Perbedaan Pandangan Ulama Mazhab Tentang Penggabungan Hukuman
Oleh: Maria Ulfa, Novi Arifah & Eka Yanti
Oleh: Maria Ulfa, Novi Arifah & Eka Yanti
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana
atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak
diutusnya Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang
mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh karenanya pada zaman Rosululah
dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu
hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau
ulil amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun
ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap
muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.
Pada dasarnya dalam hukum Islam
dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya
masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam
seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan
beberapa jarimah atau jarimah ganda. Hukuman manakah yang akan dijatuhkan?
Apakah satu jenis hukuman ataukah seluruh hukuman?
Gabungan melakukan tindak pidana
dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam
pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang
pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya
bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya
rentetan pelanggaran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan gabungan hukuman?
2.
Apa saja
yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman?
3.
Sebutkan
sistem pemidanaan dalam KUHP?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
yang dimaksud dengan gabungan hukuman
2.
Mengetahui
Sistem Pemidanaan di Indonesia
3.
Mengetahui
Dasar Hukum Gabungan
4.
Mengetahui
yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman
5.
Mengetahui
perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum pidana Indonesia,
dan hukum pidana Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gabungan Hukuman
Samenloop dapat
diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop
van strafbaar feit atau concursus. Dalam makalah ini akan digunakan
istilah “gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab disebut Iqab atau `uqubah
merupakan bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar
ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk kemaslahatan
manusia. Menurut kamus bahasa indonesia karangan S. Wojo Wasito Hukuman
berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.
Sedangka Abdul Qadir Audah memberi definisi
hukuman sebagai berikut:
العقوبة هي
الجزاء المقر رالمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya :
“Hukuman
adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk
kemaslahatan masyarakat”.
Tujuan
hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah
perbuatan yang menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif
(pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan
menghasilkan kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Pada dasarnya dalam hukum Islam
dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya
masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam
seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan
beberapa jarimah atau jarimah ganda.
Gabungan melakukan tindak pidana
dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam
pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang
pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya
bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya
rentetan pelanggaran.
Gabungan hukuman dapat terjadi
manakala terdapat gabungan jarimah. Gabungan terjadi apabila seseorang
melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut
belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam
lahir saja, dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat
apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam
ketentuan.
Contohnya, seperti seseorang melakukan
penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya. Dalam kasus
ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas. Gabungan
jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari
pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang
berdiri sendiri.
Contohnya seperti tukang pencak yang
dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya menikam orang lain
sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan
dan pembunuhan. Dari penjelasan tersebut terlihat jelas perbedaan antara
gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di uraikan di atas. Letak
perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku dalam jarimah pertama
atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum. Kalau
belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk pengulangan.
Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman atas semua
jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut menunjukkan jiwa
kejahatannya. Hal ini karena ketika ia mengulangi suatu perbuatan jarimah, ia
belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah sebelumnya. Berbeda dengan
pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan dengan hukuman itu
dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi gabungan hukuman adalah
serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata
melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah
yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Dengan demikian maka syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah: Ada dua/
lebih tindak pidana dilakukan;
§ Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh
satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
§ Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang
diadili; dan
§ Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili
sekaligus.
Adapun dasar
hukum yang berkaitan dengan gabungan melakukan jarimah adalah:
·
Surah
Al-Maidah (5) : 33
“Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul nya dan membuat
kerusakkan di muka bumi, hanya allah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tanagan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
di dunia dan di akhirat mereka peroleh siksaan yang besar”.
·
Surah al-
An’am (6): 160
“Barang
siapa yang membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) 10 x lipat amalnya dan
barang siapa yang membawa perbuatan jahat maka dia diberi pembalasan melainkan
seimbal dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiyaya
(dirugikan)”.
B.
Sistem Pemidanaan
Pada dasarnya teori gabungan tindak
pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum
pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari
satu tindak pidana[1][1].
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel
pemidanaan, yaitu:
1.
Sistem
Absorpsi
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya
dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut
melakukan beberapa delik.
2.
Sistem
Kumulasi
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana
yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya
dijatuhkan.
3.
Sistem
Absorpsi Diperberat
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang
masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada
hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat,
akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
4.
Sistem
Kumulasi Terbatas
Apabila
seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis
delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut
stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik
dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu
jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
Bentuk-Bentuk Gabungan Melakukan
Tindak Pidana
Sebagaimana diketahui bahwa adanya gabungan melakukan
tindak pidana menyebabkan munculnya gabungan hukuman. Munculnya teori-teori
dalam gabungan hukuman tidak terlepas dari berbagai macam bentuk gabungan. Ibnu
Qudamah dalam kitabnya al Mughni mengatakan bahwa jika terkumpul jarimah,
jarimah hudud dimana hukuman-hukumannya berbeda, maka tidak akan terlepas dari
tiga kategori di bawah ini, ketiga kategori tersebut adalah:
Pertama : Gabungan beberapa jarimah dimana
semua hukumannya itu murni hak Allah
Kedua : Gabungan
beberapa jarimah dimana dalam hukuman tersebut terdapat hak Allah dan sekaligus
hak hamba atau hak Adami
Ketiga
: Gabungan beberapa jarimah dimana hukumannya itu murni hak Adami
C.
Macam-macam Gabungan Hukuman
1.
Gabungan
anggapan (concurcus idealis)
Gabungan jarimah itu karena hanya
bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya berbuat satu jarimah. Contoh:
Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya
menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah
petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang
dan melawan petugas.
2.
Gabungan
nyata (concurcus realis)
Yaitu seorang melakukan perbuatan
jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan jelas atau berbeda. Contoh:
Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah sebelulm dijatuhi hukuman
sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri (contoh jarimah ganda
berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan terhadap
Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan
memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.
Gabungan
dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse
Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan,
tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang
berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal
63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan masuk dalam
lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara
aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana
pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan, yang masuk
dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang
khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat
perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum
tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang
dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP[2][2] adalah
tindakan nyata atau tindakan materiil.
Taverne bertolak pangkal dari
pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang
terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu
sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian
Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal
terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada
sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas
dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara
secara kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat
dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut
rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa
apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun
harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai
lebih dari satu tujuan atau cukupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2)[3][3] sesuai
dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus
mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana
khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua
unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada
unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis
menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang
terberat.
2.
Gabungan
dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse
Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap
perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66,
70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus
realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana
kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana
pelanggaran termuat dalam pasal 70 .
Pasal 65 KUHP[4][4] mengatur
gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan
sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP
mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok
yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66
KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan
yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang
diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila
seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan
tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang
gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran.
Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi
masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan
pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi
pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan
mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal
70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi
masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman
sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka
jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi
di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain
sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan.
Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem
absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan
berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut.
Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik,
tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan
menjadi satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa
KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling
sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus
realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan
pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan
adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut
pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena
itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus
realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan
berlanjut adalah:
a.
Tindakan-tindakan
yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
b.
Delik-delik
yang terjadi itu sejenis; dan
c.
Tenggang
waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana
cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik
dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam
hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan
dari satu kehendak jahat tersebut.
Pertimbangan fuqaha tentang
eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1.
Teori saling
memasuki atau melengkapi
Dalam teori ini yang dimaksudkan
oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu hukuman, walaupun melakukan
tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap
saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangan.
a.
Bila pelaku
hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka
hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman dianggap cukup.
Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat
dikenakan hukuman lagi.
Contoh: Hamim
mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.
b.
Bila jarimah
yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari
bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan
syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk
mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh: Ali sobri
memakan daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
2.
Teori
penyerapan
Yang dimaksud dari teori ini adalah
penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman yang lain karena telah diserap
oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh :
Syaikhon adim dijatuhkan hukuman
mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap oleh hukuman mati.
Teori penyerapan ini dipegang oleh
abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan imam syafi`k menolak, beliau
perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu adapun taktik
pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
Contoh :
·
Hak adami
seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar
atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
·
Hak Allah
seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.
Sekalipun dalam islam sendiri
mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu yang dibayangkan.
Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu
dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada prinsipnya ialah demi
kemaslahatan manusia.
D.
Perbedaan Teori Gabungan Hukuman antara Hukum Pidana,
Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum Pidana Islam
Dalam hukum
positif terdapat tiga teori mengenai gabungan jarimah, yaitu:
1.
Teori
berganda. (cumulatie)
Menurut teori ini pelaku mendapat
semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang dilakukannya.
Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman
penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan
maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.
2.
Teori
penyerapan. (absorptie)
Menurut teori ini hukuman yang lebih
berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman yang lebih ringan. Kelemahan teori
ini adalah kurangnya keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan
banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan hukuman demikian ringan.
3.
Teori
campuran.
Teori merupakan campuran antara
berganda dan penyerapan. Teori ini dimaksudkan untuk melemahkan teori yang ada
dalam kedua teori tersebut. Menurut teori campuran hukuman-hukuman biasa
digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tertenu, sehingga dengan
demikian akan hilanglah kesan berlebihan dalam penjatuhan hukuman.
Dalam hukum pidana Indonesia,
ketentuan mengenai gabungan tercantum dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP
pidana. Dari pasal tersebut dapat diketaui bahwa dalam hukum pidana
Indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini.
Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
1)
Teori
penyerapan biasa
Menurut teori ini hanya satu pidana
yang diterapkan pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling berat hukuman pokoknya,
apabila suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa aturan pidana. Contohnya:
orang membunuh dengan menembak dibelakang kaca, jadi tindakkanya adalah
membunuh (pasal 339) dan merusak barang (pasal 406) maka yang diterapkan adalah
pasal 339.
2)
Teori penyerapan keras
Menurut teori ini dalam hal gabungan
perbuatan yang nyata yang diancam dengan hukuman pokok adalah yang sejenis,
hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan
dengan sepertiga dari maksimum hukuman yang seberat-bratnya
.
3)
Teori
berganda yang dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori
yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori ini, yang tercantum
dalam pasal 65 ayat (2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah
keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat, ditambah dengan
sepertiganya.
4)
Teori
berganda biasa
Menurut teori ini, semua hukuman
dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70 ayat (1) yang berbunyi: “
Jika ada gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara
pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran maka dijatuhkan hukuman
bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dalam hukum
pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan
fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu
teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu).
a.
Teori saling
melengkapi ( At-Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi
gabungan jarimah, maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh
karenanya itu semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti kalau ia
memperkuat perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu:
Pertama Meskipun
perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya adalah satu macam, seperti
pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang berulang kali, maka sudah
sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum ada
keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap satu macam selama objeknya adalah
satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta hukumannya, seperti pencurian biasa
dan gangguam keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu hukuman saja
adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan
pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap orang lain (zajru),
dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa
hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali melakukan
perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup, selama
belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru
setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi
hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
Kedua Meskipun
perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda macamnya, namun
hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup untuk satu hukuman yang
dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama. Seseorang misalnya makan
bangkai, darah dan daging babi, maka atas ketiga perbuatan ini dijatuhi satu
hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan,
yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan masyarakat.
b.
Teori
penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu menjatuhkan suatu hukuman,
dimana hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam
hal ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya
menyerap hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya
Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.
Menurut Imam Malik, apabila
hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati
Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisash bagi
seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj dapat dijalankan karena hukuman
mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah saja (qadzaf) yang
tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid dahulu delapan puluh kali, kemudian
dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila
terjadi dua jarimah hudud, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan,
atau minum dan mengganggu keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya
hukuman mati saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Kalau
hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam
hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu,
dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati.
Bagi Imam Abu Hanifah, pada
dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia dengan hak-hak Allah, maka hak
manusialah yang harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas
mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa
dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya.
Bagi Imam Syafi’i tidak ada
teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan
selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya ialah dengan
mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian
hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman mati.
c.
Teori
Percampuran (al Mukhtalath)
Teori percampuran ini dimaksudkan
untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari dua metode sebelumnya yaitu teori al
jabbu (penyerapan) dan teori al tadaahul (saling memasuki), yaitu
dengan cara menggabungkan keduanya dan mencari jalan tengahnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di
awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua teori tersebut tidak secara
mutlak. Dalam teori percampuran ini langkah yang dilakukan yakni dengan
membatasi kemutlakan dari dua teori sebelumnya. Penggabungan hukuman boleh
dilakukan namun tidak boleh melampaui batas tertentu. Tujuan daripada pemberian
batas akhir ini bagi hukuman ialah untuk mencegah hukuman yang terlalu
berlebihan.
BAB III
PENUTUP
1. gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang
diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana)
secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang
lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
2.
Macam-macam
Gabungan Hukuman:
·
Gabungan
anggapan (concurcus idealis)
·
Gabungan
nyata (concurcus realis)
3.
Sistem
pemidanaan dalam KUHP :
a.
Sistem
Absorpsi
b.
Sistem
Kumulasi
c.
Sistem
Absorpsi Diperberat
d.
Sistem
Kumulasi Terbatas
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Hanafi. 1968. Asas-Asas
Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli. 2007. Fiqih Jarimah.
Ed. 2. Cet III. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kanter, E.Y. dan S.R. 2002.
Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:
Storia Grafika.
Mahrus Munajad, 2004. Dekontruksi
Hukum Pidana Islam. Djogjakarta: Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam. Cet I. Jakarta: Sinar Grafik.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum
Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Pidana
Islam. Bandung: Pusataka Setia.
R. Soesilo. 1987. Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal,
Bogor: Politeia.
[2][2] R. Soesilo, Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor,
Politeia, 1973, hlm. 68-69
[5][5] Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang