Sejarah
Perkembangan Fiqh Siyasah
Sebagai ilmu kenegaraan fiqh siyasah antara lain
membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan siapa pelaksana kekuasaan, apa
dasar dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan yang
diberikan kepadannya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan mempertanggung
jawabkan kekuasaannya. Dalam fiqh siyasah pemerintah bisa menetapkan
suatu hukum yang secara tegas tidak diatur oleh nash, tetapi berdasarkan
kemaslahatan dibutuhkan oleh manusia. Untuk kasus Indonesia, misalnya keluarnya
UU No. 1/1974 tentang perkawinan, UU No. 2/1989 tentang sistem Pendidikan
Nasional dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai
bagian dari siyasah syari’ah pemerintah Indonesia. Dengan undang-undang
tersebut, umat Islam diberikan fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan
institusi keagamaan mereka dalam rangka pelaksanaan dan penerapan hukum Islam
itu sendiri. Disamping itu, kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dengan
berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia juga merupakan bagian dari praktik fiqh
siyasah yang bertujuan untuk mengangkat taraf kehidupan umat Islam menjadi
lebih baik.
Setelah masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali muncul
kembali kekuasaan qabilah padang pasir, seperti kekuasaan yang berlaku pada
zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. hanya saja bentuknya lebih besar dan lebih
terorganisir didalam sistem kerajaan. Sekalipun namanya kekhalifahan Umayyah
dan Abbasiyah, namun sistem yang dianut bukan sistem kekhalifahan sebagaimana pada masa Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali melainkan sistem dinasti, yaitu kekuasaan yang dipegang oleh
keturunan Umayyah dan Abbasiyah. Secara individual, perlu diakui adanya
khalifah-khalifah yang bijaksana, arif, adil, jujur dan memiliki kepedulian
yang tinggi dalam menyejahterakan rakyatnya seperti yang telah dilakukan oleh
Umar bin Abdul Aziz dan Harun al-Rasyid. Kebikan-kebijakan para penguasa
dirancang, dibuat, dan dilaksanakan untuk memenuhi hajat hidup masyarakat agar
semakin meningkat. Hal ini merupakan akibat langsung dari perluasan kekuasaan
politik umat Islam. Oleh sebab itu, fiqh siyasah syari’ah sebagai sebuah
disiplin keilmuan mengalami perkembangan pesat. Dalam sejarah Islam
perkembangan fiqh siyasah dapat dibagi menjadi tiga periode, 1) Periode Klasik
(661-1258 M); 2) Periode Pertengahan abad 13-19 M; dan 3) Masa Modern abad 20
sampai sekarang.
1.
Periode Klasik
Pada masa Bani Umayyah (661 M.-750 M.) dan Bani Abbasiyah (750 M. –
1258 M.). Islam memegang kekuasaan dan memiliki pengaruh yang signifikan
dipentas internasional. Pada masa Umayyah mengarahkan kebijakan expansi
(pengembangan wilayah kekuasaan Islam) sebagai ajang dakwah. Pada saat ini
terdapat partai oposisi seperti syi’ah, khawarij, akan tetapi tidak mempunyai
pengaruh yang berarti.
Pada masa Abbasiyah, ada Ulama Sunny yang mulai menulis tentang
siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi’ menekankan wajib secara mutlak, rakyat patuh terhadap
khalifah. Ia digambarkan sebagai khalifah yang adil, bijak dan mampu memberi
kesejahteraan pada rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata “kota dan negara”,
merupakan kerja sama antar manusia yang membentuk negara tersebut. Imam
al-Ghazali (1058-1111M.) dalam bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyetujui
teori tersebut dan mengomentari bahwa misi kepala negara adalah suci (qudus).
Berbeda dengan komentar al-Mawardi (975-1059 M.) bahwa memecat kepala negara
mungkin terjadi. Ia mengemukakan teori “kontrak sosial”. Mengangkat kepala
negara adalah proses kontrak sosial. Para tokoh pada masa ini:
a)
Ibn
Abi Rabi’ menulis buku tentang tata negara: “Suluk al-Malik fi Tadbir
al-Mamalik” (pada masa Abbasiyah).
b)
Imam
al-Ghazali menulis: “Al-Iqtishad fi al-I’tiqad”. Kepala negara adalah suci (qudus).
c)
Al-Farabi
(870-950 M.); sebagai filosof, pemikirannya bersifat idealis yang cenderung
utopis. Dipengaruhi filsafat Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles.
Karyanya berjudul: “Ara Ahl al-Madinag al-Fadhilah” (Pandangan Para Penghuni
Negara Utama). Al-Farabi membagi kelas sosial menjadi tiga yakni kelas
pemimpin, kelas militer dan kelas rakyat jelata. Kalangan sunny menganggap
bahwa imamiah adalah kewajiban syar’iy.
d)
Kalangan
Syiah mengembangkan teori: a) keutamaan ahlu bait; b) kema’suman imam, c)
kegaiban imam, terutama pada masa al-Mu’tamid (869-892 M.), sebagai imam yang
kedua belas. Muhammad al-Mahdi (873 M.) al-muntadhor = yang ditunggu-tunggu
kehadirannya kelak. Kalangan syi’ah juga pernah mendirikan kekuasaan di Baghdad
Bani Buwaihi dan Daulah Fathimiyyah di Mesir, yang lepas dari pengaruh
Abbasiyah.
e)
Kalangan
Khawarij, sikap ekstrim dan radikalnya tidak banyak berpengaruh dalam pentas
politik. Pemikiran mereka tidak banyak diadopsi. Tokoh mu’tazilah yang
mengadopsi salah satu teori mereka adalah Qadhi Abd al-Jabbar, menulis buku “Syarh
al-Ushul al-Khamsah” dan al-Mughni. Diantaranya pokok-pokok pemikirannya;
a) penegakan imamah (nasb al-imam) adalah bukan kewajiban syar’iy,
tetapi berdasarkan rasio. Sebab kepala negara bukan orang yang sempurna (tidak
seperti syi’ah) b) tidak harus dari suku Quraisy (seperti klaim sunny). Asal
memiliki kemampuan dan syarat yang cukup. Simpulan yang mendasar terhadap
kajian politik masa ini adalah; a) politik dipengaruhi oleh kepentingan
golongan b) dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan asing.
2.
Periode Pertengahan
Tahun
1258 kekuasaan Abbasiyah mengalami kehancuran dari serangan Mongol di Baghdad.
Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M.) menyaksikan kehancuran dunia Islam ketangan
Mongol. Ia kemudian menulis buku “al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’yi
wa al-Ra’iyyah” (Politik Islam dalam menata kebaikan/kemaslahatan penguasa
dan rakyat) dan Minhaj al-Sunnah,
berupa 4 jilid besar. Pokok-pokok pikirannya: a) nasb al-imam atau
mengangkat kepala negara bukan kewajiban syari’y tetapi merupakan kebutuhan
praktis b) tidak harus dari suku Quraisy tetapi harus al-imamah (jujur)
dan al-quwah (wibawa), sebagai syarat mutlak. Al-Quwah sebagai syarat yang utama karena kekuatannya
sangat berguna untuk umat Islam. Adapun al-amanah (jujur), dianggap
syarat kedua karena kesalehannya untuk dirinya sendiri, berbahaya untuk
rakyatnya. Jika jahat akan terpulang pada dirinya juga. c) kepala negara harus
mampu serangan dari luar. d) kepala negara adalah baying-bayang dari Tuhan.
Rakyat wajib taat kepadanya meskipun dzalim. Orang yang melakukan pemberontakan
kepadanya dianggap mati jahiliah (sia-sia). Pada masai ini kelompok syi’ah
menjadi oposisi yang merongrong kewibawahan negara. Karena itulah kitab yang
terakhir tersebut harus diterbitkan dari lingkup yang lebih luas diterbitkan.
Dari lingkup yang lebih luas, Islaam terjebit dengan adanya perang salib. Di
Spanyol umat Islam digerogoti Kristen. e) jika dikehendaki, dua pemerintah
dalam satu masa diperbolehkan (contoh negara protektorat, uni dan lain-lain).
Ibnu Khaldun dan Sunny (1332-1406 M.) menganggap syarat Qurasy (dalam
al-Hadits) sebagai seorang calon kepala negara bukan harga mati tergantung
kondisi, berlaku kontekstual. Karyanya adalah Muqaddimah. Pada saat ini kondisi
umat Islam sangat parah. Umat Islam di Spanyol diusir atau dipaksa masuk
kristen. Ia sebagai pelaku sejarah. Syaikh Waliyatul al-Dahlawi (1702 – 1762
M.); pokok pikirannya a). boleh membangkan kepala negara yang tiran dan dzalim
b). mengaggap pemerintah pasca khulafa rasyidin adalah tidak berbeda dengan
kerajaan Romawi dan Kaisar di Persia.
3.
Periode Moderen
Dunia Islam semakin lemah, hampir seluruh negeri dibawah penjajahan
bangsa-bangsa Barat. Para koloni ini mengembangkan gagasan politik dan
budayanya yang memiliki pengaruh sekularisme ditengah-tengah umat Islam. Dunia
Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki,
Mughal di India dan Safawi di Persia (1700 – 1800 M.), tidak mampu menandingi keunggulan
Barat dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
Mengahadapi penetrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir
Islam; a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan
secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju
mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap,
untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada
sistem dari Nabi Muhammad Saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin. Sikap kedua
melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat
tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik
kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang
ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan
kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang
sampai dengan sekarang.
Diantara tokoh-tokoh aliran pertama adalah; M. Rasyid Ridha –
Libanon (1865-1935M), Hasan al-Banna (1906-1949M), Abu al-‘Ala
al-Maududi-Pakistan (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1966M) dan Ayatullah
Khomeini – Iran (1900-1989M). Mereka beranggapan ajaran Islam komplit.
Pemikiran Rasyid Ridha dalam kitab Al-Khilafat aw al-Imamah al-Udzma
diantaranya mengupas bahwa pimpinan (kepala negara) dari suku Quraisy, sama
seperti pemikir sunny klasik. Hasan al-Banna, terlihat dalam ceramah-ceramahnya
yang popular dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Temanya Sayyid Quthb
menyusun buku Al-A’dalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan Ma’alim fi Thariq.
Al-Maududi sebagai pimpinan partai “Jama’at el-Islam” di Pakistan
menulis buku Islamic Law and Constitution. Khomeini mengembangkan
gagasan syi’ahnya dalam politik dengan konsep imamiyahnya dalam Wilayat
al-Faqih. Menurutnya imam masih ghaib, kepemimpinan umat Islam (Syi’ah)
dipegang oleh ahli agama yang mempunyai kekuasaan agama dan politik. Secara
umum mereka mendambakan negara universal yang mampun menyatukan seluruh dunia
Islam. Ridha menyebutnya negara khilafah, Quthb menamakannya negara
supranasional, sedangkan al-Maududi menyebutnya negara universal yang mirip
negara fasis (penentang ajaran marxis = antimarxis). Mereka memandang Barat
sebagai musuh Islam. Segala sesuatu yang datang dari Barat harus ditolak,
karena tidak sesuai dengan budaya Islam. Khomeini amat membenci Barat, Amarika
dijuluki setan besar.
Tokoh-tokoh aliran kedua diantarannya ‘Ali ‘Abd al-Raziq
(1888-1966M), Thaha Husain (1889-1973 M). Masing-masing dari Mesir dan Mustafa
Kamal Atturk. ‘Ali ‘Abd al-Raziq memandang bahwa Islam tidak memiliki aturan
politik. Nabi hanya sebagai Rasul Allah, tidak berpretensi untuk membentuk
negara dan politik. Karyanya yang kontroversi Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Taha
menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr. Ia beranggapan, jika Mesir ingin maju,
harus mencontoh Barat. Mustafa Kamal terlalu mencontoh Barat. Ia melakukan
sekularisasi besar-besaran. Aksara Arab diganti latin, Adzan diganti dengan
bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat dan menghapus lembaga-lembaga
keagamaan yang pernah ada disana. Tokoh aliran ketiga M. Abduh (1849-1905M), M.
Iqbal (1877-1938M), M. Husin Haykal (1888-1905 M), M. Iqbal (1977-1959M),
Muhammad Natsir (1908-1993M) dan Fazlur Rahman. Abduh menganggap bahwa kepala
negara bukan wakil Tuhan, tetapi pemimpin politik, karena tidak memiliki
kekuasaan keagamaan, seperti pandangan kristen. pandangan ini diikuti oleh
Haykal Murid Abduh. Ia menganggap bahwa pengamalan agama harus diawasi oleh
penguasa. Haykal menulis Al-Hukumah al-Islamiyyah. Diantara isinya; a). Islam
tidak mengatur secara mendetail tentang kenegaraan secara baku, hanya memuat
prinsip-prinsip dasar saja. b). umat Islam dibebaskan untuk menganut sistem
pemerintahan. Disesuaikan kondisi masing-masing. Iqbal menulis buku The
Reconstruction of Religious Thought in Islam. a). ia menerima konsep
sosialis, karena tidak bertentangan secara prinsip dengan Islam. b).
Komunisme-Ateisme bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. c). Demokrasi
tidak memiliki landasan secara vertical kepada Allah, seperti tercermin dari
karyanya Implementation of the
Islamic Concept of State in the Pakistan Milleu. Di Indonesia salah satunya
M. Natsir; a). Islam berbeda dengan agama lain, mengandung pertauran dan
hukum-hukum kenegaraan. b). Islam tidak memberi ketentuan yang baku tentang
kenegaraan. Tokoh lain diatas antara lain Ab al-Wahhab Khalaf, menulis
Al-Siyasah Fiqh al-Syar’iyyah. Yusuf al-Qardhawi menulis Min Fiqh al-Dawlah
fi al-Islam, Abu Zahrah; Al-Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam, Muhammad
Yusuf Musa menulis Nizham al-Hukum fi al-Islam. ‘Ali Ali Manshur menulis
buku al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun Al-Diblumasiyah al-Islamiyah serta
Wahbah al-Zuhaili menulis Atsar al-harb fi al-Faqih al-Islam.
Kajian-kajian tersebut tentu saja menambah hazanah fiqh siyasah. Di Indonesia
sekalipun Islam tidak merupakan dominasi pemenangan agama secara formal tetapi
ia merupakan salah satu sumber hukum bagi pembentukan hukum nasional. Pada
kurun waktu terakhir, secara material dan formal pelaksanaan hukum perdata bagi
umat Islam, sudah diatur berdasarkan hukum Islam, yang diturunkan dari syari’at
hukum Islam.