Gemar mengaji Qur’an
- Melihat mental
masyarakat yang tidak lagi peduli dan bahkan cenderung menjauh dari Alquran,
seorang pelayan Alquran (khadimul Quran) Dr. KH. Ali Akhmadi merintis Majelis
Alquran, yaitu sebuah majelis yang membahas tentang Alquran dengan beberapa
rangkaian acara lainnya. Peserta yang hadir di majelis ini adalah masyarakat
umum, anak-anak muda dan sebagianya para professional, tema umum yang dibawa
adalah Menjadikan Alquran Mengalir Seperti Air. Seperti apa Menjadikan Alquran
Mengalir Seperti Air?, ikuti tulisan berikut…!!
HIDUP di bawah naungan Alquran adalah nikmat. Nikmat yang tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang-orang yang pernah mencicipinya. Nikmat yang mengangkat taraf hidup, menyucikan dan memurnikanya.
Demikianlah kata-kata seorang Mujahid Islam (Sayid Quthb) rahimahullah, kalimat tersebut ditulis dalam pembukaan tafsirnya: Fii dzilaal Alquran (di bawah naungan al-quran); kalimat itu terasa ada cita rasa yang hidup. Mungkin dia merasakan ada cahaya dalam hatinya ketika menuturkan kalimat itu, juga ada keberanian membuka borok kejahiliyahan masyarakat pada masanya. Sebagai resiko atas semua keberaniannya mempertahankan kemurnian pandanganya tentang Islam, Sayyid Quthb digantung, ketika orang lain mengalah di hadapan penguasa.
Begitulah Alquran jika telah menjadi darah
daging, berakar dalam memori, menancap dalam hati dan menjulang dalam cita
perjuangan, dia akan mengubah racun menjadi obat penawar dan mengubah benda
padat jadi cair, memotong siklus sejarah jahiliyah dengan sejarah keimanan,
karena di atas aliran darah mereka itu ada harga yang harus dibayar oleh
generasi seterusnya, karena di sana ada iman yang menyamai. Di dalam dadanya
ada keyakinan bahwa wujud Alquran tidaklah punya arti jika tidak wujud dalam
dunia nyata, di mana individu adalah ruang pertama untuk mewujudkan masyarakat
dan Negara berbudaya.
Menjadikan Alquran mengalir seperti air
sesungguhnya lahir dari filosofi air, air itu sifanya mengalir terus tanpa
henti, dia hanya berhenti jika terputus dari sumbernya. Air sebagaimana sifat
dasarnya ia akan terus mengalir, biarpun ada tembok raksasa menghalanginya, tidak
membuat dia berhenti mengalir dan tetap akan terus mencari celah untuk
mengalir, dan jika tiba waktunya untuk merobohkan tembok tersebut, itupun bisa
terjadi. Atau bisa juga ia akan melampaui tembok itu ketika sampai pada titik
kulminasinya, intinya dia akan terus mengalir. Demikian juga kita ingin
menjadikan Alquran ini mengalir tanpa henti; mengalirkan berkah dan manfaatnya
di masyarakat, mengalir untuk menjebol tembok jahiliyah yang ada di sekeliling
kita, dan mendatangkan rahmat bagi bangsa dan Negara serta mendatangkan
ketenangan bagi siapapun yang membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
مااجتمع قوم فى
بيت من بيوت الله تعالى يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة،
وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملا ئكة وذكر هم الله فىبمن عنده
Artinya: ”Tidaklah berkumpul sekelompok
orang di rumah-rumah Allah swt. mereka membaca Alquran dan mengajarkannya di
antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi dengan
rahmat, dinaungi oleh para malaikat dan disebut-sebut namanya oleh Allah swt.
di sisinya. (HR. Abu Dawud).
Menjadikan Alquran mengalir seperti air adalah
proses mentransformasi pengetahuan serta proses internalisasi nilai, dari
realitas individu kepada idealisme teks, artinya realitas individu melebur
dalam kehendak teks. Manusia mungkin memiliki corak budaya, pemikiran, serta
nilai-nilai yang membentuknya, tetapi ketika dia berinteraksi dengan teks itu,
maka dia harus tunduk sepenuhnya. Sentimen budaya, golongan, pemikiran dan
nilai-nilai yang membentuknya sejak awal, benar-benar harus dihapus.
Generasi sahabatlah yang dapat mewakili totalis
di dalam mentransformasi pengetahuan dan menginternalisasi nilai Alquran,
ketika Alquran datang menuntun mereka, mereka tunduk padanya dalam berbagai
kondisi apapun, mereka adalah generasi yang diberi iman sebelum ilmu. Namun
resikonya jika ilmu yang banyak tapi tidak ada iman yang menyamai, maka yang
terjadi adalah penyimpangan pemikiran dan kerusakan akhlak, seperti mereka kaum
fasiq di kalangan orang-orang liberal.
Generasi itu yang diistilahkan oleh Sayyid
Quthb dengan: Jilun Farid (generasi unik),
unik karena mereka sukses mengangkat sejarah generasinya dengan nilai luhur
Alquran, sukses memotong siklus sejarah nenek moyangnya dan meregenerasi
masyarakat tauhid sampai puluhan abad setelahnya, sukses mengantarkan risalah
yang suci ini sampai ke pangkuan kita saat ini dan sampai hari kiamat nanti,
sukses menjadi arsitek peradaban manusia yang tinggi, sukses menjadi contoh
teladan bagi generasi selanjutnya, sehingga Rasulullah saw. menyebut generasi
mereka dengan: Khairul Qurn (sebaik-baik generasi). Semoga kita sebagai
umat Rasul Muhammad saw. dan generasi sahabat Ridhwanullahi Alaihim bisa
meneladani mereka semua, Aamiin.
Sebuah potongan syair menggabarkan tentang
mereka para sahabat itu: Kannujum (seperti
bintang-bintang), kita bisa meneladani siapa saja dari pribadi para sahabat itu
berdasarkan keutamaannya masing-masing, karena mereka adalah generasi pilihan
yang sengaja dipilih oleh Allah untuk menjadi contoh.
Menjadikan
Alquran seperti air itu artinya menatanya dalam lisan sehingga menjadi bacaan
yang benar, menanamnya dalam memori sehingga menjadi lancar, menatanya dalam
jiwa sehingga menjadi ruh dan karakter kita, mengalir dalam perilaku sehingga
menjadi pesona, membentuk dalam pikiran sehingga menjadi paradigma kita,
akhirnya terbentuk dalam dunia alam bawa sadar kita. Jika semua ini kita sadari
maka setiap individu itu telah menjadi agen of Quran. Itulah
kira-kira yang dinginkan oleh ustad Ali Akhmadi Hafidzahullah, atas dasar
kesadaran itu pulalah yang mendasari beliu membuat gerakan mencetak generasi
Qurani.
Hidup di bawah naungan Alquran itu nikmat.
Nikmat ketika menghafalkanya, nikmat ketika di saat lupa mengulangnya kembali,
nikmat ketika ada kegiatan simaan bersama teman atau guru, nikmat ketika ada
kesempatan untuk membacanya dalam riwayat yang berbeda-beda, nikmat ketika
muncul kegelisahan sudah lebih dari satu hari tidak mengulangnya, nikmat ketika
mampu mengulang-ulangnya dalam perjalanan atau dalam keadaan diam atau siang
dan malam, nikmat ketika mampu mentadabburi isi dan kandunganya.
Nikmatnya
Alquran manakala kita bisa hidup di bawah naungan syari’atnya, berlindung di
bawah pohon kesejukannya dan menjadikannya sebagai akhlak dan hujjah.
Nikmat-nikmat ini tidak bisa dirasakan oleh selain penjaga Alquran, hanya
mereka yang mampu merasakanya, karena merekalah kawan setianya, dan kita akan
selalu mengingat, menyadari, dan menghayatinya sesuai dengan kadar cinta kita.
Sedalam apacinta kita padanya sedalam itu pula telaga berkah yang
mungkin kita selami, dan seluas apa cinta kita
padanya seluas itu pula pancaran cahaya yang dapat kita pancarkan untuk
menerangi bumi ini.
Hidup di bawah
naungan Alquran itu nikmat. Nikmat ketika mampu mengkhatamkan Alquran sekali
dalam sehari, sekali dalam tiga hari, sekali dalam sepekan, sekali dalam
sepuluh hari, atau sekali dalam sebulan, dan mungkin kita tergolong sangat
keterlaluan jika tidak bisa mengkhatamkanya dalam setahun sekali. Mengkhatamkan
Alquran dalam sehari, terlepas ini ada perbedaan di masyarakat, karena ada
hadits yang menganjurkan untuk tidak mengkhatamkan Alquran kurang dari tiga
hari, masalah ini sebenarnya lebih kepada masalah kualitas tadabur, tapi banyak
dari kalangan ulama kita mengkhatamkan Alquran kurang dari tiga hari, terutama
ulama dari kalangan syafi’iyah, bahkan Imam syafi’I Rahimahullahsendiri mengkhatamkannya sehari sekali di
luar bulan Ramadhan dan mengkhatamkan dua kali sehari semalam di
bulan Ramadhan.
Imam Nawawi yang merupakan ulama besar
bermadzhab syafi’i itu meriwayatkan dalam bukunya Al-Adzkar, dalam bab Kitab
Tilawatil Quran, dan dalam bukunya At-Tibyan Fii Adab Hamalatul Quran pada bab
Al-Muhafadzatu Ala Tilawatil Quran menyebutkan ragam kebiasaan ulama-ulama
dalam menghatamkan Alquran, sebagian besar dari mereka menghatamkanya setiap
dua bulan sekali, yang lain menghatamkan sebulan sekali, ada yang mengkhatamkan
tiga hari sekali, bahkan ada yang mengkhatamkan Alquran antara waktu maghrib
dan Isya dan ada banyak lagi model yang lain.
Mengkhatamkan Alquran dalam tempo waktu
tertentu mengakar dalam tradisi para ulama kita, lantas bisakah kita meneladani
orang-orang shaleh dari kalangan para ulama itu? Hal ini hanyalah masalah
kebiasaan, jika kita punya kemauan Insya Allah kita bisa melakukanya. Semakin
sering kita membacanya akan semakin kuat dalam hafalan kita dan semakin cepat
kita membaca akan semakin terlatih mulut kita.
Sesungguhnya menjaga Alquran adalah tanggung
jawab setiap mukmin, terlebih tanggung jawab itu di letakan di pundak para
penjaga Alquran. Rasulullah mengancam orang-orang yang sengaja melupakanya:
من قرأ القرٌآن
ثم نسيه لقي الله تعلى يوم القيامة أجذم
“Barang siapa
yang membaca Alquran kemudian melupakanya, maka dia akan bertemu dengan Allah
swt. di hari kiamat nanti dalam keadaan terputus dari rahmatNya”.
Wal’iyyadzubillah..…Kita mohon kepada Allah
agar tidak menjadi golongan di atas. Mari kita semangat lagi menjaga Alquran.
Sumber: www.dakwatuna.com