Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil - Ushul Fiqh
Oleh: Yulita Benazir F. & Tiara Mandasari
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam menghadapi satu konteks permasalahan yang
membutuhkan status hukum, pertama-tama para fuqaha (yurispunden Islam) akan
melacak secara langsung nash (teks) dalam al Qur`an maupun as Sunnah, yang
keduanya merupakan rujukan utama dalam hukum-hukum Islam. Apabila mereka tidak
menemukan penjelasan detail berkenaan dengan konteks yang sedang dihadapi, maka
langkah berikutnya adalah mengembalikan pada dalil al `Ijma (konsesus ulama
dalam suatu hukum), kalapun dalam fase ini masih belum ditemukan status
hukumnya, maka mereka akan beralih ke dalil al Qiyas (Analogi).[1]
Proses analogi ini akan berusaha mencari persepadanan kasus yang
telah ada hukumnya, untuk kemudian hukumnya diaplikasikan pada kasus yang
sedang dihadapi. Biasanya yang menjadi titik perhatian dalam ber-analogi adalah
mencari point persamaan dalam illat (sebab) yang merupakan substansi
permasalahan.
Dalam kajian ushul fiqih pada semester tiga ini kami akan
sedikit mengulas tentang qiyas sesuai dengan tugas yang telah di berikan yaitu
meliputi: Pengertian, Rukun- rukun, Macam- Macam dan kehujahannya Qiyas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian qiyas
menurut pandangan imam mazhab dan kehujahan dari qiyas itu sendiri ?
2.
Apa sajakah rukun dan
syarat dari qiyas ?
3.
Sebutkan macam-macam
dari qiyas ?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qiyas dan
Kehujahan dari Qiyas
Pengertian Qiyas menurut etimologis berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur. Misalnya: menyamakan si A dengan si B, karena
kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang
sama dan sebagainya. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain
dengan mencari persamaan-persamaannya.
Pengertian Qiyas menurut
para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau
peristiwa itu.[2]
Definisi-definisi tentang qiyas sebetulnya banyak, akan tetapi
maksudnya berdekatan, yaitu menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang
tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau
peristiwa. Contoh: Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan
hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yaitu
mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT QS. Al maidah
ayat: 90.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan
mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk
perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.”
(A l-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya,
yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak
akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu
yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas
ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak
ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum
dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai
‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian
yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
Sedangkan kehujahan dari qiyas itu sendiri yaitu, Sebagian besar
para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas
dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam
ajaran Islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau
peristiwa tetapi tidak diper oleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai
dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab
Syi’ah. Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh
tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib
memakai qiyas. Ulama Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan
bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan
karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal
Mereka mengambil dalil: QS. Al Hujurat: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu
mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertaqwalah kapada Allah. (QS. al-Hujurat :
1)
Mengenai
dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat.[3]
B.
Rukun Qiyas dan Syarat
Qiyas
Didalam qiyas terdapat rukun qiyas
yaitu:
a.
Ashal, yang berarti
pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih
(tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan).
b.
Fara’ yang berarti
cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur)
atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
c.
Hukum ashal, yaitu hukum
dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan
ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
d.
‘IIIat, yaitu suatu
sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya
sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman
Allah SWT: QS. An nisa’: 10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-Nisâ’: 10).
Persamaan
‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak
yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram. Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
2. Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
3. Hukum ashal, ialah haram.
4.
‘Illat, ialah mengurangi
atau menghabiskan harta anak yatim.
Adapun
syarat – syarat Qiyas yaitu:
Membicarakan
syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun
atau unsur-unsur dari qiyas, sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum. Syarat – syarat itu adalah :
1.
Ashal yaitu berupa kejadian atau peristiwa yang
mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya. Menurut Imam
Al-Ghazali (450 – 505 H / 805 – 1111 M) dan Saifuddin Al-Amidi (keduanya ahli
ushul fiqh Syafi’iyyah), syarat-syarat ashal itu adalah: Hukum Ashal itu adalah
hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh-kan (dibatalkan),
hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’, ashal itu bukan merupakan far’u dari
ashal lainnya, dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus,
tidak bersifat umum, ashal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas dan hukum
Ashal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.
Hukum ashal adalah hukum
yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.
Syarat-syarat hukum ashal adalah :
a.
Hukum ashal itu
hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’,
sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka
jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka
menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai
sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang
ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak
mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma ‘alaih.
Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas. Hukum ashal itu harus
disepakati oleh ulama, karena kalau belum disepakati tentu masih diperlukan
usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.
b.
Hukum ashal itu tidak
menyimpang dari ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas,
itu mungkin karena alasan hukumnya tidak masuk akal (irrasional), baik karena
dikecualikan dari ketentuan umum atau memang pada dasarnya sudah begitu. Maka
tidak mungkin mengqiyaskan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum
ashal seperti itu tidak ada daya rentang. Contoh yang tidak rasional dan
memegang ditentukan demikian dari mulanya adalah bilangan raka’at shalat.
c.
Hukum ashal itu lebih
dahulu disyari’atkan dari far’u. Dalam kaitan dengan ini, tidak boleh
mengqiyaskan wudhu’ pada tayammum, sekalipun ‘illatnya sama, karena syari’at
wudhu’ lebih dahulu turunnya dari syari’at tayammum.
3.
Furu’ yakni sebagai
sesuatu yang di bangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain.
Syarat-syaratnya adalah :
a.
‘Illat yang terdapat
pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal, baik pada
zatnya maupun pada jenisnya. Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal
juga terdapat pada furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang
terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.
b.
Hukum ashal tidak
berubah setelah dilakukan qiyas.
c.
Hukum far’u tidak
mendahului hukum ashal. Artinya, hukum far’u itu harus datang, kemudian dari hukum ashal. Contohnya
adalah dalam masalah wudhu’ dan tayammum di atas.
d.
Tidak ada nash atau
ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya, tidak ada nash atau ijma’ yang
menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika
demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau
ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, di sebut para ulama
ushul fiqh sebagai qiyas fasid, yaitu qiyas yang rusak. Misalnya, mengqiyaskan
hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak
berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
4.
‘Illat adalah salah satu
rukun atau unsur qiyas, bahkan mrupakan unsur yang terpenting, karena adanya
‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum
untuk dapat direntangkan kepada yang lain. Para Ulama sepakat bahwa Allah SWT
membentuk hukum dengan tujuan untuk kemashlahatan hamba-hambaNya. Kemashlahatan
itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manaafi’) dan adakalanya
dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafaasid).
5.
Kedua macam bentuk hukum
itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang di sebut hikmah
hukum. Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. ‘Illat hukum yaitu suatu sifat
yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar pembentukan
hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti
mengerjakan shalat dhuhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at, dan
sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau
kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan
dasar ada atau tidak hukum, sedangkan ‘illat adalah suatu yang nyata dan pasti,
seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seorang boleh mengqashar shalat.
C.
Macam- macam Qiyas
1. Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada
furu’ disbanding dengan yang terdapat pada ashl, qiyas dibagi menjadi 3 macam
yaitu:
a.
Qiyas al-Aulawi: “yaitu
suatu illat hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat diberikan pada
furu'”seperti yang terdapat pada QS.S.Al isro’ ayat 23: yaitu: memukul orang tua diqiyaskan dengan
menyakiti hati orang tua.
b.
Qiyas al-Musawi: ” Suatu
qiyas yang illatnya yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada
sesuatu yang keduanya bersamaan dalam keputusan menerima hukum tersebut”.
Contoh: menjual harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c.
Qiyas al-Adna :
“Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima hukum yang diberikan pada
sesuatu yang memang patut menerima hukum itu”. Contoh: mengqiyaskan jual beli
apel pada gandum merupakan riba fadhl.
2. Dilihat dari segi kejelasan illat yang terdapat pada
hukum:
a.
Qiyas al-Jaly: “Qiyas
yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak
menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap
perbedaan antara nash dengan furu'”. Contoh: mengqiyaskan budak perempuan
dengan budak laki-laki. Qiyas jaly dibagi lagi menjadi 3 macam: Qiyas yang
illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah illat larangan
meminum khamar yang sudah ada nashnya. Qiyas aulawi dan qiyas musawi.
b.
Qiyas al–Khafy: “Qiyas
yang illatnya tidak terdapat dalam nash”. Contoh: mengqiyaskan pembunuhan
menggunakan bahan berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.
3. Di lihat dari segi persamaan cabang kepada pokok:
a.
Qiyas Ma’na ialah qiyas
yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di karenakan
makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum pokoknya, oleh
karena itu korelasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya
mengqiyaskan memukul orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan
sebelumnya.
b.
Qiyas Sibhi ialah qiyas
yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal
yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat
diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah
manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan
kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak
diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan
diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan
sebagainya.[4]
PENUTUP
Dari penjabaran diatas tentang qiyas dapat
ditarik kesimpulan yaitu; Menurut bahasa, kata qiyas itu berarti ukuran, yaitu mengetahui
ukuran sesuatu dengan menisbahkannya kepada yang lain. Menurut istilah yang
biasa digunakan oleh para ulama ushul fiqh adalah : Menghubungkan sesuatu yang
belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, karena diantara keduanya
mempunyai ‘illat hukum. Dari definisi di atas, maka pada dasarnya qiyas itu
bisa dikatakan benar bila memenuhi empat rukun, yaitu:
a.
Ashal, yakni suatu
kejadian yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash.
b.
Furu’, yakni suatu
kejadian baru yang belum diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat dalam
nash.
c.
‘Illat, yakini
sifat-sifat yang menjadi dasar dari ketentuan hukum ashal.
d.
Hukum Ashal, yakni
ketentuan hukum syara’ yang telah diletakkan pula pada furu’.
Apabila qiyas telah memenuhi syarat dan rukun-rukunnya telah
sempurna, maka qiyas yang seperti itu dinamakan qiyas shahih, tetapi apabila
syaratnya yang kurang dinamakan qiyas ma’al fariq dan kalau unsurnya yang
kurang dinamakan qiyas fasid.
Untuk Macam- macam dari qiyas itu sendiri penulis telah
menjelaskan secara dzohir, yang dimana dapat ditarik kesimpulan bahwa macam-
macam qiyas itu sendiri yaitu:
a.
Dilihat dari segi
kekuatan Illat yang terdapat Furu’: Qiyas Aulawi, Musawi dan Adna.
b.
Dilihat dari segi
kejelasan Illat hukum: Qiyas Jaly dan Qiyas Khafi.
c.
Dilihat dari segi
persamaan cabang kepada pokok: Qiyas ma’na dan Qiyas Sibhi.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Prof., Dr., H., Ushul Fiqh. Kencana
Prenada Media Group. 2008.
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut: Daar al-Fikr al-
Araby, 1958.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al- Mushthafa Fi Ilm al- Ushul.
Beirut. Da al- Kutub al- Islamiyah, 1973.
Asy- Syafi’i, Ahmad Muhammad, Ushul Fiqh al- Islamy.
Indonesia: Dar ihya al- Kutub al- Arabiyah,
1981.
[3] Al-Ghazali, Abu Hamid. Al- Mushthafa Fi Ilm al- Ushul.
Beirut. Da al- Kutub al- Islamiyah, 1973.
[4] Asy- Syafi’i, Ahmad Muhammad, Ushul Fiqh al- Islamy.
Indonesia: Dar ihya al- Kutub al- Arabiyah, 1981.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang