Pemeriksaan Acara Biasa, Singkat dan Cepat
Oleh: Iswahyudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terjadinya peningkatan peranan pemerintah baik dalam
kuantitatif maupun kualitatif merupakan konsekuensi eksistensi sebuah Negara
hukum modern. Faktor terpenting untuk mendukung
efektivitas peranan pemerintah adalah faktor control
yuridis yang efektif untuk mencegah terjadinya mal administrasi maupun berbagai
bentuk penyalahgunaan wewenang. Hal tersebut mendasari konsepsi keberadaan PTUN
yang merupakan pelembagaan control terhadap tindakan pemerintahan. PTUN
diciptakan untuk menyelesaikan sengketa anatara pemerintah dan warga negaranya
yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan
pemerintah yang dianggap melanggar hak warga negaranya.
Dengan demikian
fungsi dari PTUN sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik
yang timbul antara pemerintah dengan rakyat sebagai akibat dikeluarkannya atau
tidak dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara. (Zairi, 2010: 10)
Adapun dalam
proses pengajuan gugatan oleh penggugat kepada tergugat melalui PTUN di sini
ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan dengan acara
biasa, pemeriksaan dengan acara singkat, pemeriksaan dengan acara cepat.
Oleh karena itu
pada makalah hukum acara peradilan tata usaha negara ini akan dibahas tentang
pemeriksaan acara biasa, singkat dan cepat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai
berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan pemeriksaan
acara biasa, pemeriksaan acara singkat dan pemeriksaan
dengan acara cepat?
2.
Bagaimanakah salah satu contoh kasus dan analisisnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemeriksaan Acara Biasa, Singkat dan Cepat
1.
Pemeriksaan Acara Biasa
Pemeriksaan dengan acara biasa diatur mulai Pasal 108 UU PTUN. Jika tidak
terdapat alasan khusus yang memenuhi kriteria
Pasal 98-99 UU PTUN. Sengketa di PTUN akan diperiksa dengan acara pemeriksaan
biasa. Batas waktu pemeriksaan acara biasa tidak boleh lewat waktu enam bulan
sejak tanggal registrasi sengketa tata usaha negara oleh kepaniteraan PTUN. (Tjandra, 1996: 103)
Apabila
gugatan telah diproses melalui 3 tahap pemeriksaan pra-persidangan di atas dan
ditetapkan dapat diperiksa dengan acara biasa, barulah gugatan akan diperiksa
melalui persidangan dengan acara biasa. Pengadilan memeriksa
dan memutus sengketa tata usaha Negara dengan 3 orang hakim. Pengadilan
bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan. Panggilan terhadap
para pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima
surat panggilan yang dikirmkan dengan surat tercatat. Jika salah satu pihak
berkedudukan atau berada diluar wilayah Republik Indonesia, ketua pengadilan
yang bersangkutan melakukan pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan
hari sidang beserta salinan gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri RI.
a.
Pengajuan Gugatan
Ketika
Pasal 53 ayat (1) belum diadakan perubahan dengan UU No. 9 Tahun 2004, dengan
SEMA Nomor 2 Tahun 1991 telah diberikan petunjuk lebih lanjut bahwa gugatan
dapat juga diajukan melalui pos. Dengan demikian pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(1), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (Wiyono, 2009: 145)
1) Gugatan diajukan langsung oleh penggugat
Gugatan
yang diajukan langsung oleh penggugat diterima oleh panitera, tetapi tidak
langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara sebelum penggugat membayar uang
muka biaya perkara yang besarnya ditaksir oleh Panitera yaitu
sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.00,00.
Penjelasan
Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan uang muka biaya
perkara adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak
penggugat terhadap perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara
seperti biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya sanksi, biaya ahli, biaya alih
bahasa, biaya pemeriksaan ditempat lain dari ruang siding, dan biaya lain yang
diperlukan bagi pemutuan sengketa atas perintah hakim. (Pasal 59 ayat (3) dan
ayat (4) UU PTUN)
Jadi,
dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara melalui gugatan pembayaran uang
muka biaya perkara sifatnya adalah imperative. Tanpa adanya pembayaran
uang muka biaya perkara, gugatan tidak akan diproses lebih lanjut.
2) Gugatan diajukan melalui pos oleh penggugat
Dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan bahwa dalam hal
gugatan diajukan melalui pos, panitera harus memberitahu tentang pembayaran
uang muka biaya perkara kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6
bulan bagi penggugat itu untuk memenuhinya dan kemudian diterima di
Kepaniteraan terhitung sejak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan tersebut.
Setelah lewat tenggang
waktu enam bulan tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima
dikeaniteraan, maka gugatan tidak akan didaftar. Gugatan yang dikirim melali
pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara tersebut, dianggap
sebagai surat biasa, akan tetapi kalau sudha jelas merupakan suatu surat gugat,
maka haruslah tetap disimpan di Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat
dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tangga diterimanya gugatan
tersebut, agar dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak
terlampaui.
Dengan demikian gugatan
yang diajukan penggugat melalui pos baru akan diperoses lebih lanjut jika telah
dibayar uang muka biaya perkara yang ditafsir oleh panitera.
Apabila
penggugat tidak mampu membayar uang muka biaya perkara maka sesuai dengan Pasal
60 ayat (1) menentukan bahwa penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan untuk bersengketa secara Cuma-Cuma. Permhonn untuk
bersengketa dengan Cuma-Cuma oleh penggugat diajukan bersama-sama engan surat
gugatan kepada Ketua Pengadilan dengan dilampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu
dari Kepala Desa atau Lurah di tempat kediaman penggugat. Permohonan ini tidak
ada upaya hukum yang dapat diambil atau dipergunakan.
Untuk mengetahui apa
yang dimaksud dengan Pengadilan yang Berwenang dalam perumusan Pasal 53 ayat
(1) tersebut, disamping harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang
kompetensi relative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, juga harus
memperhatikan ketentuan tentang sengketa Tata Usaha Negara yang harus
diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia.
b. Penelitian Administrative
Ketentuan mengenai
penelitian administrative secara tegas tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986. Oleh Mahkamah Agung telah diberi petunjuk mengenai yang mempunyai
wewenang untuk melakukan penelitian administrative adalah panitera, wakil panitera,
dan panitera muda perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan. Adapun
yang menajadi odjek dari penelitian administrative hanya segi formalnya saja,
missal segi formal dari surat kuasa apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 56, tetapi tidak sampai menyangkut segi materiil dari
gugatan.
Dalam tahap penelitian
administrative ini panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya dan
dapat meminta kepada penggugat untuk memperbaiki yang dipandang perlu.
Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara dengan dalil apapun juga yang
berkaitan dengan masalah gugatan. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara
selanjutnya, maka setelah perkara dimasukkan dalam daftar perkara dn memperoleh
nomor perkara oleh staf Kepaniteraan dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu
sebelum diajukn kepada Ketua Pengadiln dengan bentuk formal dan isinya pada
pokoknya adalah sebagai berikut:
(Wiyono, 2009: 148)
1) Siapa subjek gugatan dan apakah penggugat maju sendiri ataukah diwakili
oleh kuasa;
2) Apa yang menjadi objek gugatan dan apakah objek gugatan tersebut termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur-unsur Pasal 1
butir 3;
3) Apakah yang menjadi alasan-alasan gugatan dan apakah alas an tersebut
memenuhi unsure Pasal 53 ayat (2) butir a dan b;
4) Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan yaitu hanya pembatalan
Keputusan Tata Usaha Negara saja, ataukah ditambah pula dengan tuntutan ganti
rugi atau rehabilitasi.
c.
Rapat Permusyawaratan
Setelah surat gugatan
dan resume gugatan diterima oleh ketua pengadilan dari panitera, maka oleh
ketua pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam rapat permusyawaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1): “dalam rapat permusyawaratan,
ketua pengadilan berwenang untuk menentukan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar dalam hal:
1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
pengadilan;
2) Syarta-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan yang layak;
4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata
Usaha Negara;
5) Gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Pelaksanaan rapat
permusyawaratan keputusan TUN menentukan bahwa pemeriksaan dismissal
dilakukan oleh ketua pengadilan dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebgai
Raportir. Pemeriksaan dalam rapat permusywaratan hanya terpusat pada apakah
gugatan memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan yang disebut
dalam Pasal 62 ayat (1). Apabila dipandang perlu, pada waktu dilakukan
pemeriksaan dalam rapat permusyawaratan, ketua Pengadilan berwenang memanggil
dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum ketua pengadilan mengeluarkan
penetapan dismissal. Jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh ketua
pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi satu atau beberapa
atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) maka ketua
pengadilan mengeluarkan penetapan yang menunjuk hakim untuk memeriksa gugatan
dengan acara biasa.
d. Pemeriksaan
Persiapan
Sesuai
dengan Pasal 63 ayat (1) sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimuka umum
dimulai, Majelis Hakim yang telah ditetapkan oelh Ketua Pengadilan wajib
mengadakan oemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas
atau untuk mematangkan perkara. Pemeriksaan persiapan ini dapat pula dilakukan
oleh Hakim anggota yang ditunjuk oleh Ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan
yang ditetapkan oleh Ketua Majelis. Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan
sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat
dilakukan di ruangan musyawarah dalam siding tertutup untuk umum.
Dalam pemeriksaan
persiapan, memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatanya atau tergugat
untuk dimintai keterangan tentang keputusan yang digugat tidak selalu harus
didengar dengan terpisah. Setelah hakim merasa bahwa gugatan sudah lengkap dan
sudah pula memperoleh kejelasan tentang duduk perkaranya maka hakim baru akan
menentukan hari siding untuk memeriksa gugatan di muka umum.
2. Acara
Pemeriksaan Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat adalah prosedur acara yang dipergunakan
untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap penetapan ketua pengadilan
dalam rapat permusyawaratan. Acara singkat ini digunakan untuk pemeriksaan
perlawanan dan pemutusan terhadap upaya perlawanan. Jika perlawanan dibenarkan
oleh pengadilan maka penetapan yang mendismis gugatan penggugat gugur demi
hukum.
Sebagaimana
dalam acara pemeriksaan biasa, jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh
ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan menunjukkan bahwa gugatan tidak
memenuhi semua ketentuan dari Pasal 62 ayat (1) maka ketua pengadilan
mengeluarkan penetapan yang menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa gugatan
dengan acara biasa. Sebaliknya jika hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh
ketua pengadilan tersebut menunjukkan bahwa gugatan memenuhi salah satu atau
beberapa atau semua ketentuan maka dengan menunjuk pada ketentuan yang terapat
dalam Pasal 62 ayat (1) ketua pengadilan lalu mengeluarkan penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang menyatakan bahwa gugatan tidak
diterima atau tidak berdasar yang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dan
Panitera Kepala. Sebagaimana menurut
Martiman Prodjohamidjojo yaitu:
(Pradjohamidjojo, 1996: 56)
a. Jika pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan
maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
b. Jika
syarat dalam Pasal 56 ayat (1) tidak dipenuhi oleh penggugat, maka gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima dan jika syarat materiilnya tidak dipenuhi maka
gugatan dinyatakan tidak berdasar.
c. Jika gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak maka gugatan
dinyatakan tidak berdasar.
d. Jika apa yang dituntut sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
e. Jika gugatan yang diajukan sebelumnya waktunya atau lewat waktu, maka
gugatan dunyatakan tidak dapat diterima.
Penetapan tersebut bisa
dikenal dengan penetapan dismissal disamping merupakan penetapan yang
menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar. Terhadap penetapan
dismissal tersebut penggugat dapat mengajukan upaya hukum berupa perlawanan ke
pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah penetapan dismissal diucapkan.
Dengan demikian penggugat yang mengajukan perlawanan sama halnya dengan penggugat
ketika mengajukan gugatan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada ketentuan yang harus diikuti oleh
pengadilan dalam menyelesaikan gugatan perlawanan dengan acara pemeriksaan
singkat, kecuali Pasal 62 ayat (6) yang menentukan bahwa terhadap putusan
mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum. Oleh karena itu, Mahkamah Agung kemudian memberikan beberapa pendapat
sebagai berikut:
a. Yang memeriksa gugatan perlawanan adalah Majelis Hakim.
b. Pemeriksaan gugatan perlawanan oleh Majelis Hakim tanpa terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan persiapan.
c. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi
putusannya harus diucapkan dalam siding yang terbuka untuk umum.
d. Dalam
memeriksa gugatan perlawanan setidak-tidaknya baik penggugat atau tergugat
didengar dalam persidangan tanpa memeriksa pokok gugatan seperti memeriksa
bukti-bukti, saksi ahli, dan sebagainya.
e. Terhadap putusan gugatan perlawanan tidak tersedia upaya hukum apapun baik
upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
f. Dalam hal pihak pelawan mengajukan permohonan banding atau upaya hukum
lainnya maka panitera berkewajiban membuat akta penolakan banding.
Jika
setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata perlawanan yang diajukan oleh penggugat
tersebut dibenarkan oleh hakim, maka hakim menjatuhkan putusan bahwa perlawanan
diterima atau berdasar. Sebaliknya jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata
perlawanan yang diajukan oleh penggugat tersebut tidak dibenarkan oleh hakim ,
maka hakim menjatuhkan putusan bahwa perlawanan tidak diterima atau ditolak. Penetapan dismissal yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut
dengan sendirinya berlaku pula untuk pokok sengketa Tata Usaha Negara yang
disebutkan dalam gugatan. Walaupun adanya penetapan dismissal yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap penggugat masih dapat mengajukan gugatan lagi
dengan syarat dasar gugatannya baru yang berbeda dengan dasar gugatan pada
gugatan yang telah mendapatkan penetapan dismissal tersebut.
3. Acara Pemeriksaan Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal 98
dan 99 UU PTUN. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang mendesak maka
penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat.
Cara pemeriksaan dengan
acara cepat yaitu sebagai berikut:
a. Pengajuan
Gugatan
Pengajuan
gugatan dalam pemeriksaan dengan acara cepat adalah sama dengan pengajuan
gugatan dalam pemeriksaan dengan acara biasa dengan perbedaan bahwa dalam
gugatan yang diajukan oleh penggugat disebutkan adanya alasan-alasan agar pemeriksaan
terhadap sengketa Tata Usaha Negara dipercepat yaitu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (1). Dalam Pasal tersebut
diatas dapat diketahui bahwa agar dapat dilakukan pemeriksaan dengan acara
cepat, pengajuan gugatan harus memenuhi syarat-syarat:
1) Dalam surat gugat harus sudah dimuat atau disebutkan alasan-alasan yang
menjadi dasar dari penggugat untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara.
2) Dari
alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut dapat ditarik kesimpulan
adanya kepentingan dari penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan
terhadap sengketa Tata Usaha Negara tersebut memang perlu dipercepat.
Perlu
diketahui bahwa alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut tidak
hanya sekedar kepentingan dari penggugat bahwa pemeriksaan terhadap sengketa
Tata Usaha Negara yang diajukan perlu dipercepat, tetapi kepentingan dari
penggugat yang dimaksud harus merupakan kepentingan yang cukup mendesak. Kepentingan penggugat dianggap cukup mendesak apabila kepentingan itu
menyangkut keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya perintah
pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat. Kepentingan
penggugat yang cukup mendesak mempunyai sifat kasuistis sehingga Ketua
Pengadila diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan-alasan
yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya agar sengketa TUN dapat
dipercepat pemeriksaannya.
b. Penelitian Administratif
Seperti halnya pada
pemeriksaan dengan acara pemeriksaan biasa, pada pemeriksaan acara cepat juga
dilakukan penelitian admiistratif. Penelitian administartif yang dilakukan pada
pemeriksaan dengan acara cepat samma dengan penelitian administrative yang
dilakukan pada acara pemeriksaan dengan acara biasa.
c. Rapat
Permusyawaratan
Pasal
98 ayat (2) menentukan bahwa Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari
setelah diterimanya permohonan supaya pemeriksaan sengketa TUN dipercepat,
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan
tersebut.
Ketua Pengadilan adalah
yang berwenang untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan supaya
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat. Selain oleh Ketua pengadiln
penetapan tentang permohonan penggugat dipercepat dapat pula dikeluarkan oleh
hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan sebelum pokok perkara diperiksa.
Sebelum ketua
pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya
permohonan penggugat, ketua pengadilan akan melakukan pemeriksaan dalam rapat
permusyawaratan terhadap gugatan yang sudah diadakan penelitian administrative
oleh staf kepaniteraan. Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan tersebut dapat berupa:
1) Permohonan
dari penggugat tidak dikabulkan
Jika
permohonan dari penggugat tidak dikabulkan ketua pengadilan akan mengeluarkan
penetapan bahwa permohonan dari penggugat tersebut ditolak atau tidak
dikabulkan. Terhadap penetapan ketua Pengadilan tersebut tidak
dapat digunakan upaya hukum.
2) Permohonan
dari penggugat dikabulkan
Jika
permohonan dari penggugat dikabulkan, Ketua Pengadilan akan mengeluarkan
penetapan berupa permohonan dari penggugat diterima dan dalam jangka waktu
tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan tersebut ketua pengadilan
menetapkan tentang hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan persiapan. Dengan penetapan, Ketua
Pengadilan menunjuk hakim tunggal untuk melakukan pemeriksaan dengan acara
pemeriksaan cepat (Pasal 99 ayat (1). (http://pemeriksaancepat.html)
B. Contoh Kasus dan Analisisnya
Masalah Kepegawaian,
antara lain: pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun
1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun
1980 (dahulu), sedangkan untuk saat ini masalah hukuman disiplin PNS akan
mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang telah mencabut
dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, mutasi PNS yang
dilatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan antara atasan-bawahan, pengisian
jabatan struktural, pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS, penolakan
terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes CPNS, masalah poligami PNS atau
perceraian PNS dan Pemberhentian PNS karena menjadi anggota/pengurus partai
politik.
Untuk
masalah pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007, persoalan yang diperiksa di PTUN pada umumnya
meliputi 2 (dua) hal yaitu : pertama, sekretaris desa yang memenuhi syarat
untuk diangkat menjadi PNS tetapi tidak mau menjadi PNS sehingga menggugat SK
PNS nya dengan perhitungan secara matematis jika ia tetap sebagai sekretaris
desa non PNS maka usia pensiunnya akan lebih lama dan penghasilannya dari
bengkok lebih besar dibandingkan dengan PNS golongan II/a. Alasan kedua yaitu
sekretaris desa yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi PNS, akan tetapi tidak
memperoleh hak berupa tunjangan kompensasi dari Bupati/Walikota yang pada
umumnya karena ketiadaan dana didalam APBD. Hal tersebut diakibatkan adanya
ketentuan didalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP Nomor 45 Tahun 2007 yang pada
pokoknya menyebutkan Sekretaris Desa yang tidak diangkat menjadi PNS diberikan
tunjangan kompensasi yang dihitung berdasarkan masa kerja selama yang
bersangkutan menjadi sekeretaris desa sebagai berikut :
1. Masa kerja 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ditetapkan sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah).
2. Masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dihitung sebesar Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah) per tahun dengan ketentuan secara komulatif paling tinggi sebesar
Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Terhadap PNS yang
diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat tersebut tetap diberikan
hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
berikut:
1. Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat dengan hak pensiun, berhak
menerima pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan perumahan dari Bapertarum.
2. Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat tanpa hak pensiun dan PNS yang
diberhentikan tidak dengan hormat berhak menerima pengembalian nilai tunai
iuran pensiun, tunjangan hari tua dan tabungan perumahan dari Bapertarum.
Dahulu, terhadap
masalah pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979
tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil sering terjadi salah persepsi oleh
Pegawai yang bersangkutan ataupun kuasanya dengan mengira pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai bentuk jenis hukuman disiplin berat
berdasarkan Pasal 6 ayat (4) huruf c dan d Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun
1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil sehingga ada upaya banding
administrasi yang berpuncak pada Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK).
Sedangkan pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil baik dengan hormat maupun tidak dengan hormat yang
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tidak ada upaya
banding administrasi sehingga upaya hukum yang dapat digunakan adalah langsung
mengajukan gugatan di PTUN.
Hal tersebut dapat
diketahui dari kewenangan BAPEK sebagaimana disebutkan didalam Pasal 2
Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1980 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian
yaitu :
1. Memeriksa dan mengambil keputusan mengenai keberatan yang diajukan oleh
Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Pembina, golongan ruang IV/a ke bawah
tentang hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, sepanjang mengenai hukuman disiplin
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
2. Memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai usul penjatuhan hukuman
disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil bagi Pegawai
Negeri Sipil yang berpangkat Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b keatas
serta pembebasan dari jabatan bagi Pejabat Eselon I, yang diajukan oleh
Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negera dan Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen.
Saat ini dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan PP
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan kepegawaian, maka tugas BAPEK
saat ini adalah sebagaimana Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 2011 yaitu :
1. Memberikan pertimbangan kepada Presiden atas usul penjatuhan hukuman
disiplin berupa pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih
rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS, bagi PNS
yang menduduki jabatan struktural eselon I dan pejabat lain yang pengangkatan
dan pemberhentiannya oleh Presiden.
2. Memeriksa dan mengambil keputusan atas banding administratif dari PNS yang
dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS oleh
pejabat pembina kepegawaian dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah.
(http://contohkasusPTUN.html)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pemeriksaan Acara Biasa apabila
gugatan telah dip roses melalui 3 tahap pemeriksaan pra-persidangan di atas dan
ditetapkan dapat diperiksa dengan acara biasa, barulah gugatan akan diperiksa
melalui persidangan dengan acara biasa. Sedangkan Pemeriksaan dengan
Acara Singkat pemeriksaan dengan acara singkat adalah prosedur acara
yang dipergunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap penetapan
ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan. Dan Pemeriksaan dengan
Acara Cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU PTUN. Apabila
terdapat kepentingan penggugat yang mendesak maka penggugat dalam gugatannya
dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
2. Contoh
kasus diatas adalah Masalah Kepegawaian,
antara lain: pemberhentian PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 32 Tahun
1979, hukuman disiplin PNS berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 30 Tahun
1980 (dahulu), sedangkan untuk saat ini masalah hukuman disiplin PNS akan
mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 yang telah mencabut
dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979, mutasi PNS yang
dilatarbelakangi ketidakharmonisan hubungan antara atasan-bawahan, pengisian
jabatan struktural, pengangkatan sekretaris desa menjadi PNS, penolakan
terhadap penyandang cacat untuk mengikuti tes CPNS, masalah poligami PNS atau
perceraian PNS dan Pemberhentian PNS karena menjadi anggota/pengurus partai
politik.
DAFTAR PUSTAKA
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acar Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Cetakan II, 1996.
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, 2009.
W. Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas
Atma Djaya Jogjakarta, Yogyakarta, 1996.
Zairi Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.
http://contohkasusPTUN.html. (diakses hari Selasa,
09/12/2014 Pukul 22.13)
http://pemeriksaancepat.html. (diakses
hari Selasa, 09/12/2014 Pukul 22.30)
#makalah s1 fakultas Syariah dan Hukum UIN RAFAH