Thursday, 14 January 2016

PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN

Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Oleh: Tiara Mandasari
BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar Belakang Masalah
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam (Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghalidan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Fikih islam tidak mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal dalam fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa arab, b-t-l.
Didalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hokum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah.
Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah fasid dan batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan. Bedanya pencegahan itu lebih tepat di gunakan sebelum perkawinan berlangsung sedangkan pembatalan mengesankan perkawinan telah berlangsung dan ditemukan adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan baik syarat ataupun rukun serta perundang-undangan. Baik pencegahan dan pembatalan tetap saja berakibat tidak sahnya sebuah perkawinan.
Secara sederhana pencegahan dapat diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan, tidak menurutkan sehingga perkawinan tidak dilangsungkan. Pencegahan perkawinan dilakukan semata-mata karena tidak terpenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut. Akibatnya bisa saja perkawinan tersebut akan tertunda pelaksanaannya atau tidak terjadi sama sekali.
Seiring dengan perkembangan global seperti yang kita saksikan saat ini,maka terjadinya pelanggaran terhadap larangan perkawinan sangat mungkin terjadi. Untuk itulah pasal-pasal pencegahan perkawinan merupakan strategi jitu untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang.
Terlepas dari persoalan pengaruh memengaruhi, baik pencegahan, pembatalan, dan penolakan semuanya bermuara untuk menghindarkan perkawinan yang terlarang. Muara  yang dituju adalah dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bagi semua pihak.
    II.            Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Pencegahan Perkawinan?
2.      Sebutkan Undang-Undang  yang mengatur tentang Pencegahan Perkawinan?
3.      Apa pengertian Pembatalan Perkawinan?
4.      Bagaimana Nikahul Fasid dalam Hukum Positif dan Hukum Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pencegahan Perkawinan
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan  perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil[1] adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
A.    Perspektif UU No. 1/1974
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi:
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administrative dan syarat materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada bagian tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar seperti larangan perkawinan.
Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah) baginya, begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat dispensasi dari pengadilan.
Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke pengadilan agama dalam daerah hokum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.
Disamping itu undang-undang perkawinan juga mengenal pencegahan perkawinan secara otomatis yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan meskipun tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan (pasal 20). Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan apabila pegawai pencatat perkawinan dalam menjalankan tugasnya mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang perkawinan.[2]
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan dimuat dalam pasal 14 UUP yang berbunyi:
1)      Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
2)      Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Selanjutnya pasal 15 menyatakan:
Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3ayat 2 dan pasal 4 undang-undang ini.”
Undang-undang perkawinan seperti yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 dan 2, juga memberi wewenang kepada pejabat untuk melakukan pencegahan perkawinan. Mengenai pejabat yang berwenang diatur dalam paraturan perundang-undangan . Sebaliknya pejabat yang berwenang dilarang membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap UU tersebut. Dalam pasal 20 UU No. 1/1974 dinyatakan dengan tegas:
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 1, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
B.     Perspektif Kompilasi Hukum Islam
Berkenaan dengan pencegahan ini, agaknya KHI mengikut rumusan-rumusan UUP walaupun dalam bagian tertentu ada beberapa penambahan dan modifikasi. Secara eksplisit KHI menyatakan perkawinan dapat dicegah jika terdapat syarat-syarat yang tidak terpenuhi, baik yang berkenaan dengan syarat administrative ataupun syarat materiil. Tujuannya untuk menghindari perkawianan yang terlarang. Lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini:
Pasal 60
1)      Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hokum islam dan peraturan perundang-undanganan.
2)      Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hokum islam dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 61
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-din.
Pasal 62
1)      Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari seoramg calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.
2)      Ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 63
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.
Pasal 64
Pejabat yang di tunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syaarat perkawinan tidak terpenuhi.

Dari pasal-pasal pencegah diatas, sebenarnya ada beberapa hal penting untuk dicatat. Pertama, diaturnya masalah pencegahan ini di dalam KHI adalah untuk menghindari perkawinan terlarang. Kedua, sebab pencegahan dapat dilakukan adalah ketika tidak terpenuhinya syarat-syarat bagi kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Ketiga, tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan pencegahan perkawinan. Keempat, yang dapat melakukan pencegahan perkawinan itu adalah para keluarga, wali, pengampu, dan pihak-pihak yang berkepentingan.

2.      Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan. Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun, bila rukun yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah. Perkawinan dapat di batalkan baik berdasarkan pasal 22, 24, 26, dan 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun yang berdasarkan Pasal 70 dan 71 KHI. Sebagaimana diungkapkan sebagai berikut:
Pasal 24
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan dari salah satu dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini.

Pasal 26
1)      Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri.
2)      Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri yang dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.
Pasal 27
1)      Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hokum.
2)      Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Selain itu, dalam sistematika yang berbeda, Kompilasi Hukum Islam mengatur sebagai berikut:
                                                                   Pasal 70 KHI
1)      Perkawinan batal apabila:
a.       Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’I’.
b.      Seorang menikahi bekas istrinya yang pernah dili’annya.
c.       Seorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
d.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempumyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentuyang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 yaitu:
·         Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
·         Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
·         Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
·         Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan.
2)      Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri-istrinya.
Pasal 71 KHI
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.       Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b.      Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yan mafqud (menghilang tanpa berita apakah masih hidup atau sudah meninggal).
c.       Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
d.      Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
e.       Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f.       Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 72 ayat (3) KHI
Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri.
b.      Suami atau istri.
c.       Pejabat yang bewenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d.      Pejabat yang ditunjuk tersebut pada Pasal 16 ayat (2) undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Selain permohonan pembatalan perkawinan itu, juga pasal 74 KHI mengatur tata cara beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan, dan mengatur awal waktu keberlakuan pembatalan perkawinan dimaksud. Hal ini juga diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang perkawinan.
Pasal 74 KHI
a.       Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
b.      Batasnya suatu perkawinan dimulai setelah Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hokum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Walaupun sudah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya jangan menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 75 dan 76 KHI yang mempunyai rumusan garis hokum yang berbeda seperti yang dikutip dibawah ini:
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.       Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b.      Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c.       Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam poin a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Adapun  bunyi pasal 75 dan 76 KHI adalah sebagai berikut:
Pasal 75 KHI
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a.       Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.
b.      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c.       Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hokum tetap.
Pasal 76 KHI
Batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hokum antara anak dengan orang tuanya.
Penjelasan yang telah diungkapkan diatas, tidak merinci secara teknis mengenai proses hubungan perkawinan yang seharusnya dibatalkan oleh yang berwenang. Oleh karena itu, suami dan istri dalam proses pembatalan perkawinannya di Pengadilan Agama., tidak melakukan hubungan pergaulan. Hal ini dimaksudkan supaya tidak melanggar prinsip-prinsip hokum islam. Garis hokum islam yang diatur oleh Pasal 76 KHI adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hokum serta masa depan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang akan dibatalkan oleh Pengadilan Agama, sehingga kekeliruan orang tua tidak dapat dilimpahkan kepada anak-anaknya.meskipun secara psikologis, jika pembatalan perkawinan dimaksud benar-benar terjadi, akan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Akan tetapi,untuk tegaknya hukumdalam masyarakat maka kebenaran harus diwujudkan dalam kenyataan walaupun dalam suasana kepahitan.
3.      Nikahul Fasid Dalam Hukum Islam
Menurut hukum islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi-konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat islam. Oleh karena itu, pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat islam adalah perbuatan sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hokum yang wajib di cegah oleh siapa pun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakannya.
Para ahli hokum islam dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk yaitu (1) yang disepakati oleh ahli hokum, nikah fasid model ini seperti menikahi wanita yang haram dinikahinya baik karena nasab, susuan, atau menikahi istri kelima sedangkan istri keempat masih dalam iddah, nikah seperti ini harus difasidkan bukan talak dan tanpa mahar baikm dukhul maupun belum dukhul, (2) yang tidak disepakati oleh para ahli hokum islam seperti nikah sewaktu ihram, menurut ahli hokum dikalangan Malikiyah pernikahan itu harus difasidkan, tetapi para ahli dikalangan Hanafiyah pernikahan itu sah. Demikian pula nikah yang syiqor, harus difasidkan menurut para ahli hokum islam di kalangan Malikiyah, tetapi menurut para ahli hokum islam di kalangan Hanafiyah apabila pernikahan sudah berlangsung, maka pernikahan itu sah. Juga perkawinan yang termasuk dalam kategori nikahus sirri, nikah maskawin yang rusak atau yang rusak akad perkawinannya haruslah di fasidkan, tetapi ada yang berpendapat bahwa pernikahan itu tidak harus di fasidkan.
Dikalangan mazhab Syafi’I nikahul fasid itu adalah akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu syarat yang ditentukan oleh syara’, sedangkan nikahul bathil adalah pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi kurang salah satu rukun syara’. Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I, nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
·         Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.
·         Pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
·         Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.
·         Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena adanya syarat keislaman.
Menurut ketentuan hukum islam, siapa yang melihat dan mengetahui akan adanya seorang berkendak untuk melaksanakan pernikahan, padahal diketahui bahwa pernikahan cacat hokum karena kurangnya rukun atau syarat yang ditentukan, maka pernikahan tersebut wajib dicegahnya sehingga perkawinan itu tidak jadi dilaksanakan.
4.      Nikahul Fasid Dalam Hukum Positif Indonesia
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu pasal 27 samapai dengan 38 peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal force), atau apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hokum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena ada paksaan.
Meskipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 hanya menyangkut “pembatalan” saja, tetapi dalam praktik pelaksanaan undang-undang tersebut yang menyangkut hal pembatalan perkawinan mencakup substansi dalam nikahul fasid dan nikahul bathil. Dalam pasal 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedang dalam penjelasan disebutkan pengertian “dapat” dalam pasal ini adalah bisa batal bilamana menurut ketentuan hokum agamanya tidak menentukan lain. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh seseorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya. Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
·         Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan  perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya.
·         Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
·         Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akad nikah. Oleh karena itu, akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai di langsungkan, dan di ketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut pasal 22 Undang-Undang perkawinan.
·         Para ahli hokum islam dikalangan Mazhab Maliki berpendapat bahwa nikahul fasid ada dua bentuk yaitu (1) yang disepakati oleh ahli hokum dan (2) yang tidak disepakati oleh para ahli hokum islam. Dan Menurut ahli hokum Islam dikalangan Mazhab Syafi’I, nikahul fasid dapat terjadi dalam bentuk:
·         Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi wanita tersebut dalam masa iddah laki-laki yang lain.
·         Pernikahan yang dilaksanakan dalam masa istibro’ karena wathi syubhat
·         Pernikahan yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi perempuan tersebut diragukan iddahnya karena ada tanda-tanda kehamilan.
·         Menikahi perempuan watsani dan perempuan yang murtad, yang dua terakhir ini batil karena adanya syarat keislaman.
·         Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tidak secara tegas dinyatakan adanya lembaga nikahul fasid dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hanya ada pasal-pasal yang mengatur tentang batalnya perkawinan, yaitu pasal 27 samapai dengan 38 peraturan perundang-undangan tersebut memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk membatalkan suatu perkawinan apabila perkawinan itu dianggap tidak sah (no legal force), atau apabila suatu perkawinan dianggap tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan, atau apabila perkawinan yang sudah dilaksanakan itu diketahui ada cacat hokum sebagai akibat dari suatu kebohongan dan kekeliruan atau karena ada paksaan.


DAFTAR PUSTAKA

Rafiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta:  Rajawali Pers
Nurudin, Aminur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Fajar Interpratama.


  #makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang


[1] Ahmad rafiq, hukum islam di Indonesia , 9jakarta; rajawali pers, 1998), hal. 139
[2] Aminur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, ( jakarta: Fajar interpratama), Hal. 33-34

loading...