Thursday 8 September 2016

Sejarah Perkembangan Fiqh Siyasah

Sejarah Perkembangan Fiqh Siyasah

Sebagai ilmu kenegaraan fiqh siyasah antara lain membicarakan tentang siapa sumber kekuasaan siapa pelaksana kekuasaan, apa dasar dan bagaimana cara-cara pelaksana kekuasaan menjalankan kekuasaan yang diberikan kepadannya dan kepada siapa pelaksana kekuasaan mempertanggung jawabkan kekuasaannya. Dalam fiqh siyasah pemerintah bisa menetapkan suatu hukum yang secara tegas tidak diatur oleh nash, tetapi berdasarkan kemaslahatan dibutuhkan oleh manusia. Untuk kasus Indonesia, misalnya keluarnya UU No. 1/1974 tentang perkawinan, UU No. 2/1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama dapat dikatakan sebagai bagian dari siyasah syari’ah pemerintah Indonesia. Dengan undang-undang tersebut, umat Islam diberikan fasilitas dan kesempatan untuk mengembangkan institusi keagamaan mereka dalam rangka pelaksanaan dan penerapan hukum Islam itu sendiri. Disamping itu, kebijakan pemerintah dibidang ekonomi dengan berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia juga merupakan bagian dari praktik fiqh siyasah yang bertujuan untuk mengangkat taraf kehidupan umat Islam menjadi lebih baik.
Setelah masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali muncul kembali kekuasaan qabilah padang pasir, seperti kekuasaan yang berlaku pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. hanya saja bentuknya lebih besar dan lebih terorganisir didalam sistem kerajaan. Sekalipun namanya kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, namun sistem yang dianut bukan sistem kekhalifahan  sebagaimana pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali melainkan sistem dinasti, yaitu kekuasaan yang dipegang oleh keturunan Umayyah dan Abbasiyah. Secara individual, perlu diakui adanya khalifah-khalifah yang bijaksana, arif, adil, jujur dan memiliki kepedulian yang tinggi dalam menyejahterakan rakyatnya seperti yang telah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Harun al-Rasyid. Kebikan-kebijakan para penguasa dirancang, dibuat, dan dilaksanakan untuk memenuhi hajat hidup masyarakat agar semakin meningkat. Hal ini merupakan akibat langsung dari perluasan kekuasaan politik umat Islam. Oleh sebab itu, fiqh siyasah syari’ah sebagai sebuah disiplin keilmuan mengalami perkembangan pesat. Dalam sejarah Islam perkembangan fiqh siyasah dapat dibagi menjadi tiga periode, 1) Periode Klasik (661-1258 M); 2) Periode Pertengahan abad 13-19 M; dan 3) Masa Modern abad 20 sampai sekarang.
1.   Periode Klasik
Pada masa Bani Umayyah (661 M.-750 M.) dan Bani Abbasiyah (750 M. – 1258 M.). Islam memegang kekuasaan dan memiliki pengaruh yang signifikan dipentas internasional. Pada masa Umayyah mengarahkan kebijakan expansi (pengembangan wilayah kekuasaan Islam) sebagai ajang dakwah. Pada saat ini terdapat partai oposisi seperti syi’ah, khawarij, akan tetapi tidak mempunyai pengaruh yang berarti.
Pada masa Abbasiyah, ada Ulama Sunny yang mulai menulis tentang siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi’ menekankan wajib secara mutlak, rakyat patuh terhadap khalifah. Ia digambarkan sebagai khalifah yang adil, bijak dan mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata “kota dan negara”, merupakan kerja sama antar manusia yang membentuk negara tersebut. Imam al-Ghazali (1058-1111M.) dalam bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyetujui teori tersebut dan mengomentari bahwa misi kepala negara adalah suci (qudus). Berbeda dengan komentar al-Mawardi (975-1059 M.) bahwa memecat kepala negara mungkin terjadi. Ia mengemukakan teori “kontrak sosial”. Mengangkat kepala negara adalah proses kontrak sosial. Para tokoh pada masa ini:
a)     Ibn Abi Rabi’ menulis buku tentang tata negara: “Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” (pada masa Abbasiyah).
b)     Imam al-Ghazali menulis: “Al-Iqtishad fi al-I’tiqad”. Kepala negara adalah suci (qudus).
c)     Al-Farabi (870-950 M.); sebagai filosof, pemikirannya bersifat idealis yang cenderung utopis. Dipengaruhi filsafat Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles. Karyanya berjudul: “Ara Ahl al-Madinag al-Fadhilah” (Pandangan Para Penghuni Negara Utama). Al-Farabi membagi kelas sosial menjadi tiga yakni kelas pemimpin, kelas militer dan kelas rakyat jelata. Kalangan sunny menganggap bahwa imamiah adalah kewajiban syar’iy.
d)     Kalangan Syiah mengembangkan teori: a) keutamaan ahlu bait; b) kema’suman imam, c) kegaiban imam, terutama pada masa al-Mu’tamid (869-892 M.), sebagai imam yang kedua belas. Muhammad al-Mahdi (873 M.) al-muntadhor = yang ditunggu-tunggu kehadirannya kelak. Kalangan syi’ah juga pernah mendirikan kekuasaan di Baghdad Bani Buwaihi dan Daulah Fathimiyyah di Mesir, yang lepas dari pengaruh Abbasiyah.
e)     Kalangan Khawarij, sikap ekstrim dan radikalnya tidak banyak berpengaruh dalam pentas politik. Pemikiran mereka tidak banyak diadopsi. Tokoh mu’tazilah yang mengadopsi salah satu teori mereka adalah Qadhi Abd al-Jabbar, menulis buku “Syarh al-Ushul al-Khamsah” dan al-Mughni. Diantaranya pokok-pokok pemikirannya; a) penegakan imamah (nasb al-imam) adalah bukan kewajiban syar’iy, tetapi berdasarkan rasio. Sebab kepala negara bukan orang yang sempurna (tidak seperti syi’ah) b) tidak harus dari suku Quraisy (seperti klaim sunny). Asal memiliki kemampuan dan syarat yang cukup. Simpulan yang mendasar terhadap kajian politik masa ini adalah; a) politik dipengaruhi oleh kepentingan golongan b) dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan asing.
2.   Periode Pertengahan
Tahun 1258 kekuasaan Abbasiyah mengalami kehancuran dari serangan Mongol di Baghdad. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M.) menyaksikan kehancuran dunia Islam ketangan Mongol. Ia kemudian menulis buku “al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’yi wa al-Ra’iyyah” (Politik Islam dalam menata kebaikan/kemaslahatan penguasa dan rakyat) dan  Minhaj al-Sunnah, berupa 4 jilid besar. Pokok-pokok pikirannya: a) nasb al-imam atau mengangkat kepala negara bukan kewajiban syari’y tetapi merupakan kebutuhan praktis b) tidak harus dari suku Quraisy tetapi harus al-imamah (jujur) dan al-quwah (wibawa), sebagai syarat mutlak. Al-Quwah  sebagai syarat yang utama karena kekuatannya sangat berguna untuk umat Islam. Adapun al-amanah (jujur), dianggap syarat kedua karena kesalehannya untuk dirinya sendiri, berbahaya untuk rakyatnya. Jika jahat akan terpulang pada dirinya juga. c) kepala negara harus mampu serangan dari luar. d) kepala negara adalah baying-bayang dari Tuhan. Rakyat wajib taat kepadanya meskipun dzalim. Orang yang melakukan pemberontakan kepadanya dianggap mati jahiliah (sia-sia). Pada masai ini kelompok syi’ah menjadi oposisi yang merongrong kewibawahan negara. Karena itulah kitab yang terakhir tersebut harus diterbitkan dari lingkup yang lebih luas diterbitkan. Dari lingkup yang lebih luas, Islaam terjebit dengan adanya perang salib. Di Spanyol umat Islam digerogoti Kristen. e) jika dikehendaki, dua pemerintah dalam satu masa diperbolehkan (contoh negara protektorat, uni dan lain-lain). Ibnu Khaldun dan Sunny (1332-1406 M.) menganggap syarat Qurasy (dalam al-Hadits) sebagai seorang calon kepala negara bukan harga mati tergantung kondisi, berlaku kontekstual. Karyanya adalah Muqaddimah. Pada saat ini kondisi umat Islam sangat parah. Umat Islam di Spanyol diusir atau dipaksa masuk kristen. Ia sebagai pelaku sejarah. Syaikh Waliyatul al-Dahlawi (1702 – 1762 M.); pokok pikirannya a). boleh membangkan kepala negara yang tiran dan dzalim b). mengaggap pemerintah pasca khulafa rasyidin adalah tidak berbeda dengan kerajaan Romawi dan Kaisar di Persia.
3.   Periode Moderen
Dunia Islam semakin lemah, hampir seluruh negeri dibawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Para koloni ini mengembangkan gagasan politik dan budayanya yang memiliki pengaruh sekularisme ditengah-tengah umat Islam. Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700 – 1800 M.), tidak mampu menandingi keunggulan Barat dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi. Mengahadapi penetrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam; a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin belajar dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus setuju mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa ajaran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan manusia termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari Nabi Muhammad Saw. dan al-Khulafa al-Rasyidin. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam hanya menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang sampai dengan sekarang.
Diantara tokoh-tokoh aliran pertama adalah; M. Rasyid Ridha – Libanon (1865-1935M), Hasan al-Banna (1906-1949M), Abu al-‘Ala al-Maududi-Pakistan (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1966M) dan Ayatullah Khomeini – Iran (1900-1989M). Mereka beranggapan ajaran Islam komplit. Pemikiran Rasyid Ridha dalam kitab Al-Khilafat aw al-Imamah al-Udzma diantaranya mengupas bahwa pimpinan (kepala negara) dari suku Quraisy, sama seperti pemikir sunny klasik. Hasan al-Banna, terlihat dalam ceramah-ceramahnya yang popular dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Temanya Sayyid Quthb menyusun buku Al-A’dalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan Ma’alim fi Thariq. Al-Maududi sebagai pimpinan partai “Jama’at el-Islam” di Pakistan menulis buku Islamic Law and Constitution. Khomeini mengembangkan gagasan syi’ahnya dalam politik dengan konsep imamiyahnya dalam Wilayat al-Faqih. Menurutnya imam masih ghaib, kepemimpinan umat Islam (Syi’ah) dipegang oleh ahli agama yang mempunyai kekuasaan agama dan politik. Secara umum mereka mendambakan negara universal yang mampun menyatukan seluruh dunia Islam. Ridha menyebutnya negara khilafah, Quthb menamakannya negara supranasional, sedangkan al-Maududi menyebutnya negara universal yang mirip negara fasis (penentang ajaran marxis = antimarxis). Mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Segala sesuatu yang datang dari Barat harus ditolak, karena tidak sesuai dengan budaya Islam. Khomeini amat membenci Barat, Amarika dijuluki setan besar.
Tokoh-tokoh aliran kedua diantarannya ‘Ali ‘Abd al-Raziq (1888-1966M), Thaha Husain (1889-1973 M). Masing-masing dari Mesir dan Mustafa Kamal Atturk. ‘Ali ‘Abd al-Raziq memandang bahwa Islam tidak memiliki aturan politik. Nabi hanya sebagai Rasul Allah, tidak berpretensi untuk membentuk negara dan politik. Karyanya yang kontroversi Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Taha menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr. Ia beranggapan, jika Mesir ingin maju, harus mencontoh Barat. Mustafa Kamal terlalu mencontoh Barat. Ia melakukan sekularisasi besar-besaran. Aksara Arab diganti latin, Adzan diganti dengan bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat dan menghapus lembaga-lembaga keagamaan yang pernah ada disana. Tokoh aliran ketiga M. Abduh (1849-1905M), M. Iqbal (1877-1938M), M. Husin Haykal (1888-1905 M), M. Iqbal (1977-1959M), Muhammad Natsir (1908-1993M) dan Fazlur Rahman. Abduh menganggap bahwa kepala negara bukan wakil Tuhan, tetapi pemimpin politik, karena tidak memiliki kekuasaan keagamaan, seperti pandangan kristen. pandangan ini diikuti oleh Haykal Murid Abduh. Ia menganggap bahwa pengamalan agama harus diawasi oleh penguasa. Haykal menulis Al-Hukumah al-Islamiyyah. Diantara isinya; a). Islam tidak mengatur secara mendetail tentang kenegaraan secara baku, hanya memuat prinsip-prinsip dasar saja. b). umat Islam dibebaskan untuk menganut sistem pemerintahan. Disesuaikan kondisi masing-masing. Iqbal menulis buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. a). ia menerima konsep sosialis, karena tidak bertentangan secara prinsip dengan Islam. b). Komunisme-Ateisme bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. c). Demokrasi tidak memiliki landasan secara vertical kepada Allah, seperti tercermin dari karyanya Implementation  of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milleu. Di Indonesia salah satunya M. Natsir; a). Islam berbeda dengan agama lain, mengandung pertauran dan hukum-hukum kenegaraan. b). Islam tidak memberi ketentuan yang baku tentang kenegaraan. Tokoh lain diatas antara lain Ab al-Wahhab Khalaf, menulis Al-Siyasah Fiqh al-Syar’iyyah. Yusuf al-Qardhawi menulis Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, Abu Zahrah; Al-Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam, Muhammad Yusuf Musa menulis Nizham al-Hukum fi al-Islam. ‘Ali Ali Manshur menulis buku al-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qanun Al-Diblumasiyah al-Islamiyah serta Wahbah al-Zuhaili menulis Atsar al-harb fi al-Faqih al-Islam. Kajian-kajian tersebut tentu saja menambah hazanah fiqh siyasah. Di Indonesia sekalipun Islam tidak merupakan dominasi pemenangan agama secara formal tetapi ia merupakan salah satu sumber hukum bagi pembentukan hukum nasional. Pada kurun waktu terakhir, secara material dan formal pelaksanaan hukum perdata bagi umat Islam, sudah diatur berdasarkan hukum Islam, yang diturunkan dari syari’at hukum Islam.

loading...