berikut fatwanya:
“Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah
emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan
perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang
tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang
berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri
telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang
lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji
dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak
kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas.
Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga
berlalu satu tahun (haul).” (Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360)
Sebagai penutup
tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ. رواه مسلم
“Tidaklah
sedekah itu akan mengurangi harta kekayaan.” (HR. Muslim)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya
mengusulkan agar anda mengusulkan kepada perusahaan anda atau atasan anda agar
menghapuskan pemotongan gaji yang selama ini telah berlangsung dengan alasan
zakat profesi. Karena bisa saja dari sekian banyak yang dipotong gajinya belum
memenuhi kriteria wajib zakat. Karena harta yang berhasil ia
kumpulkan/tabungkan belum mencapai nishab. Atau kalaupun telah mencapai nishab
mungkin belum berlalu satu tahun/haul, karena telah habis dibelanjakan pada
kebutuhan yang halal. Dan kalaupun telah mencapai satu nishab dan telah berlalu
satu haul/tahun, maka mungkin kewajiban zakat yang harus ia bayarkan tidak
sebesar yang dipotong selama ini. Wallahu ta’ala a’alam bis showaab.
B.
Alasan Tentang
Kehalalan Kopi Luwak
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa masalah ini dua
tahun
yang lalu, tepatnya tanggal 20 Juli 2010, setelah melewati serangkaian penelitian
dan tinjauan syariahnya, berikut keterangan dari LPPOM MUI;
yang lalu, tepatnya tanggal 20 Juli 2010, setelah melewati serangkaian penelitian
dan tinjauan syariahnya, berikut keterangan dari LPPOM MUI;
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud Kopi Luwak adalah:“kopi yang berasal
dari buah kopi yang dimakan oleh luwak(paradoxarus hemaproditus) kemudian
keluar bersama kotorannya dengan syarat:
1. Biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk.
2. Dapat tumbuh jika ditanam kembali.
Dalam fatwa ini, yang dimaksud Kopi Luwak adalah:“kopi yang berasal
dari buah kopi yang dimakan oleh luwak(paradoxarus hemaproditus) kemudian
keluar bersama kotorannya dengan syarat:
1. Biji kopi masih utuh terbungkus kulit tanduk.
2. Dapat tumbuh jika ditanam kembali.
Ketentuan Hukum
1. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah
mutanajis(barang yang terkena najis), bukan najis.
2. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal
setelah disucikan.
3. Mengonsumsi kopi luwak sebagaimana angka 2 hukumnya boleh.
4. Memproduksi dan memperjualbelikan kopi luwak hukumnya boleh.
1. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah
mutanajis(barang yang terkena najis), bukan najis.
2. Kopi luwak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum adalah halal
setelah disucikan.
3. Mengonsumsi kopi luwak sebagaimana angka 2 hukumnya boleh.
4. Memproduksi dan memperjualbelikan kopi luwak hukumnya boleh.
Kaidah Fiqih Masalah ini
a. Asal makanan adalah halal
Hukum asal segala jenis makanan baik dari hewan maupun tumbuhan,
dari laut atau daratan adalah halal,
sampai ada dalil yang mengharamkannya.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. ” (QS. al-Baqoroh[2]:168)
b. Hukum itu berputar bersama
sebabnya
“Hukum itu berputar bersama sebabnya, ada dan tidaknya”
Dalam masalah kopi luwak, alasan yang melarangnya adalah adanya najis.
Namun, ketika najis tersebut sudah hilang dan dibersihkan maka hukumnya
menjadi suci.
Dalam masalah kopi luwak, alasan yang melarangnya adalah adanya najis.
Namun, ketika najis tersebut sudah hilang dan dibersihkan maka hukumnya
menjadi suci.
c. Istihalah
“Benda najis apabila dibersihkan dengan pembersih apapun maka
menjadi suci” (Majmu’ Fatawa 21/474).
Tatkala biji kopi yang bercampur dengan kotoran tersebut memang
sudah dibersihkan,
kenapa masih dipermasalahkan lagi?!
kenapa masih dipermasalahkan lagi?!
Ada juga beberapa masalah yang mirip dengan masalah ini seperti
yang dikatakan para ulama fiqih yang menerangkan jika ada hewan memakan biji
tumbuhan kemudian dapat
dikeluarkan perut, jika kondisinya tetap , sehingga ditanam dapat tumbuh, maka
tetap suci, tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis. Juga
masalah telur yang ada dalam bangkai ayam, apakah najis atau tidak, pendapat yang
kuat adalah, apabila telur sudah berkulit dan terpisah maka hukumnya suci.
Oleh karena itu kesimpulannya
menurut Ulama kopi luwak itu halal, karena mereka berpendapat kopi luwak yang
bercampur dengan kotoran jika memang sudah dibersihkan, maka hukumnya suci dan halal.
Jika anda ragu, tinggalkan saja. Namun barang siapa mengharamkan maka dia dituntut untuk mendatangkan dalil yang
akurat.
Wallahu’alam.
Wallahu’alam.
*( Dammam, 24/11/2012. sumber:
LPPOM MUI, abiubaidah.com, republika online.” http://sosbud.kompasiana.com/2012/11/24/mui-kopi-luwak-halal-505698.html” )