Friday, 15 January 2016

KEDUDUKAN QIYAS SEBAGAI DALIL

Kedudukan Qiyas Sebagai Dalil - Ushul Fiqh
Oleh: Yulita Benazir F. & Tiara Mandasari


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
     Dalam menghadapi satu konteks permasalahan yang membutuhkan status hukum, pertama-tama para fuqaha (yurispunden Islam) akan melacak secara langsung nash (teks) dalam al Qur`an maupun as Sunnah, yang keduanya merupakan rujukan utama dalam hukum-hukum Islam. Apabila mereka tidak menemukan penjelasan detail berkenaan dengan konteks yang sedang dihadapi, maka langkah berikutnya adalah mengembalikan pada dalil al `Ijma (konsesus ulama dalam suatu hukum), kalapun dalam fase ini masih belum ditemukan status hukumnya, maka mereka akan beralih ke dalil al Qiyas (Analogi).[1]
     Proses analogi ini akan berusaha mencari persepadanan kasus yang telah ada hukumnya, untuk kemudian hukumnya diaplikasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Biasanya yang menjadi titik perhatian dalam ber-analogi adalah mencari point persamaan dalam illat (sebab) yang merupakan substansi permasalahan.
     Dalam kajian ushul fiqih pada semester tiga ini kami akan sedikit mengulas tentang qiyas sesuai dengan tugas yang telah di berikan yaitu meliputi: Pengertian, Rukun- rukun, Macam- Macam dan kehujahannya Qiyas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian qiyas menurut pandangan imam mazhab dan kehujahan dari qiyas itu sendiri ?
2.      Apa sajakah rukun dan syarat dari qiyas ?
3.      Sebutkan macam-macam dari qiyas ?

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qiyas dan Kehujahan dari Qiyas
     Pengertian Qiyas menurut etimologis berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur. Misalnya: menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
     Pengertian Qiyas menurut  para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.[2]
     Definisi-definisi tentang qiyas sebetulnya banyak, akan tetapi maksudnya berdekatan, yaitu menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa. Contoh: Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas yaitu mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT QS. Al maidah ayat: 90.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (A l-Mâidah: 90)
     Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
     Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.
     Sedangkan kehujahan dari qiyas itu sendiri yaitu, Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diper oleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar. Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi’ah. Ulama Zahiriyah berpendapat bahwa secara logika qiyas memang boleh tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan wajib memakai qiyas. Ulama Syi’ah Imamiyah dan an-Nazzam dari Mu’tazilah menyatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan karena mengamalkan qiyas sebagai sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal Mereka mengambil dalil: QS. Al Hujurat: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertaqwalah kapada Allah. (QS. al-Hujurat : 1)
            Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur’an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat.[3]

B.     Rukun Qiyas dan Syarat Qiyas
Didalam qiyas terdapat rukun qiyas yaitu:
a.       Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan).
b.      Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan).
c.       Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya.
d.      ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
     Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara’. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT: QS. An nisa’: 10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-Nisâ’: 10).
            Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram. Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
2.      Fara’, ialah menjual harta anak yatim.
3.      Hukum ashal, ialah haram.
4.      Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
            Adapun syarat – syarat Qiyas yaitu:
            Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas, sehingga qiyas dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat – syarat itu adalah :
1.      Ashal  yaitu berupa kejadian atau peristiwa yang mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya. Menurut Imam Al-Ghazali (450 – 505 H / 805 – 1111 M) dan Saifuddin Al-Amidi (keduanya ahli ushul fiqh Syafi’iyyah), syarat-syarat ashal itu adalah: Hukum Ashal itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di-naskh-kan (dibatalkan), hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’, ashal itu bukan merupakan far’u dari ashal lainnya, dalil yang menetapkan ‘illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum, ashal itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas dan hukum Ashal itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas.
2.      Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’. Syarat-syarat hukum ashal adalah :
a.       Hukum ashal itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’, sedang sandaran hukum syara’ itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan para mujtahid. Karenanya hukum yang ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma ‘alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas. Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama, karena kalau belum disepakati tentu masih diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.
b.      Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas, karena bila menyimpang dari ketentuan qiyas, itu mungkin karena alasan hukumnya tidak masuk akal (irrasional), baik karena dikecualikan dari ketentuan umum atau memang pada dasarnya sudah begitu. Maka tidak mungkin mengqiyaskan sesuatu kepada hukum ashal itu, sebab dalam hukum ashal seperti itu tidak ada daya rentang. Contoh yang tidak rasional dan memegang ditentukan demikian dari mulanya adalah bilangan raka’at shalat.
c.       Hukum ashal itu lebih dahulu disyari’atkan dari far’u. Dalam kaitan dengan ini, tidak boleh mengqiyaskan wudhu’ pada tayammum, sekalipun ‘illatnya sama, karena syari’at wudhu’ lebih dahulu turunnya dari syari’at tayammum.
3.      Furu’ yakni sebagai sesuatu yang di bangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain. Syarat-syaratnya adalah :
a.       ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Maksudnya, seluruh ‘illat yang terdapat pada ashal juga terdapat pada furu’. Jumlah ‘illat pada furu’ itu bisa sebanyak yang terdapat pada ashal atau melebihi yang terdapat pada ashal.
b.      Hukum ashal tidak berubah setelah dilakukan qiyas.
c.       Hukum far’u tidak mendahului hukum ashal. Artinya, hukum far’u itu  harus datang, kemudian dari hukum ashal. Contohnya adalah dalam masalah wudhu’ dan tayammum di atas.
d.      Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu. Artinya, tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’, di sebut para ulama ushul fiqh sebagai qiyas fasid, yaitu qiyas yang rusak. Misalnya, mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.
4.      ‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan mrupakan unsur yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain. Para Ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemashlahatan hamba-hambaNya. Kemashlahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manaafi’) dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (dar-ul mafaasid).
5.      Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang di sebut hikmah hukum. Hikmah hukum berbeda dengan ‘illat hukum. ‘Illat hukum yaitu suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar pembentukan hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat dhuhur yang empat raka’at menjadi dua raka’at, dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidak hukum, sedangkan ‘illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seorang boleh mengqashar shalat.

C.    Macam- macam Qiyas
1.    Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’ disbanding dengan yang terdapat pada ashl, qiyas dibagi menjadi 3 macam yaitu:
a.      Qiyas al-Aulawi: “yaitu suatu illat hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat diberikan pada furu'”seperti yang terdapat pada QS.S.Al isro’ ayat 23:  yaitu: memukul orang tua diqiyaskan dengan menyakiti hati orang tua.
b.      Qiyas al-Musawi: ” Suatu qiyas yang illatnya yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang keduanya bersamaan dalam keputusan menerima hukum tersebut”. Contoh: menjual harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c.       Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima hukum yang diberikan pada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu”. Contoh: mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan riba fadhl.
2.    Dilihat dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hukum:
a.      Qiyas al-Jaly: “Qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum ashl atau nash tidak menetapkan illatnya tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh terhadap perbedaan antara nash dengan furu'”. Contoh: mengqiyaskan budak perempuan dengan budak laki-laki. Qiyas jaly dibagi lagi menjadi 3 macam: Qiyas yang illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah illat larangan meminum khamar yang sudah ada nashnya. Qiyas aulawi dan qiyas musawi.
b.      Qiyas al–Khafy: “Qiyas yang illatnya tidak terdapat dalam nash”. Contoh: mengqiyaskan pembunuhan menggunakan bahan berat dengan pembunuhan menggunakan benda tajam.
3.    Di lihat dari segi persamaan cabang kepada pokok:
a.      Qiyas Ma’na ialah qiyas yang cabangnya hanya disandarkan kepada pokok yang satu. Hal ini di karenakan makna dan tujuan hukum cabang sudah cukup dalam kandungan hukum pokoknya, oleh karena itu korelasi antara keduanya sangat jelas dan tegas. Misalnya mengqiyaskan memukul orang tua kepada perkataan ah seperti yang telah dijelasnkan sebelumnya.
b.      Qiyas Sibhi ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat  pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.[4]

PENUTUP
             Dari penjabaran diatas tentang qiyas dapat ditarik kesimpulan yaitu; Menurut bahasa, kata qiyas itu berarti ukuran, yaitu mengetahui ukuran sesuatu dengan menisbahkannya kepada yang lain. Menurut istilah yang biasa digunakan oleh para ulama ushul fiqh adalah : Menghubungkan sesuatu yang belum dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash, karena diantara keduanya mempunyai ‘illat hukum. Dari definisi di atas, maka pada dasarnya qiyas itu bisa dikatakan benar bila memenuhi empat rukun, yaitu:
a.    Ashal, yakni suatu kejadian yang telah dinyatakan ketentuan hukumnya oleh nash.
b.    Furu’, yakni suatu kejadian baru yang belum diketahui ketentuan hukumnya dan belum terangkat dalam nash.
c.    ‘Illat, yakini sifat-sifat yang menjadi dasar dari ketentuan hukum ashal.
d.   Hukum Ashal, yakni ketentuan hukum syara’ yang telah diletakkan pula pada furu’.

            Apabila qiyas telah memenuhi syarat dan rukun-rukunnya telah sempurna, maka qiyas yang seperti itu dinamakan qiyas shahih, tetapi apabila syaratnya yang kurang dinamakan qiyas ma’al fariq dan kalau unsurnya yang kurang dinamakan qiyas fasid.
            Untuk Macam- macam dari qiyas itu sendiri penulis telah menjelaskan secara dzohir, yang dimana dapat ditarik kesimpulan bahwa macam- macam qiyas itu sendiri yaitu:
a.       Dilihat dari segi kekuatan Illat yang terdapat Furu’: Qiyas Aulawi, Musawi dan Adna.
b.      Dilihat dari segi kejelasan Illat hukum: Qiyas Jaly dan Qiyas Khafi.
c.       Dilihat dari segi persamaan cabang kepada pokok: Qiyas ma’na dan Qiyas Sibhi.


DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Prof., Dr., H., Ushul Fiqh. Kencana Prenada Media Group. 2008.
Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut: Daar al-Fikr al- Araby, 1958.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al- Mushthafa Fi Ilm al- Ushul. Beirut. Da al- Kutub al- Islamiyah,        1973.
Asy- Syafi’i, Ahmad Muhammad, Ushul Fiqh al- Islamy. Indonesia: Dar ihya al- Kutub al-           Arabiyah, 1981.


[1] Syarifuddin Amir, Prof., Dr., H., Ushul Fiqh. Kencana Prenada Media Group. 2008.
[2] Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut: Daar al-Fikr al- Araby, 1958.
[3] Al-Ghazali, Abu Hamid. Al- Mushthafa Fi Ilm al- Ushul. Beirut. Da al- Kutub al- Islamiyah, 1973.
[4] Asy- Syafi’i, Ahmad Muhammad, Ushul Fiqh al- Islamy. Indonesia: Dar ihya al- Kutub al- Arabiyah, 1981.

 #makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...