Jakarta, 22 Mei 2015
Yth. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jalan Merdeka Barat No. 6
Jakarta 10110
Perihal: Permohonan Pengujian Pasal 1 angka
19 dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11
ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan hormat,
Perkenan kami dibawah ini:
1.
Nama : Puspasari, S.Sy SH
Umur : 21 Tahun
Alamat : Jln. Angkatan 66, Rt. 006, Rw. 003, Kel.
Kancil Kec. Ilir Barat Palembang.
Agama : Islam
Pekerjaan : Direktur PT. Gasindo Indonesia Palembang.
2.
Nama :
Rezasasmi Hidayat, SE,` MBA
Umur : 22 Tahun
Alamat : Jln. Talang Keranggo, Rt. 021, Rw. 002, Kel. Seduduk Kec. Ilir Barat Palembang.
Agama : Islam
Pekerjaan : Dosen (Dosen Fakultas Teknik UNSRI Palembang)
3.
Nama : Ide Bagus Adil, S.Sy SH MM
Umur : 30 Tahun
Alamat :
Jln, Mandi Api Rt. 029, Rw. 005, Kel. Talang Ratu Palembang.
Agama :
Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
4.
Nama : Mustofa Kamal, S.Ud M.Si
Umur : 30 Tahun
Alamat : Jln. Lebak Mulyo, Rt. 067, Rw. 011, Kel.
Sekip Jaya Kec. Ilir Timur
Palembang
Agama :
Islam
Pekerjaan :
Wiraswasta
Dalam hal ini memberikan kuasa
berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 Mei 2015, kepada:
Yang
dalam hal ini dikuasakan kepada Dr. H. Iswahyudi, S.Sy, SH, M.Sy, Bambang,
S.Sy, SH, David, S.Sy, SH, Bayu, S. Sy, SH dan Dwi, S.Sy SH. Merupakan advokat
dari APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia) PALEMBANG, yang beralamat
kantor di Jln. Prof KH Zainal Abidin Fikri, Kel. Pahlawan Kec. Kemuning Km3,5
Palembang Sumatera Selatan. Berdasarkan surat kuasa khusus dengan nomor 225./Sk.
Khs/MK/2015, tanggal 2 bulan mei tahun 2015.
Untuk selanjutnya disebut PARA PEMOHON.
Sebagaimana
perihal pokok surat di atas, perkenankan untuk dan atas nama PARA PEMOHON in casu, bersama ini mengajukan
Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan
GasBumi (selanjutnya disebut sebagai UU Migas) sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
I.
Kewenangan Mahkamah
1. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)
diatur dalam : (a) Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; (b) Pasal 10 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (c) Pasal 29
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
dan (d) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Pengujian Undang-Undang;
2. Bahwa Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”.
3. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”
4. Bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar”
5. Bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang. Bahwa Hal ini jelas bahwa Mahkamah Konstitusi
mempunyai kewenangan untuk menguji UU Migas terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
II.
KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING)
PEMOHON
1.
Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan
oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a.
Perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.
Badan hukum publik atau privat; atau
d.
Lembaga negara.
2.
Bahwa
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a.
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b.
Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.
Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d.
Adanya hubungan sebab-akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
e.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3.
Bahwa kelima
syarat sebagaimana dimaksud diatas dijelaskan lagi oleh Mahkamah melalui
Putusan Mahkamah No. 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua
Undang-Undang Mahkamah Agung (hlm 59), yang menyatakan: “dari praktik Mahkamah (2003-2009),
perorangan WNI, terutama pembayar pajak (tax payer); vide Putusan Nomor
003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM, yang concern terhadap suatu
Undang-Undang demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah Daerah, lembaga
negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, Undang-Undang
terhadap UUD 1945”.
4.
Bahwa PARA PEMOHON adalah
perorangan dan badan hukum publik yang dirugikan hak konstitusionalnya
atas berlakunya Pasal-Pasal yang terkandung didalam UU Migas, antara lain:
a. Pasal 1 angka 19 UU Migas: ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil
atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi
yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
b. Pasal 1 angka 23 UU Migas:“Badan Pelaksana adalah
suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di
bidang Minyak dan Gas Bumi”;
c. Pasal 3 huruf b UU Migas: ”Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas dan Gas
Bumi bertujuan:.....(b) menjamin
efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan,
penyimpangan dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”
d. Pasal 4 ayat (3) UU Migas:”Pemerintah sebagai pemegang Kuasa
Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 23”
e. Pasal 6 UU Migas:”(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan
sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik peyerahan; (b). Pengendalian
manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan risiko seluruhnya
ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”.
f. Pasal 9 UU Migas: ”(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha
Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a.
Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya
dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”.
g. Pasal 10 UU Migas: ”(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang
melakukan usaha hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha
yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan usaha Hulu”.
h. Pasal 11 ayat (2) UU Migas: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah
ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia”.
i.
Pasal 44 UU Migas:”(1)
Pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan
Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara
dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.; (3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas
kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak
Kerja Sama; b. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan
menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan
dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d.
memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana
dimaksud dalam huruf c; e. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;
f. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan
Kontrak Kerja Sama; g. menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian
negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
j.
Pasal 13 UU Migas: ”(1) Kepada
setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah
kerja; (2) dalam hal badan usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa
wilayah kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah
kerja.”
5.
BahwaPARA PEMOHON memiliki hak, kerugian dan kepentingan
konstitusionalin casu, antara
lain sebagai berikut:
a. Bahwa PARA PEMOHON memiliki
hak yang dijamin oleh UUD 1945 yakni: Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1)
Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
b. Bahwa Pasal 28C ayat (2)
menyatakan”Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya”. Bahwa PARA PEMOHON merasakan
dengan masih diberlakukannya UU Migas walaupun telah melakukan pengujian
konstitusional melalui Putusan No. 002/PUU-I/2003, PARA PEMOHON
merasakan bahwa pembatalan norma yang dilakukan oleh Mahkamah tidaklah
berdampak signifikan bagi PARA PEMOHON dan bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Hal ini dikarenakan Pemerintah kerap kali membuat peraturan yang
berada dibawah UU dan kebijakan, yang jelas bertentangan dengan makna
substantif dari Putusan Mahkamah No.002/PUU-I/2003. PARA PEMOHON
beranggapan bahwa dengan daya operasional UU a quo masih menerapkan konsep liberalisasi Industri migas, maka
konsep yang dianut UU a quo
akan terus menerus(dan bahkan telah) merugikan kepentingan bangsa,
negara dan rakyat Indonesia dalam hal sumber daya alam. Oleh karenanya PARA
PEMOHON menggunakan hak konstitusionalnya dalam rangka membangun
masyarakat, bangsa, dan negara untuk menjadi sebagaimana yang dicita-citakan
didalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang telah dan akan terhambat jika UU Nomor
22 Tahun 2001 yang merugikan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia,
tetap terus diberlakukan;
c. Bahwa Pasal 28D UU ayat (1) UUD
1945:”Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”. Bahwa PARA PEMOHONmenganggap
beberapa norma-norma yang terkandung didalam UU a quo mempunyai makna yang multi tafsir, sehingga PARA PEMOHON
beranggapan bahwa ketidakadanya kepastian hukum dalam beberapa norma yang
termaktub di dalam UU a quo
maka menghilangkan hak konstitusional PARA PEMOHON dalam memperoleh
jaminan dan perlindungan hukum;
d. Bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD 1945
menyatakan: ”Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.PARA
PEMOHON merasakan bahwa dengan masih diberlakukannya UU Migasmengakibatkan
kemampuan masyarakat masyarakat untuk mendapatkan hak konstitusionalnya untuk
dapat hidup sejahtera lahir dan batin, kualitas kesehatan, pendidikan, dan
tempat tinggal yang layak menjadi terhambat karena kebijakan penentuan harga
berdasarkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar masih terus
digunakan sepanjang berlakunya UU No. 22 Tahun 2001;
e. Bahwa Pasal 33 ayat (1),
(2), dan (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Makna pasal ini sendiri telah ditafsirkan oleh Mahkamah pada putusan
002/PUU-I/2003, 012/PUU-2003, dan 21-22/PUU-V/2007. Secara garis besar Mahkamah
menyatakan bahwa Pasal 33 ayat (2) dan (3) tentang pengertian ”dikuasai oleh negara”
haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang
bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas sebagal
sumber kekayaan ”bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula didalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuurdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjunya menurut Mahkamah cabang-cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: “(i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (iii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat
hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat
hidup orang banyak.”Hingga saat ini
pengelolaan Migas berdasarkan UU a quo
tidak memenuhi unsur kebijakan (beleid),
tindakan pengurusan (bestuurdaad),
pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad).
Lima ketentuan tersebut merupakan satu kesatuan sehingga, hak untuk terpenuhi
hajat hidup PARA PEMOHON yang juga merupakan hajat hidup bangsa
Indonesia menjadi terhambat.
f. Bahwa Pemohon I
s/d X memiliki hak konstitusional, Pemohon I s/d X sebagai
Persyarikatan dan/atau Badan Hukum, Pemohon I s/d X juga sebagai
pembayar pajak (tax payer), dan
Pemohon I s/d Xjuga concern terhadap dengan kepentingan publik, dan
kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.oleh karenanya Pemohon I s/d X memiliki
kedudukan hukum sebagai badan hukum dalam pengujian Pasal a quo terhadap UUD 1945
g. Bahwa Pemohon XI s/d XLII merupakan
perorangan Warga Negara Indonesia yang terhalang pemenuhan haknya yang dijamin
melalui Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945. Oleh karenanya Pemohon VI s/d IX menggunakan
haknya sebagaimana terkandung dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dengan
melakukan pengujian Pasal a quo
terhadap UUD 1945
III.
ALASAN DAN POKOK PERMOHONAN
Bangsa
Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
mempunyai cita hukum (rechtsidee).
Cita hukum bangsa Indonesia inilah yang merupakan pemandu arah kehidupan bangsa
Indonesia. Pembukaan UUD 1945 adalah cita hukum bangsa Indonesia untuk
membangun negara yang merdek, berdaulat, adil dan makmur. Didalam Pembukaan UUD
1945 terdapat Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia, yakni (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan
beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD 1945 adalah konstitusi
bagi bangsa Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila norma fundamental bagi
konstitusi itu sendiri. Pembentukan hukum dalam perspektif keIndonesiaan adalah
penjabaran Pancasila kedalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
suatu UU tidak boleh tidak dijiwai Pancasila, dengan tidak munculnya suatu UU yang tidak menjiwai
Pancasila maka UU tersebut telah mengkhianati nilai-nilai keagamaan,
kebangsaan, kebhinekaan dalam ketunggal ikaan hukum, dan nilai keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU Migas sejak
awal pembentukannya menuai kontroversi, dikarenakan tidak menjiwai Pancasila.
Ketika reformasi bergulir, salah satu agenda reformasi yang dibangun yang juga
mempengaruhi konfigurasi politik ketika pembentukan UU Migas adalah desakan
internasional untuk mereformasi sektor energi khususnya Migas. Reformasi sektor
energi antara lain menyangkut (1) reformasi harga energi dan (2) reformasi
kelembagaan pengelola energi. Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya
pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk
memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis
migas di Indonesia.
Salah satu
upaya desakan internasional melalui Memorandum
of Economic and Finance Policies (letter
of IntentIMF) tertanggal 20 Januari 2000 adalah mengenai monopoli
penyelenggaraan Industri Migas yang pada saat itu dituding sebagai penyeban
inefesiensi dan korupsi yang pada saat itu merajalela. Oleh karena itu salah satu
faktor pendorong pembentukan UU Migas di tahun 2001 adalah untuk mengakomodir
tekanan asing dan bahkan kepentingan asing. Sehingga monopoli pengelolaan Migas
melalui Badan Usaha Milik Negara (Pertamina) yang pada saat berlakunya UU No. 8
Tahun 1971 menjadi simbol badan negara dalam pengelolaan migas menjadi
berpindah ke konsep oligopoli korporasi dikarenakan terbentuknya UU Migas.
Kepentingan Internasional yang menyusupi dalam setiap pertimbangan politik yang
diambil dalam UU Migas menjadikan pembentukan UU Migas meskipun dianggap
melalui prosedur formal yang telah ditentukan, tetapi bisa menjadi cacat ketika
niat pembentukan UU Migas adalah untuk mencederai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Sehingga penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang menguasai hajat
hidup orang banyak hanyalah menjadi sebuah ilusi konstitusional semata;
-
Pasal 1 angka 19 dan 23,Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat (3), Pasal 6, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 dan
Pasal 44 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945
-
Pasal 11
ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2001
Tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 1 ayat
(2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
1. Bahwa saat ini pengelolaan
Migas sejak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
menggunakan sistem Kontrak Kerja Sama (KKS) atau disebut juga sebagai Kontrak
Karya. Ini merupakan suatu bentuk terbuka (open system) yang dianut sejak Kuasa Pertambangan diserahkan
kepada Pemerintah cq. Menteri
ESDM sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 6 UU Migas yakni; ”(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 19 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 19; (2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan: (a). Kepemilikan
sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan; (b). Pengendalian
manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c). modal dan risiko seluruhnya
ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha tetap”. Selanjutnya,
Pasal 1 angka 19 UU Migas sendiri mengaturbahwa ”Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama
lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara
dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.“ frasa ”bentuk kontrak kerja sama lain” dalam Pasal 1 angka 19 UU
Migas telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemaknaan kontrak lainnya
tersebut. hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain
itu frasa “dikendalikan
melalui Kontrak Kerja Sama”menunjukan
adanya penggunaan sistem kontrak dalam pengendalian pengelolaan migas yang
multitafsir tersebut, keadaan yang demikian inimaka akan melekat asas-asas
hukum kontrak yang bersifat umum yang berlaku dalam hukum kontrak yakni asas
keseimbangan dan asas proporsionalitas kepada NEGARA. Asas keseimbangan
dinyatakan oleh Herlien Budiono sebagai (i) asas yang bersifat etikal, sehingga
keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang, dan (ii)
asas keseimbangan sebagai asas yuridikal dan justice, maka ketika suatu kontrak berkonstruksi tidak seimbang
bagi para pihak, maka kontrak tersebut dapat dinilai tidak seimbang. Asas
Proporsionalitas menurut Sogar Simamora didalam disertasinya mengemukakan
bahwa adanya kewajiban yang setimpal sepenanggungan. Keadaan yang demikian
ini jelas SANGAT MERENDAHKAN MARTABAT NEGARA, karena dalam kontrak kerja
sama dalam UU Migas yang berkontrak adalah BP Migas atas nama negara berkontrak
dengan korporasi atau korporasi swasta sehingga apabila terjadi sengketa, yang
kontrak pada umumnya selalu menunjuk arbitrase Internasional untuk memeriksa
dan mengadili sengketa sehingga, akibat hukumnya apabila negara kalah berarti
kekalahan seluruh rakyat Indonesia, disitulah inti merendahkan martabat negara.
2. Bahwa lahirnya Badan
Pelaksana Migas (BP Migas) adalah atas perintahPasal 4 ayat
(3) UU Migas yang menyatakan ”Pemerintah
sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana sebagaimana
dimaksud Pasal 1 angka 23” menjadikan konsep Kuasa Pertambangan menjadi
kabur (obscuur). Hal ini
dikarenakan BPMigas yang bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan
produksi migas sebagaimana dinyatakan didalam Pasal 44 UU Migas bahwa:
”(1) Pengawasan terhadap
pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3); (2). Fungsi Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber
daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan
penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.;
(3) Tugas Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a.
memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal
penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama; b. melaksanakan
penandatanganan Kontrak Kerja Sama; c. mengkaji dan menyampaikan rencana
pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah
Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; d. memberikan persetujuan
rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c; e.
memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran; f. melaksanakan monitoring
dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; g.
menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat
memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.”
Bahwa
atas ketentuan Pasal 44 ketentuan tersebut diatas, maka pengelolaan sebagaimana
yang dikehendaki Pasal 33 ayat (2) dan
(3) UUD 1945. Ini didasari bahwa BP Migas bukan
operator (badan usaha) namun hanya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN),
sehingga kedudukannya tidak dapat melibatkan secara langsung dalam kegiatan
eksplorasi dan produksi migas. BP Migas tak punya sumur, kilang, tanker, truk
pengangkut, dan SPBU, serta tidak bisa menjual minyak bagian negara sehingga
tak bisa menjamin keamanan pasokan BBM/BBG dalam negeri. Ini membuktikan bahwa
kehadiran BP Migas menbonsai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dan
menjadikan makna ”dikuasai negara” yang telah ditafsirkan dan diputuskan oleh
Mahkamah menjadi kabur dikarenakan tidak dipenuhinya unsur penguasaan negara
yakni mencakup fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi secara
keseluruhan, hanya menjadi sebuah ilusi konstitusional;
3. Bahwa kedudukan Badan
Pelaksana Migas (BP Migas) yang mewakili pemerintah dalam kuasa pertambangan
tidak memiliki Komisaris/pengawas. Padahal BP Migas adalah Badan Hukum Milik
Negara (BHMN), jelas ini berdampak kepada jalannya kekuasaan yang tidak
terbatas dikarenakan secara struktur kelembagaan ini menjadi cacat. Hal ini
berdampak kepada cost recovery
tidak memiliki ambang batas yang jelas.Kekuasaan yang sangat besar tersebut
akan cenderung korup terbukti ketika data dari hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan menunjukkan bahwa selama 2000-2008 potensi kerugian negara akibat
pembebanan cost recovery sektor
migas yang tidak tepat mencapai Rp 345,996 Triliun rupiah per tahun atau 1,7 milliar tiap hari. Pada pemeriksaan semester II-2010, BPK
kembali menemukan17 kasus ketidaktepatan pembebanan cost recovery yang pasti akan merugikan negara yang tidak
sedikit.
4. Bahwa Pasal 3 huruf b
UU Migas menyatakan ”Penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Migas dan Gas Bumi bertujuan:.....(b) menjamin efektifitas pelaksanaan dan
pengendalian usaha dan mengolahan, pengangkutan, penyimpangan dan niaga secara
akuntabel yang diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”. Pasal ini menunjukan bahwa walaupun Mahkamah telah memutus Pasal 28 ayat 2 tentang
penetapan ”Harga Bahan Bakar Minyak
dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Tetapi Pasal 3
huruf b yang merupakan jantung dari UU a
quobelum dibatalkan secara bersamaan dengan putusan Mahkamah No. 002/PUU-I/2003. Maka oleh sebab itu Para Pemohon merasa
Mahkamah harus membatalkan Pasal a quo
untuk mencabut keseluruhan semangat UU Migas yang mengakomodir gagasan
liberalisasi migas yang sudah tentu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Ayat
(2) yang menyatakan ”cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara” dan ayat (3) yang menyatakan ”bumi dan air dan kekayaan alam terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”;
5. Bahwa Pasal 9 UU
Migas menyatakan bahwa ”(1)
Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
Angka 2 dapat dilaksanakan oleh: a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Koperasi; usaha kecil; dan badan usaha swasta; (2) Bentuk Usaha Tetap hanya
dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu;”. Frasa ”dapat” didalam Pasal 9 jelas telah bertentangan dengan Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3), dikarenakan Pasal ini menunjukan bahwa Badan Usaha Milik
Negara (Pertamina) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan
migas. Jadi, BUMN harus bersaing dinegaranya sendiri untuk dapat mengelola migas. Konstruksi demikian dapat
melemahkan bentuk penguasaan negara terhadap sumber daya alam yang menguasai
hajat hidup orang banyak.
6. Bahwa Pasal 10 UU
Migas menyatakan bahwa ”(1) Badan
Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan usaha hulu dilarang melakukan
Kegiatan Usaha Hilir; (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak
dapat melakukan usaha Hulu”. Pasal 13 UU Migas menyatakan bahwa ”(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) wilayah kerja; (2) dalam hal badan usaha
atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa wilayah kerja, harus dibentuk
badan hukum yang terpisah untuk setiap wilayah kerja.” Norma-norma
ini jelas mengurangi kedaulatan negara atas penguasaan sumber daya alam (dalam
hal ini Migas) dikarenakan Pertamina harus melakukan pemecahan organisasi
secara vertikaldan
horizontal (unbundling) sehingga menciptakan manajemen baru yang mutatis mutandis akan menentukan cost dan profitnya masing-masing. Korban dari konsepsi ini adalah adanya
persaingan terbuka dan bagi korporasi asing adalah suatu lahan investasi yang
menguntungkan, namun merugikan bagi rakyat. Sehingga nafas Mahkamah melalui Putusan MK. No. 002/PUU-I/2003 yang tidak
mengizinkan adanya suatu harga pasar yang digunakan untuk harga minyak dan gas menjadi tidak terealisasi dikarenakan mau tidak mau sistem
yang terbangun dalam Pasal 10, dan Pasal 13 bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945 dan tentunya Putusan MK No. 002/PUU-I/2003;
7. Bahwa Pasal 11 ayat (2) UU Migas menyatakan bahwa “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah
ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia”.Ketentuan ini jelas bertentangan dengan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 “Presiden dalam membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 20A menyatakan “(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan; (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain
hak yang diatur didalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat; (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar
ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas; (4) Ketentuan
lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan
Perwakilan Rakyat diatur didalam undang-undang”. Berdasarkan konstruksi
yang demikian itu, maka KKS merupakan tergolong kedalam perjanjian
internasional lainnya yang sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945
yakni yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan negara harus mendapatkan persetujuan DPR.
Pengaturan yang terdapat didalam Pasal 11 ayat (2) UU Migas telah mengingkari
Pasal 1 ayat (2) dikarenakan kedaulatan rakyat harus dilaksanakan berdasarkan
UUD, sedangkan posisi DPR yang hanya dijadikan sebagai tembusan dalam setiap
KKS maka jelas telah mengingkari kedaulatan rakyat Indonesia. selain itu,
dengan sekadar pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya Kontrak Kerja
Sama dalam Minyak dan Gas Bumi yang sudah ditandatangani, tampaknya hal itu
telah mengingkari keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam,
dalam fungsi toezichthoudensdaad yang
ditujukan dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan
oleh Negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. Karena tiap kesepakatan mengandung
di dalamnya potensi penyimpangan dalam tiap tahapan transaksi dan kenyataan
tidak adanya informasi yang memadai menyangkut aspek-aspek mendasar dalam
kontrak karya atau perjanjian bagi hasil maupun kontrak kerja sama bidang
migas, jika hanya dengan metode pemberitahuan tertulis saja kepada DPR
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Ayat (2) UU Migas, maka pasal tersebut telah
tidak bersesuaian dengan Pasal 20A dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
IV.
KESIMPULAN
UU Migas telah mendegradasikan
kedaulatan negara, kedaulatan ekonomi, dan telah ”mempermainkan’ kedaulatan
hukum sehingga menjadikan suatu UU yang dzalim terhadap bangsa Indonesia
sendiri. Migas yang merupakan salah satu sumber energi yang sejak dahulu
diharapkan untuk dapat memberikan kesejahteraan umum, dan dipergunakan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi dikerdilkan dengan dogma ’pacta sunct survanda’. Negara
seharusnya berdaulat atas kekayaan mineral dalam perut bumi Indonesia ternyata
harus tersandera dan terdikte oleh tamu yang seharusnya patuh dengan aturan tuan rumah. Kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah dengan korporasi-korporasi internasional tak
ubahnya seperti membentuk konstitusi diatas UUD 1945 yang merupakan konstitusi
bagi seluruh bangsa Indonesia. Apabila DPR dan Presiden hanya mampu diam dan
membuat rakyat menunggu datangnya UU Migas yang lebih bercorak ”merah putih”
adalah suatu kenisbian, maka PARA PEMOHON berharap bahwa palu yang
dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah palu yang diharapkan menyelamatkan UU
yang dzalim dan bertentangan dengan UUD 1945 dengan membatalkan UU Migas
V. PETITUM
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut di atas, mohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 1 angka 19
dikarenakan frasa ”Bentuk Kerja Sama
lain”, Pasal 3 huruf b dikarenakan frasa ”yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar,
sehat, dan transparan”, Pasal 6 dikarenakan frasa ”dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama” Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, Pasa 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (2)
dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
3. Menyatakan Pasal 1 angka 23,Pasal
4 ayat (3), Pasal 9 dikarenakan frasa ”dapat”,
Pasal 10, Pasal 13 dan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan
dengan Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
4. Menyatakan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 20A, dan Pasal 33 ayat (2)
dan (3) UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
5. Menyatakan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
keseluruhan, karena norma-norma yang terkandung bertentangan dengan Pembukaan
UUD 1945 dan Pancasila terutama sila ke 5 yakni “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat Kami
Kuasa Hukum Pemohon
Dr. H.
Iswahyudi, S.Sy, SH, M.Sy