Mahkum 'Alaih
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Tiwi Ekawati (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
A.
PENDAHULUAN
Ushul
fiqh berasal dari dua kata, yakni kata ushul bentuk jamak dari ashl dan
kata fiqh yang masing-masing memiliki
pengertian yang sangat luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai fondasi
sesuatu baik yang bersifat materi atau bukan.
Adapun
menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
1. Dalil
yakni landasan hukum.
2. Qa’idah
yaitu dasar atau fondasi sesuatu.
3. Rajih
yaitu yang terkuat.
Dari
pengertian ashl di atas dapat disimpulkan bahwa arti fiqh secara etimologi
adalah pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal.
Adapun
pengertian fiqh secara terminologi adalah ilmu hukum syara’ tentang perbuatan
manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
Sebagaimana
ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, Ushul Fiqh tumbuh dan berkembang dengan
tetap berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan kata lain, Ushul Fiqh tidak
timbul dengan sendirinya tetapi
benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan para sahabatnya.
Masalah utama yang menjadi bagian Ushul Fiqh salah satuny adalah Makhum ‘Alaih
yang akan dibahas sebagai berikut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Mahkum ‘Alaih
Ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa mahkum ‘ alaih
adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
Allah ta’ala yang disebut mukhalaf.
Dari segi bahasa, mukhalaf diartikan
sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam isltilah Ushul Fiqh disebut
juga mahkum ‘ alaih (subjek hukum). Mukhalaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak
hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.[1] Yang
dimaksud dengan makhum ‘alaih ialah orang mukhalaf yang dibebani hukum syara’ atau disebut subjek hukum.[2] Makhkum ‘alaih ialah orang mukhalaf dimana perbuatannya menjadi
tempat berlakunya hukum Allah dan firman-Nya (subjek hukum).[3] Makhkum ‘alaih ialah mukhalaf yang dengan perbuatannyalah
hukum syar’i berkaitan.[4]
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, mahkum
‘alaih adalah seorang mukhalaf yang dikenai sanksi atas segala perbuatannya
sesuai dengan hukum syara’.
2.
Syarat- syarat Al-Mahkum ‘Alaih
Untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan pembebanan syara’ kepada orang mukhalaf, maka diperlukan dua syarat
sebagai berikut:
a) Bahwa orang mukhalaf itu harus memiliki kesanggupan untuk memahami khitab Allah yang dibebankan atas
dirinya. Kesanggupan disini maksudnya ialah sanggup memahami sendiri atau
dengan perantara orang lain tentang khitab
Allah yag terdapat di dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kesanggupan ini
mejadi ukuran dari khitab Allah SWT
terhadap hamba-Nya. Kesanggupan untuk memahami khitab Allah ini pada dasarnya terletak pada akal,[5]
dan keberadaan nash yang ditaklifkan kepada orang-orang
yang berakal pada jangkauan akal mereka untuk memahaminya. Sebab sesungguhnya
akal adalah alat untuk memahami dan menagkap, serta dengan akal pula keinginan
untuk mengikuti perintah dapat diarahkan. Karena akal adalah suatu hal yang
abstrak, tidak dapat ditangkap dengan penginderaan yang konkret. Berdasarkan
persyaratan ini, maka orang yang gila tidak terkena taklif, demikian pula anak
kecil, karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif.
Orang yang ghafil (lalai), orang yang tidur dan orang yang mabuk juga tidak
terkena taklif karena mereka tidak bisa memahami. Maka Rasulullah Saw bersabda
yang artinya:
“Pena
diangkat dari tiga jenis orang, yaitu: orang yang tidur sampai ia bangun, dari
anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang yang gila sampai ia berakal.”
Beliau juga bersabda
yang artinya:
“Barag
siapa yang tidur (meninggalkan) shalat atau terlupa melakukannya, maka
hendaklah ia melakukan shalat tersebut apabila teringat kepadanya, karena
sesungguhnya ingatannya itu adalah waktunya.”[6]
Dikuatkan juga dengan
firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ...
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan....” (QS. An-Nisa: 43)[7]
Ayat
tersebut bukanlah suatu pentaklifan terhadap orang-orang yang mabuk ketika mereka
sedang mabuk untuk tidak mendekati shalat, akan tetapi ia adalah pentaklifan
terhadap kaum muslimin dalam keadaan sadar mereka untuk tidak meminum khamar
apabila sewaktu shalat telah dekat, sehingga mereka tidak mendekati shalat
dalam keadaan mabuk. Seakan-akan Allah berkata: “Apabila waktu shalat telah
dekat, maka janganlah kamu meminum khamar”.[8]
b) Orang mukhalaf itu mempunyai kemampuan
untuk menerima pembebanan hukum (taklif),[9]
layak untuk dikenakan taklif.[10]
Memiliki kemampuan untuk menerima taklif ini dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
1. Disebut dengan ahliyatul wujud yaitu kemampuan menerima hak dan kewajiban.
Kemampuan ini dilihat dari segi kepantasan diberi hak dan kewajiban. Kepantasan
ini ada pada manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan berlaku pula pada
anak-anak dan dewasa, sempurna akalnya dan tidak sempurna akalnya, orang sehat
dan sakit yang semuanya memiliki kepantasan diberi hak dan kewajiban.
Kepantasan ini dasarnya adalah kemanusiaan, artinya selama kemanusiaan itu
masih ada atau masih hidup maka kepantasan itu tetap dimiliki.[11]
Kemampuan menerima dibagi menjadi dua, yaitu: kemampuan menerima tidak penuh
dan kemampuan menerima penuh.[12]
2. Disebut dengan ahliyatul ada’ yaitu kecakapan bertindak. Kecakapan bertindak ini
haruslah dilihat dari segi kepantasan seseorang untuk dinilai sah segala ucapan
dan perbuatannya. Contohnya: bila ia mengadakan suatu transaksi atau perjanjian,
maka tindakan transaksi atau perjanjian itu sah dan dapat menimbulkan akibat
hukum. Artinya perbuatan itu dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.[13]
Dasarnya adalah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia diberi
kemampuan berbuat. Kemampuan berbuat juga dibagi menjadi dua yaitu: kemampuan
berbuat tidak penuh yakni bagi kanak-kanak yang belum tamyiz dan kemampuan berbuat yang penuh yakni bagi orang-orang yang
sudah dewasa. Untuk lebih jelasnya, maka akan diterangkann masa-masa yang
dilalui hidup manusia dan dalam masa
yang mana ia menjadi orang mukhalaf yang sebenarnya. Masa tersebut adalah:
Dalam masa I yakni masa
masih dalam kandungan, dimana seseorang hanya mempunyai kemampuan menerima yang
tidak penuh, sedang kecakapan berbuat tidak ada sama sekali.
Dalam masa II yakni
masa sebelum tamyiz, dimana seseorang
mempunyai kemampuan menerima yang penuh dan dimiliki terus selama hidupnya,
tetapi tidak mempunyai kecakapan untuk berbuat sama sekali.
Dalam masa III yakni
masa sesudah tamyiz, dimana seseorang
mempunyai kemampuan berbuat tidak penuh. Perbuatannya kadang-kadang berhubungan
dengan hak Allah atau manusia. Yang berhubungan dengan hak Allah, seperi shalat
atau puasa dipandang sah, tetapi kalau perbuatannya tersebut rusak ia tidak
wajib menyelesaikannya. Yang berhubungan dengan hak manusia: menguntungkan
dapat dilakukan tanpa izin wali, seperti menerima pemberian; merugikan tidak
dapat dilakukan meskipun dengan izin wali, seperti memberikan suatu harta;
merugikan tetapi ada untungnya, boleh dijalankan sesudah diizinkan wali, seperti
jual beli.
Dalam masa IV yakni
masa dewasa, dimana seseorang telah mencapai kedewasaannya, ia mempunyai
kemampuan berbuat sepenuhnya, baik yang berhubungan dengan ibadah atau
muamalah. Pada masa inilah ia menjadi mukhalaf
yang sebenarnya.[14]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, syarat-syarat
untuk menjadi mahkum ‘alaih adalah:
harus memiliki kesanggupan untuk memahami khitab
Allah dan mempunyai kemampuan untuk menerima beban hukum yang dikenakan
padanya.
3.
Hubungan Manusia dengan Ahliyatul Wujud dan Ahliyatul
Ada’
a.
Hubungan manusia dengan ahliyatul wujud
Berdasarkan pemahaman
bahwa bila manusia dihubungkan dengan kemampuan menrima hak dan kewajiban ada
dua macam, yaitu:
1) Ada kalanya ahliyatul wujud itu kurang sempurna. Maksudnya ialah bahwa
kemampuan seseorang dalam menerima hak dan kewajiban itu tidak utuh, ia hanya
pantas menerima hak saja dan untuk memikul kewajiban belum pantas. Sebagai
contoh, misalnya janin yang masih ada dalam kandungan ibunya,[15]
ia sudah mempunyai hak karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas
pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang lain.
Dengan demikian ahliyatul wujudnya adalah
kurang.[16]
2) Adakalanya ahliyatul wujud itu sempurna. Maksudnya adalah seseorang sudah
pantas bukan saja dalam menerima hak-haknya teteapi juga sekaligus yang harus
ia jalani. Dan ahliyatul wujud yang
sempurna ini tetap melekat pada diri manusia selama ia masih hidup. Dengan kata
lain nilai penting dari ahliyatul wujud
ini adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri manusia.
Dalam prakteknya ternyata dalam suatu kondisi hanya hak-hak saja yang dapat
direalisasikan, sementara kewajiban tidak dapat diwujudkan.
Dapat
disimpulkan bahwa, hubungan manusia dengan ahliyatul
wujud (kemampuan menerima hak dan kewajiban) adalah ahliyatul wujud yang kurang sempurna,
contohnya janin yang masih ada dalam kandungan ibunya; dan ahliyatul wujud yang sempurna, contohnya adalah orang yang sudah
dewasa.
b.
Hubungan manusia dengan ahliyatul ada’
Jika keadaan manusia
dihubungkan dengan kecakapan bertindak (ahliyatul
ada’) maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1) Adakalanya seseorang itu tidak mempunyai
ahliyatul ada’ sama sekali. Misalnya
anak-anak yang belum dewasa atau orang gila dan kurang berakal. Keadaan manusia
seperti yang disebutkan ini dipandang belum atau tidak mempunyai akal, sehingga
mereka tidak memiliki kecakapan untuk
berbuat. Dengan kata lain, ucapan-ucapan dan tingkah lakunya tidak disengaja
atau lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa seandainya orang yang dikategorikan
pada kelompok ini melakukan tindak pidana, seperti membunuh orang atau merusak
benda milik orang lain, mereka tidak dapat dikenakan sanksi/hukuman sacara
fisik kecuali dikenakan ganti rugi atas kerusakan barang orang lain tersebut.[17]
Inilah maksud dari fuqaha: “kesengajaan seorang anak atau orang gila adalah
ketersalahan”.[18]
2) Ada kalanya manusia memiliki ahliyatul ada’ yang kurang sempurna
yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak
kecil pada periode tamyiz (pandai
membedakan antara yang baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula
dengan orang gila, karena sesungguhnya orang gila adalah orang yang cacat
akalnya, bukan tidak berakal. Jadi hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz.[19]
Oleh karena itu, jika anak-anak yang mumayiz
melakukan transaksi dan apakah transaksi sah atau tidaknya, harus dilihat dari
tiga sisi: Pertama, dalam hal
transaksi-transaksi yang mengandung
manfaat seperti menerima hibah, shadaqah adalah sah dengan tidaknya perlu ada
izin dari walinya. Kedua, dalam hal
transaksi yang berhubungan dengan pemindahan hak milik, maka tindakan anak yang
mumayiz tersebut tidak sah, sekalipun
terdapat izin dari walinya. Ketiga, dalam
hal transaksi-transaksi yang mengandung unsur manfaat dan mengandung unsur
pemindahan hak milik, maka tindakan seorang mumayiz
adalah sah, jika ada izin dari walinya dan tidak sah jika tidak mendapat izin
dari walinya.
3) Adakalanya menusia memiliki ahliyatul
ada’ yang sempurna. Hubungannya disini adalah berkenaan dengan orang yang
telah dewasa. Dalam hukum Islam kedewasaan seseorang di ukur dengan kemampuan
akalnya. Dengan kata lain, akal merupakan dasar penetapan kedewasaan seseorang dalam
kaitannya dengan taklif. Artinya, apabila seorang belum berakal atau tidak
sempurna akalnya, maka taklif tidak dapat diberlakukan kepadanya. Cara
menetapkan kedewasaan seorang anak dan ciri-cirinya: Pertama, dengan memperhatikan ciri-ciri kedewasaan, misalnya bagi
anak-anak putri jika mereka telah datang menstruasi (haid) maka mereka ditetapkan atau dipandang telah dewasa. Bagi
anak putra mereka ditetapkan atau dipandang dewasa bila mereka telah bermimpi (ihtilam). Kedua, dengan tercapainya umur tertentu. Jika penetapan kedewasaan
seseorang sulit ditentukan dengan cara pertama, maka ditempuh dengan pencapaian
usia. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat bahwa, anak laki-laki dewasa
pada umur 18 tahun dan anak perempuan 17 tahun. Sementara kalangan Syafeiyah
dan Hambaliah, kedewasaan itu diukur dengan tercapainya umur 15 tahun baik
laki-laki dan perempuan.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hubungan manusia dengan ahliyatul ada’ adalah orang yang tidak
mempunyai ahliyatul ada’ sama sekali,
contohnya orang gila; orang yang memiliki ahliyatul
ada’ yang kurang sempurna, contohnya orang yang pintar namun belum baligh;
dan orang yang memiliki ahliyatul ada’
yang sempurna layaknya orang dewasa.
4.
Hal-hal yang Menghalangi Kecakapan Bertindak
Dalam
istilah Ushul Fiqh hal-hal yang dapat menghalangi kecakapan bertindak disebut
dengan ”awarid ahliyah”. Dalam kaitan
ini, hal yang dapat menghalangi
kecakapan bertindak seseorang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu bersifat
Samawiyah dan Kasabiyah.
‘Awarid ahliyah
yang bersifat samawiyah adalah
hal-hal yang berada di luar kemampuan dan kehendak manusia. Artinya bersifat
fitri dan tidak dapat diprediksi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah
sebagai berikut:
(a) Keadaan belum dewasa (anak-anak);
(b) Sakit gila;
(c) Kurang akal (bodoh dan idiot);
(d) Tertidur;
(e) Lupa;
(f) Sakit;
(g) Menstruasi;
(h) Nifas;
(i) Wafat.
Kemudian
yang dikategorikan dengan ‘awarid
kasabiyah adalah halangan-halangan yang pada dasarnya berasal dari
perbuatan atau usaha manusia itu sendiri. Dengan kata lain halangan kasabiyah ini merupakan akibat perbuatan
manusia itu sendiri, sehingga menghalangi atau mengurangi kemampuan untuk
bertindak. Yang termasuk dalam kategori kasabiyah adalah:
(a) Boros;
(b) Mabuk karena meminum arak atau
sejenisnya;
(c) Bepergian;
(d) Lalai;
(e) Bergurau (canda dan main-main);
(f) Bodoh (kurang mengetahui);
(g) Terpaksa.[20]
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hal-hal yang menghalangi kecakapan
bertindak adalah ‘awarid ahliyah yang
bersifat samawiyah seperti:
anak-anak, sakit gila, kurang akal, tertidur, lupa, menstruasi, nifas, wafat;
dan ‘awarid kasabiyah seperti: boros,
mabuk, bergurau, bodoh, terpaksa.
C.
SIMPULAN
Makhkum ‘Alaih
adalah seorang mukhalaf yang dikenai sanksi hukum atas segala perbuatannya.
Syarat-syarat
makhum ‘alaih:
a. Mampu memahami khitab Allah.
b. Mampu bertindak hukum.
Hal-hal
yang menghalangi kecakapan bertindak:
a. ‘Awarid
ahliyah yang bersifat samawiyah:
1) Keadaan belum dewasa (anak-anak);
2) Sakit gila;
3) Kurang akal (bodoh dan idiot);
4) Tertidur;
5) Lupa;
6) Sakit;
7) Menstruasi;
8) Nifas;
9) Wafat
b. ‘Awarid
ahliyah yang kasabiyah:
1) Boros;
2) Mabuk karena meminum arak atau
sejenisnya;
3) Bepergian;
4) Lalai;
5) Bergurau (canda dan main-main);
6) Bodoh (kurang mengetahui);
7) Terpaksa.
REFERENSI
Hanafi. 1980. Usul
Fiqh. Jakarta Pusat: PT Bumirestu Jakarta.
Romli.
2006. Ushul Fiqh 1 (Metodologi Penerapan
Hukum Islam). Palembang: IAIN Raden Fatah Press.
Syafe’i , Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
Wahab
Khallaf, Abdul. 1994. Ilmu
Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang (Toha Putra Group).
[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh untuk UIN, STAIN, PTAIS. (Bandung:
Pustaka Setia, 2010). Hal: 334
[2] Romli, Ushul Fiqh 1 (Metodologi Penerapan Hukum
Islam), (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006). Hal: 23
[3] Hanafi, Usul Fiqh, (Jakarta Pusat: PT Bumirestu
Jakarta, 1980). Hal: 25
[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh. (Semarang: Dina Utama
Semarang (Toha Putra Group), 1994). Hal:199
[5] Romli, op cit. Hal: 24
[6] Abdul Wahab Khallaf, Op Cit. Hal: 199-200
[7] Qur’an in Word Ver 1,3.
Created by Mohamad Taufiq.
[8] Abdul Wahab Khallaf, op cit. Hal: 199-200
[9] Romli, Op Cit. Hal: 24
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit. Hal: 201
[11] Romli, Op cit. Hal: 24
[12] Hanafie, Op Cit. Hal:25
[13] Romli, op cit. Hal: 24
[14] Hanafie, op cit. Hal: 26-27
[15] Romli, op cit. Hal: 25
[16] Abdul Wahhab Khallaf, op cit. Hal: 202
[17] Romli, op cit. Hal: 25
[18] Abdul Wahhab Khallaf, op cit. Hal: 204
[19] Abdul Wahhab Khallaf, op cit. Hal: 204
[20] Romli, Op Cit. Hal: 27-28