Asas Legalitas |
A.
Pengertian Asas Legalitas
Legalitas berasal dari bahasa latin
dari kata benda lex yang berarti “undang-undang”, atau dari kata
jadiannya legalis yang berarti “sah” atau “sesuai dengan undang-undang”
dan legalis yang berarti “keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Asas
legalitas berarti “dasar keabsahan menurut undang-undang”. Secara terminologis
asas legalitas adalah dasar pokok dari segala ketentuan hukum pidana. Sehubungan
dengan asas ini, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal I ayat (1)
dinyatakan: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Pernyataan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan harus dilandasi dengan ketentuan
undang-undang. Untuk hal ini harus terlebih dahulu ada ketentuan yang
menyatakan bahwa suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana.
Asas legalitas dalam Syariat Islam,
istilah asas legalitas tidak ditemukan dalam hukum Islam, namun secara
subtansional hukum Islam menganut asas legalitas ini. Diantara kaidah-kaidah
pokok yang berhubungan dengan asas tersebut adalah:
لاحكم
لا فعال العقلاء قبل ورود النص
“Tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang
berakal sehat sebelum ada nas atau ketentuan.”[1]
Dengan kata lain, perbuatan
seseorang yang cakap (mukallaf) tidak mungkin dinyatakan sebagai pelanggaran
selama belum ada nas yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk
melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sampai ada nas yang menentukan.
Kaidah pokok lain adalah:
الأ
صل فى الأشياء الأباحه
“Pada dasarnya semua perkara dan
perbuatan dibolehkan.”[2]
Dengan kata lain, semua perbuatan
dan semua sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan yang dinyatakan oleh
syara’. Selama belum ada nas yang melarang, tidak ada tuntutan terhadap semua
perbuatan dan sikap tidak berbuat.
Dikalangan para ulama asas legalitas
ini adalah suatu konsekuensi logis dari persyaratan seorang mukallaf (obyek
hukum). Seperti yang diketahui bahwa salah satu syarat seorang mukallaf adalah
mampu memahami dalil (aturan) yang mewajibkan dan melarang perbuatan. Adapun syarat-syarat
seorang mukallaf ada dua macam yaitu:
1. Pelaku
sanggup memahami nas-nas syara’ yang berisi hukum taklifi.
2.
Pelaku
orang yang pantas diminati pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman.
Adapun
syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam:
1.
Perbuatan
itu mungkin dikerjakan.
2. Perbuatan
itu disanggupi olehmukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan seorang
mukallaf, baik untuk yang mengerjakannya maupun meninggalkannya.[3]
3.
Perbuatan
tersebut diketahui oleh seorang mukallaf dengan sempurna, hal ini berarti:
a. Pelaku
mengetahui hukum-hukum taklifi untuk itu hukum tersebut harus sudah ditetapkan
dan disiarkan kepada orang banyak. Dengan demikian maka hal ini bukan berarti
tidak ada hukum jarimah kecuali dengan adanya nas.
b. Pada
ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong orang tersebut untuk
berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian maka pengertiannya adalah bahwa
suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumnya.[4]
B.
Sumber Asas Legalitas
Dalam
al-Qur’an ada beberapa ayat yang berhubungan dengan asas legalitas. Allah SWT.,
tidak menjatuhkan suatu siksa atas umat manusia kecuali sudah ada penjelasan
dan pemberitahuan melalui rasul-rasul-Nya, dan beban (kewajiban) yang diberikan
kepada mereka, yakni perkara yang disanggupi. Sebagaimana Nampak dalam
firman-Nya:
…وَمَا
كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا(15) .
“Dan tidak kami menghukum manusia, sebelum kami mengutuss
seorang rasul.” (QS. Al-ISra’:
15).[5]
وَمَا
كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا
يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا
وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ(59) .
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan
kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan
kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qasas: 59). [6]
…وَأُوحِيَ
إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ(19) …
“…Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya
dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai
Al-Quran (kepadanya). " (QS. Al-An’am: 19).[7]
Dari
ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat dalam syariat
Islam, sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan demikian syariat
Islam telah lebih dahulu mengenal asas ini dibandingkan dengan hukum positif
yang baru mengenalnya pada akhir abad kedelapan belas Masehi.[8]
C.
Penerapan Asas Legalitas
1.
Penerapannya
Dalam
syariat Islam ada tiga cara penerapan asas legalitas.
Pertama, pada tindak
pidana yang gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat,
yaitu tindak pidana hudud (hukuman yang ditetapkan batasannya oleh nas)
dan qishah (pembalasan yang setimpal), asas legalitas dilaksanakan
secara teliti dengan mencantumkan satu persatu hukuman bagi setiap tindak
pidana.
Kedua, pada tindak
pidana yang tidak begitu berbahaya, yaitu tindak pidana takzir pada umumnya,
syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman.
Bagi tindak pidana tersebut syara’ hanya menyediakan sejumlah hukuman untuk
dipilih oleh hakim sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi.
Ketiga, pada tindak
pidana takzir yang diancam hukuman demi kemaslahatan umum, syara’ memberikan
kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan macam tindak
pidana, karena syariat hanya mencakupkan dengan membuat suatu nas (ketentuan)
umum yang bisa mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan
ketentraman masyarakat. Syariat Islam telah menerapkan asas legalitas sejak
wahyu diturunkan, khususnya pada periode Madinah.[9]
Dalam
syariat Islam nas yang menentukan macam tindakan pidana bersifat umum dan elastis,
sehingga bisa menampung semua peristiwa. Kemudian dalam tindak pidana hudud
dan qishah keumuman agak dibatasi. Namun, untuk tindak pidana lainnya
keumuman tersebut berlaku sepenuhnya seperti pada tindak takzir biasa. Untuk tindak
pidana takzir, karena untuk mewujudkan kemaslahatan umum, elastisitas nas-nas
yang menentukan tindak pidana lebih kuat sehingga cukup dengan menyebutkan
sifat-sifatnya. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak mungkin diketahui sebagai
tindak pidana kecuali sesudah terjaadi. Keumuman dan elastisitas nas mempunyai
pengaruh terhadap kemampuan syariat dan menghadapi setiap keadaan dan
lingkungan.
Pada
dasarnya syariat menentukan macam hukuman yang jelas sehingga tidak mungkin
bagi hakim untuk menciptakan hukum sendiri. Ketentuan hukum semacam itu berlaku
pada tindak pidana hudud dan qishah, yaitu tindak pidana yang
sangat mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Pada tindak pidana
takzir, dengan segala macamnya, syara’ hanya menentukan sejumlah hukuman yang
sesuai atau menjatuhkan hukuman antara batas tertinggi dan terendah,
menghentikan tau memerintahkan pelaksaan hukuman dengan setara.
2.
Lingkungan Berlakunya Aturan Pidana
Secara
teoritis, ajaran Islam itu untuk seluruh dunia. Akan tetapi, secara praktis
sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, tidaklah demikian.
Para
ulama terdahulu membagi dunia ini menjadi tiga klasifikasi.
a.
Negara-negara
Islam.
b.
Negara-negara
yang berperang dengan Negara Islam, dan,
c. Negara-negara
yang mengadakan perjanjian damai dengan Negara Islam. Arah dan semangat ajaran
Islam bukan kepada perang, melainkan kepada damai.
Walaupun
demikian, dikalangan ulama terdapat tiga macam pendapat tentang masalah ini.
Imam
Abu Hanifah menyatakan bahwa aturan pidana itu hanya berlaku secara penuh untuk
wilayah-wilayah negeri muslim. Diluar negeri muslim, aturan tadi tidak berlaku
lagi, kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan haqq al-adamiy.
Ini mirip dengan teori teritorialitas.
Imam
Abu Yusuf berpendapat bahwa sekalipun diluar wilayah Negara muslim, aturan
tidak berlaku. Akan tetapi, setiap yang dilarang tetap haram dilakukan,
sekalipun dapat dijatuhi hukuman, ini mirip dengan teori nasionalitas.
Sedangkan
Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan-aturan pidana
itu tidak terkait oleh wilayah, melainkan terikat oleh subyek hukum. Jadi,
setiap muslim tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan
hal-hal yang diwajibkan. Ini mirip dengan teori internasionalitas.
Berkaitan
dengan hal ini, para ulama membahas lebih rinci lagi tentang ekstradisi
(penyerahan penjahat antar Negara) dan pengusiran pejabat. Hal ini menunjukkan
bahwa sering terjadi suatu kejahatan tidak dapat ditanggulangi oleh suatu Negara
tertentu, kecuali dengan kerja sama antar Negara.[10]
Demikianlah,
penjelasan tentang Asal legalitas yang terdiri dari pengertian asas legalitas,
sumber asas legalitas dan penerapan asas legalitas. Semoga bermanfaat untuk
kita semua.
[1]
Abd al-Qadir Audah, 1968, al-Tasri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun
al-Wahd’I, Maktabah Dar al-Urubah. hlm. 115
[2] Ibid.
[3] Ibid.,
hlm. 116
[4] Ibid.,
hlm. 117
[5]
Qur’an, 17: 15
[6]
Qur’an, 28: 59
[7]
Qur’an, 6: 19
[8] Ibid.,
hlm. 118
[9] Ibid.
[10]
Imaning Yusuf, 2009, Fiqih Jinayah Hukum Pidana Islam, (Palembang: Rafah
Press)
images: www.proseshukum.com