Sunday, 29 November 2015

Contoh Permohonan Pengujian Pasal 1 angka 19 dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jakarta, 22 Mei  2015

Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Merdeka Barat No. 6
Jakarta 10110

Perihal:  Permohonan Pengujian Pasal 1 angka 19 dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Dengan hormat,
Perkenan kami dibawah ini:
1.         Nama                 :   Puspasari, S.Sy SH
Umur                 :   21 Tahun
Alamat               :  Jln. Angkatan 66, Rt. 006, Rw. 003, Kel. Kancil Kec. Ilir Barat                       Palembang.
Agama               :   Islam
Pekerjaan           :   Direktur PT. Gasindo Indonesia Palembang.

2.      Nama                :   Rezasasmi Hidayat, SE,` MBA
Umur                 :   22 Tahun
Alamat                           :   Jln. Talang Keranggo, Rt. 021, Rw. 002,  Kel. Seduduk Kec. Ilir Barat Palembang.
Agama               :   Islam
Pekerjaan           :   Dosen (Dosen Fakultas Teknik UNSRI Palembang)

3.      Nama                 :   Ide Bagus Adil, S.Sy SH MM
Umur                 :   30 Tahun
Alamat               :   Jln, Mandi Api Rt. 029, Rw. 005, Kel. Talang Ratu Palembang.
Agama              :   Islam
Pekerjaan           :   Wiraswasta

4.    Nama                 :   Mustofa Kamal, S.Ud M.Si
Umur                 :   30 Tahun
Alamat               :   Jln. Lebak Mulyo, Rt. 067, Rw. 011, Kel. Sekip Jaya Kec. Ilir Timur
                           Palembang
Agama              :   Islam
Pekerjaan           :   Wiraswasta
           
Dalam hal ini memberikan kuasa berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 Mei 2015, kepada:
Yang dalam hal ini dikuasakan kepada Dr. H. Iswahyudi, S.Sy, SH, M.Sy, Bambang, S.Sy, SH, David, S.Sy, SH, Bayu, S. Sy, SH dan Dwi, S.Sy SH. Merupakan advokat dari APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia) PALEMBANG, yang beralamat kantor di Jln. Prof KH Zainal Abidin Fikri, Kel. Pahlawan Kec. Kemuning Km3,5 Palembang Sumatera Selatan. Berdasarkan surat kuasa khusus dengan nomor 225./Sk. Khs/MK/2015, tanggal 2 bulan mei tahun 2015.

Untuk selanjutnya disebut PARA PEMOHON.

Sebagaimana perihal pokok surat di atas, perkenankan untuk dan atas nama PARA PEMOHON in casu, bersama ini mengajukan Permohonan  Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan GasBumi (selanjutnya disebut sebagai UU Migas) sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

I.                   Kewenangan Mahkamah
1.      Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) diatur dalam : (a) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; (b) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; dan (d) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;

2.      Bahwa Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

3.      Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”

4.      Bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”

5.      Bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Bahwa Hal ini jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji UU Migas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II.                KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1.      Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a.       Perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.      Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.       Badan hukum publik atau privat; atau
d.      Lembaga negara.

2.      Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a.       Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.      Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.       Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.      Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.       Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

3.      Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang terhadap UUD 1945”.

4.      Bahwa PARA PEMOHON adalah perorangan dan badan hukum publik  yang dirugikan hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal-Pasal yang terkandung didalam UU Migas, antara lain:

a.       Pasal 1 angka 19 UU Migas: ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

b.      Pasal 1 angka 23 UU Migas:Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi”;

c.       Pasal 3 huruf b UU Migas: ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang diselenggaraka­n melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan

d.      Pasal 4 ayat (3) UU Migas:”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23”

e.       Pasal 6 UU Migas:”(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik peyerahan; (b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”.

f.       Pasal 9 UU Migas: ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”.

g.      Pasal 10 UU Migas: ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”.

h.      Pasal 11 ayat (2) UU Migas: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

i.        Pasal 44 UU Migas:(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”

j.        Pasal 13 UU Migas: ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.”

5.      BahwaPARA PEMOHON memiliki hak, kerugian dan kepentingan konstitusionalin casu, antara lain sebagai berikut:

a.       Bahwa PARA PEMOHON memiliki hak yang dijamin oleh UUD 1945 yakni: Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;

b.      Bahwa Pasal 28C ayat (2) menyatakan”Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Bahwa PARA PEMOHON merasakan dengan masih diberlakukannya UU Migas walaupun telah melakukan pengujian konstitusional melalui Putusan No. 002/PUU-I/2003, PARA PEMOHON merasakan bahwa pembatalan norma yang dilakukan oleh Mahkamah tidaklah berdampak signifikan bagi PARA PEMOHON dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan Pemerintah kerap kali membuat peraturan yang berada dibawah UU dan kebijakan, yang jelas bertentangan dengan makna substantif dari Putusan Mahkamah No.002/PUU-I/2003. PARA PEMOHON beranggapan bahwa dengan daya operasional UU a quo masih menerapkan konsep liberalisasi Industri migas, maka konsep yang dianut UU a quo akan terus menerus(dan bahkan telah) merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia dalam hal sumber daya alam. Oleh karenanya PARA PEMOHON menggunakan hak konstitusionalnya dalam rangka membangun masyarakat, bangsa, dan negara untuk menjadi sebagaimana yang dicita-citakan didalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang telah dan akan terhambat jika UU Nomor 22 Tahun 2001 yang merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia, tetap terus diberlakukan;

c.       Bahwa Pasal 28D UU ayat (1) UUD 1945:”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Bahwa PARA PEMOHONmenganggap beberapa norma-norma yang terkandung didalam UU a quo mempunyai makna yang multi tafsir, sehingga PARA PEMOHON beranggapan bahwa ketidakadanya kepastian hukum dalam beberapa norma yang termaktub di dalam UU a quo maka menghilangkan hak konstitusional PARA PEMOHON dalam memperoleh jaminan dan perlindungan hukum;

d.      Bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.PARA PEMOHON merasakan bahwa dengan masih diberlakukannya UU Migasmengakibatkan kemampuan masyarakat masyarakat untuk mendapatkan hak konstitusionalnya untuk dapat hidup sejahtera lahir dan batin, kualitas kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak menjadi terhambat karena kebijakan penentuan harga berdasarkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar masih terus digunakan sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 2001;

e.       Bahwa Pasal 33  ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan bahwa(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Makna pasal ini sendiri telah ditafsirkan oleh Mahkamah pada putusan 002/PUU-I/2003, 012/PUU-2003, dan 21-22/PUU-V/2007. Secara garis besar Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) tentang pengertian ”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sebagal sumber kekayaan ”bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjunya menurut Mahkamah cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.Hingga saat ini pengelolaan Migas berdasarkan UU a quo tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Lima ketentuan tersebut merupakan satu kesatuan sehingga, hak untuk terpenuhi hajat hidup PARA PEMOHON yang juga merupakan hajat hidup bangsa Indonesia menjadi terhambat.

f.       Bahwa Pemohon I s/d X memiliki hak konstitusional, Pemohon I s/d X sebagai Persyarikatan dan/atau Badan Hukum, Pemohon I s/d X juga sebagai pembayar pajak (tax payer), dan Pemohon I s/d Xjuga concern terhadap dengan kepentingan publik, dan kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.oleh karenanya Pemohon I s/d X memiliki kedudukan hukum sebagai badan hukum dalam pengujian Pasal a quo terhadap UUD 1945 

g.      Bahwa Pemohon XI s/d XLII merupakan perorangan Warga Negara Indonesia yang terhalang pemenuhan haknya yang dijamin melalui Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karenanya Pemohon VI s/d IX menggunakan haknya sebagaimana terkandung dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dengan melakukan pengujian Pasal a quo terhadap UUD 1945

III.             ALASAN DAN POKOK PERMOHONAN
Bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara mempunyai cita hukum (rechtsidee). Cita hukum bangsa Indonesia inilah yang merupakan pemandu arah kehidupan bangsa Indonesia. Pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum bangsa Indonesia untuk membangun negara yang merdek, berdaulat, adil dan makmur. Didalam Pembukaan UUD 1945 terdapat Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yakni (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 adalah konstitusi bagi bangsa Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila norma fundamental bagi konstitusi itu sendiri. Pembentukan hukum dalam perspektif keIndonesiaan adalah penjabaran Pancasila kedalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, suatu UU tidak boleh tidak dijiwai Pancasila, dengan tidak munculnya suatu UU yang tidak menjiwai Pancasila maka UU tersebut telah mengkhianati nilai-nilai keagamaan, kebangsaan, kebhinekaan dalam ketunggal ikaan hukum, dan nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU Migas sejak awal pembentukannya menuai kontroversi, dikarenakan tidak menjiwai Pancasila. Ketika reformasi bergulir, salah satu agenda reformasi yang dibangun yang juga mempengaruhi konfigurasi politik ketika pembentukan UU Migas adalah desakan internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia.
Salah satu upaya desakan internasional melalui Memorandum of Economic and Finance Policies (letter of IntentIMF) tertanggal 20 Januari 2000 adalah mengenai monopoli penyelenggaraan Industri Migas yang pada saat itu dituding sebagai penyeban inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu merajalela. Oleh karena itu salah satu faktor pendorong pembentukan UU Migas di tahun 2001 adalah untuk mengakomodir tekanan asing dan bahkan kepentingan asing. Sehingga monopoli pengelolaan Migas melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU No. 8 Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas. Kepentingan Internasional yang menyusupi dalam setiap pertimbangan politik yang diambil dalam UU Migas menjadikan pembentukan UU Migas meskipun dianggap melalui prosedur formal yang telah ditentukan, tetapi bisa menjadi cacat ketika niat pembentukan UU Migas adalah untuk mencederai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sehingga penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak hanyalah menjadi sebuah ilusi konstitusional semata;

-          Pasal 1 angka 19 dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
-          Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3)  UUD 1945

1.      Bahwa saat ini pengelolaan Migas sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan kepada Pemerintah cq. Menteri ESDM sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas yakni; ”(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; (b). Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”. Selanjutnya, Pasal 1 angka 19 UU Migas sendiri mengaturbahwa ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.“ frasa ”bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya tersebut. hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu frasa “dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama”menunjukan adanya penggunaan sistem kontrak dalam pengendalian pengelolaan migas yang multitafsir tersebut, keadaan yang demikian inimaka akan melekat asas-asas hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada NEGARA. Asas keseimbangan dinyatakan oleh Herlien Budiono sebagai (i) asas yang bersifat etikal, sehingga keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang, dan (ii) asas keseimbangan sebagai asas yuridikal dan justice, maka ketika suatu kontrak berkonstruksi tidak seimbang bagi para pihak, maka kontrak tersebut dapat dinilai tidak seimbang. Asas Proporsionalitas menurut Sogar Simamora didalam disertasinya mengemukakan bahwa adanya kewajiban yang setimpal sepenanggungan. Keadaan yang demikian ini jelas SANGAT MERENDAHKAN MARTABAT NEGARA, karena dalam kontrak kerja sama dalam UU Migas yang berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi atau korporasi swasta sehingga apabila terjadi sengketa, yang kontrak pada umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa dan mengadili sengketa sehingga, akibat hukumnya apabila negara kalah berarti kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat negara.

2.      Bahwa lahirnya Badan Pelaksana Migas (BP Migas)  adalah atas perintahPasal 4 ayat (3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi kabur (obscuur). Hal ini dikarenakan BPMigas yang bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan produksi migas sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 44 UU Migas bahwa:

(1) Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
Bahwa  atas ketentuan Pasal 44 ketentuan tersebut diatas, maka pengelolaan sebagaimana yang dikehendaki Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Ini didasari bahwa BP Migas bukan operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa kehadiran BP Migas menbonsai Pasal 33  ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional;

3.      Bahwa kedudukan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan tidak memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini berdampak kepada cost recovery tidak memiliki ambang batas yang jelas.Kekuasaan yang sangat besar tersebut akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi kerugian negara akibat pembebanan cost recovery sektor migas yang tidak tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7 milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK kembali menemukan17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan negara yang tidak sedikit.

4.      Bahwa Pasal 3 huruf b UU Migas menyatakan  ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang diselenggaraka­n melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat 2 tentang penetapan ”Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Tetapi Pasal 3 huruf b yang merupakan jantung dari UU a quobelum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan Mahkamah No. 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu Para Pemohon merasa Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo untuk mencabut keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan liberalisasi migas yang sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Ayat (2)  yang menyatakan ”cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan ayat (3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;

5.      Bahwa Pasal 9 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara; b. Badan Usaha Milik Daerah; c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan migas. Jadi, BUMN harus bersaing dinegaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.
6.      Bahwa Pasal 10 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.” Norma-norma ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus melakukan pemecahan organisasi secara vertikaldan horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya persaingan terbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang menguntungkan, namun merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas Mahkamah melalui Putusan MK. No. 002/PUU-I/2003 yang tidak mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan untuk harga minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau tidak mau sistem yang terbangun dalam Pasal 10, dan Pasal 13 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan tentunya Putusan MK No. 002/PUU-I/2003;

7.      Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan bahwa “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan  Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A menyatakan “(1) Dewan Perwakilan Rakyat  memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,  dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur didalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur didalam undang-undang”. Berdasarkan konstruksi yang demikian itu, maka KKS merupakan tergolong kedalam perjanjian internasional lainnya yang sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yakni yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara harus mendapatkan persetujuan DPR. Pengaturan yang terdapat didalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari Pasal 1 ayat (2) dikarenakan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan berdasarkan UUD, sedangkan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. selain itu, dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya Kontrak Kerja Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam, dalam fungsi toezichthoudensdaad yang ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan mengandung di dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi dan kenyataan tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-aspek mendasar dalam kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun kontrak kerja sama bidang migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan tertulis saja kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, maka pasal tersebut telah tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.

IV.             KESIMPULAN
UU Migas telah mendegradasikan kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan hukum sehingga menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia sendiri. Migas yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak ubahnya seperti membentuk konstitusi diatas UUD 1945 yang merupakan konstitusi bagi seluruh bangsa Indonesia. Apabila DPR dan Presiden hanya mampu diam dan membuat rakyat menunggu datangnya UU Migas yang lebih bercorak ”merah putih” adalah suatu kenisbian, maka PARA PEMOHON berharap bahwa palu yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah palu yang diharapkan menyelamatkan UU yang dzalim dan bertentangan dengan UUD 1945 dengan membatalkan UU Migas

V.    PETITUM
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, mohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

1.      Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2.      Menyatakan Pasal 1 angka 19 dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja Sama lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

3.      Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”, Pasal 10, Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat

4.      Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

5.      Menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, karena norma-norma yang terkandung bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke 5 yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).


 Hormat Kami
              Kuasa Hukum Pemohon




    Dr. H. Iswahyudi, S.Sy, SH, M.Sy


loading...