Saturday 16 January 2016

Faktor Kemunculan Fiqih Kontemporer

Faktor Kemunculan Fiqih Kontemporer
Oleh: Jamiatul Husnaini & Safri Erawansyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih adalah suatu bidang ilmu yang berkaitan erat dengan keseharian manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, fiqih juga sangat tergantung pada kondisi tempat dan masa dimana manusia itu berada. Seiring dengan berjalannya waktu, muncullah pertanyaan-pertanyaan baru dalam masalah fiqih yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan teknologi. Kemudian, seperti yang kita semua ketahui bahwa agama islam seharusnya mencakup segala bidang kehidupan manusia maka begitu pula dengan fiqih. Maka untuk menjawab tantangan zaman itulah muncul ulama-ulama fiqih kontemporer yang berijtihad dengan menggunakan hukum-hukum fiqih yang sudah ada kepada masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia modern.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai latar belakang atau faktor munculnya Fiqih Kontemporer serta relevansi Fiqih Klasik dengan Fiqih Kontemporer.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana eksistensi fiqih dalam memasuki era modern saat ini?
2.      Apa saja factor yang menyebabkan munculnya Fiqih Kontemporer?
3.      Masih relevankah Fiqih Kontemporer jika dihadapkan dengan Doktrin Fiqih Klasik?


BAB II
Faktor Kemunculan Fiqih Kontemporer
A.    Fiqih Memasuki Era Modern
Menurut bahasa fiqih berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci (tafsil/jelas).
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqih mempunyai dua makna, yakni menurut ahli ushul dan ahli fiqih. Masing-masing memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqih. Menurut ahli ushul, fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli ushul mengartikan fiqih adalah mengetahui fiqh dengan mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut ahli fiqh (fuqaha), fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.[1]
Memasuki era modern, fiqih dalam Islam mengalami penurunan dalam penggunaan oleh masyarakat. Fiqih yang sebenarnya mencakup semua hal dalam kehidupan manusia, mengalami degradasi dalam cakupan pengertiannya terutama di kalangan masyarakat awam yang memahami fiqih hanya mengatur tata cara ibadah secara ritual. Pemerintah diberbagai Negara mulai menerapkan apa yang disebut sekulerime yang memisahkan kehidupan agama dari kehidupan politik dan social. Fiqih yang tadinya dipakai sebagai dasar Negara dalam mengambil keputusan mulai dipisahkan dari kehidupan kenegaraan karena dianggap tidak dapat menjawab masalah yang muncul di era modern. Bahkan sebagian orang berfikir bahwa agama menghambat kemajuan. Hal ini dikarenakan para ulama tidak berani berijtihad dalam mengambil keputusan hukum tentang suatu topik dan masalah aktual kontemporer yang relevan dengan kehidupan ini.
Pada akhir abad XX, beberapa Negara berkembang mulai memeriksa kembali struktur hukum mereka dan memantau dari segi Al-Qur’an dan Hukum tradisional Islam yang ternyata terbukti lebih baik dari sistem imperialisme yang diterapkan Negara-negara barat.
B.     Faktor-faktor Munculnya Fiqih Kontemporer
Masyarakat Islam dituntut untuk mengikuti perubahan sosial dan sejarah dalam dunia modern. Masalah fiqih kontemprer ini mencakup hal-hal yang terjadi akibat perkembangan zaman dan teknologi. Contohnya dalam hal telepon dan fungsinya apakah dapat digunakan sebagai lebih dari sekedar alat komunikasi, juga permasalahan dalam kedokteran modern, apa saja pandangan islam terhadap sistem-sistem pemerintahan yang muncul di era modern, dan lain-lain.
Tentu saja semua itu memerlukan jawaban yang ditopang dail-dalil yang kuat, argumentative, dan komparatif. Maka muncullah pemikir-pemikir besar di kalangan ulama islam terutama yang berusaha mencari jawaban atas segi fiqih suatu permasalahan yang mucul akibat perkembangan zaman.[2]
Adapun yang melatarbelakangi munculnya Fiqih Kontemporer, yaitu:
1.      Akibat arus globalisasi yang meliputi hampir sebagian besar Negara-negara yang dihuni mayoritas umat Islam. Dengan adanya arus modernisasi tersebut, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat Islam., baik yang menyangkut ideologi politik, sosial, budaya dan sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena aneka perubahan tersebut banyak melahirkan simbol-simbol sosial dan cultural yang secara eksplisit tidak memiliki simbol keagamaaan yang telah mapan, atau disebabkan kemajuan modernisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagamaan.
2.      Telah mapannya sistem pemikiran barat (hukum positif) dimayoritas Negara muslim secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan apa lagi sangat didukung oleh kekuatan yang bersifat struktural  maupun cultural, namun masyarakat Islam dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis maupun politis. Tetapi karena belum terwujudnya konsepsi Islam yang lebih kontekstual, maka dengan rasa ketidakberdayaan mereka mengikuti saja konsepsi yang tidak islami. Hal tersebut akhirnya menggugah naluri pakar hukum Islam untuk segera mewujudkan fiqih yang lebih relevan dengan perkembangan zaman.
3.      Masih terpakunya pemikiran Fiqih Klasik (lawan Fiqh Kontemporer) dengan pemahaman tekstual, ad hoc dan parsial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensif dan aktual, sekaligus kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman yang ada.[3]
Menelaah literatur fiqih pada zaman klasik, dan antisipasi tantangan fiqih pada masa-masa mutaakhir (sekarang), banyak tantangan dalam intern itu sendiri, untuk selalu eksis menjawab tantangan zaman tanpa disadari bahwa modernisasi telah menjungkirbalikkan budaya termasuk dibidang fiqih. Sebab, pada esensinya adanya modernisasi yang berkembang dewasa ini adalah memang dipicu dan dibelakangi oleh orang-orang orientalis dan kapitalis barat. Hal seperti ini mereka lakukan untuk melumpuhkan budaya-budaya yang masih berbau Islam diseluruh belahan dunia. Sehingga, dari implikasi ini, dapat dibuktikan bahwa budaya luhur Islam sudah semakin rapuh, bahkan tidak ada yang simpati lagi.
Pada situasi saat ini, tantangan demi tantangan harus dihadapi oleh fiqih khususnya, sebab pada era mutaakhir ini, banyak orang-orang telah mengabaikan fiqih, mereka telah dipengaruhi oleh doktrin-doktrin dan ajaran-ajaran kapitalisme dan sekulerisme yang sangat mengakar pada pemikiran umat saat ini. Lebih ironis lagi, mereka beranggapan bahwa fiqih pada saat ini tidak relevan lagi. Dan fiqih (versi ulama salaf) yang teosentris tidak bisa menjawab tantangan zaman di kalangan masyarakat, dan terkesan pasif, kuno, konservatif dan tidak realistis. Mereka, orang yang alergi fiqih ini menghimbau pada pakar-pakar fiqih, agar mengadakan rehabilitasi fiqih, sesuai perkembangan zaman di era modern dewasa ini. Sebab, fiqih haruslah universal, toleran, tidak kaku seperti fiqih doktrin ulama salaf. Selayaknya fiqih berperinsip pada cermin di dalam islam “permudahlah jangan dipersulit” tidak membuat bingung dan rumit umat islam.
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam satu kitabnya secara implicit mengungkapkan betapa diperlukan Fiqih Kontemporer dimasa ini:
Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, timbullah pertanyaan bagi kita, mampukah ilmu fiqih menghadapi zaman modern? Masih relevankah hukum Islam yang lahir 14 abad Islam yang lalu diterapkan sekarang? Tentu kita sebagai muslim akan menjawabnya, hukum Islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan “tidak asal bicara”, memang, tetapi untuk menuju kesana perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen untuk merealisir tujuan penciptaan Fiqih Kontemporer tersebut, Qardhawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad perlu dibuka kembali, menapaktilasi apa yang telah dilakukan oleh ulama salaf.
Berkenaan dengan munculnya isu fiqh kontemporer tersebut, yakni bagaimana pemikiran ulama bisa dipertanyakan kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan Sunnah. Disisi lain pertimbangan maslahah dapat dijadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqh dengan zaman yang berkembang. Perbedaan antara syari’ah dengan fiqh menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqh kotemporer.[4]
C.    Relevansi Fiqih Kontemporer dengan Doktrin Fiqih Klasik
Prof. Dr. Harun Nasution membagi ciri pemikiran Islam dalam tiga zaman, yakni Klasik (abad VII-XII), Pertengahan (tradisional) abad XIII-XVIII dan Modern (Kontemporer) abad IX.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berfikir ulama klasik terikat langsung dengan Al-Qur’an dan Hadits, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif. Sedangkan pemikiran zaman pertengahan menjadi lebih terikat sekali dengan hasil pemikiran ulama klasik. Dalam menghadapi masalah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung mengali Al-Qur’an dan Hadits, melainkan lebih banyak terikat dengan produk pemikiran ulama zaman klasik, sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu beradaptai dengan perkembangan zaman di zaman modern ini, banyak umat Islam yang masih juga terpaku dengan pola pemikiran Islam abad pertengahan hanya sebagiaan kecil yang memakai pola pemikiran rasional zaman klasik sebenarnya bila umat Islam ingin maju dan punya kemampuan mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola pemikiran ulama klasik sudah selayaknya dikembangkan. Walaupu menghasilkan produk fiqih yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi yang ada. Disinilah letak relevansinya antara fiqh kontemporer dengan fiqh klasik. Tetapi yang jelas pemikiran kontemporer tidak mesti terikat dengan pemikiran klasik maupun pertengahan, bila ternyata tidak relevan dengan persolan yang ada; tetapi yang masih relevan tetap dijadikan pegangan.[5]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah serta pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
a.       Dalam memasuki era modern saat ini, fiqih mengalami degradasi (penurunan) dalam penunggunaan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Faktor yang menyebabkan munculnya Fiqih Kontemporer adalah adanya arus globalisasi yang menyebabkan zaman berkembang sangat maju, sehingga timbullah masalah-masalah baru. Oleh sebab itu, muncullah pemikir-pemikir Islam yang mulai mengkaji fiqih sehingga bisa berkembang sesuai zaman dan kondisinya.
c.       Dalam menghadapi arus globalisasi di era modern ini, fiqih kontemporer ternyata masih sangat relevan dengan fiqih klasik.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bustanul,. dan M. Atho Mudzar, Permasalahan Fiqih Kontemporer dalam Keluarga Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Hadi, Sholikul. Paradigma Fiqh Modern. Yogyakarta: idea press, 2009.
http://surgaditelapakibu.blogspot.com/2011/05/pengertian-fiqh-dan-sejarah.html (diakses senin 5 oktober 2014-10-06 pukul 19.15 wib).
Eramuslim, selasa, 07 Oktober 2014 05:23 WIB (www.eramuslim.com)

__________________________________

[1] http://surgaditelapakibu.blogspot.com/2011/05/pengertian-fiqh-dan-sejarah.html (diakses senin 5 oktober 2014-10-06 pukul 19.15 wib).
[2] Arifin, Bustanul, prof. Dr. H. SH., dan Prof. Dr. H. M. Atho Mudzar, Permasalahan Fiqih Kontemporer dalam Keluarga Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
[3] Eramuslim, selasa, 07 Oktober 2014 05:23 WIB (www.eramuslim.com)
[4] Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
[5] Hadi, Sholikul. Paradigma Fiqh Modern. Yogyakarta: idea press, 2009.

____________________________
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang

loading...