MURABAHAH
Oleh: Iswahyudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Murabahah merupakan salah satu produk bank Islam yang memberikan fasilitas
berupa pembiayaan suatu usaha atau proyek dengan sistem pembayaran mark-up
(keuntungan/margin).
Murabahah adalah hubungan akad menjual suatu barang dengan harga modal
ditambah keuntungan dengan persetujuan bersama. Dengan kata lain, murabahah
adalah penjualan dengan tambahan keuntungan.
Telah kita ketahui bahwa bahwa uang
yang dikelola pihak bank Islam biasanya bersal dari uang umat Islam, yang
diperuntukkan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Masyarakat
memercayakan bank Islam untuk mengelola dananya dengan harapan dapat memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya. Keuntungan tersebut sebagian diberikan kepada
pemilik modal, sebagian dikelola kembali, dan sebagian yang lain untuk membiayai
usaha masyarakat yang membutuhkan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini
penulis akan menerangkan dan membahas mengenai beberapa aspek yang menyangkut
tentang murabahah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dari murabahah?
2.
Apa
sajakah dasar hukum dari murabahah?
3.
Apa
sajakah rukun dan syarat murabahah?
4.
Bagaimanakah
perkembangan operasional murabahah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murabahah
Secara bahasa, murabahah
bersal dari kata ribh yang bermakna tumbuh dan berkembang dalam perniagaan.[1]
Sedangkan menurut
istilah murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan
harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan
pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah
penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya
serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Penjualan
dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan
antara keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang
akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau
kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap
sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap
sebagai pengurang piutang.[2]
Murabahah didefinisikan oleh
para Fugaha sebagai penjualan seharga
biaya/harga pokok (cost) barang
tersebut ditambah mark-up atau margin keuntungan yang disepakati.
Karakteristik murabahah adalah bahwa
penjual harus memberitahu pembeli mengenai harga pembelian produk dan
menyatakan jumlah keuntungan yang ditambah pada biaya (cost) tersebut.
Dalam daftar istilah
buku himpunan fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan murabahah (DSN, 2003:311) adalah menjual suatu barang dengan menegaskan
belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan lebih sebagai laba.
Sedangkann dalam PSAK 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah paragraph 52
dijelaskan bahwa murabahah adalah jual beli barang dengan menyatakan harga
perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang
diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar
harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank
syariah dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara
penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi
tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar
keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa
berupa lump sum atau berdasarkan persentase.[3]
B.
Dasar Hukum Murabahah
[4]Dasar hukum
diperkenankannya melakukan murabahah adalah sebagai berikut:
·
Al-Qur’an Surat
Al-Hadid/ 57: 11
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
11. Siapakah yang mau
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan
(balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.
·
Sunnah Nabi
Muhammad Saw.
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْ مِنٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَا مَةِ
. مسلم
Barang
siapa menghilangkan salah satu kesulitan dunia dari saudarannya maka Allah akan
menghilangkan darinya salah satu kesulitan pada hari kiamat. (H.R. Muslim
dari Abu Hurairah: 4867)
·
Qur’an Surah
An-Nisa’/4 : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
29. Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.
[287] larangan membunuh diri sendiri mencakup juga
larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri
sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.
·
Qur’an Surah
Al-Baqarah/2 : 275
وَاَحَلَّ اللهً الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَواج
Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’.
Dalam
ayat ini, Allah mempertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum,
serta menolak dan melarang ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah
mendapat pengakuan dan legalitas dari syariah, dan sah untuk
dioprasionalkan dalam praktik pembiayaan
bank syariah karena ia merupakan salah satu bentuk jual beli dan tidak
mengandung unsur ribawi.
Dalam
hadits disebutkan riwayat dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya
jual beli itu harus dilakukan suka sama suka”. (H.R.
Al-Baihaki dan Ibnu Majah). Sabda yang lain: “ Ada tiga hal yang mengandung
berkah, jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur
gandum dengan jewawat untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual”.
(HR. Ibnu Majah).
Hadits
diatas memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan
dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala
ketentuan yang terdapat jual beli beli murabahah, seperti penetuan harga
jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran, dan lainnya, harus terdapat
persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan
secara sepihak.[5]
C.
Rukun dan
Syarat Murabahah
1.
Rukun Murabahah
Adapun menurut
Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu:
1) Orang
yang menjual (Ba’i)
Yaitu pihak yang memiliki barang untuk dijual
atau pihak yang ingin menjual barangnya. Dalam transaksi pembiayaan murabahah
di perbankan syariah merupakan pihak penjual.
2) Orang
yang membeli (Musytari)
Yaitu pihak yang membutuhkan dan ingin membeli
barang dari penjual, dalam pembiayaan murabahah nasabah merupakan pihak
pembeli.
3) Sighat
atau ijab qabul atau serah terima, dan
Yaitu sebagai indicator saling ridha
antara kedua pihak (penjual dan pembeli) untuk melakukan transaksi.
4) Barang
atau sesuatu yang diakadkan
Yaitu barang yang diperjual belikan. Barang
tersebut harus sudah dimiliki oleh penjual sebelum dijual kepada pembeli, atau
penjual menyanggupi untuk mengadakan barang yang diinginkan pembeli.[6]
2. Syarat
Murabahah
Adapun syarat murabahah sebagai
berikut:
1.
Pihak yang berakad, yaitu Ba'i' dan Musytari
harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela).
2.
Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus
jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak
termasuk dalam kategori barang haram.
3.
Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu
pula sistem pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi
(ijab qabul) dinyatakan tertulis.[7]
Sedangkan syarat untuk jual beli al-murabahah
menurut Syafi’I Antonio adalah sebagai berikut.
1.
Penjual
memberitahu biaya modal kepada nasabah.
2.
Kontrak
pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
3.
Kontrak
harus bebas dari riba.
4.
Penjual
harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah
pembelian.
5.
Penjual
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembeli, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang
Secara
prinsip, jika syarat dalam 1, 4, atau 5, tidak terpenuhi pembeli memiliki
pilihan.
a)
Melanjutkan pembelian seperti apa adanya.
b)
Kembali kepada penjual dan menyatakan
ketidaksetujuan atas barang yang dijual.
c)
Membatalkan kontrak.[8]
D.
Perkembangan
Operasional Murabahah
Awalnya
transaksi murabahah adalah transaksi jual beli sederhana yaitu dalam murabahah
dengan kerelaan penjual memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang
tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, murabahah mengalami
perkembangan.
·
Beberapa hal
yang menunjukkan perkembangan tersebut antara lain :
Awalnya
transaksi murabahah dilakukan tanpa melalui pihak ketiga atau pesanan.
1.
Murabahah
yang dibayar secara kredit/hutang.
2.
Murabahah dengan jaminan.
3.
Murabahah yang dilakukan dengan barang yang belum ada.
Hal tersebut
menunjukkan bahwa suatu akad, dalam hal ini murabahah berkembang sesuai dengan
dinamika zaman. Akan tetapi meskipun mengalami perkembangan karakteristik dari
jual beli ini harus tetap ada sebagai ciri yang membedakannya dengan jenis jual
beli lainnya.
·
Fatwa-fatwa
MUI mengenai Murabahah :
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang UANG
MUKA DALAM MURABAHAH menyatakan
bahwa :
› Dalam
akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan
untuk meminta uang muka dengan jumlah sesuai kesepkatan. Jika nasabah
membatalkan akad maka kerugian yang ditanggung LKS diambil dari uang muka
tersebut, apabila uang muka berlebih maka kelebihannya harus dikembalikan kepada
nasabah namun apabila kurang, LKS boleh meminta kekurangan kepada nasabah.
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang DISKON DALAM MURABAHAH
menyatakan bahwa:
› Jika
dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier maka harga
sebenarnya adalah harga setelah diskon sehingga diskon adalah hak nasabah dan
jika pemberian diskon terjadi setelah akad maka pembagian diskon dilakukan
berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 23/DSN-MUI/IX/2000 Tentang POTONGAN PELUNASAN DALAM
MURABAHAH
menyatakan bahwa :
› LKS
boleh memberi potongan sebesar kebijakan LKS atas pembelian nasabah apabila
nasabah melunasi pembayaran tepat waktu/ lebih cepat dengan syarat tidak
diperjanjikan dalam akad
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 46/DSN-MUI/IX/2000 Tentang POTONGAN TAGIHAN MURABAHAH
menyatakan bahwa :
› LKS
boleh memberi potongan sebesar kebijakan LKS atas pembelian nasabah apabila
nasabah mencicil pembayaran tepat waktu dan nasabah mengalami penurunan
kemampuan pembayaran dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 47/DSN-MUI/IX/2000 Tentang RESCHEDULING HUTANG MURABAHAH
menyatakan
bahwa :
› LKS
boleh mengatur kembali jadwal pembayaran hutang murabahah bagi nasabah yang
tidak bisa menyelesaikan/melunasi hutangnya sesuai jumlah dan waktu yang telah
disepakati, dengan ketentuan:
› Tidak
menambah jumlah hutang yang tersisa;
Pembebanan
biaya dalam proses rescheduling adalah biaya riil;
Perpanjangan
masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 48/DSN-MUI/IX/2000 Tentang PENYELESAIAN MURABAHAH
menyatakan bahwa :
› LKS
boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa melunasi
pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan nasabah
melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan dan apabila masih belum
cukup maka LKS dapat menjual jaminan nasabah yang ada pada LKS untuk pelunasan
hutang tersebut.
› FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 48/DSN-MUI/IX/2000 Tentang RECONDITIONING MURABAHAH
menyatakan bahwa :
› LKS
boleh melakukan reconditioning (membuat akad baru) bagi nasabah yang tidak bisa
menyelesaikan/melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan waktu yang
telah disepakati, tetapi masih memiliki prospektif setelah akad sebelumnya
dihentikan dengan menjual obyek murabahah kepada LKS dengan harga pasar untuk
melunasi hutang atau dengan LKS menyewakan obyek ex-murabahah yang telah
dibeli kepada nasabah ex-murabahah dengan merujuk kepada fatwa DSN No.
27/DSNMUI/ III/2002 Tentang Al Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik.[9]
BAB III
PENUTUP
B.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tentang
murabahah, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual
dan pembeli. Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun
kredit.
2.
Adapun dasar hukum diperkanankannya murabahah
yaitu Qur’an Surah Al-Hadid ayat 11, QS. An-Nisa’ ayat 29, QS. Al-Baqarah ayat
275 dan hadits H.R. Muslim dari Abu Hurairah: 4867 serta HR. Ibnu Majah.
3.
Menurut
Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual(ba'I'),orang
yang membeli(musytari),Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan.
Dan syarat murabahah yaitu pihak yang berakad, yaitu ba'i' dan musytari
harus cakap hukum, khusus untuk mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari
segi sifat jumlah, dan harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula sistem
pembayarannya.
4.
Perkembangan operasional murabahah awalnya
operasionalnya sangat sederhana yaitu dalam
murabahah dengan kerelaan penjual memberi tahu kepada pembeli, tetapi dengan
perubahan zaman murabahah pun berkembang seperti murabahah yang
dibayar secara kredit/hutang, murabahah dengan jaminan, murabahah
yang dilakukan dengan barang yang belum ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ajaj Al-Khatib, Muhammad. 2003. Ushul Al-Hadits Terj. H.M.
qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Qosim, M Rizal. 2009. Pengamalan Fiqh. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Sohran, Sohari & Abdulllah, Ru’fah. 2011. Fiqh Muamalah. Bogor:
Ghali Indonesia Anggota Ikapi.
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS. 1999. Jakarta:
Muamalat Institute.
Wiroso. 2005. Jual Beli Murabahah. Yogyakarta: UII Press.
Wasilah, Sri Nurhayati. 2008. Akutansi Syari;ah di Indonesia.
Jakarta: Salemba 4.
Alina, Alin Alien. 2012. Perkembangan Operasional Murabahah,
diakses dari http://verdiverdian.blogspot.com/2012/07/perkembangan-operasional-murabahah.html,
pada tanggal 29 September 2013 pukul 22.47.
Anisykurlillah, Kajian Muamalah Berbagi Informasi Berkenaan
Ekonomi Islam, diakses dari http://caknenang.blogspot.com/2010/12/rukun-dan-syarat-aqad-murabahah-dan.html,
pada tanggal 29 September 2013 pukul 22.30.
[1]
Sohari Sohran & Ru’fah Abdullah, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghali
Indonesia Anggota Ikapi, 2011), hlm.81.
[2]
Sri Nurhayati Wasilah, Akutansi syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba 4,
2008), hlm. 176.
[3] Wiroso, Jual Beli
Murabahah, (Yogyakarta:
UII Press, 2005), hlm 1-2
[4] M
Rizal Qosim, Pengalaman Fiqh, (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,2009),
hlm. 115.
[5]
Sohari Sohran & Ru’fah Abdullah, Op. cit., hlm. 92.
[6] Wiroso, Op. cit.,
hlm. 16.
[7]
Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS, (Jakarta: Muamalat
Institute, 1999), hlm. 42.
[8]
Anisykurlillah, Kajian Muamalah Berbagi Informasi
Berkenaan Ekonomi Islam, diakses dari http://caknenang.blogspot.com/2010/12/rukun-dan-syarat-aqad-murabahah-dan.html, pada tanggal 29 September 2013 pukul 22.30.
[9]
Alin Alien Alina, Perkembangan Operasional Murabahah, diakses dari http://verdiverdian.blogspot.com/2012/07/perkembangan-operasional-murabahah.html,
pada tanggal 29 September 2013 pukul 22.47.