Sunday, 13 December 2015

Pandangan Ulama Tentang Tanggung Jawab Pencuri Terhadap Barang Curian (Fiqh Jinayah Perbandingan)

Pandangan Ulama Tentang Tanggung Jawab Pencuri 
Terhadap Barang Curian (Fiqh Jinayah Perbandingan)
Oleh: Iswahyudi & Naim

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Islam sebagai agama yang sempurna dan mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar yang penting yaitu keadilan, sebagaimana firman Allah SWT:
 إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
90.  Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90)
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi. Kejahatan tersebut berupa pencurian dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ketika Islam turun, ia memiliki hukum dan hukuman bagi pelaku kejahatan-kejahatan dan si pelaku dibebankan tanggung jawab atas perbuatannya itu.
Dan didalam fiqh jinayah telah diatur tentang segala ketentuan dan hukuman perbuatan yang melanggar syariat dan undang-undang pidana yang berlaku. Salahsatunya mengenai pencurian yaitu sariqoh.
Sariqah (pencurian) didefinisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis akan membahas atau mengkaji berkenaan dengan pandangan ulama tentang tanggung jawab pencuri atas barang curiannya.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah ini, yaitu:
1.      Apa pengertian dari pencurian (sariqah)?
2.      Bagaimana unsur-unur dari pencurian?
3.      Bagaimana sanksi pencurian?
4.      Bagaimana penerapan hukuman pencurian?
5.      Bagaimana alat bukti dalam pidana pencurian?


                                                     BAB II
                                            PEEMBAHASAN                                               

A.    Pengertian Pencurian (sariqah)

Kata pencurian berasal dari bahasa Arab al-Sariqah.  Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kat سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًا dan secara etimologis berarti  أَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.[1] Dalam ensiklopedi fiqh:
السرقة هي اخذ مال لا حق له فيه من خفيه
“Sariqah adalah mengambil suatu harta yang tidak ada hak baginya dari tempat penyimpanan”.[2]
Abdul Qadir Audah mendefinisikan pencurian ialah sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi.[3]
Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan Sariqah ialah mengambil hara milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori mencuri adalah mencuri informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.[4]
Muhammad Al-Khatib As-Sarbini“Sariqah ialah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.
  Ibnu Arafah mengatakan: "Menurut masyarakat Arab, pencuri adalah orang yang datang secara sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan barang orang lain untuk mengambilnya dengan cara yang tidak benar.
Mahmud Syaltut adalah pengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut.[5]

Dan yang dimaksud dengan mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.

B.     Unsur-unsur Pencurian

Dari definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh diatas, maka ada empat unsur yang harus dipenuhi, sehingga tindakan pengambilan harta orang lain tersebut sebagai tindakan pidana pencurian. Antara lain sebagai berikut:
1.    Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi. Artinya, pencurian dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik barang dan pemilik barang tidak rela dengan pengambilan barangnya itu. Misalnya, pencurian barang itu dilakukan ketika pemilik tidak ada atau pemiliknya sedang tidur. Pengambilan barang tersebut, menurut Abdul Qadir Audah, harus bersifat sempurna memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.    Pencuri mengambil barang curian dari tempat pemiliharaanya.
b.    Barang yang dicuri itu lepas dari penguasaan pemiliknya; dan
c.    Barang yang dicuri itu berada dalam kekuasaan pencuri.
Apabila salah satu syarat dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak dinamakan pencurian.
2.      Yang dicuri itu bernilai harta
Ulama fiqh mengemukakan bahwa harta yang dicuri itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[6]
a.    Harta yang dicuri itu adalah harta bergerak, karena pencurian itu menghendaki pemindahan harta yang dicuri dari tempat dan penguasaan pemiliknya ketempat dan penguasaan pencuri. Misalnya rumah termasuk harta yang tidak bergerak. Tetapi, apabila pencuri melepaskan ubin-ubinya, kusen-kusen rumah itu, atau kaca-kaca jendelanya, lalu ia ambil, maka termasuk kedalam kategori benda bergerak disebabkan perbuatan pencuri. Adapun terhadap tanah, sebagai benda tidak bergerak, dapat juga dicuri apabila yang dicuri adalah sertifikat tanah tersebut, sehingga penguasaan tanah itu berpindah tangan dari pemiliknya kepada pencuri. 
b.    Harta yang dicuri itu bernilai harta menurut syara’.
c.    Harta itu terpelihara di tempat yang aman, seperti dalam rumah. Sifat pemeliharaan itu ada dua macam, yaitu pemeliharaan yang bersifat tempat dan pemeliharaan dengan adanya penjaga yang bertanggung jawab, seperti satpam.
Pemeliharaan harta yang bersifat tempat itu benar-benar dikhususkan untuk harta tersebut, sehingga untuk memasukinya seseorang harus meminta izin kepada pemiliknya, seperti rumah, perkemahan, hotel, kandang, dan lumbung padi. Untuk tempat-tempat seperti ini, menurut Imam Abu Hanifah, dihukumkan sebagai tempat terpelihara dan aman, sekalipun pintunya terbuka. Imam Malik mengatakan, tempat pemeliharaan itu tidak mesti berupa bangunan yang dikhususkan untuk tempat harta itu, tetapi cukup dengan menjadikan tempat itu sebagai tempat yang biasa dalam penyimpangan barang. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal, tempat pemeliharaan yang bersifat tempat harus tertutup dan biasanya menjadi tempat pemeliharaan harta, serta berada dalam bangunan perkampungan penduduk, seperti rumah, hotel dan took-toko. Apabila pintu bangunan itu terbuka, maka mereka berpendapat tidak termasuk tempat yang terpelihara secara aman secara aman. Adapun pemeliharaan harta melalui seseorang yang bertanggung jawab untuk itu, menurut Imam Hanifah, ditentukan untuk tempat-tempat yang biasanya tidak terjaga dengan aman, seperti masjid dan jalan umum. Oleh sebab itu, tempat-tempat seperti ini perlu ada seorang pengaman yang bertanggung jawab. Apabila pada tempat-tempat seperti ini ada penjaganya, lalu seseorang mengambil harta yang ada disitu, maka menurut Imam Abu Hanifah dikenakan hukuman pencurian. Kalau tempat harta itu memang tempat penyimpanan khusus, maka tidak diperlukan adanya orang yang bertanggung jawab menjaga tempat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, tempat harta itu bias merupakan tempat tersendiri, tanpa penjaga, tetapi juga bisa tempatnya sudah tersendiri khusus, juga ada penjaganya.
d.   Harta yang dicuri itu bernilai satu nisab.
كان رسول الله – صلعم - تقطع يد السار ق ف ربع دينار فصاعدا
“Rasulullah SAW memotong tangan pencuri yang mencuri harta senilai seperempat dinar lebih”. (HR. al-Jamaah al-Asqalani Juz IV: 18)

لا تقطع يد السارق أّلّا في ربع دينالر فصا عدا
“Tidak dipotong tangan pencuri, kecuali apabila (ia mencuri harta senilai) seperempat dinar lebih”. (HR. Ahmad (al-Asqalani Juz IV: 18).
Berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW ini maka jumhur ulama menyatakan bahwa harta yang dicuri itu harus mencapai jumlah tertentu. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan nilai harta yang dicuri tersebut. Ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa nilai harta yang dicuri itu harus tiga dirham dari perak atau seperempat dinar dari emas. Menurut mereka, tiga dirham itu sama nilainya dengan seperempat dinar. Apabila terjadi perbedaan nilai tukar dinar dengan dirham, misalnya, seperempat dinar itu hanya dua dirham atau dua setengah dirham, maka yang menjadi ukuran bagi mereka adalah tiga dirham perak, bukan dinar. Dikalangan Mazhab Hambali ada dua pendapat. Pendapat pertama, yang dijadikan ukuran itu adalah tiga dirham, sama dengan ulama Mazhab Maliki. Pendapat kedua, mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran apabila terjadi perbedaan nilai seperempat dinar dengan tiga dirham adalah seperempat dinar dari emas.
3.      Harta yang dicuri itu milik orang lain. Artinya, harta yang dicuri itu merupakan milik orang lain ketika berlangsungnya pencurian.
Disamping itu, apabila harta yang dicuri itu ada syibh al-milk (dianggap sebagai pemilikan) bagi pencuri, seperti ana dianggap sebagai ikut memiliki harta ayahnya atau mitra dagang sebagai pemilik harta serikat, maka ulama Mazhab Hanafi, Syafi’I, Hambali, dan Syi’ah mengatakan pencuri itu tidak dikenakan potong tangan karena adanya unsur keraguan dalam masalah pemilikan harta itu dalam kasus ini. Alas an mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:
أنت وملك لأبيك
“… engkau dan harta engkau merupakan milik ayahmu … “ (HR. Abu Dawud (Ibnu Rusy Juz II:451)
Oleh sebab itu, maka yang mencuri harta ayahnya tidak dikenakan hukuman, mitra dagang mencuri harta dagangan yang menjadi milik serikat, juga tidak dikenakan hukuman, karena adanya syibh al-Milk. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa orang yang mencuri dari harta kongsinya dimana ia punya saham tidak dikenai potong tangan.[7] Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki mengatakan apabila mitra dagang mencuri harta serikat mereka mencapai satu nisab, dikenakan hukuman potongan tangan.
4.      Pencuri itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri. Maksudnya, pencuri itu meyakini bahwa melakukan pencurian terhadap harta orang adalah perbuatan yang diharamkan dan mengambil harta orang lain tanpa izin adalah pekerjaan yang dilarang. Oleh sebab itu, apabila seseorang mengambil harta yang bersifat mubah, seperti kayu dihutan belantara yang tidak dimiliki seseorang atau mengambil barang bekas yang sudah dibuang orang, seperti pakaian usang, maka tidak dikenakan hukuman pencurian, karena barang-barang seperti ini termasuk barang-barang mubah. Dalam kaitan ini, ulama fiqh juga mengatakan bahwa apabila orang yang belum mukallaf seperti anak kecil dan orang gila mengambil harta orang lain tidak dikenakan hukuman, karena mereka mengambilnya bukan karena suatu kesengajaan dan tidak berkeyakinan bahwa perbuatan itu dilarang.[8]

C.    Sanksi Pencurian

Pencurian dalam islam merupakan perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong tangan apabila harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab curian. Landasan hukum yang menyatakan hukuman potong tangan ini adalah firman Allah SWT:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
38.  Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)
Alasan lain adalah sabda Rasulullah SAW:
أنما أهلك من كان قبلكم انه أذا سرق فيهم الشريف تركوه واذا سرق فيهم الضعيف قطعوه
“Kehancuran umat terdahulu adalah disebabkan apabila yang mencuri adalah orang-orang terhormat, mereka biarkan saja, sedangkan apabila yang mencuri rakyat biasa, mereka potong tangannya”. (HR. Al-Bukhori (Ibnu Rusy: 446)
Permasalahan lain yang akan dibahas ulama dalam hukuman pencurian ini adalah apakah jika seseorang pencuri dinyatakan bersalah disamping hukuman potong tangan juga dikenakan hukuman ganti rugi. Ulama sepakat apabila barang yang dicuri itu masih ada, maka disamping hukuman hukuman potongan tangan juga diwajibkan mengembalikan barang yang dicuri tersebut. Akan tetapi, jika barang yang dicuri itu tidak ada lagi (sudah habis), maka menurut ulama Mazhab Hanafi pencuri tidak diwajibkan membayar ganti rugi. Alasannya adalah bahwa nash tidak membicarakan hukuman ganti rugi bagi pencuri. Disamping itu Rasulullah SAW bersabda:
لا يغرم السارق اذا اقيم عليه الحد
“Pencuri tidak mengganti kerugian apabila hukuman had dijatuhkan”. (al-Asqolani Juz IV: 24)
Ulama Mazhab maliki mengatakan, jika yang mencuri itu seorang yang berharta, disamping hukuman potong tangan juga dikenakan kenakan ganti rugi, sebagai hukuman tambahan baginya. Jika pencurinya orang tidak punya harta, maka ia dikenakan hukuman potong tangan saja. Adapun ulama Mazhab Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa pencuri itu dikenakan hukuman potongan tangan dan wajib mengembalikan barang yang dicuri. Jika barang yang dicuri tersebut sudah habis, maka pencuri itu wajib menggantinya dengan barang yang sama, dan jika barang yang sama tidak ada dipasar ia wajib membayar ganti rugi senilai harga barang yang dicuri.
Disamping itu, mereka juga berpendapat adanya hukuman tambahan lain bagi pencuri, yaitu menggantungkan tangan yang dipotong tersebut dengan mengikatnya ke leher sebagai hukuman takzir (hukuman tambahan dari hakim). Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan:
ان الني – صلعم – أتي سارق فقطعت يده ثم امر بها فعلقت في عنقه
“Bahwa seorang pencuri dibawa kehadapan Rasulullah SAW, lalu dipotong tanganya, setelah itu Rasulullah mengikatkan tangan yang sudah dipotong itu ke leher pencuri”. (HR. At-Tirmizi)
Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengikatkan tangan ke leher itu hanya untuk menghindari agar darah jangan banyak keluar, bukan hukuman tambahan.[9]

D.    Penerapan Hukuman

Seorang yang mencuri, baru dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:
1.    Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan berakal, karena Rasulullah SAW menyatakan:
رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل وعن النا ئم حتى يحتلم
“Perbebanan hukum diangkat dalam tiga hal, yaitu anak kecil sampai ia mimpi, orang gila sampai ia sembuh, dan orang yang tidur sampai ia bangun”. (HR. Al-Bukhori)
Oleh sebab itu, orang yang belum cakap bertindak hukum tidak bisa dikenakan hukuman pencurian. Disamping itu, ulama Mazhab Syafi’I dan Hambali menambahkan syarat orang yang mencuri tersebut haruslah atas kesadaran sendiri, bukan dipaksa orang lain
2.    Harta yang dicuri disyaratkan:
a.    Harta yang dicuri itu adalah harta yang bernilai. Oleh sebab itu, jika yang dicuri tersebut adalah barang yang tidak bernilai dalam islam, seperti minuman keras (tuak), babi, dan mayat, tidaklah dikenakan hukuman pencurian. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
b.    Harta yang dicuri tersebut mencapai satu nisab. Nisab barang curian tersebut adalah senilai satu dinar atau sepuluh dirham menurut ulama Mazhab Hanafi, dan seperempat dinar menurut jumhur ulama. Perbedaan pendapat ini muncul, menurut Wahbah az-Zuhaili, karena perbedaan penafsiran tentang harga sebuah perisai tersebut seharga tiga dirham, dan dan tiga dirham itu adalah seperempat dinar. Menurut ulama Mazhab Hanafi harga perisai itu 10 dirham, dan 10 dirham menurut mereka samap dengan satu dinar. Jika dikurskan dengan nilai mata uang  sekarang, menurut Syauqi Ismai’il Syahatah, satu dinar tersebut terdiri atas 4, 45714 gram emas (dibulatkan 4,5 gram emas). Dengan demikian, nisab barang curian yang dikenakan hokum potong tangan menurut jumhur ulama adalah 4,5 : 4 = 1, 125 gram emas, dan ulama Mazhab Hanafi senilai 4,5 gram emas. Persoalan lain yang dibahas ulama tentang nisab barang curian ini adalah nilai barang curian tersebut. Menurut Mazhab Hanafi,[10] nilai barang curian tersebut harus tetap seharga 10 dirham sejak barang itu dicuri sampai dilaksanakannya hukuman potong tangan. Apabila antara waktu pencurian dengan waktu pelaksanaan hukuman barang curian itu berubah nilainya (turun harganya) terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka, ada yang menyatakan tetap berlaku hukaman pencurian, adapula yang menyatakan hukuman pencurian tidak bisa dilaksanakan karena nilai yang dicuri tidak satu nisab lagi.
Menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal harga patokan yang dijadikan dasar adalah harga barang ketika terjadi pencurian, bukan ketika pelaksanaan hukuman.[11]
c.    Barang yang dicuri itu terpelihara secara aman, seperti barang-barang di dalam rumah, toko, atau lemari.
d.   Barang yang dicuri tersebut berupa materi yang bisa dikuasai dan dihadirkan ketika dibutuhkan.
e.    Barang yang dicuri tersebut bukan barang yang pada dasarnya sesuatu yang mubah (dibolehkan diambil siapa saja), seperti burung yang terbang diudara, ikan dilaut, rumput, dan kayu dihutan, kecuali yang harganya tinggi. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanafi.[12] Akan tetapi, bagi jumhur ulama semuanya itu termasuk benda yang dikenakan hukuman pencurian jika terpelihara dengan baik dan mencapai satu nisab. Pendapat ini mereka kemukakan, karena surat al-Ma’idah (5) ayat 38, diatas tidak membeda-bedakan harta tersebut.
f.     Harta yang dicuri tersebut bukan hak pencuri atau hak bersama masyarakat, seperti mushaf Al-Qur’an yang ada dimasjid dan harta orang kafir harbi.
g.    Orang yang mencuri bukan orang yang diberi izin memenuhi tempat pemeliharaan tersebut.
3.    Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar pemilik barang itu, atau barang itu merupakan amanah ditangan nya.
4.    Tempat pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya berlaku hukum islam.[13]

E.     Alat Bukti dalam Pidana Pencurian

Untuk menetapkan hukuman  pencurian dihadapan hakim, diperlukan alat dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana pencurian itu benar-benar terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan pengakuan.[14]
Untuk saksi disyaratkan
1.      Dua orang pria
2.      Orang yang adil
3.      Saksi yang menyaksikan pencurian secara langsung
4.      Kesaksian yang diberikan tidak kadaluarsa
5.      Gugatan diajukan oleh orang yang berhak menggugat.
Adapun kesaksian wanita dalam kasus pencurian, sekalipun jumlahnya empat orang (ganti dua orang pria) atau lebih, atau satu laki-laki dan dua orang wanita, menurut jumhur ulama tidak diterima kesaksian mereka adalah:
وَاسْتَشْهِدُ وْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّ جَا لِكُمْ ...
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Akan tetapi, ulama Mazhab az-Zahiri mengatakan bahwa kesaksian dua orang wanita dan satu orang pria (ganti dua orang pria) bisa diterima dalam masalah hudud, termasuk dalam masalah pencurian, apabila wanita itu lebih dari satu orang. Alasanya:
فَأِن لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَ تَانِ ...
“Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa pencurian termasuk salah satu jarimah hudud dan untuk jarimah hudud saksi minimal itu adalah dua orang laki-laki.
Adapun syarat yang menyangkut pengakuan (ikrar) menurut Imam Abu Hanifah, dan jumhur ulama cukup dikemukakan sekali pengakuan saja. Akan tetapi menurut Imam Abu Yusuf pengakuan itu harus dua kali, dianalogikan kepada saksi yang juga harus dua orang.
Apabila pencuri tersebut adalah sekelompok orang, maka apabila masing-masing pencuri berhasil mendapat bagian barang curian senilai satu nisab, maka ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa masing-masing mereka dikenakan hukum pencurian. Apabila barang yang dicuri kelompok pencuri itu hanya bernilai satu nisab, maka menurut Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’I tidak dikenakan hukuman potong tangan, karena masing-masing mereka tidak mencuri barang satu nisab yang dikenakan hukuman pencurian.
Ulama Mazhab Maliki menyatakan, jika dua orang atau lebih mencuri senilai satu nisab, jika barang itu diambil oleh masing-masing orang, tidak dikenakan hukuman pencurian. Akan tetapi, apabila pengambilan barang tersebut dilakukan secara bersama-sama, saling membantu untuk mengeluarkannya (bukan masing-masing mengambil untuk dirinya), maka semuanya dikenakan hukuman potong tangan. Menurut ulama Mazhab Hambali, jika sekelompok orang mencuri barang mencapai nilai satu nisab, maka semuanya dikenakan hukuman potong tangan, dengan pertimbangan tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehormatan harta orang lain.[15]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas, dapat di tarik kesimpulan secara umum  sebagai berikut:
1.    (Pencurian) Sariqah adalah mengambil suatu harta yang tidak ada hak baginya dari tempat penyimpanan secara diam-diam atau sembunyi dari pemilik harta tersebut.
2.    Adapun unsur-unsur dari pencurian antara lain sebagai berikut:
-          Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi
-          Yang dicuri itu bernilai harta (nisabnya ¼ dinar)
-          Harta yang dicuri itu milik orang lain
-          Pencuri itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri.
3.    Adapun sanki pencurian dalam islam merupakan perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong tangan apabila harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab curian.
4.    Seorang yang mencuri, baru dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi beberapa syarat antara lain:
-          Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan berakal
-          Harta yang dicuri disyaratkan (bernilai, mencapai nisab dll)
-          Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar pemilik barang itu
-          Tempat pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya berlaku hukum islam.
5.    Untuk menetapkan hukuman  pencurian dihadapan hakim, diperlukan alat dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana pencurian itu benar-benar terjadi, alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan pengakuan.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Al-Hadits

Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wadh’I (Maktabah Dar al-Urubah, 1992)

Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh cet ke-4 Jilid VII (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997)

H Zainal, Eldin. Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan Cet I (Bandung:Cipta Pustaka, 2011)

Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid Juz II (Mesir: Mustafa Babil Halabi wa Auladuh, 1397 H/1960 M)

Sabiq, Sayyid. Fiqhuz Sunnah (Kuwait: Darul Bayan)

Yusuf, Imaning. Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam (Palembang: Rafah Press, 2009)

#Makalah S1 Syariah dan Hukum UIN Rafah


[1] A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, hlm. 628.
[2] Imaning Yusuf , Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, (Palembang: Rafah Press, 2009) hlm. 71
[3] Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wadh’I, (Maktabah Dar al-Urubah, 1992) hlm. 518
[4] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), cet, ke-4, jilid VII, hal. 5422.
[5] Eldin H Zainal, Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan, (Bandung:Cipta Pustaka Cet.I, 2011), hlm. 139-140
[6] Abdul Qadir Audah, Op. Cit, hlm. 543
[7] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Kuwait: Darul Bayan) hlm. 492
[8] Imaning Yusuf, Op. Cit, hlm. 72-77
[9] Ibid., hlm. 77-80
[10] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz II, (Mesir: Mustafa Babil Halabi wa Auladuh, 1397 H/1960 M) hlm. 446
[11] Ibid., hlm. 448
[12] Ibid., hlm. 447
[13] Imaning Yusuf, Op. Cit, hlm. 83
[14]Ibnu Rusyd, Op. Cit, hlm. 454
[15] Imaning Yusuf, Op. Cit, hlm. 84-86
loading...