AL-MASLAHAH MURSALAH
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Atik Sofiati (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menurut
Al-Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat sekalipun bertentangan
dengan tujuan manusia. Sebab kemaslahatan yang dikehendaki manusia tidak
selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Akan tetapi sering didasarkan pada
hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu
adalah tujuan syariat.[1]
Maslahat
mursalah disebut maslahat mutlak karena tidak terikat oleh dalil yang
mengakuinya atau dalil yang menolaknya. Seperti kemaslahatan yang karenanya
para sahabat mensyariatkan pengadaan penjara. Untuk lebih jelasnya definisi
tersebut, bahwa pembentukan hukum tidaklah dimaksudkan kecuali untuk mewujudkan
kemaslahatan orang banyak. Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka atau
menolak mudharat atau menghilangkan keberatan dari mereka.[2]
B.
RumusanMasalah
1.
Apa pengertian maslahat mursalah?
2.
Ada berapakah macam-macam maslahat mursalah?
3.
Bagaimanakah syarat-syarat maslahat mursalah?
4.
Apa kedudukan maslahat mursalah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al-Maslahah
Secara
etimologis, kata المصلحة
jamaknya المصالح berarti sesuatu yang baik, yang bermanfaat dan merupakan lawan dari
keburukan atau kerusakan dan didalam bahasa arab sering pula disebut dengan
yang baik dan benar “الخير
والصواب”. [3]
Maslahat
kadang-kadang disebut pula dengan الاستصلاح yang berarti mencari yang baik “طلب الاصلاح”. Jalaluddin Abdurrahman
secara tegas menyebutkan bahwa maslahat dengan pengertian yang lebih umum dan yang dibutuhkan itu ialah
semua apa yang bermanfaat bagi manusia baik yang bermanfaat untuk meraih
kebaikan dan kesenangan maupun yang sifatnya untuk menghilangkan kesulitan dan
kesusahan.[4]
Maslahat
mursalah yakni yang dimutlakkan, menurut istilah ulama ushul yaitu maslahah
dimana syari’ tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga
tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Maslahah itu disebut mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau
dalil pembatalan.[5]
Jadi dapat
difahami bahwa esensi dari maslahat ialah terciptanya kebaikan dan kesenangan
dalam kehidupan manusia serta terhindar dari hal-hal yag bisa merusaknya. Namun
demikian, kemaslahatan berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan
layak yang memang dibutuhkan oleh manusia.[6]
Jadi, maslahah
mursalah adalah kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung-singgung syara’,
untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang kalau dikerjakan akan membawa
manfaat atau menghindari keburukan.
B.
Pembagian Maslahah
Dilihat dari
segi pembagian maslahat ini, dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat
dari segi tingkatannya dan eksistensinya[7].
1.
Maslahat dari segi tingkatannya
Yang dimaksud dengan macam maslahat dari segi tingkatannya ini
ialah berkaitan dengan kepentingan yang menjadi hajat hidup manusia. Menurut
Mustasfa Said Al-Khind maslahat dilihat dari segi tingkatannya ini dapat
dibedakan kepada 3 macam.
a.
Disebut dengan maslahat daruriyatالمصالح الضرورية ) )
Yang dimaksud dengan maslahatpada tingkatan ini ialah kemaslahatan
yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia yang berkaitan dengan agama
maupun dunia. Jika ia luput dalam kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya
tatanan kehidupan manusia tersebut. Zakariya al-Bisri menyebutkan bahwa
maslahat daruriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan
hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncullah fitnah dan bencana yang
besar.
المصالح
الضرورية اي الاساسية الجوهرية هي الامور التى تقوم عليها حيات الناس بحيث اذا
تخلفت اختل نطام الحيات وعمت الفوضى وكانت الفتنة والفساد الكبير
Lebih lanjut Zakariya al-Bisri menjelaskan bahwa yang termasuk
dalam lingkup maslahat daruriyat ini ada 5 macam, yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.Kelima maslahat ini harus
dipelihara dan dilindungi karena jika terganggu akan mengakibatkan rusaknya
sendi-sendi kehidupan.
Jadi, maslahat daruriyat yaitu kemaslahatan yang berkaitan dengan
kebutuhan pokok manusia didunia dan diakhirat. Kemaslahatan ini ada 5, yaitu
pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan pemeliharaan harta.
b.
Disebut dengan maslahat hajiyatالمصالح الحاجية ))
Yang dimaksud dengan maslahat hajiyat ini ialah
persoalan-persoalan yang dibutuhkan manusia untuk menghilangkan kesulitan dan
kesusahan yang dihadapi. Dengan kata lain, dilihat dari segi kepentingannya,
maka maslahat ini lebih rendah tingkatannya dari maslahat daruriyat.Diantara
ketentuan hukum yang disyariatkan untuk meringankan dan memudahkan kepentingan
manusia ialah semua keringanan yang dibawa oleh ajaran Islam, seperti boleh
berbuka puasa bagi musafir, dan orang yang sedang sakit, dan mengqasar shalat
ketika dalam perjalanan. Contoh yang disebutkan ini merupakan kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia. sekiranya tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah
akan mengakibatkan kegoncangan dan kerusakan, tetapi hanya akan menimbulkan
kesulitan saja.
Jadi, maslahat hajiyat
adalah maslahat yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok
sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara
kebutuhan pokok manusia.
c.
Disebut dengan maslahat tahsiniyahالمصالح التحسنية ))
Maslahat ini sering disebut dengan maslahat takmiliyah. Yang
dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan
dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya, kemaslahatan ini
tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan
kegoncangan serta rusaknya tatanan manusia. Dengan kata lain, kemaslahatan ini
lebih mengacu kepada keindahan saja. Sungguhpun demikian, kemaslahatan seperti
ini juga dibutuhkan oleh manusia.
Jadi, maslahat tahnisiyah adalah maslahat yang bersifat sebagai
pelengkap yaitu berupa keleluasaan untuk melengkapi kemaslahatan yang
sebelumnya.
2.
Maslahat dilihatdari segi eksistensinya
Jika maslahat dilihat dari segi eksistensi atau wujudnya, para
ulama ushul sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan, membaginya kedalam
3 macam[8].
a.
Disebut dengan maslahat mu’tabarahالمصالح المعتبرة ) )
Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah kemaslahatan yang
terdapat nash secara tegas menjelaskan dan mengakui keberadaannya. Dengan kata
lain, seperti disebutkan oleh Muhammad al-Said Ali Abdul Rabuh, kemaslahatan
yang diakui oleh syar’i dan terdapat dalil yang jelas untuk memelihara dan
melindunginya.
مصالح
اعتبرها الشارع وقام الد ليل المعين منه على رعايتها
Jika syar’i menyebutkan dalam nash tentang hukum suatu peristiwa
dan menyebutkan nilai maslahat yang dikandungnya, maka hal tersebut disebut
dengan maslahat mu’tabarah. Yang termasuk kedalam maslahat ini ialah semua
kemaslahatan yang dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara
agama, jiwa, keturunan dan harta benda. Oleh karena itu, Allah SWT telah
menetapkan agar berusaha dengan jihad untuk melindungi agama, melakukan qisash
bagi pembunuh, menghukum pelaku pemabuk demi pemeliharaan akal, menghukum
pelaku zina dan begitu pula menghukum pelaku pencurian. Seluruh ulama sepakat
bahwa semua maslahat yang dikategorikan kepada masalahat mu’tabarah wajib
ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia merupakan
kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
Jadi, maslahat mu’tabaroh adalah maslahat yang diakui dan
dijelaskan oleh nash. Atau bisa juga diartikan sebagai maslahat yang didukung
oleh syara’ karena adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk kemaslahatan
tersebut.
b.
Disebut dengan maslahat mulghahالمصالح الملغاة ))
Yang dimaksud dengan maslahat ini ialah maslahat yang berlawanan
dengan ketentuan nash. Dengan kata lain, maslahat yang tertolak karena ada
dalil yang menunjukkan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas.
Contoh yang sering dirujuk dan ditampilkan oleh ulama ushul ialah
menyamakan pembagian harta warisan antara seorang perempuan dengan saudara
laki-lakinya. Penyamaan antara seorang perempuan dengan saudara laki-laki
tentang warisan memang terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan
ketentuan dalil nash yang jelas dan rinci. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an
sebagai berikut:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Artinya:
“Allah telah menetapkan bagi kamu
(tantang pembagian harta pusaka) untuk
anak-anak kamu, yaitu bagi seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan”.
(Q.S.An-Nisa:11)[9]
Jadi, maslahat mulghoh adalah maslahat yang tidak sesuai dengan
ketentuan dalam Al-Qur’an atau maslahat yang tidak diakui karena bertentangan
oleh nash.
c.
Disebut dengan maslahat mursalahالمصالح المرسلة ) )
Yang dimaksud dengan maslahat mursalah ialah maslahat yang secara
eksplisit tidak ada satu dalilpun yang mengakuinya maupun yang menolaknya,
tetapi keberadaannya selalu sejalan dengan tujuan syariat. Secara lebih tegas
maslahat mursalah ini termasuk jenis maslahat yang didiamkan oleh nash. Abdul
Karim Zaidan menyebutkan yang dimaksud dengan maslahat mursalah ialah maslahat
yang tidak disebutkan oleh nash baik ppenolakannya maupun pengakuannya.
Dengan demikian, maslahat mursalah ini merupakan maslahat yang
sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam
mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari
kemudharatan. Diakui hanya dalam kenyataannya jenis maslahat yang disebut
terakhir ini terus tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat
Islam yang dipengaruhi oleh perbedaan kondisi dan tempat. Menurut Jalaluddin
Abdurrahman, bahwa maslahat mursalah ini dapat dibedakan kepada dua macam,
yaitu:
1)
Maslahat yang pada dasarnya secara umum sejalan dan sesuai dengan
apa yang dibawa oleh syari’at. Dengan kata lain, kategori maslahat jenis ini
berkaitan dengan maqasid al-Syariah yaitu agar terwujudnya tujuan
syariat yang bersifat daruri (pokok).
2)
Maslahat yang sifatnya samar-samar dan sangat dibutuhkan
kesungguhan dan kejelian para mujtahid untuk merealisirnya dalam kehidupan.
Jadi, maslahat
mursalah ini merupakan maslahat yang sesuai dengan syara’ yang dapat dijadikan
dasar atau pedoman untuk mewujudkan kebaikan yang diniatkan oleh manusia
sehingga terhindar dari keburukan atau kemudhorotan. Maslahat mursalah juga
disebut maslahat mutlaq karena tidak ada dalil yang menyatakan benar atau
salah.
C.
Persyaratan Maslahat Mursalah
Tentang
persyaratan untuk menggunakan maslahat mursalah ini, dikalangan ulama ushul
memang terdapat perbedaan baik dari segi istilah maupun jumlahnya. Zaky al-Din
Sya’ban misalnya menyebutkan tiga syarat yang harus diperhatikan bila
menggunakan maslahat mursalah dalam menetapkan hukum. Ketiga syarat itu adalah
sebagai berikut:[10]
1.
Kemaslahatan itu hendaknya kemaslahatan yang memang tidak terdapat
dalil yang menolaknya. Dengan kata lain jika terdapat dalil yang menolaknya
tidak dapat diamalkan.
2.
Maslahat mursalah itu hendaklah maslahat yang dapat dipastikan
bukan hal yang samar-samar atau perkiraan dan rekayasa saja.
3.
Maslahat mursalah hendaklah maslahat yang bersifat umum ini adalah
kemaslahatan yang memang terkait dengan kepentingan orang banyak.Jalaluddin
Abdurrahman menyebutnya dengan maslahat kulliyyat, bukan juz’iyyah.
Syarat-syarat
maslahat mursalah:[11]
1.
Hanya berlaku dalam muammalah karena soal-soal ibadah tetap tidak
berubah-ubah.
2.
Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya
yang sudah dikenal.
3.
Maslahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh
masyarakat.
D.
Kedudukan Maslahat Mursalah dan Kehujjahannya
Tidak dapat
disangkal bahwa di kalangan madzhab Ushul memang terdapat perbedaan pendapat
tentang kedudukan maslahat mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam baik
menerima maupun yang menolak. Uraian berikut akan menjelaskan perbedaan
pendapat antara kalangan madzhab ushul yang menerima dengan yang menolak serta argumentasi
mereka masing-masing:[12]
1.
Kelompok pertama mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah
merupakan salah satu sumber hukum dan sekaligus hujjah syariah. Pendapat ini
dianut oleh madzhab Maliki dan Imam Ibnu Hambal. Menurut penjelasan Abdul Karim
Zaidan, Imam Malik dan pengikutnya serta Imam Ahmad menjadikan maslahat
mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah dalam menetapkan hukum. Adapun yang
menjadi alasan kelompok pertama ini bahwa maslahat mursalah merupakan dalil dan
hujjah syariah adalah sebagai berikut:
a.
Para sahabat telah menghimpun al-Quran dalam satu mushaf, dan ini
dilakukan karena khawatir al-Quran bisa hilang. Hal ini tidak ada dimasa Nabi
dan tidak ada pula larangannya. Pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf ini
semata-mata demi kemaslahatan. Dan dalam praktiknya para sahabat telah
menggunakan maslahat mursalah yang sama sekali tidak ditemukan satu dalilpun
yang melarang atau menyuruhnya.
b.
Sesungguhnya para sahabat telah menggunakan maslahat mursalah
sesuai dengan tujuan syara’ maka harus diamalkan sesuai dengan tujuan itu. Jika
mengenyampingkan berarti telah mengenyampingkan tujuan syariat dan hal itu
tidak dapat diterima. Oleh karena itu, berpegang pada maslahat merupakan
kewajiban sebab ia merupakan salah satu pegangan pokok yang berdiri sendiri,
tidak keluar dari pokok-pokok pegangan lainnya, malah ada titik temunya.
c.
Sesungguhnya tujuan persyariatan hukum adalah untuk merealisir kemaslahatan dan
menolak timbulnya kerusakan dalam kehidupan manusia.
Alasan ketiga ini merupakan kata kunci kelompok pertama dalam
mempertahankan kedudukan maslahat mursalah sebagai hujjah syari’ah. Sebab, jika
kemaslahatan yang terdapat disetiap tempat itu diabaikan, sementara ia tetapi
sejalan dengan kehendak syariat, niscaya manusia akan mengalami kesulitan, padahal
Allah tidak menginginkan kesulitan bagi manusia.
2.
Kelompok yang menolak maslahat mursalah sebagai hujjah syar’iyah.
Kelompok ini berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak dapat diterima sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum. Yang termasuk dalam kelompok yang mengingkari
maslahat mursalah ini sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan ialah
madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i dan madzhab Zahiriyah. Bahkan dikabarkan bahwa
madzhab Zahiriyah merupakan madzhab penentang utama atas kehujjahan maslahat mursalah.Adapun
yang menjadi dasar penolakan kelompok kedua ini sebagaimana dijelaskan oleh
Zaki al-Din Sya’ban adalah:
a.
Menurut mereka, bahwa Allah (Syari’) menolak sebagian maslahat dan
mengakui sebagian yang lainnya,sementara maslahat mursalah adalah hal yang
meragukan. Sebab boleh jadi maslahah mursalaah ditolak atau tidak diakui
kebenarannya. Oleh karena itu, maslahah mursalah tidak mungkin dan tidak dapat
digunakan sebagai alasan dalam pembinaan hukum.
b.
Sesungguhnya menggunakan maslahah mursalah dalam penetapan hukum
adalah menempuh jalan berdasarkan hawa nafsu dan hal seperti ini tidak
diperbolehkan.
c.
Menggunakan maslahah mursalah berarti akan menimbulkan perbedaan
hukumkarena perbedaan zaman dan lingkungan.
BAB
III
KESIMPULAN
Maslahat
mursalah yakni yang dimutlakkan, menurut istilah ulama ushul yaitu maslahah
dimana syari’ tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga
tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Maslahah itu disebut mutlak karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau
dalil pembatalan.
Dilihat dari
segi pembagian maslahat ini, dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat
dari segi tingkatannya dan eksistensinya.Maslahat dari segi tingkatannya
meliputi maslahat daruriyat المصالح الضرورية ) ), maslahat hajiyat المصالح الحاجية )), maslahat tahsiniyahالمصالح التحسنية )). Maslahat dilihatdari
segi eksistensinya meliputi maslahat mu’tabarahالمصالح المعتبرة ) ), maslahat mulghahالمصالح الملغاة )), maslahat mursalahالمصالح المرسلة ) ).
DAFTAR PUSTAKA
A.
Hanafie, Ushul Fiqh, ( Jakarta: Bumirestu, 1980)
Departemen
Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemah, (Bandung: Diponegoro, 2010)
http://www.mail-archive.com/mencintai-islam@yahoogroups.com/msg01473.html, diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 14.24 WIB
Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh),
(Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980)
Romli, Ushul Fiqh 1 (Metodologi Penetapan Hukum Islam),
(Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006)
[1]http://www.mail-archive.com/mencintai-islam@yahoogroups.com/msg01473.html, diakses pada
tanggal 11 Juli 2014 pukul 14.24 WIB
[2]Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah Kaidah Hukum Islam (Ushul Fiqh), (Yogyakarta: Nur
Cahaya, 1980), hlm. 116
[3]Romli, Ushul
Fiqh 1 (Metodologi Penetapan Hukum Islam), (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), hlm. 138
[5]Abdul Wahhab
Khallaf,Op.Cit, hlm. 118
[6]Romli, Op.
Cit, hlm. 139
[11]A. Hanafie, Ushul
Fiqh, ( Jakarta: Bumirestu, 1980), hlm. 144.
[12]Romli, Op.
Cit, hlm. 147-151.