Oleh: Muhammad Rois, Mikel Armando,
Novi Arifah Mazidah, Tiara Manda Sari, dan Eka Yanti
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesuai dengan amanat Undang-undang No 5 Tahun 1960 yaitu
Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat UUPA, yang menjadi pokok
Undang-undang dalam pembentukan hukum pertanahan nasional di
Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa UUPA telah menghapus
keanekaragamanperangkat hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan yang mana
dalam pengaplikasiannya masih di dasarkan pada hukum adat.
Selain hukumnya UUPA juga men-unifikasikan hak-hak penguasaan atas
tanah terutama hak-hak atas tanah yang di dalamnya masih banyak melahirkan
kontroversi maupun hak-hak jaminan atas tanah. Untuk menghindari hal itu
dibutuhkan campur tangan dari penguasa, yang mengatur dan membatasi adany hak
kepemilikan dibidang pertanahan. Dalam lingkungan hukum adat, campur tangan itu
dilakukan oleh Kepala berbagai persekutuan hukum, seperti Kepala atau Pengurus
Desa. Bagi persekutuan-persekutuan hukum yang da di Indonesia yang bersifat
kecil (bersifat territorial) hampir seluruh masyarakatnya bertitik tumpu pada
pertanian, suatu wilayah bukan hanya menjadi tempat tinggal akan tetapi juga
memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan sipemunya.[1] Dalam ranah inilah UUPA
berperan, dewasa ini banyak sekali kita jumpai sengketa tanah adat yang memang
sangat pelik untuk diselesaikan, misalnya pada masayarakat pedalaman Sumatra
Barat, pada salah satu pedesaan di daeah Banten, Kabupaten Paser dan
Nunukan di Kalimantan Timur dan masih banyak lagi konflik tanah adat di Negara
Indonesia ini.
Dimana dengan adanya hal tersebut menimbulkan dan
menunjukanadanya hak ulayat dalam masyarakat adat, yang keberadaannya dalam
Hukum Tanah Nasional (UUPA) masih dipermasalahkan. Begitu juga statusnya dalam
masyarakat adat itu sendiri. Maka dari itu, untuk lebih jelasnya penulis
akan berusaha untuk mengelaborasikan secara terperinci dan menjawab
permasalahan tersebut diatas dalam bentuk tulisan yang berjudul “Kedudukan Hak
Ulayat dalam UUPA”.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian hak ulayat ?
2.
Bagaimana
kedudukan hak ulayat dalam Hukum Tanah Nasional (UUPA) di Indonesia ?
3.
Apa
saja yang termasuk dalam tanah ulayat tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hak Ulayat
Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian, yang berhak sebagai pemegang hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat. Bab I pasal 3 PMA/KBPN No.5
tahun 1999 mendefinisikan masyarakat hukum adat sebagi berikut:”Masyarakat
hokum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.”
Dalam Bab 2 PMA/KBPN No. 5 tahun 1999 menyebutkan adanya
syarat-syarat untuk menunjang keberadaan hak ulayat secara berkesinambungan:
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,
yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupan sehari-hari;
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga pesekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari; dan,
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Meskipun demikian, peraturan ini membatasi klaim adat, pasal 3
menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat diklaim apabila tanah itu sudah
dipunyai atau digunakan oleh orang atau pihak lain berdasarkan suatu hak atas
tanah menurut UUPA atau apabila tanah tersebut telah dibebaskan oleh
pemerintah. Berkenaan dengan otoritas dan sifat sementara dari klaim ulayat
pasal 4 menetapkan bahwa wewenang pemuka-pemuka adat maupun oleh instansi
pemerintah, atau badan hukum nasional lainnya. Demikian pula, apabila
masyaarakat hukum adat menginginkan, pemuka adat dapat mendaftarkan tanah
ulayat menurut hak perorangan atas tanah mengacu pada UUPA, dan sebagai
konsekwensinya secara efektif menggantikan hak ulayat mereka dengan hak atas
tanah menurut hukum nasional.[1]
Lahirnya UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) menjadi jantung perubahan
mendasar bagi rakyat. Kebijakan hukum dalam UUPA sesungguhnya menentang
kapitalisme sekaligus juga menentang liberalisme yang dianggap
meniadakan hak-hak individu atas tanah, politik agraria yang terkandung dalam
UUPA adalah populisme, artinya dalam UUPA 1960 didalamnya mengakui hak individu
atas tanah, namun hak tersebut memiliki fungsi sosial. Pemerinah mengatur agar
tanah dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui prinsip
hak menguasai dari negara. Nilai-nilai yang terdapat dalam UUPA itu juga
diambil dari hukum adat, yang pada masa kolonial direndahkan posisinya dan
dianggap sebagai hukum kaum tak beradab. Hukum adat yang digunakan sebagai
sumber hukum UUPA adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan
Negara dan Nasional, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, dan terahir
bersumber pada sumber agama.[2]
B.
Peraturan Agraria di Indonesia
Hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pengertian agraria
meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, bahkan dalam
batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa. Pada tanggal 24 September 1960
telah disahkan Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok agrarian (L.N. Tahun 1960 No. 104) yang dikenal sebagai
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan kata lain adanya UUPA ini telah
menghapus dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria kolonial, dan
berakhirnya dualisme dalam hukum agraria dan terselenggaranya unifikasi hukum.
Hukum agraria Indonesia Tahun 1960 ini didasarkan atas satu system
hukum, yaitu hukum adat sebagai hukum asli Indonesia, yang kaidah-kaidahnya
bersumber dari:
1. Hukum adat (Hukum Agraria Adat) yang menimbulkan hak-hak
adat yang tunduk pada hukum agraria adat, misalnya: tanah-tanah ulayat, tanah
milik, tanah usaha, dan lain-lain (tanah-tanah Indonesia);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (Hukum Agraria Barat) yang
menimbulkan hak-hak barat atau hak-hak eropa yang tunduk pada Hukum Agraria
Barat (tanah-tanah barat atau tanah-tanah eropa) misalnya: tanah eigendom,
tanah erfpacht, tanah postal dan lain-lain.
Di samping itu ada pula hak-hak atas tanah Indonesia yang tidak
bersumber pada hukum adat, misalnya hak eigendom agraris. Pada Zaman Hindia
asas-asas hukum agraria diatur dalam pasal 51 I.S. (Indische Staatsregeling).[3]
C.
Tanah Dalam UUPA
Bagi Negara republik Indonesia, dimana struktur kehidupan
masyarakatnya yang mayoritas perekonomiannya bergerak dalam bidang
agraria, maka fungsi bumi (tanah), air, dan ruang angkasa serta semua yang
terkandung di dalamnya amatlah penting sebagai sarana pokok dalam pembangunan
menuju masyarakat yang adil dan makmur.[4] Oleh karena itu dalam UUPA pasal 1
ayat 1 dinyatakan: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa
Indonesia”. Sedangkan dalam ayat 2-nya dinyatakan: “Seluruh bumi,.
Air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”.Dan dalam
pasal 4 ayat 1 selanjutnya dijelaskan bahwa: “Atas dasar hak menguasai
dari Negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunya oleh orang-orang baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.”[5] Hak menguasai atas tanah
oleh negara seperti yang dimaksudkan di pasal 4 ayat
1 dapat diartikan memberi wewenang pada negara untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan memelihara tanah;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang dan tanah;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang, perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Jadi, hak menguasai oleh negara meliputi tanah-tanah yang
sudah dihaki oleh seseorang atau badan hukum maupun atas tanah-tanah yang
belum atautidak. Perbedaannya, atas tanah-tanah yang sudah dihaki, yang
menguasai olehnegara tanah tersebut, dibatasi oleh hak yang sudah dimiliki oleh
peroranagan atau badan tersebut. Sedangkan pada tanah yang diatasnya tidak
terdapat hak-hak, sifat penguasaannya oleh negara lebih luas dan lebih
lanjut. Hubungan antara bangsa dengan bumi, air serta ruang angkasa
Indonesia merupakan suatu hubungan yang abadi; artinya selama rakyat Indonesia
masih ada pula maka dalam keadaan bagaimanapun tidak ada
sesuatu kekuasaan apapun yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan
tersebut. Dalam pengertian tersebut di atas tidaklah berarti bahwa hak-hak
perseorangan atau badan hukum atas tanah tidak dimungkinkan lagi.
Dalam UUPA masih dikenal adanya hak-hak yang dapat dipunyai
perorangan atau badan hukum. Tetapi dalam hal ini hanya mengenai
permukaan bumi saja, yaitu tanah yang dapat dihaki oleh seorang seperti hak
milik, hauk guna usaha, hak guna bangunan dan sebagainya.[6]
D.
Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA
Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah
diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat
tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak
ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah
apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan
dihidupkan kembali. Dan kekhawatiran dimana semakin meningkatnya kebutuhan akan
tanah akan semakin mendesak hak ulayat yang keberadaannya dijamin
oleh pasal 3 UUPA. Pengakuan eksistensi hak ulayat oleh UUPA merupakan hal yang
wajar, kerena hak ulayat dan masyarakat adat sudah ada jauh sebelum
terbentuknya Negara Republik Indonesia yakni 17 agustus 1945.[7]
Ciri-ciri masyarakat hukum adat:
1. Adanya kelompok masyarakat.
2. Mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari
kekayaan perorangan.
3. Mempunyai batas wilayah tertentu.
4. Mempunyai kewenangan tertentu.[8]
Kedudukan hak ulayat ini berlaku kedalam (interen) dan
keluar (eksteren), berlaku keluar karena bukan warga persekutuan pada
prinsipnya tidak diperbolehkan menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan
persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah
membayar atau memberikan ganti kerugian orang luar bukan warga persekutuan
dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah tersebut. Berlaku
kedalam karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga
persekutuan bersama-sama sebagi suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud
untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar
yang hidup didalamnya.
Antara hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal
balik, jika seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk
mengerjakan tanah itu secara terus-menerus dan menanam pohon diatas tanah
tersebut, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu (UUPA pasal 20), hak
milik ini harus menghormati:
1. Hak ulayat desanya;
2. Kepentingan-kepentingan yang memiliki tanah;
3. Peraturan-peraturan adat.
Bila kemudian tanah itu ditinggalkan oleh yang berkepentingan, maka
tanah itu dipengaruhi oleh hak ulayat. Jika terjadi perselisihan, maka kepala
adat yang akan mengambil beberapa tindakan untuk memulihkan perselisihan
tersebut, seperti:
1. Mengganti kerugian kepada orang yang
dirugikan atau masyarakat adat;
2. Membayar uang adat kepada persekutuan hukum yang
bersangkutan.[9]
E. Eksistensi
Hak Ulayat
UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat.
Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengerian fundamental tersebut diatas,
dapat dikatakan bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat
harus dilihat pada tiga hal, yakni:
1.
Adanya
masyarakat hukum adat yang memenuhi cirri-ciri tertentu subjek hak ulayat;
2. Adanya
tanah atau wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum
yang merupakan objek hak ulayat;
3.
Adanya
kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
sebagaimana telah diuraikan.
Dipenuhinya tiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya
cukup objektif sebagai kriteria penentu masih ada atau tidaknya
hak ulayat, sehingga walaupun ada masyarakat hukum dan ada tanah atau
wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut maka hak ulayat dapat
dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan
dua hal. Di satu pihak, bila hak ulayat memang sudah menipis,atau sudah tidak
ada lagi hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama bahwa sebetulnya secara
sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia
sejak 17 agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba menghidupkan
kembali hal-hal yang justru dapat mengaburkan kesadaran berbangsa dan bertanah
air satu yakni Indonesia.
Dipihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada, maka harus
diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajibannya
oleh negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya, apabila tanah ulayat
diberikan untuk pembangunan (sesuai dengan fungsi sosial yang melekat pada hak
ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus minta izin pada masyarakat hukum
adat tersebut. Dan apabila diperlukan, juga memberikan pemulihan keseimbangan
berupa apapun yang bermanfaat bagi keseluruhan anggota masyarakat hukum adat
maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum
tersebut antara lain, berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta
pelestarian lingkungan nya. Kiranya diperlukan pengaturan tentang hak ulayat
yang berisi pokok-pokok pikiran, antara lain:
1.
mengenai kriteria
eksistensi hak ulayat;
2.
siapa
saja yang terlibat dan berwenang menentukan eksistensi hak ulayat tersebut;
3.
mekanisme
penentuan hak ulayat;
4.
penempatan/kedudukan
hak ulayat dalam system hukum tanah nasional;
5.
hak-hak
dan kewajiban yang melekat pada hak ulayat;
6.
ciri-ciri/sifat-sifat
hak ulayat dan lain-lain.[10]
F.
Tanah-tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini
sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada
kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama
bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah
sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama
dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam
hal ini oleh kelompok dibawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat,
misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar,
penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan
bersama.[11]
G.
Perbedaan Agraria Adat dan Hukum Agraria Barat
1.
Hukum Agraria adat:
a. Lembaga hukumnya diatur dalam hukum adat.
b. Hukum yang mengaturnya (hukum adat) tidak tertulis.
c. Melahirkan tanah hak adat yaitu:
·
Tanah
ulayat
·
Tanah
hak milik
·
Tanah
hak pakai
d. Tanah adat ini umumnya tidak terdaftar. Kalaupun sudah ada yang
terdaftar maka jumlahnya hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah hak tanah
yang ada misalnya: tanah milik perorangan yang sudah didaftarkan.
e. Kalaupun pernah didaftarkan pendaftarannya itu hanyalah bertujuan
untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, jadi secara
yuridis bukan sebagai pembuktian hak. Pembuktian hak atas tanah itu didasarkan
atas kesaksian.
2.
Hukum Agraria barat;
a. Lembaga hukumnya diatur dalam hukum perdata barat yakni
dalam buku II KUHPerdata/ Burgelijk Wetbook (BW).
b. Hukum yang mengaturnya ialah hukum perdata barat sudah
tertulis dan telah dikodifikasikan sebagai KUHPerdata/ BurgelijkWetbook
(BW).
c. Melahirkan tanah hak barat, misalkan:
·
Tanah
hak eigendom
·
Tanah
hak postal
·
Tanah
hak erfpacht
·
Tanah
hak gebruik dan sebagainya.
·
Tanah-tanah
barat ini umumnya sudah terdaftar dengan bukti tertulis.
d. Pendaftaran yang pernah dilakukan atas tanah tersebut telah
mempunyai/ bernilai kekuatan bukti secara yuridis.[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai
oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun
temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah
yang bersangkutan. Dengan demikian, yang berhak sebagai pemegang hak ulayat
adalah masyarakat hukum adat.
Hak ulayat diakui dalam
Undang-Undang Pokok Agraria jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Terdapat
sekelompok orang yang masih merasa terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
2.
Terdapat
tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga pesekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
3.
Terdapat
tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Adapun
ciri-ciri masyarakat hukum adat yaitu:
1. Adanya
kelompok masyarakat.
2. Mempunyai
kekayaan sendiri terlepas dari kekayaan perorangan.
3. Mempunyai
batas wilayah tertentu.
4. Mempunyai
kewenangan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T. Kansil,
1986. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,Jakarta: Balai
Pustaka.
IDEA “Diskursus
Transformasi Intelektual”, Land Reform.
2007. semarang: IAIN Wali songo, Edisi 25.
Iman
Sudiyat, 1981. Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty,
1981
Iswantoro, Hand
aut agraria I, Yogyakarta, 2012.
Maria SW,
Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Jakarta:
kompas, 2007.
Myrna A.
Safitri, Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia,
Jakarta : HUMA, 2010
R. Subekti,
R. Tjitrosudibio, KUHP dengan tambahan UUPA Dan Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: PT. MALTA PRINTINDO, 2008
Purndi
Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria,Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985
[1]
Myrna A. Safitri, Tristam Moeliono, Hukum Agraria dan Masyarakat Di Indonesia, (Jakarta:
HUMA, 2010) hlm. 192-193
[2]
IDEA “Diskursus Transformasi Intelektual”, Land Reform, (semarang: IAIN
Wali Songo, 2007), Edisi 25, hlm. 28
[3]
C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1986), hlm. 318
[4]
Ibid. hlm. 321.
[5]
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, KUHP dengan tambahan UUPA Dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: PT. MALTA PRINTINDO, 2008) hlm. 516.
[6]
C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hokum Dan Tata Hokum
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1986) hlm. 322-323.
[7]
Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, (Jakarta: kompas, 2007) hlm. 54 55
[8]
swantoro, hand aut agraria I, (Yogyakarta, 2012) hlm. 12
[10]
Maria SW, Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, (Jakarta: kompas, 2007) hlm. 58
[12]
Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hokum
Agraria, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) hlm. 24-25