Friday, 10 March 2017

Asas legalitas dalam Perspektif Syariat Islam - Fiqh Jinayah

Image result for asas legalitas
Asas Legalitas
A.    Pengertian Asas Legalitas
Legalitas berasal dari bahasa latin dari kata benda lex yang berarti “undang-undang”, atau dari kata jadiannya legalis yang berarti “sah” atau “sesuai dengan undang-undang” dan legalis yang berarti “keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Asas legalitas berarti “dasar keabsahan menurut undang-undang”. Secara terminologis asas legalitas adalah dasar pokok dari segala ketentuan hukum pidana. Sehubungan dengan asas ini, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal I ayat (1) dinyatakan: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Pernyataan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan harus dilandasi dengan ketentuan undang-undang. Untuk hal ini harus terlebih dahulu ada ketentuan yang menyatakan bahwa suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana.
Asas legalitas dalam Syariat Islam, istilah asas legalitas tidak ditemukan dalam hukum Islam, namun secara subtansional hukum Islam menganut asas legalitas ini. Diantara kaidah-kaidah pokok yang berhubungan dengan asas tersebut adalah:
لاحكم لا فعال العقلاء قبل ورود النص
“Tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum ada nas atau ketentuan.”[1]

Dengan kata lain, perbuatan seseorang yang cakap (mukallaf) tidak mungkin dinyatakan sebagai pelanggaran selama belum ada nas yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sampai ada nas yang menentukan.
Kaidah pokok lain adalah:
الأ صل فى الأشياء الأباحه
“Pada dasarnya semua perkara dan perbuatan dibolehkan.”[2]
Dengan kata lain, semua perbuatan dan semua sikap tidak berbuat dibolehkan dengan kebolehan yang dinyatakan oleh syara’. Selama belum ada nas yang melarang, tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak berbuat.
Dikalangan para ulama asas legalitas ini adalah suatu konsekuensi logis dari persyaratan seorang mukallaf (obyek hukum). Seperti yang diketahui bahwa salah satu syarat seorang mukallaf adalah mampu memahami dalil (aturan) yang mewajibkan dan melarang perbuatan. Adapun syarat-syarat seorang mukallaf ada dua macam yaitu:
1.     Pelaku sanggup memahami nas-nas syara’ yang berisi hukum taklifi.
2.      Pelaku orang yang pantas diminati pertanggung jawaban dan dijatuhi hukuman.
Adapun syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam:
1.      Perbuatan itu mungkin dikerjakan.
2.  Perbuatan itu disanggupi olehmukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan seorang mukallaf, baik untuk yang mengerjakannya maupun meninggalkannya.[3]
3.      Perbuatan tersebut diketahui oleh seorang mukallaf dengan sempurna, hal ini berarti:
a.  Pelaku mengetahui hukum-hukum taklifi untuk itu hukum tersebut harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak. Dengan demikian maka hal ini bukan berarti tidak ada hukum jarimah kecuali dengan adanya nas.
b.  Pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong orang tersebut untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian maka pengertiannya adalah bahwa suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumnya.[4]
B.     Sumber Asas Legalitas
Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang berhubungan dengan asas legalitas. Allah SWT., tidak menjatuhkan suatu siksa atas umat manusia kecuali sudah ada penjelasan dan pemberitahuan melalui rasul-rasul-Nya, dan beban (kewajiban) yang diberikan kepada mereka, yakni perkara yang disanggupi. Sebagaimana Nampak dalam firman-Nya:
 …وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا(15) .
“Dan tidak kami menghukum manusia, sebelum kami mengutuss seorang rasul.” (QS. Al-ISra’: 15).[5]

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبۡعَثَ فِيٓ أُمِّهَا رَسُولٗا يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَاۚ وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ(59) .
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qasas: 59). [6]

 …وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ(19) …
“…Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). " (QS. Al-An’am: 19).[7]


Dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat dalam syariat Islam, sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. dengan demikian syariat Islam telah lebih dahulu mengenal asas ini dibandingkan dengan hukum positif yang baru mengenalnya pada akhir abad kedelapan belas Masehi.[8]
C.    Penerapan Asas Legalitas
1.      Penerapannya
Dalam syariat Islam ada tiga cara penerapan asas legalitas.
Pertama, pada tindak pidana yang gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat, yaitu tindak pidana hudud (hukuman yang ditetapkan batasannya oleh nas) dan qishah (pembalasan yang setimpal), asas legalitas dilaksanakan secara teliti dengan mencantumkan satu persatu hukuman bagi setiap tindak pidana.
Kedua, pada tindak pidana yang tidak begitu berbahaya, yaitu tindak pidana takzir pada umumnya, syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman. Bagi tindak pidana tersebut syara’ hanya menyediakan sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi.
Ketiga, pada tindak pidana takzir yang diancam hukuman demi kemaslahatan umum, syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan macam tindak pidana, karena syariat hanya mencakupkan dengan membuat suatu nas (ketentuan) umum yang bisa mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketentraman masyarakat. Syariat Islam telah menerapkan asas legalitas sejak wahyu diturunkan, khususnya pada periode Madinah.[9]
Dalam syariat Islam nas yang menentukan macam tindakan pidana bersifat umum dan elastis, sehingga bisa menampung semua peristiwa. Kemudian dalam tindak pidana hudud dan qishah keumuman agak dibatasi. Namun, untuk tindak pidana lainnya keumuman tersebut berlaku sepenuhnya seperti pada tindak takzir biasa. Untuk tindak pidana takzir, karena untuk mewujudkan kemaslahatan umum, elastisitas nas-nas yang menentukan tindak pidana lebih kuat sehingga cukup dengan menyebutkan sifat-sifatnya. Oleh karena itu, suatu perbuatan tidak mungkin diketahui sebagai tindak pidana kecuali sesudah terjaadi. Keumuman dan elastisitas nas mempunyai pengaruh terhadap kemampuan syariat dan menghadapi setiap keadaan dan lingkungan.
Pada dasarnya syariat menentukan macam hukuman yang jelas sehingga tidak mungkin bagi hakim untuk menciptakan hukum sendiri. Ketentuan hukum semacam itu berlaku pada tindak pidana hudud dan qishah, yaitu tindak pidana yang sangat mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Pada tindak pidana takzir, dengan segala macamnya, syara’ hanya menentukan sejumlah hukuman yang sesuai atau menjatuhkan hukuman antara batas tertinggi dan terendah, menghentikan tau memerintahkan pelaksaan hukuman dengan setara.
2.      Lingkungan Berlakunya Aturan Pidana
Secara teoritis, ajaran Islam itu untuk seluruh dunia. Akan tetapi, secara praktis sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, tidaklah demikian.
Para ulama terdahulu membagi dunia ini menjadi tiga klasifikasi.
a.       Negara-negara Islam.
b.      Negara-negara yang berperang dengan Negara Islam, dan,
c.    Negara-negara yang mengadakan perjanjian damai dengan Negara Islam. Arah dan semangat ajaran Islam bukan kepada perang, melainkan kepada damai.
Walaupun demikian, dikalangan ulama terdapat tiga macam pendapat tentang masalah ini.
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa aturan pidana itu hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri muslim. Diluar negeri muslim, aturan tadi tidak berlaku lagi, kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan haqq al-adamiy. Ini mirip dengan teori teritorialitas.
Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa sekalipun diluar wilayah Negara muslim, aturan tidak berlaku. Akan tetapi, setiap yang dilarang tetap haram dilakukan, sekalipun dapat dijatuhi hukuman, ini mirip dengan teori nasionalitas.
Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan-aturan pidana itu tidak terkait oleh wilayah, melainkan terikat oleh subyek hukum. Jadi, setiap muslim tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan. Ini mirip dengan teori internasionalitas.
Berkaitan dengan hal ini, para ulama membahas lebih rinci lagi tentang ekstradisi (penyerahan penjahat antar Negara) dan pengusiran pejabat. Hal ini menunjukkan bahwa sering terjadi suatu kejahatan tidak dapat ditanggulangi oleh suatu Negara tertentu, kecuali dengan kerja sama antar Negara.[10]
Demikianlah, penjelasan tentang Asal legalitas yang terdiri dari pengertian asas legalitas, sumber asas legalitas dan penerapan asas legalitas. Semoga bermanfaat untuk kita semua.



[1] Abd al-Qadir Audah, 1968, al-Tasri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wahd’I, Maktabah Dar al-Urubah. hlm. 115
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 116
[4] Ibid., hlm. 117
[5] Qur’an, 17: 15
[6] Qur’an, 28: 59
[7] Qur’an, 6: 19
[8] Ibid., hlm. 118
[9] Ibid.
[10] Imaning Yusuf, 2009, Fiqih Jinayah Hukum Pidana Islam, (Palembang: Rafah Press)
images: www.proseshukum.com
loading...