Pencurian (Sariqoh) |
A.
Pengertian Pencurian
Kata pencurian
berasal dari bahasa Arab al-Sariqoh. Dalam ensiklopedi fiqh:
السرقة هى اخذ مال لا حق له فيه من خفيه
“Sariqoh adalah mengambil suatu harta yang tidak ada hak baginya
dari tempat penyimpanan.”
Abdul Qadir
Audah mendefinisikan pencurian sebagai tindakan mengambil harta orang lain
dalam keadaan sembunyi-sembunyi, yang dimaksudkan dengan mengambil harta orang
lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa sepengetahuan dan
kerelaan pemiliknya.[1]
B.
Unsur-Unsur Pencurian
Dari definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh diatas, maka ada
empat unsur yang harus dipenuhi, sehingga tindakan pengambilan harta orang lain
tersebut sebagai tindakan pidana pencurian, keempat unsur itu adalah:
1. Pengambilan itu dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi.
Artinya, pencurian dilakukan tanpa sepengetahuan pemilik barang dan pemilik
barang tidak rela dengan pengambilan barangnya itu. Misalnya, pencurian barang
itu dilakukan ketika pemilik tidak ada atau pemiliknya sedang tidur.
Pengambilan barang tersebut, menurut Abdul Qadir Audah, harus bersifat sempurna
dan memenuhi tiga syarat, yaitu:
a. Pencuri mengambil barang curian dari tempat pemeliharannya.
b. Barang yang dicuri itu lepas dari penguasaan pemiliknya, dan
c. Barang yang dicuri itu berada dalam kekuasaan pencuri.
2. Yang dicuri itu bernilai harta
Ulama
fiqh mengemukakan bahwa harta yang dicuri itu harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:[2]
a. Harta
yang dicuri itu adalah harta bergerak, karena pencurian itu menghendaki
pemindahan harta yang dicuri dari tempat dan penguasaan pencuri. Hal ini hanya
dilakukan terhadap harta bergerak atau harta itu menjadi harta menjadi harta
bergerak disebabkan perbuatan pencuriannya. Misalnya, rumah termasuk harta yang
tidak bergerak. Tetapi, apabila pencuri melepaskan ubin-ubinya, jendela,
kusen-kusen rumah itu, atau kaca-kaca jendelanya, lalu ia ambil, maka termasuk
kedalam kategori benda bergerak disebabkan perbuatan pencuri. Adapun terhadap
tanah, sebagai benda tidak bergerak, dapat juga dicuri apabila yang dicuri
adalah sertifikat tanah tersebut, sehingga penguasaan tanah itu berpindah
tangan dari pemiliknya kepada pencuri.
b.
Harta
yang dicuri itu bernilai harta menurut syara’.
c.
Harta
itu terpelihara ditempat yang aman, seperti didalam rumah. Sifat pemeliharaan
itu ada dua macam, yaitu pemeliharaan yang bersifat tempat dan pemeliharaan dengan
adanya penjaga yang bertanggung jawab, seperti satpam.
Pemeliharaan
harta yang bersifat tempat itu benar-benar dikhususkan untuk harta tersebut,
sehingga untuk memasukinya seseorang harus meminta izin kepada pemiliknya,
seperti rumah, perkemahan, hotel, kandang, dan lumbung padi. Untuk
tempat-tempat seperti ini, menurut Imam Abu Hanifah, dihukumkan sebagai tempat
terpelihara dan aman, sekalipun pintunya terbuka. Imam Malik mengatakan, tempat
pemeliharaan itu tidak mesti berupa bangunan yang dikhususkan tempat harta itu,
tetapi cukup dengan menjadikan tempat itu sebagai tempat yang biasa dalam
penyimpangan barang. Menurut Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, tempat
pemeliharaan yang bersifat tempat harus tertutup dan biasanya menjadi tempat
pemeliharaan harta, serta berada dalam bangunan perkampungan penduduk, seperti
rumah, hotel, dan took-toko. Apabila pintu bangunan itu terbuka, maka mereka
berpendapat tidak termasuk tempat yang terpelihara secara aman. Adapun
pemeliharaan harus melalui seseorang yang bertanggung jawab untuk itu, menurut
Imam Hanifah, ditentukan untuk tempat-tempat yang biasanya tidak terjaga dengan
aman, seperti masjid dan jalan umum. Oleh sebab itu, tempat-tempat seperti ini perlu
ada seorang pengaman yang bertanggung jawab. Apabila pada tempat-tempat seperti
ini ada penjaganya, lalu seseorang mengambil harta yang ada disitu, maka
menurut Imam Abu Hanifah dikenakan hukuman pencurian. Kalau tempat harta itu
memang tempat penyimpanan khusus, maka tidak diperlukan adanya orang yang
bertanggung jawab menjaga tempat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, tempat
harta itu bisa merupakan tempat tersendiri, tanpa penjaga, tetapi juga bisa
ditempatnya sudah tersendiri khusus, juga ada penjaganya.
d.
Harta
yang dicuri itu bernilai satu nishab.
كان رسول الله صلّ الله عليه وسلّم ... تقطع يد السارق فى ربع دينار
فصاعدا
“Rasulullah Saw. memotong tangan pencuri yang mencuri harta
senilai seperempat dinar lebih.”
(HR. al-Jamaah).[3]
لا تقطع يد السارق ألّا فى ربع دينار فصاعدا
“Tidak dipotong
tangan pencuri, kecuali apabila (ia mencuri harta senilai) seperempat dinar
lebih.” (HR. Ahmad).[4]
Berdasarkan
hadits-hadits Rasulullah Saw. ini maka jumhur ulama menyatakan bahwa harta yang
dicuri itu harus mempunyai jumlah tertentu. Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat dalam menetapkan nilai harta yang dicuri tersebut. Ulama Mazhab Maliki
mengatakan bahwa nilai harta yang dicuri itu harus tiga dirham dari perak atau
seperempat dinar dari emas. Menurut mereka, tiga dirham itu sama nilainya
dengan seperempat dinar. Apabila terjadi perbedaan nilai tukar dinar dengan
dirham, misalnya, seperempat dinar itu hanya dua dirham atau dua setengah
dirham, maka yang terjadi ukuran bagi mereka adalah tiga dirham perak, bukan
dinar. Dikalangan Mazhab Hambali ada dua pendapat. Pendapat pertama, yang dijadikan
ukuran itu adalah tiga dirham, sama dengan ulama Mazhab Maliki. Pendapat kedua,
mengatakan bahwa harta yang dijadikan ukuran apabila terjadi perbedaan nilai
seperempat dinar dengan tiga dirham adalah seperempat dinar dari emas.
3.
Harta
yang dicuri itu milik orang lain. Artinya, harta yang dicuri itu merupakan
milik orang lain ketika berlangsungnya pencurian.
Disamping
itu, apabila harta yang dicuri itu ada syibh al-milk (dianggap sebagai
pemilikan) bagi pencuri, seperti anak dianggap sebagai ikut memiliki harta
ayahnya atau mitra dagang sebagai pemilik harta serikat, maka ulama Mazhab
Hanafi, Syafi’I, Hambali dan Syi’ah, mengatakan pencuri itu tidak dikenakan
potong tangan, karena adanya unsur keraguan dalam masalah pemilikan harta itu
dalam kasus ini. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
أنت ومالك لأبيك
“… Engkau dan
harta engkau merupakan milik ayahmu …”
(HR. Abu Dawud).[5]
Oleh
sebab itu, anak yang mencuri harta ayahnya tidak dikenakan hukuman, mitra
dagang mencuri harta dagangan yang menjadi milik serikat, juga tidak dikenakan
hukuman, karena adanya syibh al-milkh. Ibnu Qudamah berpendapat orang
yang mencuri dari harta kongsinya dimana ia punya saham tidak dikenai potongan
tangan.[6]
Akan tetapi, ulama Mazhab Maliki, mengatakan apabila mitra dagang mencuri harta
serikat mereka mencapai satu nishab, dikenakan hukuman potong tangan.
4. Pencurian
itu dilakukan secara sengaja oleh pencuri. Maksudnya, pencuri itu meyakini
bahwa melakukan pencurian terhadap harta orang adalah perbuatan yang diharamkan
dan mengambil harta orang lain tanpa izin adalah pekerjaan yang dilarang. Oleh
sebab itu, apabila seseorang mengambil harta orang yang bersifat mubah, seperti
kayu dihutan belantara yang tidak dimiliki seseorang atau mengambil barang
bekas yang sudah dibuang orang, seperti pakaian using, maka tidak dikenakan
hukuman pencurian, karena barang-barang seperti ini termasuk barang-barang
mubah. Dalam kaitan ini, ulama fiqh juga mengatakan bahwa apabila orang yang
belum mukallaf seperti anak kecil dan orang gila mengambil harta orang lain
tidak dikenakan hukuman, karena mereka mengambilnya bukan karena suatu
kesengajaan dan tidak berkeyakinan bahwa perbuatan itu dilarang.
C.
Sanksi Pencurian
Pencurian dalam Islam merupakan perbuatan tindak pidana yang berat
dan dikenakan hukuman potong tangan apabila harta yang dicuri tersebut bernilai
satu nishab curian. Landasan hukum yang menyatakan hukuman potong tangan
ini adalah firman Allah SWT.:
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ
فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٞ (38)
.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Maidah: 38).[7]
Alasan lain adalah sabda Rasulullah Saw:
أِنما أهلك من
كان قبلكم انه أِذا سرق فيهم الشريف تركوه وأِذا سرق فيهم الضعيف قطعوه
“Kehancuran
umat terdahulu adalah disebabkan apabila yang mencuri adalah orang-orang
terhormat, mereka biarkan saja, sedangkan apabila yang mencuri rakyat biasa,
mereka potong tangannya.” (HR.
Al-Bukhori).[8]
Permasalahan lain yang akan dibahas ulama dalam hukuman pencurian
ini adalah apakah jika seseorang pencuri dinyatakan bersalah disamping
dikenakan hukuman potong tangan juga dikenakan hukuman ganti rugi. Ulama
sepakat apabila barang yang dicuri itu masih ada, maka disamping hukuman potong
tangan juga diwajibkan mengembalikan barang yang dicuri itu tidak ada lagi
(sudah habis), maka menurut ulama Mazhab Hanafi pencuri tidak diwajibkan
membayar ganti rugi. Alasannya adalah bahwa nas tidak membicarakan hukuman
ganti rugi lagi bagi pencuri. Disamping itu Rasulullah Saw. bersabda:
لا يغرم السارق
اذا اقيم عليه الحد
Ulama Mazhab Maliki mengatakan, jika yang mencuri itu seorang yang
berharta, disamping hukuman potong tangan juga dikenakan ganti rugi, sebagai
hukuman tambahan baginya. Jika pencurinya orang yang tidak punya harta, maka ia
dikenakan hukuman potong tangan saja. Adapun ulama Mazhab Syafi’I dan Hambali
berpendapat bahwa pencuri itu dikenakan hukuman potong tangan dan wajib
mengembalikan barang yang dicuri. Jika barang yang dicuri tersebut sudah habis,
maka pencuri itu wajib menggantinya dengan barang yang sama, dan jika barang
yang sama tidak ada dipasar ia wajib membayar ganti rugi senilai harga barang
yang dicuri.
Disamping itu, mereka juga berpendapat adanya hukuman tambahan lain
bagi pencuri, yaitu menggantungkan tangan yang dipotong tersebut dengan mengikatkannya
keleher sebagai hukuman takzir (hukuman tambahan dari hakim) alasannya mereka
adalah sebuah riwayat yang menyatakan:
أن النبي ص.م.
أتى سارق فقطعت يده ثم امر بها فعلقت فى عنقه
“Bahwa
seorang pencuri dibawa kehadapan Rasulullah Saw. lalu dipotong tangannya,
setelah itu Rasulullah Saw. mengikatkan tangan yang sudah dipotong itu keleher
pencuri.” (HR. At-Tarmizi).
Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa
mengikatkan tangan keleher itu hanya untuk menghindari agar darah jangan banyak
keluar, bukan sebagai hukuman tambahan.
D.
Penerapan Hukuman
Seseorang yang mencuri, baru dapat dikenakan hukuman apabila
memenuhi beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Pelaku
tindak pidana haruslah seorang yang baligh dan berakal, karena Rasuullah Saw.
menyatakan:
رفع القلم عن ثلاث عن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل وعن النائم
حتى يحتلم
“Pembebanan hukum diangkat dalam tiga hal,
yaitu anak kecil sampai ia mimpi, orang gila sampai ia sembuh, dan orang yang
tidur sampai ia bangun.” (HR.
Al-Bukhari).
Oleh sebab itu, orang yang belum cakap bertindak hukum tidak bisa
dikenakan hukuman pencurian. Disamping itu, ulama Mazhab Syafi’I dan Hambali
menambahkan syarat orang yang mencuri tersebut haruslah atas kesadaran sendiri,
bukan dipaksa orang lain.
2.
Harta
yang dicuri disyaratkan:
a.
Harta
yang dicuri itu adalah harta yang bernilai. Oleh sebab itu, jika yang dicuri tersebut
adalah barang yang tidak bernilai dalam Islam, seperti minuman keras
(tuak,dll), babi, dan mayat, tidaklah dikenakan hukuman pencurian. Hal ini
disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
b. Harta
yang dicuri tersebut mencapai satu nishab. Nishab barang curian
adalah senilai satu dinar atau sepuluh dirham menurut ulama Mazhab Hanafi, dan
seperempat dinar menurut jumhur ulama. Perbedaan pendapat ini muncul, menurut
Wahbah az-Zuhaili, karena perbedaan penafsiran tentang harga sebuah perisai
yang menjadi ukuran dipotongnya tangan seorang dizaman Rasulullah Saw. menurut
jumhur ulama, perisai tersebut seharga tiga dirham, dan tiga dirham itu adalah seperempat
dinar. Menurut ulama Mazhab Hanafi harga perisai itu 10 dirham, dan 10 dirham
menurut mereka sama dengan satu dinar. Jika dikurskan dengan nilai mata uang
sekarang, menurut Syauqi Ismai’il Syahatah, satu dinar tersebut terdiri atas
4,45714 gram emas (dibulatkan 4,5 gram emas). Dengan demikian, nishab
barang curian yang dikenakan hukuman potong tangan menurut jumhur ulama adalah
4,5 : 4 = 1,125 gram emas, dan menurut ulama Mazhab Hanafi senilai 4,5 gram
emas.
Persoalan lain yang dibahas ulama tentang nishab
barang curian tersebut. Menurut ulama Mazhab Hanafi,[10]
nilai barang curian tersebut harus tetap seharga 10 dirham sejak barang itu
dicuri sampai dilaksanakannya hukuman potong tangan. Apabila antara waktu
pencurian dengan waktu pelaksanaan hukuman barang curian itu berubah nilainya
(turun harganya) terdapat perbedaan pendapat dikalangan mereka, ada yang menyatakan
tetap berlaku hukuman pencurian, dan ada pula yang menyatakan hukuman pencurian
tidak bisa dilaksanakan karena nilai yang dicuri tidak satu nishab lagi.
Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal harga patokan yang
dijadikan dasar adalah harga barang ketika terjadi pencurian, bukan harga
ketika pelaksanaan hukuman.[11]
c. Barang
yang dicuri itu terpelihara secara aman, seperti barang-barang didalam rumah,
toko atau lemari.
d. Barang
yang dicuri tersebut berupa materi yang bisa dikuasai dan dihadirkan ketika
dibutuhkan.
e. Barang
yang dicuri tersebut bukan barang yang pada dasarnya sesuatu yang mubah
(dibolehkan diambil siapa saja), seperti burung yang terbang diudara, ikan
dilaut, rumput, dan kayu dihutan, kecuali yang harganya tinggi. Pendapat ini
dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanafi.[12]
Akan tetapi, bagi jumhur ulama semuanya itu termasuk benda yang dikenakan
hukuman pencurian jika terpelihara dengan baik dan mencapai satu nishab.
Pendapat ini mereka kemukakan, karena surat Al-Ma’idah (5) ayat 38, diatas
tidak membeda-bedakan harta tersebut.
f. Harta
yang dicuri tersebut bukan hak pencuri atau hak bersama masyarakat, seperti
mushaf Al-Qur’am yang ada dimasjid dan harta orang kafir harbi.
g.
Orang
yang mencuri bukan orang yang diberi izin memasuki tempat pemeliharaan harta
tersebut.
3. Pemilik
barang yang dicuri, haruslah benar-benar pemilik barang itu, atau barang itu
merupakan amanah ditangannya.
4.
Tempat
pencurian haruslah diwilayah yang didalamnya berlaku hukum Islam.
E.
Alat Bukti dalam Pidana Pencurian
Untuk menetapkan hukuman pencurian dihadapan hakim, diperlukan alat
dan bukti yang dapat membuktikan bahwa tindak pidana pencurian itu benar-benar
terjadi. Alat bukti dalam tindak pidana pencurian adalah saksi dan pengakuan.[13]
Untuk saksi disyaratkan:
1.
Dua
orang pria
2.
Orang
yang adil
3.
Saksi
yang menyaksikan pencurian secara langsung
4.
Kesaksian
yang diberikan tidak kadaluarsa
5.
Gugatan
diajukan oleh orang yang berhak menggugat.
Adapun kesaksian wanita dalam kasus pencurian, sekalipun jumlahnya
empat orang (ganti dua orang pria) atau lebih, atau satu laki-laki dan dua
orang wanita, menurut jumhur ulama tidak diterima kesaksia mereka adalah:
…وَٱسۡتَشۡهِدُواْ
شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ (282) …
“… Dak persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari laki-laki ...” (QS.
Al-Baqarah: 282).[14]
Akan tetapi, ulama Mazhab az-Zahiri mengatakan bahwa kesaksian dua
orang wanita dan satu orang pria (ganti dua orang pria) bisa diterima dalam
masalah hudud, termasuk dalam masalah pencurian, apabila wanita itu lebih dari
satu orang. Alasannya:
…فَإِن
لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٞ وَٱمۡرَأَتَانِ (282) …
“… Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka
boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan.” (QS. Al-Baqarah: 282).[15]
Akan tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa pencurian termasuk salah
satu jarimah hudud dan untuk jarimah hudud saksi minimal itu adalah dua orang
laki-laki.
Adapun syarat yang menyangkut pengakuan (ikrar) menurut Imam Abu
Hanifah, dan jumhur ulama cukup dikemukakan sekali pengakuan saja. Akan tetapi
menurut Imam Abu Yusuf pengakuan itu harus dua kali, dianalogikan kepada saksi
yang juga harus dua orang.
Apabila pencuri tersebut adalah sekelompok orang, maka apabila
masing-masing pencuri berhasil mendapat bagian barang curian senilai satu nishab,
maka ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa masing-masing mereka dikenakan hukum
pencurian. Apabila barang yang dicuri kelompok pencuri itu hanya bernilai satu nishab.
Maka menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’I tidak dikenakan hukuman potong
tangan, karena masing-masing mereka tidak mencuri barang barang satu nishab
yang dikenakan hukuman pencurian.
Ulama Mazhab Maliki menyatakan, jika dua orang atau lebih mencuri
senilai satu nishab, jika barang itu diambil oleh masing-masing orang,
tidak dikenakan hukuman pencurian. Akan tetapi, apabila pengambilan barang
tersebut dilakukan secara bersama-sama, saling membantu untuk mengeluarkannya
(bukan masing-masing mengambil untuk dirinya), maka semuanya dikenakan hukuman
potong tangan. Menurut ulama Mazhab Hambali, jika sekelompok orang mencuri
barang mencapai nilai satu nishab, maka semuanya dikenakan hukuman
potong tangan, dengan pertimbangan tindakan tersebut merupakan pelanggaran
terhadap kehorhmatan harta orang lain.[16]
Demikian penjelasan tentang Pencurian (Sariqoh), pengertian
pencurian, unsur-unsur pencurian, sanksi pencurian, penerapan hukuman, dan alat
bukti dalam pidana pencurian menurut fiqh jinayah (hukum pidana Islam). Semoga bermanfaat
untuk kita semua.
[1]
Abd
al-Qadir Audah, 1992, al-Tasri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun
al-Wahd’I, Maktabah Dar al-Urubah. hlm. 518
[2] Ibit.,
hlm. 542
[3]
Al-Asqalani, Fathul Bari, Musthafa Babil Halabi wa Auladuh, Mesir, 1378
H/1959, Juz IV: 18
[4] Ibid.
[5]
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Musthafa Babil Halabi wa Auladuh, Mesir,
1397/1960M, Juz II: 451
[6]
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Darul Bayan, Kuwait, hlm. 492
[7]
Qur’an, 5: 38
[8]
Ibnu Rusyd, op.,cit, hlm. 446
[9]
Al-Asqalani, op.,cit, Juz IV: 24
[10]
Ibnu Rusyd, op.,loc.
[11] Ibid.,
hlm. 448
[12] Ibid.,
hlm. 447
[13] Ibid.,
hlm. 454
[14]
Qur’an, 2: 282
[15]
Qur’an, 2: 282
[16]
Imaning Yusuf, Fiqih Jinayah Hukum Pidana Islam, 2009, (Palembang: Rafah Press)
Images: menadoexpress.co