Mahkum Fiqh
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Umi Yuniarsih
(Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita
tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah SWT.
Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang
berkait dengan hukum taklifi dengan hukum wad’i untuk menyebut istilah hukum
atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa
itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah
mahkum fih.
Mahkum fih
merupakan hukum berkenaan dengan objek hukum yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf baik kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan larangan
atau adanya pilihannya. Dan banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mentaklikkan
hukum-hukum perbuatan, yaitu: pertama,
suatu perbuatan itu harus diketahui oleh seorang mukallaf secara sempurna dan
ia mampu melaksanakan perbuatan itu sesuai dengan tuntutan. Kedua, mukallaf hendaknya mengetahui
perbuatan tersebut berasal dari yang mempunyai otoriter. Ketiga, perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dapat dilakukan
atau dihilangkan oleh mukallaf.
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian mahkum fih ?
2.
Apa syarat-syarat pentaklifan
perbuatan ?
3.
Ada berapa macam-macam mahkum fih ?
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Mahkum Fih
Yang dimaksud dengan mahkum fih,
seperti dijelaskan oleh Abdul Akrim Zaidan, adalah perbuatan orang mukallaf
yang berkaitan dengan hokum syara’. Dalam pandangan Muhammad Abu Zahrah bahwa
esensi mahkum fih itu adalah berkenaan dengan objek hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf baik kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan
larangan atau adanya pilihannya. Secara tegas Zahrah menyebutkan bahwa mahkum
fih berkaitan dengan realisasi atau implementasi dari hukum taklifi. Dengan
kata lain mahkum fih (perbuatan hukum) itu akan dapat dilihat realisasinya
dalam lima kategori ketentuan syara’, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan
mubah.[1]
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud
dengan Mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang
terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rosul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para
ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu
perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya
suatu hukum.[2]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mahkum
fih itu adalah objek hukum atau perbuatan hukum yang dilakukan seorang mukallaf
yang berkaitan dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul), baik tuntutan
mengerjakan maupun tuntutan meninggalkannya.
2. Syarat Sahnya Pentaklifan Perbuatan
Pertama, perbuatan
itu harus diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang sempurna sehingga ia mampu
untuk melaksanakannya sesuai dengan tuntunan. Suatu
perbuatan itu harus diketahui betul oleh mukallaf secara sempurna dan ia mampu melaksanakan
perbuatan itu sesuai tuntutan. Misalnya, nash-nash Al-Quran yang masih mujmal,
belum dapat dibebankan kepada mukallaf kecuali setelah ada penjelasan (bayan)
dari Rasullullah. Seperti perintah shalat, dalam al-Quran tidak di jelaskan
syarat dan rukunnya, tetapi dijelaskan dalam hadits-hadits, maka barulah
pembebanan hukum tentang shalat itu dikenakan kepada mukallaf.
Maka nash-nash
Al-qur’an yang belum jelas maksudnya, tidak sah mentaklifkannya pada mukallaf
kecuali setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Saw. Firman Allah SWT dalam
penggalan ayat berikut ini :
وَاَقِيْمُوا
الصَّلَاةَ.....
Nash
Al-qur’an itu belum menjelaskan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan tata cara
pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang belum mengetahui rukun-rukunnya, syarat-syaratnya,
dan tata cara pelaksanaannya ditaklif untuk mengerjakan sholat? Itulah
sebabnya Rasulullah menjelaskan kemujmalan nash Al-qur’an itu dengan sabdanya.
صَلُّوْا
كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى أُصَلِّىْ
Artinya: “Shalatlah kamu sebagaimana
kamu melihat aku menunaikan shalat”
Demikian pula haji dan puasa, serta
zakat dan segala perbuatan yang berkaitan dengan firman Allah yang mujmal,
dimana maksud syar’i tidak dapat diketahui dengan nash itu, maka pentakwilan
terhadapnya dan menurut mukallaf untuk mentaatinya tidak sah kecuali sesudah
adanya penjelasan.
Kedua, Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT.Sehingga ia
melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah
Allah semata. Berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu
perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas, hal ini untuk menghindari
kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
Ketiga, perbuatan yang ditaklif haruslah
bersifat mungkin untuk dilaksanakan dan ditinggalkan. Perbuatan
itu adalah perbuatan yang dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf.
Dalam konteks ini ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, tidak sah atau tidak dibenarkan
beban yang tidak mungkin dikerjakan. Kedua
tidak sah memberikan beban dimana beban (kewajiban) itu kepada seorang
diperintahkan untuk dikerjakan sementara kepada orang lain dilarang untuk
dikerjakan. Oleh karena itu, suatu perbuatan yang diperintahkan adalah
perbuatan yang dapat dikerjakan oleh mukallaf atau yang dapat dijangkau oleh
mereka.
Perbuatan harus mungkin untuk
dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa
syatat yaitu:[5]
1. Tidak syah
suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2. Tidak syah
hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama
orang lain.
3. Tidak sah
suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.
4. Tercapaianya
syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah
sholat.
Dengan penjelasan sebagai berikut:[6]
1.
Mengenakan taklif terhadap sesuatu
yang mustahil tidak sah. Baik hal itu mustahil karena substansinya atau
mustahil karena sesuatu yang lain.
a)
Mustahil karena substansi ialah sesuatu
yang tidak mungkin terjadi menurut akal
b)
Mustahil karena sesuatu yang lain
ialah sesuatu yang bisa terjadi menurut akal manusia, tetapi belum pernah
terjadi.
2. Tidak sah pembebanan (taklif)
kepada seseorang, tetapi agar orang lain yang melaksanakan.
Contoh: Seseorang mengerjakan sholat untuk orang
lain.
3.
Tidak sah pembebanan dengan
masalah-masalah yang bersangkutan dengan sifat-sifat yang tidak ada daya usaha
manusia dalam mengadakannya.
Contoh: Muka merah karena malu.
3. Macam-Macam Mahkum Fih
Dilihat dari segi yang terdapat
dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi tiga macam:[7]
1. Semata mata hak Allah,yaitu sesuatu yang
menyangkut kepentingan dan kemaslahatan. Dalam hak ini seseorang tidak di
benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.
Hak ini semata mata hak Allah.dalam hal ini ada delapan macam:[8]
a) ibadah
mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b) ibadah yang
di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti:zakat fitrah, karena
si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c) bantuan/santunan
yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d) biaya/santunan
yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap
sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e) hukuman
secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat
zina
f) hukuman yang
tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh pemilik
harta tersebut.
g) hukuman yang
mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama disiang
hari pada bulan ramadhan
h) hak hak yang
harus di bayarkan, seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan
harta rampasan.
2. Hak hamba
yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta
seseorang yang di rusak.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi
hak Allah didalamnya lebih dominan seperti hukuman untuk tindak pidana.[9]
Simpulan
Semua
perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum
Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat
dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf
mengalami kesulitan-kesulitan. Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat,
puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan
oleh mukallaf. Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup
melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam,
atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini
memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya. Mukallaf yang telah
mampu mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan
taklif.
Daftar Pustaka
Bakri,.Nazar, 1991, Fiqh dan Ushul
Fiqh, Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
Khallaf,
Abdul Wahhab, 2000, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Romli,
Ushul Fiqh, Palembang: Rafah Press,
2006
Zahra, Muhammad Abu, 1995, Ushul Fiqih, Jakarta : PT Pustaka Firdaus.
[1] Romli. Ushul Fiqh.(Palembang: Rafah Press, 2006), Hlm. 22
[5] Romli. Ushul Fiqh.(Palembang: Rafah Press, 2006), Hlm. 22-23
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), Hlm. 67
[7] Ibid., Hlm. 69
[8] Ibid., Hlm 70
[9] Ibid., Hlm. 72