IJMA’ (Pengertian, Macam-Macam, Kedudukan, Contoh, Syarat-Syarat IJMA')
A.PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari – hari kita selalu melakukan kegiatan – kegiatan yang
tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum – hukum seperti shalat, puasa,
jual beli dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak
salah arah dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para ulama telah berjihad untuk
mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al – Qur’an dan hadist agar
jelas dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal – hal yang
pada zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal
tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah
ini akan dibahas tentang pengertian ijma’, macam – macam ijma’, kedudukan ijma’
dalam hukum islam, dan disertai pula contoh ijma’dan Syarat ijma’
Rumusan
masalah
1.
Bagaimana Pengertian Ijma’ dan Macam – Macamnya?
2.
Bagaimana Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam?
3.
Bagaimana Contoh – Contoh Kasus Hukum yang Didasari Ijma’ dan
syarat-syarat ijma’?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijma’ dan Macam –
macamnya
Arti
Ijma menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat dan Definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam
dua arti:
1. Bermaksud
atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yunus ayat 71
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ نُوحٍ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنْ كَانَ كَبُرَ عَلَيْكُمْ مَقَامِي وَتَذْكِيرِي بِآيَاتِ اللَّهِ فَعَلَى اللَّهِ تَوَكَّلْتُ فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ أَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوا إِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُونِ
Artinya:Dan bacakanIah
kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku
(kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku[1]
Maksudnya,
semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan beliau tempu.
Dan hadis Rasulullah SAW. Yang artiny, “barang
siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.[2]
2.
Kesepakatan terhadap, sesuatu. kaum dikatakan telah
berijma bila mereka sepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Quran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara a.s.:
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَٰذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: Maka tatkala mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia),
dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."
[3]
yakni
merka bersepakat terhadap perencana tersebut
adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa
dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa
dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat
dengan dirinya.[4]
Sedangkan menurut istilah para ahli
ushul fiqih dirumuskan sebagai berikut :
اجماع هو اتّاق مجتهدين فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم
شرعىّ فى الواقعة
“ Ijma’
ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu
stelah wafatnya rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa
Dari pengertian ijma’
sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan
pendapat para mujtahid pada suatu masa baik secara lisan maupun tertulis atau
dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.
b.
Seluruh
mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika ada
seorang saja yang tidak menyetujuinya maka tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila
pada suatu masa hanya ada seorang mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’,
sebab tidak terjadi kesepakatan.
c. Ijma’ hanya
terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’ dan harus berdasarkan pada
Al – Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika didasarkan pada yang lainnya[6]
Dari definisi diatas
pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama atau
mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan dalam masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam
Al-quran dan as-sunna.
Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam,
yaitu sebagai berikut :
1. Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
Ijma’
yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh, dengan
artian bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum
lain yang bertentangan. Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai
suatu kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh atas hukum syara’ mengenai
kejadian itu.[7]
2. Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya
atas mujtahid lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam
atau tidak memberi tanggapan itu dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang
sudah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama ushul fiqh yang
menyatakan :
“ diam
ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan,[8]
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai
berikut :
1. Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama
sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.
2. Ijma’
Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah terhadap sesuatu
urusan hukum.
3. Ijma’
Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam suatu masalah.
4. Ijma’
Khulafaur Rasyidin, yaitu :
اتفاق الخلفء الاربعة على امر من
الامور الشّرعّة
“Persesuaian
paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa
atas suatu hukum.”[9]
5. Ijma’ Ahlul
Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam suatu masalah.
Jadi dari
beberapa macam Ijma’ saya dapat simpulkan dari semua macam Ijma’ itu yang pertama Ijma’ qoth’i sudah menetapkan hukumnya yang pasti. Dan
Ijma’ Sukuti mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid
lain. Walaupu mujtahid ya diam bisa mengambil keputusan bahwa dia sudah menyetujui yang dibahas dalam
suatu masalah yang dibahas. Dan Ijma’Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama
dalam masalah tertentu. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham. Ijma’
Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan para ulama
kuffah dalam suatu masalah. Ijma’ Khulafaur Rasyidin, yaitu : “Persesuaian
paham khalifah. Ijma’ Ahlul Bait yaitu kesepakatan hanya keluarga Nabi dalam suatu masalah.
2 Kedudukan
Ijma’ dalam Pembinaan hukum Islam
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat
menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.[10]
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan suatu hukum dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah
terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para mujtahid terhadap ketetapan hukum
suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’ sebagai
sumber hukum Islam adalah sebagai berikut :
a. Firman
Allah SWT :
يا ايهاالذذين امنو اطيعواللّه واطيعواالرّسول واولى الامر
منكم (النساء: 59 )
Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah
dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri ( Pemegang kejuasaan ) diantara
kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )
Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua
penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil ‘Amri fiddin
adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga
memerintahkan untuk taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang
disepakati mereka.
b. Hadist Rasulullah SAW
انّ امذتي لا تجمع على ضلالة ( رواه ابن حاجه )
Artinya :”
Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”
مارءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam
kedudukannya sebagai umat yang sama – sama sepakat tentang sesuatu, tidak
mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga
putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
Pandangan
ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum
tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai
landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena
jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas
menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.
Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan jika diamnya sebagian ulama’
mujtahid tidak dapat dikatakan telah terjadi ijma’. Dan pendapat ini
dianggap lebih kuat daripada pendapat perorangan.[12]
Dari
definisi diatas dapat saya simpulkan bahwa kedudukan Ijma’ itu kedudukan ijma’
menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Dan
Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila
tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
3. Contoh
– contoh hukum yang didasari Ijma’
a. Pengangkatan
Abu Bakar as – Siddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW
b. Pembukuan
Al – qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah abu bakar r.a.
c.
Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam
Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita
melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin,
apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.[13]
Bukti
komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ diatas bahwa didalam pengangkatan Abu
Bakar as yaitu mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan dasar-dasar hukum sesudah Nabi Muhammad.
3. Syarat Ijma’
Jumhur Ulama
ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
a. Yang melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid
yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c. Para mujtahid yang terlibat adalah
yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul
fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati para ulama, diantaranya:
a. Para mujtahid itu adalah sahabat.
b. Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila
memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya dengan ijma’
shahabat.
c. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
d.
Hukum
yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh
mujtahid yang menyepakatinya.
Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang
berkaitan dengan masalah yang sama[14]
Jadi saya dapat simpulkan
bahwa syarat-syarat Ijma’ itu harus memenuhi
persyaratan ijtihad dan Kesepakatan dalam suatu masalah untuk menyelesaikannya harus muncul
pendapat-pendapat dari para
mujtahid-mujtahid yang bersifat adil dan paham
agama dan Para mujtahid itu harus
berusaha dan menghindari dari
perbuatan-perbuatan bid’ah.
C.SIMPULAN
Dari keterangan diatas dapat di
fahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah,
atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak
mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut. Dan alasan ijma harus
mempunyai sandaran adalah:
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandaranya, ijma’ tidak
akan sampai pada kebenaran.
Kedua: bahwa keadaanya sahabat tidak mungkin lebih baik dari pada nabi,
sebagaimana diketahui, Nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali
berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil adalah salah.
Kalau mereka sepakat berbuat begitu berarti mereka sepakat melakukan kesalahan;
Keempat: pendapat yang tidak di sandarkan kepada dalil tidak dapat di ketahui
kaitanya kepada hukum Syara’. Kalau tidak dapat dihubungkan dengan Syara tidak
wajib diikuti
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan
kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka
dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki
penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin
REFERENSI
Abu Zahrah, 2003, Muhammad, Ushul Fiqh,
Jakarta, Pustaka Firdaus
Efendi, 2005, Satria, ushul Fiqh, Jakarta,
Fajar Interpratama Offset
Jumant Haroen,1997, Nasrun, Ushul
Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Jumantoro, Totok, 2005, Kamus Ilmu Ushul Fiqh , Jakarta,
Bumi Aksara
Suratno, dkk, 2011, modul siap Un Kemenag, Semarang,
Dina utama
Syafe’I
Rachmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqih,
Bandung, Pustaka Setia
Syarifuddin. Amir, 2009, Ushul Fiqh, Jakarta, Fajar
Interpratama
Wahhab Abdul
Khalaf, 2000, Kaida-kaida Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada
[1] Departemen Agama, Al-Quran
Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2011). Hlm,
217
[7] Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
Hlm. 73
[14] Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54
Makalah Ushul Fiqh Oleh: Tri Nopika (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
Makalah Ushul Fiqh Oleh: Tri Nopika (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang