Qaedah Ushuliyyah
Oleh: Iswahyudi
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qaidah Ushuliyyah merupakan dalil syara’ dan ada yang bersifat
menyeluruh, dan global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditunjukan bagi
suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat
menyeluruh itu disebut pula aqidah ushuliyyah.
Drs. Beni
Ahmad Saebani, M.Si mengemukakan bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting
karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali kandungan makna dan
hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah
merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum
Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan.
Beliau juga mengemukakan pendapat Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim
yang mengatakan bahwa penetapan hukum perintah, larangan, dan sebagainya,
berikut penggalian dalil-dalil yang dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum
Islam merupakan fungsi utama dari kaidah ushuliyah. Oleh karena itu penting
bagi seorang mujtahid maupun calon mujtahid untuk menggali sebuah hukum.
Qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan
hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu
Oleh karena itu pada makalah ini akan di bahas tentang beberapak
aspek mengenai Qaedah Ushuliyyah.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pengertian qaedah
ushuliyyah?
2.
Bagaimanakah urgensi qaedah
ushuliyyah?
3.
Apa sajakah jenis-jenis qaedah
ushuliyyah?
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qaedah Ushuliyyah
Qaidah
ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam
bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak.
Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad)
adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok,
dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk
menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang
dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah
Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah
ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang
digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan
didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.1
Drs.
Beni Ahmad Saebani, M.Si.2 mengemukakan pengertian kaidah
menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dan Fathi Ridwan. Pengertian kaidah menurut
Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺍﻠﻘﻀﺎﻴﺎ
ﺍﻠﻜﻠﻴﺔ ﺍﻠﺘﻲ ﻴﻨﺩﺭﺝ ﺘﺤﺕ ﻜﻝ ﻭﺍﺤﺩ ﻤﻨﻬﺎ ﺤﻜﻡ ﺠﺯﺌﻴﺎﺕ ﻜﺜﻴﺭﺓ
Artinya :
“Hukum-hukum yang
bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum
juz’i.”
Adapun menurut Fathi
Ridwan pengertian kaidah itu adalah sebagai berikut :
ﺍﻠﻘﺎﻋﺩﺓ : ﺤﻜﻡ ﻜﻠﻲ
ﻴﻨﻁﺒﻕ ﻋﻠﻰ ﺠﻤﻴﻊ ﺠﺯﺌﻴﺎﺘﻪ
Artinya :
“Hukum-hukum yang
bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannnya.”
Antara pengertian kaidah menurut Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i dengan
pengertian kaidah menurut Fathi Ridwan penulis simpulkan terdapat persamaan di
antara keduanya, bahwa kaidah itu adalah hukum-hukum yang bersifat umum dan
menyeluruh.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal, dan
global (kulli dan mujmal) dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum
tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh
itu disebut pula qaidah ushuliyah. Qaidah ushuliyah adalah sejumlah peraturan
untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan
dalalah lafadz atau kebahasaan.3
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah
sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai
pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya
yang terperinci.4
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas penulis
simpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk
menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil
tersebut.
B. Urgensi Qaidah
Ushuliyah
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql
(Al-Qur’an dan Sunnah), ‘akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), dan bahasa
(ushul at-tahlil al-lughawi).5 Qaidah ushuliyah itu berkaitan
dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa.
Oleh karena itu, qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk mengganti
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahui qaidah
ushuliyyah dapat mempermudah Faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap
peristiwa hukum yang dihadapinya.6
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.7 mengemukakan
bahwa kaidah ushuliyah itu sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan
alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh.
Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya
mengelupas jenis-jenis hukum suatu perbuatan. Beliau juga mengemukakan pendapat
Abdul Wahhab Khallaf dan Abdul Hamid Hakim yang mengatakan bahwa penetapan
hukum perintah, larangan, dan sebagainya, berikut penggalian dalil-dalil yang
dijadikan hujjah syar’iyyah dalam hukum Islam merupakan fungsi utama dari
kaidah ushuliyah.
C. Jenis-jenis Qaidah
Ushuliyah
Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si menjelaskan bahwa penerapan kaidah
ushuliyah yang pertama adalah kaidah lughawiyah, yaitu kaidah bahasa yang
berhubungan dengan kalimat-kalimat yang tersirat dalam Al-Qur’an maupun
As-Sunnah. Adapun kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:8
v Kaidah ushuliyah
yang berkaitan dengan amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk
mengamalkannya. Kaidah-kaidahnya adalah
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Asal dari
perintah itu wajib”
Contohnya dalam
surat Al-Baqarah ayat : 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
43.
Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta
orang-orang yang ruku'[44].
[44] yang dimaksud ialah: shalat berjama'ah dan
dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama
orang-orang yang tunduk.
Contoh dalam QS. An-Nisa’: 77
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلَا أَخَّرْتَنَا إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ ۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
77.
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka[317]:
"Tahanlah tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah
zakat!" setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian
dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya
kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. mereka berkata: "Ya
Tuhan kami, Mengapa Engkau wajibkan berperang kepada Kami? Mengapa tidak Engkau
tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami sampai kepada beberapa waktu
lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia Ini Hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan
dianiaya sedikitpun[318].
[317] orang-orang yang menampakkan dirinya beriman
dan minta izin berperang sebelum ada perintah berperang.
[318] artinya pahala turut berperang tidak akan
dikurangi sedikitpun.
v Kaidah kedua :
ﺍﻻ ﺼﻝ ﻓﻲ ﺍﻻﻤﺭ ﻠﻠﻨﺩ ﺏ
Artinya : “Asal dari
perintah itu hukumnya sunnat.”
Contohnya dalam
surat Al-Baqarah ayat 60.
۞ وَإِذِ اسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
60.
Dan (Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu kami
berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah
daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku Telah mengetahui tempat
minumnya (masing-masing)[55]. makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah,
dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.
[55] ialah sebanyak suku Bani
Israil sebagaimana tersebut dalam surat Al A'raaf ayat 160.
Contoh dalam surah Al-Baqarah : 283
۞ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
283.
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[180] barang tanggungan (borg)
itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
v Kaidah ushuliyah
yang berhubungan dengan larangan (nahy)
ﺍﻻﺼﻝ ﻓﻲﺍﻠﻨﻬﻲ ﻠﻠﺘﺤﺭﻴﻡ
Artinya : “Asal dari
larangan itu hukumnya haram.”
Contohnya larangan
membuat kerusakan di muka bumi dalam surat Al-Baqarah ayat 11.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ
11. Dan bila dikatakan
kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi[24]".
mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan."
[24] kerusakan yang mereka perbuat di muka bumi
bukan berarti kerusakan benda, melainkan menghasut orang-orang kafir untuk
memusuhi dan menentang orang-orang Islam.
Contoh dalam Surah Al-An’am : 151
۞ قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
151.
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak
kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada
mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar[518]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).
[518] maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti
qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
v Kaidah yang
menunjukkan pada Amm atau umum yang melengkapi dan melingkupi semua yang khusus,
misalnya kaidah :
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻤﻥ ﻋﻭﺍﺭﺽ ﺍﻻﻠﻔﺎﻅ
Artinya: “Keumuman
itu yang dimaksudkan adalah lafazhnya.”
ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ ﻻﻴﺘﻭﺼﺭ ﻓﻲﺍﻻﺤﻜﺎﻡ
Artinya: “Keumuman
itu tidak dapat menggambarkan suatu hukum.”
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻭﻤﻪ ﺸﻤﻭﻠﻲ ﻭﻋﻤﻭﻡ ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﺒﺩﻠﻲ
Artinya: “Al-‘Am itu
umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat
sebagian.”
v Kaidah yang
berkaitan dengan khas atau khusus, misalnya :
ﺍﻥ ﺍﻠﺘﺨﺼﻴﺹ ﺍﻠﻌﻤﻭﻤﺎﺕ ﺠﺎﺌﺯ
Artinya:
“Sesungguhnya pengkhususan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
ﺍﻠﺼﻔﺔ ﻤﻥﺍﻠﻤﺨﺼﺼﺎﺕ
Artinya: “Sifat itu
bagian dari pengkhususan.”
v Kaidah muthlaq dan
muqayyad,
Kaedah yang
berkaitan dengan Mutlaq
Mutlaq menurut bahasa adalah lepas tidak
terikat,sedangkan menurut ushul fiqih adalah suatu lafadz yang menunjukan pada
makna/pengertian tertentu tanpa dibatasi oleh lafadz lainnya. Misalnya: kata
“meja”, “rumah”, “jalan” , kata-kata ini memiliki makna mutlak karena 1) secara
makna kata-kata tersebut telah menunjuk pada pengertian makna tertentu yang
telah kita pahami, 2) tidak dibatasi oleh kata-kata lain.
Para ulama
ushul memberikan definisi Muthlaq dengan berbagai definisi.
Namun semuanya bertemu pada suatu pengertian bahwa yang di maksud dengan
muthlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan
yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Misalnya, kata raqabah yang terdapat
pada firman Allah SWT.
Lafadz tersebut termasuk mutlaq karena tidak
dibatasi dengan sifat tertentu.
Hukum
mutlak ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang
membatasinya.
Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna tersebut ditetapkan berdasarkan kemutlakannya. Misalnya dalam surat an-Nisa:23
Ketika ada suatu lafadz mutlaq, maka makna tersebut ditetapkan berdasarkan kemutlakannya. Misalnya dalam surat an-Nisa:23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
23.
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[281] maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan
seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak
perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang
lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu, menurut Jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam
pemeliharaannya.
Ayat
ini sifatnya mutlak.Keharaman menikahi ibu mertua tidak memedulikan apakah
istrinya sudah digauli atau belum.
Kaidah
yang berkaitan dengan muqayyad
Lafadz
muqoyyad tetap
dihukumi muqoyyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.
Muqoyyad berfungsi membatasi lafal-lafal yang mutlaq. Lafal muqoyyad dianggap tetap muqoyyad selama tidak ada bukti yang menjadikannya bersifat mutlaq.Misalnya,Kifarat zihar. Orang yang telah melakukan zihar diharuskan membayar kafarat berupa memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan sebanyak 60 orang miskin jika dua yang pertama tidak mampu.karena kemutlakannya telah dibatasi, maka yang harus diamalkan adalah muqoyyad-nya.
Muqoyyad berfungsi membatasi lafal-lafal yang mutlaq. Lafal muqoyyad dianggap tetap muqoyyad selama tidak ada bukti yang menjadikannya bersifat mutlaq.Misalnya,Kifarat zihar. Orang yang telah melakukan zihar diharuskan membayar kafarat berupa memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan sebanyak 60 orang miskin jika dua yang pertama tidak mampu.karena kemutlakannya telah dibatasi, maka yang harus diamalkan adalah muqoyyad-nya.
Dan
apabila mutlaq dan muqoyyad di kaitkan contohnya seperti berikut:
misalnya:
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﺍﺫﺍ ﺍﺘﻔﻕ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ ﻭﺍﻠﺤﻜﻡ
Artinya: “Mutlak itu
dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama.”
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ ﻭﺍﻥ ﺍﺨﺘﻠﻑ ﻓﻲ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Mutlak itu
dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda.”
v Kaidah mujmal dan
mubayyin, misalnya :
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺤﺎﺠﺔ ﻻﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Mengakhirkan
penjelasan pada saat dibutuhkan itu tidak diperbolehkan.”
ﺘﺄ ﺨﻴﺭ ﺍﻠﺒﻴﺎﻥ ﻋﻥ ﻭﻗﺕ ﺍﻠﺨﻁﺎﺏ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya:
“Diperbolehkan mengakhirkan penjelasan pada saat dititahkan sesuatu.”
v Kaidah yang
berkaitan dengan muradif dan musytarak, misalnya:
ﺍﺴﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻠﻤﺸﺘﺭﻙ ﻔﻲ ﻤﻌﻨﻴﻪ ﺍﻭﻤﻌﺎﻨﻴﻪ ﻴﺠﻭﺯ
Artinya: “Penggunaan
musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya itu diperbolehkan.”
v Kaidah yang
berkaitan dengan manthuq (tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual).
Misalnya kaidah :
ﻭﺠﻤﻴﻊ ﻤﻔﺎﻫﻴﻡ ﺍﻠﻤﺨﺎﻠﻔﺔ ﺤﺠﺔ ﺍﻻ ﻤﻔﻬﻭﻡ ﺍﻠﻠﻘﺏ
Artinya: “Semua
mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah, kecuali mafhum laqab.”
v Kaidah yang
berhubungan dengan zhahir dan muawwal, misalnya:
ﺍﻠﻔﺭﻭﻉ ﻴﺩﺨﻠﻪ ﺍﻠﺘﺄﻭﻴﻝ
ﺍﺘﻔﺎﻗﺎ
Artinya: “Masalah
cabang dapat dimasuki takwil secara ittifaq.”
v Kaidah yang
berhubungan dengan nasikh-mansukh, misalnya:
ﺍﻠﻘﻁﻌﻲ ﻻﻴﻨﺴﺨﻪ ﺍﻠﻅﻥ
Artinya: “Dalil
qath’i tidak dapat dihapus dengan dalil zhanni.”
ﺍﻠﻨﺴﺦ ﺒﻼ ﺒﺩﻝ ﻴﺠﻭﺭ
Artinya :
“Penghapusan tanpa adanya pengganti diperbolehkan.”
Menurut beliau,
selain kaidah lughawiyah, sebenarnya ada pula kaidah tasyri’iyah, tetapi acuan
pokoknya tetap kaidah bahasa. Kaidah yang kedua ini akan penulis jelaskan
secara terpisah di makalah ini setelah pembahasan kaidah ushuliyah.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof.
Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:9
a. Kaidah :
ﺍﻠﻌﺒﺭﺓ ﺒﻌﻤﻭﻡ ﺍﻠﻠﻔﻅ ﻻﺒﺨﺼﻭﺹ ﺍﻠﺴﺒﺏ
Artinya: “Yang
dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab
khusus (latar belakang kejadian).
b. Kaidah :
ﺍﺫﺍ ﺍﺠﺘﻤﻊ ﺍﻠﻤﻘﺘﻀﻰ ﻭﺍﻠﻤﺎﻨﻊ ﻗﺩﻡ ﺍﻠﻤﺎﻨﻊ
Artinya : “Bila
dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan dalil
yang melarang.”
c. Kaidah :
ﻻﻋﺒﺭﺓ ﻠﻠﺩﻻﻠﺔ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﺒﻠﺔ ﺍﻠﺘﺼﺭﻴﺢ
Artinya: “Makna
implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.”
d. Kaidah :
ﺍﻠﻨﻜﺭﺓ ﻔﻲ ﻤﻘﺎﻡ ﺍﻠﻨﻔﻲ ﺘﻔﻴﺩ ﺍﻠﻌﻤﻭﻡ
Artinya : “Lafazh
nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung pengertian umum.”
e. Kaidah :
ﺍﻠﻨﺹ ﻤﻘﺩﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻅﺎﻫﺭ
Artinya : “Petunjuk
nash didahulukan daripada petunjuk zahir.”
f. Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﻴﻔﻴﺩ ﺍﻠﻭﺠﻭﺏ
Artinya : “Petunjuk
perintah (amr) menunjukan wajib.”
g. Kaidah :
ﻻﻤﺴﺎﻍ ﻠﻼ ﺠﺘﻬﺎﺩ ﻔﻰ ﻤﻭﺭﻭﺩ ﺍﻠﻨﺹ
Artinya : “Tidak
dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.”
h. Kaidah :
ﺍﻠﻤﻁﻠﻕ ﻴﺤﻤﻝ ﺍﻠﻤﻘﻴﺩ
Artinya : “Dalalah
lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyah.”
i. Kaidah :
ﺍﻻﻤﺭ ﺒﺎﻠﺸﻴﺊ ﻨﻬﻲ ﻋﻥ ﻀﺩﻩ
Artinya : “Perintah
terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah ushul fiqh tentang qaidah ushuliyyah, dapat di tarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Qaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah
peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’
dari dalil-dalil tersebut.
2.
Adapun urgensi kaidah ushuliyah itu
sangat penting karena kaidah ushuliyah itu merupakan alat untuk menggali
kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah
kaidah ushuliyah merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah ushuliyah,
pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum
suatu perbuatan.
3.
Adapun
jenis qaidah-qaidah ushuliyyah, sebagai berikut:
-
Kaidah ushuliyah yang berkaitan dengan
amr yang menunjukkan kewajiban bagi mukallaf untuk mengamalkannya.
-
Kaidah kedua yakni perintah yang bersifat
sunnah.
-
Kaidah ushuliyah yang berhubungan dengan
larangan (nahy).
-
Kaidah yang menunjukkan pada umum yang
melengkapi dan melingkupi semua yang khusus.
-
Kaidah yang berkaitan dengan khas atau
khusus.
-
Kaidah muthlaq dan muqayyad.
-
Kaidah mujmal dan mubayyin.
-
Kaidah yang berkaitan dengan muradif dan
musytarak.
- Kaidah yang berkaitan dengan manthuq
(tersurat/tekstual) mafhum (tersirat/kontekstual).
-
Kaidah yang berhubungan dengan zhahir dan
muawwal.
-
Kaidah yang
berhubungan dengan nasikh-mansukh.
REFERENSI
1
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka
Setia, 2009, hlm. 193-194.
2
Ibid.
3
Rachmat Syafe’I, Ulmu Ushul Fiqh (untuk UIN, STAIN,OTAIS),
Bandung, Pustaka Setia, 2007, hlm. 147.
4
http:kozam.wordpress.com/2009/II/10/kaidah-kaidah ushul fiqh/
5
http:kozam.wordpress.com/2009/ii/10/kaidah-kaidah ushul fiqh/
6
Rachmat Syafe’i. Loc. Cit.
7
Beni Ahmad Saebani, Op. Cit.,hlm. 194-195.
8
Beni Ahmad Saebani, Ibid., hlm. 195-207.
9
Rachmat Safe’I, Op. Cit., hlm. 148-149.
#makalah_s1_syariah_dan_hukum