Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Oleh: Tiara Mandasari
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang Masalah
Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1
Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan,
yaitu akad yang kuat (mistaqan ghalidan)
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Fikih
islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di
temukan kosa kata pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan,
istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal
dari bahasa arab, b-t-l.
Didalam
fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu
nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid
adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah
batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hokum nikah fasid dan batil
adalah sama-sama tidak sah.
Dalam
terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid dan batil dapat digunakan
untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat
di gunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan pembatalan mengesankan
perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta perundang-undangan. Baik
pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.
Secara
sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi,
merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak dilangsungkan.
Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata karena tidak terpenuhinya
syarat-syarat perkawinan tersebut. Akibatnya bisa saja perkawinan tersebut akan
tertunda pelaksanaannya atau tidak terjadi sama sekali.
Seiring
dengan perkembangan global seperti yang kita saksikan saat ini,maka terjadinya
pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin terjadi. Untuk itulah
pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan strategi jitu untuk menghindarkan
perkawinan yang terlarang.
Terlepas
dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik pencegahan, pembatalan, dan penolakan
semuanya bermuara untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang. Muara yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan bagi semua pihak.
II.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
Pencegahan Perkawinan?
2.
Sebutkan
Undang-Undang yang mengatur tentang
Pencegahan Perkawinan?
3.
Apa pengertian
Pembatalan Perkawinan?
4.
Bagaimana
Nikahul Fasid dalam Hukum Positif dan Hukum Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pencegahan
Perkawinan
Pencegahan
perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan
dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil[1]
adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan
larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang
melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki
dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
A. Perspektif UU No.
1/1974
Pencegahan
perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi:
“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak
memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada
dua hal yaitu syarat administrative dan syarat materiil. Syarat administratif
berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan.
Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Perkawinan
dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat
dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami
yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan
seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah)
baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria
dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali
telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Adapun
mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah
dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah
hokum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukannya kepada pegawai
pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali
permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang
mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut
maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama
yang memberikan dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan
perkawinan.
Disamping
itu undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara
otomatis yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan meskipun tidak ada
pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini
dapat dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan tugasnya
mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8,
pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang perkawinan.[2]
Berkenaan
dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP
yang berbunyi:
1) Yang
dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2) Mereka
yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan,
sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi
calon mempelai lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Selanjutnya
pasal 15 menyatakan:
“Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih
terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya
perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
Undang-undang
perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi
wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat
yang berwenang diatur dalam paraturan perundang-undangan . Sebaliknya pejabat
yang berwenang dilarang membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
terjadinya pelanggaran terhadap UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974
dinyatakan dengan tegas:
Pegawai
pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan
dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang ini
meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
B. Perspektif
Kompilasi Hukum Islam
Berkenaan
dengan pencegahan ini, agaknya KHI mengikut rumusan-rumusan UUP walaupun dalam
bagian tertentu ada beberapa penambahan dan modifikasi. Secara eksplisit KHI
menyatakan perkawinan dapat dicegah jika terdapat syarat-syarat yang tidak
terpenuhi, baik yang berkenaan dengan syarat administrative ataupun syarat
materiil. Tujuannya untuk menghindari perkawianan yang terlarang. Lebih
jelasnya dapat dilihat di bawah ini:
Pasal 60
1) Pencegahan
perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hokum
islam dan peraturan perundang-undanganan.
2) Pencegahan
perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan
melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan menurut hokum islam dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak
sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak
sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-din.
Pasal 62
1) Yang
dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari seoramg calon mempelai
dan pihak-pihak yang bersangkutan.
2) Ayah
kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak
gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali
nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan
perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam
perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat
yang di tunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila
rukun dan syaarat perkawinan tidak terpenuhi.
Dari
pasal-pasal pencegah diatas, sebenarnya ada beberapa hal penting untuk dicatat.
Pertama, diaturnya masalah pencegahan ini di dalam KHI adalah untuk menghindari
perkawinan terlarang. Kedua, sebab pencegahan dapat dilakukan adalah ketika
tidak terpenuhinya syarat-syarat bagi kedua mempelai untuk melangsungkan
perkawinan. Ketiga, tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan
pencegahan perkawinan. Keempat, yang dapat melakukan pencegahan perkawinan itu
adalah para keluarga, wali, pengampu, dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Pembatalan
Perkawinan
Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad
nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah
perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya syarat-syarat yang
tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan. Undang-Undang
tersebut menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun, bila rukun yang
tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat di
batalkan baik berdasarkan pasal 22, 24, 26, dan 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 maupun yang berdasarkan Pasal 70 dan 71 KHI. Sebagaimana diungkapkan
sebagai berikut:
Pasal 24
Barangsiapa
karena perkawinan masih terikat dirinya dengan dari salah satu dari kedua belah
pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan
perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 undang-undang ini.
Pasal 26
1) Perkawinan
yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.
2) Hak
untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal
ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri yang dapat
memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak
berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.
Pasal 27
1) Seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan
dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hokum.
2) Seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
istri.
Selain
itu, dalam sistematika yang berbeda, Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai
berikut:
Pasal
70 KHI
1) Perkawinan
batal apabila:
a. Suami
melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu
dalam iddah talak raj’I’.
b. Seorang
menikahi bekas istrinya yang pernah dili’annya.
c. Seorang
menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali
bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian
bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d. Perkawinan
dilakukan antara dua orang yang mempumyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan
sampai derajat tertentuyang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8
Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 yaitu:
·
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
·
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
·
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
·
Berhubungan
sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi
atau paman sesusuan.
2) Istri
adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri-istrinya.
Pasal 71 KHI
Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang
suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan
yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yan
mafqud (menghilang tanpa berita apakah masih hidup atau sudah meninggal).
c. Perempuan
yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
d. Perkawinan
yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
e. Perkawinan
dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan
yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72 ayat (3) KHI
Apabila
ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan
dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri,
dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka
haknya gugur.
Orang
yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 23
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
a. Para
keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri.
b. Suami
atau istri.
c. Pejabat
yang bewenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat
yang ditunjuk tersebut pada Pasal 16 ayat (2) undang-undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Selain
permohonan pembatalan perkawinan itu, juga pasal 74 KHI mengatur tata cara
beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan, dan mengatur awal waktu
keberlakuan pembatalan perkawinan dimaksud. Hal ini juga diatur dalam Pasal 28
Undang-Undang perkawinan.
Pasal 74 KHI
a. Permohonan
pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
b. Batasnya
suatu perkawinan dimulai setelah Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hokum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Walaupun
sudah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya jangan menimbulkan kerugian
dan kesengsaraan bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.hal
ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 75 dan 76
KHI yang mempunyai rumusan garis hokum yang berbeda seperti yang dikutip
dibawah ini:
Pasal
28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi keputusan tidak berlaku surut
terhadap:
a. Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami
atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu.
c. Orang-orang
ketiga lainnya tidak termasuk dalam poin a dan b sepanjang mereka memperoleh
hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan
hokum tetap.
Adapun bunyi pasal 75 dan 76 KHI adalah sebagai
berikut:
Pasal 75 KHI
Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a. Perkawinan
yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.
b. Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. Pihak
ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Pasal 76 KHI
Batalnya
suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hokum antara anak dengan orang
tuanya.
Penjelasan
yang telah diungkapkan diatas, tidak merinci secara teknis mengenai proses
hubungan perkawinan yang seharusnya dibatalkan oleh yang berwenang. Oleh karena
itu, suami dan istri dalam proses pembatalan perkawinannya di Pengadilan
Agama., tidak melakukan hubungan pergaulan. Hal ini dimaksudkan supaya tidak
melanggar prinsip-prinsip hokum islam. Garis hokum islam yang diatur oleh Pasal
76 KHI adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hokum serta masa
depan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang akan dibatalkan oleh Pengadilan
Agama, sehingga kekeliruan orang tua tidak dapat dilimpahkan kepada
anak-anaknya.meskipun secara psikologis, jika pembatalan perkawinan dimaksud
benar-benar terjadi, akan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi
kepentingan anak-anak tersebut. Akan tetapi,untuk tegaknya hukumdalam
masyarakat maka kebenaran harus diwujudkan dalam kenyataan walaupun dalam
suasana kepahitan.
3. Nikahul Fasid
Dalam Hukum Islam
Menurut
hukum islam, akad
perkawinan suatu perbuatan hukum
yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta
konsekuensi-konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat
islam. Oleh karena itu, pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat islam adalah perbuatan sia-sia,
bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hokum yang wajib di cegah
oleh siapa pun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila
pernikahan itu telah dilaksanakannya.
Para
ahli hokum islam dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada
dua bentuk yaitu (1) yang disepakati oleh ahli hokum, nikah fasid model ini
seperti menikahi wanita yang haram dinikahinya baik karena nasab, susuan, atau
menikahi istri kelima sedangkan istri keempat masih dalam iddah, nikah seperti
ini harus difasidkan bukan talak dan tanpa mahar baikm dukhul maupun belum
dukhul, (2) yang tidak disepakati oleh para ahli hokum islam seperti nikah
sewaktu ihram, menurut ahli hokum dikalangan Malikiyah pernikahan itu harus difasidkan,
tetapi para ahli dikalangan Hanafiyah pernikahan itu sah. Demikian pula nikah
yang syiqor, harus difasidkan menurut para ahli hokum islam di kalangan
Malikiyah, tetapi menurut para ahli hokum islam di kalangan Hanafiyah apabila
pernikahan sudah berlangsung, maka pernikahan itu sah. Juga perkawinan yang
termasuk dalam kategori nikahus sirri, nikah maskawin yang rusak atau yang
rusak akad perkawinannya haruslah di fasidkan, tetapi ada yang berpendapat
bahwa pernikahan itu tidak harus di fasidkan.
Dikalangan
mazhab Syafi’I nikahul fasid itu adalah akad nikah yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu syarat yang
ditentukan oleh syara’, sedangkan nikahul bathil adalah pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi kurang
salah satu rukun syara’. Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I,
nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
·
Pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita
tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.
·
Pernikahan yang
dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
·
Pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan
tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.
·
Menikahi
perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena
adanya syarat keislaman.
Menurut
ketentuan hukum islam, siapa yang melihat dan mengetahui akan adanya seorang
berkendak untuk melaksanakan pernikahan, padahal diketahui bahwa pernikahan
cacat hokum karena kurangnya rukun atau syarat yang ditentukan, maka pernikahan
tersebut wajib dicegahnya sehingga perkawinan itu tidak jadi dilaksanakan.
4. Nikahul Fasid
Dalam Hukum Positif Indonesia
Di
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di
Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan,
yaitu pasal 27 samapai dengan 38 peraturan perundang-undangan tersebut
memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu
perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal force), atau
apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang
telah ditentukan, atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui
ada cacat hokum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena
ada paksaan.
Meskipun
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 hanya menyangkut “pembatalan” saja, tetapi dalam praktik
pelaksanaan undang-undang tersebut yang menyangkut hal pembatalan perkawinan
mencakup substansi dalam nikahul fasid
dan nikahul bathil. Dalam pasal 22 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Sedang dalam penjelasan disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal
ini adalah bisa batal bilamana menurut ketentuan hokum agamanya tidak
menentukan lain. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang
dilaksanakan oleh seseorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila
cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan
tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·
Pencegahan
perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam
yang diundangkan. Pencegahan perkawinan
dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil
adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan
larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang
melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki
dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
·
Pencegahan
perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
·
Pembatalan
perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad
nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah
perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya syarat-syarat yang
tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan.
·
Para ahli hokum
islam dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk
yaitu (1) yang disepakati oleh ahli hokum dan (2) yang tidak disepakati oleh
para ahli hokum islam. Dan Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I,
nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
·
Pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita
tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.
·
Pernikahan yang
dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
·
Pernikahan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan
tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.
·
Menikahi perempuan
watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena adanya
syarat keislaman.
·
Di dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hanya ada
pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu pasal 27 samapai
dengan 38 peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada
Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu
dianggap tidak sah (no legal force), atau apabila suatu perkawinan dianggap
tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, atau apabila
perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hokum sebagai akibat
dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena ada paksaan.
DAFTAR PUSTAKA
Rafiq,
Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers
Nurudin,
Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum
Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang