Pandangan Ulama Tentang Tanggung Jawab Pencuri
Terhadap Barang Curian (Fiqh Jinayah Perbandingan)
Oleh: Iswahyudi & Naim
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna
dan mengatur segala aspek bagi kehidupan manusia pastinya memiliki sebuah dasar
yang penting yaitu keadilan, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90)
Dalam hal ini, segala jenis kejahatan memang diharapkan pupus di dalam
dunia ini. Akan tetapi, terbukti dari mulai awal kehidupan makhluk bernama
manusia wujud kejahatan tetap ada dan tidak pernah luput di atas bumi.
Kejahatan tersebut berupa pencurian dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
ketika Islam turun, ia memiliki hukum dan hukuman bagi pelaku
kejahatan-kejahatan dan si pelaku dibebankan tanggung jawab atas perbuatannya
itu.
Dan didalam fiqh jinayah telah diatur tentang segala ketentuan dan
hukuman perbuatan yang melanggar syariat dan undang-undang pidana yang berlaku.
Salahsatunya mengenai pencurian yaitu sariqoh.
Sariqah (pencurian) didefinisikan sebagai perbuatan mengambil harta
orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memiliki serta tidak adanya
paksaan.
Oleh karena itu, pada makalah ini
penulis akan membahas atau mengkaji berkenaan dengan pandangan ulama tentang
tanggung jawab pencuri atas barang curiannya.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa
rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah ini, yaitu:
1.
Apa pengertian
dari pencurian (sariqah)?
2.
Bagaimana
unsur-unur dari pencurian?
3.
Bagaimana
sanksi pencurian?
4.
Bagaimana
penerapan hukuman pencurian?
5.
Bagaimana
alat bukti dalam pidana pencurian?
BAB II
PEEMBAHASAN
A. Pengertian Pencurian
(sariqah)
Kata pencurian berasal dari bahasa
Arab al-Sariqah. Menurut bahasa sariqah adalah bentuk
masdar dari kata سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًا dan secara etimologis berarti أَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara
sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.[1]
Dalam ensiklopedi fiqh:
السرقة هي اخذ مال لا حق له فيه من خفيه
“Sariqah adalah mengambil suatu harta yang
tidak ada hak baginya dari tempat penyimpanan”.[2]
Abdul Qadir Audah mendefinisikan pencurian ialah
sebagai tindakan mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi.[3]
Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan Sariqah ialah
mengambil hara milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan
untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori
mencuri adalah mencuri informasi dan pandangan jika dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi.[4]
Muhammad Al-Khatib
As-Sarbini: “Sariqah
ialah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil
dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai
syarat.
Ibnu Arafah mengatakan:
"Menurut masyarakat Arab, pencuri adalah orang yang datang secara
sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan barang orang lain untuk mengambilnya
dengan cara yang tidak benar.”
Mahmud Syaltut adalah pengambil
harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak
dipercayai menjaga barang tersebut.[5]
Dan yang dimaksud dengan mengambil
harta orang lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa
sepengetahuan dan kerelaan pemiliknya.
B.
Unsur-unsur Pencurian
Dari definisi yang dikemukakan oleh
ulama fiqh diatas, maka ada empat unsur yang harus dipenuhi, sehingga tindakan
pengambilan harta orang lain tersebut sebagai tindakan pidana pencurian. Antara
lain sebagai berikut:
1.
Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi. Artinya, pencurian dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik
barang dan pemilik barang tidak rela dengan pengambilan barangnya itu.
Misalnya, pencurian barang itu dilakukan ketika pemilik tidak ada atau pemiliknya
sedang tidur. Pengambilan barang tersebut, menurut Abdul Qadir Audah, harus
bersifat sempurna memenuhi tiga syarat, yaitu:
a.
Pencuri mengambil barang curian dari tempat
pemiliharaanya.
b.
Barang yang dicuri itu lepas dari penguasaan
pemiliknya; dan
c.
Barang yang dicuri itu berada dalam kekuasaan
pencuri.
Apabila salah satu syarat dari
syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tidak dinamakan pencurian.
2.
Yang dicuri itu bernilai harta
Ulama fiqh mengemukakan bahwa harta
yang dicuri itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[6]
a. Harta yang dicuri itu adalah harta
bergerak, karena pencurian itu menghendaki pemindahan harta yang dicuri dari
tempat dan penguasaan pemiliknya ketempat dan penguasaan pencuri. Misalnya rumah
termasuk harta yang tidak bergerak. Tetapi, apabila pencuri melepaskan
ubin-ubinya, kusen-kusen rumah itu, atau kaca-kaca jendelanya, lalu ia ambil,
maka termasuk kedalam kategori benda bergerak disebabkan perbuatan pencuri.
Adapun terhadap tanah, sebagai benda tidak bergerak, dapat juga dicuri apabila
yang dicuri adalah sertifikat tanah tersebut, sehingga penguasaan tanah itu
berpindah tangan dari pemiliknya kepada pencuri.
b. Harta yang dicuri itu bernilai harta
menurut syara’.
c. Harta itu terpelihara di tempat yang
aman, seperti dalam rumah. Sifat pemeliharaan itu ada dua macam, yaitu
pemeliharaan yang bersifat tempat dan pemeliharaan dengan adanya penjaga yang
bertanggung jawab, seperti satpam.
Pemeliharaan harta yang bersifat
tempat itu benar-benar dikhususkan untuk harta tersebut, sehingga untuk
memasukinya seseorang harus meminta izin kepada pemiliknya, seperti rumah,
perkemahan, hotel, kandang, dan lumbung padi. Untuk tempat-tempat seperti ini,
menurut Imam Abu Hanifah, dihukumkan sebagai tempat terpelihara
dan aman, sekalipun pintunya terbuka. Imam Malik mengatakan,
tempat pemeliharaan itu tidak mesti berupa bangunan yang dikhususkan untuk
tempat harta itu, tetapi cukup dengan menjadikan tempat itu sebagai tempat yang
biasa dalam penyimpangan barang. Menurut Imam Syafi’I dan Imam
Ahmad bin Hanbal, tempat pemeliharaan yang bersifat tempat harus
tertutup dan biasanya menjadi tempat pemeliharaan harta, serta berada dalam
bangunan perkampungan penduduk, seperti rumah, hotel dan took-toko. Apabila
pintu bangunan itu terbuka, maka mereka berpendapat tidak termasuk tempat yang
terpelihara secara aman secara aman. Adapun pemeliharaan harta melalui
seseorang yang bertanggung jawab untuk itu, menurut Imam Hanifah,
ditentukan untuk tempat-tempat yang biasanya tidak terjaga dengan aman, seperti
masjid dan jalan umum. Oleh sebab itu, tempat-tempat seperti ini perlu ada
seorang pengaman yang bertanggung jawab. Apabila pada tempat-tempat seperti ini
ada penjaganya, lalu seseorang mengambil harta yang ada disitu, maka menurut Imam
Abu Hanifah dikenakan hukuman pencurian. Kalau tempat harta itu memang
tempat penyimpanan khusus, maka tidak diperlukan adanya orang yang bertanggung
jawab menjaga tempat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama,
tempat harta itu bias merupakan tempat tersendiri, tanpa penjaga, tetapi juga
bisa tempatnya sudah tersendiri khusus, juga ada penjaganya.
d. Harta yang dicuri itu bernilai satu
nisab.
كان رسول الله – صلعم - تقطع يد السار ق
ف ربع دينار فصاعدا
“Rasulullah
SAW memotong tangan pencuri yang mencuri harta senilai seperempat dinar lebih”. (HR. al-Jamaah al-Asqalani Juz IV:
18)
لا تقطع يد السارق أّلّا في ربع دينالر
فصا عدا
“Tidak
dipotong tangan pencuri, kecuali apabila (ia mencuri harta senilai) seperempat
dinar lebih”. (HR. Ahmad (al-Asqalani Juz IV: 18).
Berdasarkan hadits-hadits Rasulullah
SAW ini maka jumhur ulama menyatakan bahwa harta yang dicuri itu
harus mencapai jumlah tertentu. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam
menetapkan nilai harta yang dicuri tersebut. Ulama Mazhab Maliki
mengatakan bahwa nilai harta yang dicuri itu harus tiga dirham dari perak atau
seperempat dinar dari emas. Menurut mereka, tiga dirham itu sama nilainya
dengan seperempat dinar. Apabila terjadi perbedaan nilai tukar dinar dengan
dirham, misalnya, seperempat dinar itu hanya dua dirham atau dua setengah
dirham, maka yang menjadi ukuran bagi mereka adalah tiga dirham perak, bukan
dinar. Dikalangan Mazhab Hambali ada dua pendapat. Pendapat pertama,
yang dijadikan ukuran itu adalah tiga dirham, sama dengan ulama Mazhab
Maliki. Pendapat kedua, mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran apabila
terjadi perbedaan nilai seperempat dinar dengan tiga dirham adalah seperempat
dinar dari emas.
3.
Harta yang dicuri itu milik orang lain. Artinya,
harta yang dicuri itu merupakan milik orang lain ketika berlangsungnya
pencurian.
Disamping itu, apabila harta yang
dicuri itu ada syibh al-milk (dianggap sebagai pemilikan) bagi pencuri, seperti
ana dianggap sebagai ikut memiliki harta ayahnya atau mitra dagang sebagai
pemilik harta serikat, maka ulama Mazhab Hanafi, Syafi’I,
Hambali, dan Syi’ah mengatakan pencuri itu tidak dikenakan potong
tangan karena adanya unsur keraguan dalam masalah pemilikan harta itu dalam
kasus ini. Alas an mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:
أنت وملك لأبيك
“… engkau dan harta engkau
merupakan milik ayahmu … “ (HR. Abu Dawud (Ibnu Rusy Juz II:451)
Oleh sebab itu, maka yang mencuri
harta ayahnya tidak dikenakan hukuman, mitra dagang mencuri harta dagangan yang
menjadi milik serikat, juga tidak dikenakan hukuman, karena adanya syibh
al-Milk. Ibnu Qudamah berpendapat bahwa orang yang mencuri
dari harta kongsinya dimana ia punya saham tidak dikenai potong tangan.[7]
Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki mengatakan apabila mitra dagang
mencuri harta serikat mereka mencapai satu nisab, dikenakan hukuman potongan
tangan.
4.
Pencuri itu dilakukan secara sengaja oleh
pencuri. Maksudnya, pencuri itu meyakini bahwa melakukan pencurian terhadap
harta orang adalah perbuatan yang diharamkan dan mengambil harta orang lain
tanpa izin adalah pekerjaan yang dilarang. Oleh sebab itu, apabila seseorang
mengambil harta yang bersifat mubah, seperti kayu dihutan belantara yang tidak
dimiliki seseorang atau mengambil barang bekas yang sudah dibuang orang,
seperti pakaian usang, maka tidak dikenakan hukuman pencurian, karena
barang-barang seperti ini termasuk barang-barang mubah. Dalam kaitan ini, ulama
fiqh juga mengatakan bahwa apabila orang yang belum mukallaf seperti
anak kecil dan orang gila mengambil harta orang lain tidak dikenakan hukuman,
karena mereka mengambilnya bukan karena suatu kesengajaan dan tidak berkeyakinan
bahwa perbuatan itu dilarang.[8]
C.
Sanksi Pencurian
Pencurian dalam islam merupakan
perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong tangan apabila
harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab curian. Landasan hukum yang
menyatakan hukuman potong tangan ini adalah firman Allah SWT:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
38.
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah: 38)
Alasan lain adalah sabda Rasulullah
SAW:
أنما أهلك من كان قبلكم انه أذا سرق
فيهم الشريف تركوه واذا سرق فيهم الضعيف قطعوه
“Kehancuran umat terdahulu adalah
disebabkan apabila yang mencuri adalah orang-orang terhormat, mereka biarkan
saja, sedangkan apabila yang mencuri rakyat biasa, mereka potong tangannya”. (HR. Al-Bukhori (Ibnu Rusy: 446)
Permasalahan lain yang akan dibahas
ulama dalam hukuman pencurian ini adalah apakah jika seseorang pencuri
dinyatakan bersalah disamping hukuman potong tangan juga dikenakan hukuman
ganti rugi. Ulama sepakat apabila barang yang dicuri itu masih
ada, maka disamping hukuman hukuman potongan tangan juga diwajibkan
mengembalikan barang yang dicuri tersebut. Akan tetapi, jika barang yang dicuri
itu tidak ada lagi (sudah habis), maka menurut ulama Mazhab Hanafi
pencuri tidak diwajibkan membayar ganti rugi. Alasannya adalah bahwa nash tidak
membicarakan hukuman ganti rugi bagi pencuri. Disamping itu Rasulullah SAW
bersabda:
لا يغرم السارق اذا اقيم عليه الحد
“Pencuri tidak mengganti kerugian apabila
hukuman had dijatuhkan”. (al-Asqolani Juz IV: 24)
Ulama Mazhab maliki
mengatakan, jika yang mencuri itu seorang yang berharta, disamping hukuman
potong tangan juga dikenakan kenakan ganti rugi, sebagai hukuman tambahan
baginya. Jika pencurinya orang tidak punya harta, maka ia dikenakan hukuman
potong tangan saja. Adapun ulama Mazhab Syafi’I dan Hambali
berpendapat bahwa pencuri itu dikenakan hukuman potongan tangan dan wajib
mengembalikan barang yang dicuri. Jika barang yang dicuri tersebut sudah habis,
maka pencuri itu wajib menggantinya dengan barang yang sama, dan jika barang
yang sama tidak ada dipasar ia wajib membayar ganti rugi senilai harga barang
yang dicuri.
Disamping itu, mereka juga berpendapat
adanya hukuman tambahan lain bagi pencuri, yaitu menggantungkan tangan yang
dipotong tersebut dengan mengikatnya ke leher sebagai hukuman takzir (hukuman
tambahan dari hakim). Alasan mereka adalah sebuah riwayat yang menyatakan:
ان الني – صلعم – أتي سارق فقطعت يده ثم
امر بها فعلقت في عنقه
“Bahwa seorang pencuri dibawa kehadapan
Rasulullah SAW, lalu dipotong tanganya, setelah itu Rasulullah mengikatkan tangan
yang sudah dipotong itu ke leher pencuri”. (HR. At-Tirmizi)
Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi
dan Maliki mengatakan bahwa mengikatkan tangan ke leher itu hanya
untuk menghindari agar darah jangan banyak keluar, bukan hukuman tambahan.[9]
D.
Penerapan Hukuman
Seorang yang mencuri, baru dapat
dikenakan hukuman apabila memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut
adalah:
1.
Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh
dan berakal, karena Rasulullah SAW menyatakan:
رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن
المجنون حتى يعقل وعن النا ئم حتى يحتلم
“Perbebanan hukum diangkat dalam tiga hal,
yaitu anak kecil sampai ia mimpi, orang gila sampai ia sembuh, dan orang yang
tidur sampai ia bangun”. (HR. Al-Bukhori)
Oleh sebab itu, orang yang belum cakap
bertindak hukum tidak bisa dikenakan hukuman pencurian. Disamping itu, ulama Mazhab
Syafi’I dan Hambali menambahkan syarat orang yang mencuri
tersebut haruslah atas kesadaran sendiri, bukan dipaksa orang lain
2.
Harta yang dicuri disyaratkan:
a.
Harta yang dicuri itu adalah harta yang bernilai.
Oleh sebab itu, jika yang dicuri tersebut adalah barang yang tidak bernilai
dalam islam, seperti minuman keras (tuak), babi, dan mayat, tidaklah dikenakan
hukuman pencurian. Hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
b.
Harta yang dicuri tersebut mencapai satu nisab.
Nisab barang curian tersebut adalah senilai satu dinar atau sepuluh dirham
menurut ulama Mazhab Hanafi, dan seperempat dinar menurut jumhur
ulama. Perbedaan pendapat ini muncul, menurut Wahbah az-Zuhaili,
karena perbedaan penafsiran tentang harga sebuah perisai tersebut seharga tiga
dirham, dan dan tiga dirham itu adalah seperempat dinar. Menurut ulama Mazhab
Hanafi harga perisai itu 10 dirham, dan 10 dirham menurut mereka samap
dengan satu dinar. Jika dikurskan dengan nilai mata uang sekarang, menurut Syauqi Ismai’il
Syahatah, satu dinar tersebut terdiri atas 4, 45714 gram emas
(dibulatkan 4,5 gram emas). Dengan demikian, nisab barang curian yang dikenakan
hokum potong tangan menurut jumhur ulama adalah 4,5 : 4 = 1, 125
gram emas, dan ulama Mazhab Hanafi senilai 4,5 gram emas.
Persoalan lain yang dibahas ulama tentang nisab barang curian ini adalah nilai
barang curian tersebut. Menurut Mazhab Hanafi,[10]
nilai barang curian tersebut harus tetap seharga 10 dirham sejak barang itu
dicuri sampai dilaksanakannya hukuman potong tangan. Apabila antara waktu
pencurian dengan waktu pelaksanaan hukuman barang curian itu berubah nilainya
(turun harganya) terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka, ada yang menyatakan
tetap berlaku hukaman pencurian, adapula yang menyatakan hukuman pencurian
tidak bisa dilaksanakan karena nilai yang dicuri tidak satu nisab lagi.
Menurut Imam Malik, Imam
asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal
harga patokan yang dijadikan dasar adalah harga barang ketika terjadi
pencurian, bukan ketika pelaksanaan hukuman.[11]
c.
Barang yang dicuri itu terpelihara secara aman,
seperti barang-barang di dalam rumah, toko, atau lemari.
d.
Barang yang dicuri tersebut berupa materi yang
bisa dikuasai dan dihadirkan ketika dibutuhkan.
e.
Barang yang dicuri tersebut bukan barang yang
pada dasarnya sesuatu yang mubah (dibolehkan diambil siapa saja), seperti
burung yang terbang diudara, ikan dilaut, rumput, dan kayu dihutan, kecuali
yang harganya tinggi. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanafi.[12]
Akan tetapi, bagi jumhur ulama semuanya itu termasuk benda yang
dikenakan hukuman pencurian jika terpelihara dengan baik dan mencapai satu
nisab. Pendapat ini mereka kemukakan, karena surat al-Ma’idah (5) ayat 38,
diatas tidak membeda-bedakan harta tersebut.
f.
Harta yang dicuri tersebut bukan hak pencuri atau
hak bersama masyarakat, seperti mushaf Al-Qur’an yang ada dimasjid dan harta
orang kafir harbi.
g.
Orang yang mencuri bukan orang yang diberi izin
memenuhi tempat pemeliharaan tersebut.
3.
Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar
pemilik barang itu, atau barang itu merupakan amanah ditangan nya.
4.
Tempat pencurian haruslah diwilayah yang
didalamnya berlaku hukum islam.[13]
E.
Alat Bukti dalam Pidana Pencurian
Untuk menetapkan hukuman pencurian dihadapan hakim, diperlukan alat
dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana pencurian itu benar-benar
terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan pengakuan.[14]
Untuk saksi disyaratkan
1.
Dua orang pria
2.
Orang yang adil
3.
Saksi yang menyaksikan pencurian secara langsung
4.
Kesaksian yang diberikan tidak kadaluarsa
5.
Gugatan diajukan oleh orang yang berhak
menggugat.
Adapun kesaksian wanita dalam kasus
pencurian, sekalipun jumlahnya empat orang (ganti dua orang pria) atau lebih,
atau satu laki-laki dan dua orang wanita, menurut jumhur ulama
tidak diterima kesaksian mereka adalah:
وَاسْتَشْهِدُ وْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ
رِّ جَا لِكُمْ ...
“Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari laki-laki”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Akan tetapi, ulama Mazhab
az-Zahiri mengatakan bahwa kesaksian dua orang wanita dan satu orang
pria (ganti dua orang pria) bisa diterima dalam masalah hudud, termasuk dalam
masalah pencurian, apabila wanita itu lebih dari satu orang. Alasanya:
فَأِن لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَ تَانِ ...
“Jika tidak ada dua orang laki-laki,
maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Akan tetapi, jumhur ulama
mengatakan bahwa pencurian termasuk salah satu jarimah hudud dan untuk jarimah
hudud saksi minimal itu adalah dua orang laki-laki.
Adapun syarat yang menyangkut
pengakuan (ikrar) menurut Imam Abu Hanifah, dan jumhur
ulama cukup dikemukakan sekali pengakuan saja. Akan tetapi menurut Imam
Abu Yusuf pengakuan itu harus dua kali, dianalogikan kepada saksi yang juga
harus dua orang.
Apabila pencuri tersebut adalah
sekelompok orang, maka apabila masing-masing pencuri berhasil mendapat bagian
barang curian senilai satu nisab, maka ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa masing-masing mereka dikenakan hukum pencurian. Apabila barang
yang dicuri kelompok pencuri itu hanya bernilai satu nisab, maka menurut Imam
Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’I tidak dikenakan hukuman
potong tangan, karena masing-masing mereka tidak mencuri barang satu nisab yang
dikenakan hukuman pencurian.
Ulama Mazhab Maliki
menyatakan, jika dua orang atau lebih mencuri senilai satu nisab, jika barang
itu diambil oleh masing-masing orang, tidak dikenakan hukuman pencurian. Akan
tetapi, apabila pengambilan barang tersebut dilakukan secara bersama-sama,
saling membantu untuk mengeluarkannya (bukan masing-masing mengambil untuk
dirinya), maka semuanya dikenakan hukuman potong tangan. Menurut ulama Mazhab
Hambali, jika sekelompok orang mencuri barang mencapai nilai satu
nisab, maka semuanya dikenakan hukuman potong tangan, dengan pertimbangan
tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap kehormatan harta orang lain.[15]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, dapat
di tarik kesimpulan secara umum sebagai
berikut:
1. (Pencurian) Sariqah adalah
mengambil suatu harta yang tidak ada hak baginya dari tempat penyimpanan secara
diam-diam atau sembunyi dari pemilik harta tersebut.
2. Adapun unsur-unsur dari pencurian antara lain sebagai berikut:
-
Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau
sembunyi-sembunyi
-
Yang dicuri itu bernilai harta (nisabnya ¼ dinar)
-
Harta yang dicuri itu milik orang lain
-
Pencuri itu dilakukan secara sengaja oleh
pencuri.
3. Adapun sanki pencurian dalam islam
merupakan perbuatan tindak pidana yang berat dan dikenakan hukuman potong
tangan apabila harta yang dicuri tersebut bernilai satu nisab curian.
4. Seorang yang mencuri, baru dapat
dikenakan hukuman apabila memenuhi beberapa syarat antara lain:
-
Pelaku tindak pidana haruslah seorang yang baligh
dan berakal
-
Harta yang dicuri disyaratkan (bernilai, mencapai
nisab dll)
-
Pemilik barang yang dicuri, haruslah benar-benar
pemilik barang itu
-
Tempat pencurian haruslah diwilayah yang
didalamnya berlaku hukum islam.
5. Untuk menetapkan hukuman pencurian dihadapan hakim, diperlukan alat
dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana pencurian itu benar-benar
terjadi, alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan pengakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Hadits
Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri
al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wadh’I (Maktabah Dar al-Urubah,
1992)
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh
Al-Islami wa Adilatuh cet ke-4 Jilid VII (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997)
H Zainal, Eldin. Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan Cet I (Bandung:Cipta Pustaka,
2011)
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997)
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid
Juz II (Mesir: Mustafa Babil Halabi wa Auladuh, 1397 H/1960 M)
Sabiq, Sayyid. Fiqhuz Sunnah (Kuwait:
Darul Bayan)
Yusuf, Imaning. Fiqh Jinayah
Hukum Pidana Islam (Palembang: Rafah Press, 2009)
#Makalah S1 Syariah dan Hukum UIN Rafah
[1] A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, hlm. 628.
[2]
Imaning Yusuf , Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam, (Palembang: Rafah
Press, 2009) hlm. 71
[3]
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun
al-Wadh’I, (Maktabah Dar al-Urubah, 1992) hlm. 518
[4] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,
(Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), cet, ke-4, jilid VII, hal. 5422.
[5] Eldin H Zainal, Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan, (Bandung:Cipta Pustaka Cet.I, 2011), hlm. 139-140
[6]
Abdul Qadir Audah, Op. Cit, hlm. 543
[7] Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Kuwait: Darul Bayan) hlm. 492
[8]
Imaning Yusuf, Op. Cit, hlm. 72-77
[9] Ibid.,
hlm. 77-80
[10]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz II, (Mesir: Mustafa Babil Halabi wa
Auladuh, 1397 H/1960 M) hlm. 446
[11] Ibid.,
hlm. 448
[12] Ibid.,
hlm. 447
[13]
Imaning Yusuf, Op. Cit, hlm. 83
[14]Ibnu
Rusyd, Op. Cit, hlm. 454
[15]
Imaning Yusuf, Op. Cit, hlm. 84-86