Pembagian Dalil-Dalil Mukhtalaf
Oleh: Iswahyudi
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap manusia
pastilah membutuhkan interaksi dengan orang lain, baik dalam urusan umum
ataupun keagamaan. Manusia tidak dapat terlepas dari hal ini karena manusia
adalah makhluk sosial, dan bukanlah makhluk individu yang dapat hidup sendirian
tanpa membutuhkan orang lain.
Disaat
berhubungan dengan orang lain itu, ada aturan-aturan yang harus dilakukan dan
dijaga agar hbungan dengan orang lain itu terjaga kebaikannya.
Selain
berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan tuhan lewat
ritual-ritual ibadah yang setiap hari dilaksanakan. Baik ibadah mahdhah maupun
yang lainnya.
Islam dalam hal
tidaklah berdiam diri, hal ini telah di atur semuanya dalam ilmu fiqh dan ushul
fiqh dengan segala ketentuannya yang berlaku. Ilmu fiqh dan uhul fiqh telah membahas
semua tanpa kecuali.
Ilmu Ushul fiqh merupakan ilmu pengetahuan mengenai pokok dasar hukum islam
(yaitu mengenai Alquran, sunnah Nabi, Ijma’ dan Qiyas. Di dalam ilmu ushul fiqh
terbagi atas mutafaq alaih (yang disepakati seperti al-qur’an dan sunnah) dan mukhtalaf
(yang belum disepakati).
Oleh karena itu didalam makalah ini
akan dibahas tentang mukhtalaf yaitu pembagiannya ada 7 macam seperti
Al-Istihsan, Al-Istishhab, Qaul
ash-Shahabi, Al-Urf, Syar’u man qoblana, Maslahah Mursalah dan Adz-Dzari’ah.
Semoga
pembahasan ini mendapat petunjuk dari Allah sehingga memudahkan untuk belajar dan
memahaminya, serta
mengamalkannya, Aamiin.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas ditemukan beberapa permasalahan,
diantarannya Sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah Al-Istihsan itu?
2.
Bagaimanakah
Al-Istishhab itu?
3.
Bagaimanakah
Qaul ash-Shahabi itu?
4.
Bagaimanakah
Al-Urf?
5.
Bagaimanakah Syar’u man qoblana itu?
6.
Bagaimanakah Maslahah Mursalah itu?
7.
Bagaimanakah Adz-Dzari’ah?
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
AL-ISTIHSAN
1.
Pengertian Istihsan
Dari segi etimologi, istihsan
berarti menilai sesuatu sebagai baik. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh Istihsan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena
menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun
maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat
diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas (
Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang samar-samar ( Qiyas khafi, dll
) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat[1], terdapat banyak beberapa
definisinya yang salah satunya adalah pendapat dari ulama Wahbah az-Zuhaili,
beliau merumuskan dua definisi yaitu;
Pertama:
تَرْجِيْحُ
قِياَسٍ خَفِيٍّ جَلِيٍّ بِناَءً دَلِيْلٍ
Lebih mengunggulkan qiyas khafi dari
pada qiyas jali berdasarkan alasan tertentu.
Kedua:
اِسْتِسْنَا
ءُ مَسْآلَةٍ جْزْئِيَّةٍ مِنْ أَصْلِ كُلِّيٍّ أَوْ قَضِيَّةٍ عَا مَّةً بِنَا ءَ
عَلَى دَلِيْلٍ خَا صٍّ يَقْضِي ذَلِكَ
Mengecualikan hukum kasus tertentu
dari prinsip hukum atau premis yang bersifat umum, berdasarkan alasan tertentu
yang menuntut berlakunya pengecualian tersebut.
Mengecualikan definisi-definisi di
atas, secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan terdiri atas
dua macam yaitu: istihsan qiyasi dan istihsan istihna’I. Dibawah ini gambaran
tentang keduanya:
a.
Istihsan Qiyasi
Istihsan
Qiyasi adalah,
suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas
jail kepda ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi,
karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan ketentuan hukum tersebut. Alasan yang kuat yang dimaksudkan di sini
adalah kemaslahatan. Istihsan dakam bentuk pertama inilah disebut istihsan
qiyasi.
Contohnya,
apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian untuk kepentingan umum,
maka berdasarkan istihsan, yang diwakafkannya itu termasuk hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu, dan bentuk-bentuk lainnya
yang berkaitan dengan tanah tersebut.
b.
Istihsan Istitsna’i
Istihsan
istitsna’I ialah,
qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang berdasarkan
prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang bersifat khusus.
Istihsan bentuk yang kedua ini adalah istihsan istitsna’I. Istihsan
bentuk kedua ini dapat dibagi kepada beberapa macam sebagai berikut:
1).
Istihsan bi an-Nashsh
Istihsan
bi an-nashsh
ialah, pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang umum kepda ketentuan lain
dalam bentuk pengecualian, karena ada nashs yang mengecualikannya, baik nashs
tersebut Al-qur’an maupun sunnah.
Contoh
istishsan istitsna’I berdasarkan nashs Alquran ialah, berlakunya ketentuan
wasiat setelah seorang wafat padahal menurut ketentuan umum, ketika orang telah
wafat, ia tidak berhak lagi terhadap hartanya, karena telah berali kepada ahli
warisnya. Nyatanya, ketentuan umum tersebut dikecualikan oleh Alquran, antara
lain Surah an-Nisa’ (4): 12:
sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Contoh
istihsan istitsna’I yang berdasarkan sunnah ialah, tidak batalnya puasa
orang yang makan karena lupa, padahal menurut ketentuan umum, makan dan minum
membatalkan puasa. Nyatanya ketentuan umum tersebut dikecualikan berdasarkan
hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ قَا لَ
رَسُوْلُ للهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَا ئِمٌ
فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهً فَاِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Dari
Abu Hurairah, katanya, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang lupa sedang
ia berpuasa, kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan
puasanya, karena sesungguhnya Allah sedang member makan dan minum kepadanya”.
2) Istihsan bi al-Ijma’
Istihsan
bi al-ijma’ ialah, pengalihan hukum dari ketentuan umum kepada ketentuan lain
dalam bentuk pengecualian, karena ada ketentuan ijma’ yang mengecualikannya.
Sebagai contoh, boleh melakukan transaksi istitsna’ (seseorang bertransaksi
dengan pengrajin untuk dibuatkan barang dengan harga tertentu ), padahal
menurut ketentuan umum jual beli, dilarang melakukan transaksi terhadap barang
yang belum ada. Rasulullah Saw, bersabda:
لا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Jangan
jual belikan sesuatu yang belum ada padamu.
Berdasarkan
hadits diatas, seharusnya transaksinya tersebut batal, karena ketika transaksi
berlangsung, objek transaksinya belum ada. Akan tetapi, transaksi istitsna
belum ada tersebut boleh dilakukan, karena sejak dahulu praktik tersebut terus
berlangsung, tanpa ada larangan dari seorang ulama.
(3)
Istihsan bi al-‘Urf
Istihsan
bi al-‘urf ialah,
pengecualian hukum dari prinsip syariah yang umum, berdasarkan kebiasaan yang
berlaku.
Contoh
istihsan bi al-‘urf, menurut ketentuan umum, menetapkan ongkos kendaraan
umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa membedahkan jauh atau
dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab transaksi upah mengupah harus
berdasarkan kejelasan pada objek upah yang dibayar. Akan tetapi, melalui
istihsan, transaksi tersebut di perbolehkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku,
demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarakat, dan terpeliharanya kebutuhan
mereka terhadap transaksi tersebut.
(4)
Istihsan bi ad-Dzarurah
Istihsan
bu ad-Dzarurah
ialah, suatu kedaan darurat yang mendorong mujtahid untuk mengecualikan
ketentuan qiyas yang berlaku umum kepada ketentuan lain yang memenuhi kebutuhan
mengatasi keadaan darurat. Sebagai contoh, menghukumkan sucinya air sumur atau
kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan
umum, tidak mungkin mensucikan air sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya.
Sebab, ketika air sedang dikuras, maka air akan terus mengeluarkan air yang
kemudian akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat
pengurasnya (timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis
akan mengotori alat tersebut sehingga air akan tetap bernajis. Akan tetapi,
demi kebutuhan mengahadapi kadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau
kolam dipandang suci stelah dikuras.
(5)
Istihsan bi al-Mashlahah al-Mursalah
Istihsan
bi al-Mashlahah al-Mursalah, ialah, mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku
umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang
memenuhi prinsip kemaslahatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya wasiat yang
ditujukan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berda di bawah pengampun (curatale,
mahjur ‘alaih), baik karena ia kurang akal maupun karena berprilaku boros. Menurut ketentuan
umum, tindakan hukum terhadap harta (tasharruf) dari orang yang di bawah
pengampun tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya,
di mana tujuan pengampun itu sendiri adalah untuk memelihara hartanya. Akan
tetapi, demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut di pandang sah.
2.
Pro Kontra di Sekitar Kehujjahan Istihsan
Pendapat ulama terbagi dalam dua
kelompok tentang kehujjahan istihsan. Pertama kelompok yang berpendapat
bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi,
Maliki, dan Mazham Imam bin Hanbal. Sedangkan kelompok kedua yang meolak
penggunaan Istihsan sebagai dalil syara’ adalah asy-Syafi’I, Zahiriyyah,
Mu’tazilah, dan Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa mengunakan istihsan sebenarnya
dikendalikan oleh hawa nafsu untuk bersenang-senang, dengan cara menggunakan
latar murni untuk menentang hukum yang ditetapkan dalil syara’. Di antara
mereka adalah Imam as-Syafi’I. Bahkan diinformasikan bahwa dalam menolak kehujjahanya
sebagai dalil syara’, Imam asy-Syafi’I berkata “Barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia telah hukum syara’
sendiri.
Pada hakikatnya, istihsan,
dengan segala bentuknya, adalah mengalihkan ketentuan hukum syara’ dari yang
berdasarkan suatu dalil Syara’ yang lebih kuat. Karena prinsip ini menjadi
substansi istihsan, maka pada hakikatnya, tidak ada seorang ulama pun
yang menolak keberadaan istihsan sebagai dalil syara’.[2]
B.
AL-ISTISHHAB
1.
Pengertian Al-Istishab
Dari
segi makna etimologi, istishab berarti meminta kebersamaan (thalab
al-mushahabah), atau berlanjut kebersamaan (istimrar ash-shubah).
Sedangkan dari segi terminologi definisi istishab yaitu salah satu yang
di kemukakan ulama adalah menurut:
Ibnu
al-Qoyyim al-Jauziyyah (w. 715):
أِسْتِدَا مَةُ مَا كَا نَ ثَا بِتًا
وَنَفَي حَتَّى يَقُوْم دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيُّرِ اْاحَا لِ
Mengukuhkan berlakunya suatu hukum
yang telah ada, atau menegasikan suatu hukum yang memang tidak ada, sampai
terdapat dalil lain yang mengubah keadaan tersebut.
Maksud
definisi Ibnu al-Qoyyim diatas ialah, suatu hukum, baik dalam bentuk positif
ataupun negatif , tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status
keberlakuan hukum tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus
berlaku.
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan ulama, dapat di pahami bahwa yang di maksud
dengan istishab memiliki beberapa unsur ketentuan sebagai berikut:
1.
Setiap hukum yang telah ada pada masa lalu, baik dalam
bentuk itsbat (pengukuhan suatu hukum) maupun dalam bentuk nafy
(penegasian hukum), maka hukum tersebut
dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang.
2.
Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat
dalil yang mengubahnya.
3.
Berbeda dengan ulama lainnya, Ibnu Hazm menegaskan,
pengakuan terhadap berlakunya hukum di masa lalu itu harus berdasarkan dalil nashsh.
Tidak cukup hanya berdasarkan prinsip al-ibahah ash-ashliyyah. Akan
tetapi, jika deperhatikan lebih jauh, perbedaan pendapat tersebut tidak sampai
menimbulakan pertentangan hukum.
2.
Dalil Kehujjahan al-Istishhab
Sebagai
dalil syara’, istishhab memiliki landasan yang kuat, baik dari segi
syara’ maupun logika. Landasan dari segi syara’ ialah, berbagai hasil
penelitian hukum menunjukan, bahwa suatu hukum syara’ senantiasa tetap berlaku,
selama belum ada dalil yang mengubahnya. Sebagai contoh, syara’ menetapkan
bahwa semua minuman yang memabukan adalah haram, kecuali jika terjadi perubahan
pada sifatnya; Jika sifat memabukannya hilang, karena berubah menjadi cuka,
misalnya, maka hukumnya juga berubah dari haram menjadi halal. Demikianlah
watak hukum syara’, ia tidak akan berubah kecuali jika ada dalil lain yang
mengubahnya.
Adapun
landasan dari segi logika, secara singkat dapat ditegaskan, logika yang benar
pasti mendukung sepenuhnya prinsib al-istishhab. Misalnya, jika
seseorang dinyatakan sebagai pemilik suatu barang, maka logika akan menetapkan,
statusnya sebagai pemilik tidak akan berubah, kecuali jika ada alasan dalil
lain yang mengubahnya, misalnya, karena ia menjual atau menhadiahkan barang
tersebut kepada orang lain. Demikian juga, jika seseorang telah dinyatakan sah
melakukan perkawinan dengan seorang wanita, maka logika dengan mudah menetapkan
bahwa status perkawinan mereka tetap berlaku kecuali ada dalil lain yang
mengubahnya, misalnya, karena si suami menceraikan istrinya.
3.
Macam-Macam al-Istishhab
Al-Istishhab
terdiri atas beberapa macam sebagai berikut:
a.
Istishhab hukm al-ibahah
al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)
Adapun
yang dimaksud dengan istishhab bentuk pertama ini ialah, setelah
datangnya agama islam, pada dasarnya seseorang boleh melakukan atau menggunakan
segala sesuatu yang bermanfaat, selama tidak ada dalil syara’ yang menegaskan
hukum tertentu terhadapnya. Perlu ditegaskan, ketentuan istishhab bentuk
pertama ini hanya berlaku dalam bidang muamalah; tidak dalam bidang ibadah dan
akidah.
b.
Istishhab ma dalla asy-syar’aw
al-‘aql ‘ala wujudih (istishhab terhadap sesuatu yang menuntut akal atau syara’
diakui keberadaannya)
Contoh
istishhab bentuk kedua di atas ialah, tetap berlakunya hak kepemilikan
ketika ada sebabnya, misalnya karena akad, sampai ada alasan lain yang
menghilangkan hak tersebut. Demikian juga, tetapnya tanggung jawab membayar
utang, misalnya karena merusakkan barang orang lain, sampai ada bukti bahwa
utang tersebut telah dibayar atau karena dibebaskan oleh yang berpiutang.
c.
Istishhab al-‘umum ila an yarid
at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umum sampai ada yang menghususkannya)
Pada
dasarnya semua ulama juga sepakat dengan
istishhab bentuk ketiga ini, karena konteks pembicaraan pada bentuk yang
ketiga ini berkaitan dengan waktu setelah datangnya syari’at sampai berhentinya
wahyu karena wafatnya Rasulullah Saw. Persoalan yang timbul hanya berkaitan
dengan perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kriteria yang harus dipenuhi
untuk menyatakan suatu nashsh bersifat ‘amm atau khashsh.
Demikian juga perbedaan di seputar apakah suatu nashsh dipandang tetap berlaku
atau sudah di-naskh oleh dalil lain.
d. Istishhab
al-khashsh bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berkaitan
dengan sifat)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan bentuk istishhab
yang keempat ini sebagai dalil syara’. Dalam hal ini, ulama syafi’iyyah dan
hanabilah secara mutlak menerimanya sebagai dalil syara’. Sedangkan ulama
Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat, istishhab bentuk ini hanya dapat menjadi
dalil untuk menolak ketentuan hukum yang baru (shalih li ad-daf’i),
tetapi tidak dapat menjadi dalil untuk menetapkan hukum yang baru (ghair
shalih li al-itsbat).[3]
C. QAUL
ASH-SHAHABI
1. Pengertian
Sebagian ulama ushul fiqh menyebut istilah qaul
ash-shahabi dengan istilah madzhab ash-shahabi. Sebenarnya kedua
istilah ini tidak persis sama maknanya. Sebab yang dimaksud dengan qaul ash-shahabi
ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa orang sahabat
Rasulullah Saw secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat,
baik dalam al-qur’an maupun sunnah, di mana pendapat para sahabat tersebut
merupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami,
perbedaan antara keduanya ialah, qaul ash-shahabi merupakan pendapat
perorangan, yang antara satu pendapat sahabat dengan pendapat sahabat lainnya
dapat berbeda. Sedangkan madzhab ash-shahabi merupakan pendapat bersama.
Dalam hal ini, madzhab ash-shahabi lebih tepat disebut dengan istilah ijma’ ash-shahabi.
2. Pendapat
Ulama tentang Qaul ash-Shahabi
Para imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul
ash-shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan
wilayah ijtihad. Sebab, dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah
ijtihad, qaul ash-shahabi dipandang berkedudukan sebagai al-khobar at-tawqifi
(Informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah
Saw.
Para ulama juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi
rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati
oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi), baik kesepakatan tersebut
bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih), maupun yang dipandang
sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan
pendapat yang berkembang (ijma’ as-sukuti), yang dalam istilah lain
disebut dengan mazhab shahabi, misalnya bagian warisan nenek perempuan
adalah seperenam harta warisan.
Menurut jumhur, yaitu ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat
asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qaddim), dan menurut pendapat Ahmad bin
Hanbal yang terkuat: qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas.
Pendapat ini didasarkan kepada bebrapa dalil sebagai berikut:
a.
Firman Allah pada surah Ali Imron (3): 110:
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 \
110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.
Ayat
ini ditujukan kepada para sahabat, sehingga menunjukan bahwa apa yang mereka
perintahkan adalah yang baik. Sedangkan perintah yang baik wajib diterima.
b.
Sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari dari Imran bin Husain.
عَنْ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْ نَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْ نَهُمْ
Dari
Nabi Saw, beliau bersabda:” Sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.”
c.
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat
diajadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat mereka itu berasal
dari Rasulullah Saw. Di samping itu, karena mereka sangat dekat dengan
Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal itu memberikan pengelaman yang
sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syariah dan tujuan-tujuan
pensyariatan hukum syara’ (maqashid asy-syari’ah).
Menurut ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah
salah satu pendapat asy- Syafi’I (qaul al-jadid) dan salah satu pendapat
Ahmad bin Hanbal: qaul ash-shahabi bukan merupakan hujjah. Alasan
pendapat mereka adalah sebagai berikut.
a.
Firman Allah pada surah al-Hasyr (52):
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
b.
Ijma’ telah terjadi di kalangan sahabat, bahwa
diantara sesama sahabat boleh berbeda pendapat. Oleh karena itu, pendapat
mereka bukan merupakan hujjah.
c.
Dari segi logika, para sahabat termasuk
golongan mujtahid juga, sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk
salah dan lupa. Oleh karena itu, mujtahid dari generasi tabiin dan
sesudahnya tidak wajib mengikuti qaul ash-shahabi.
d.
Fakta sejarah menunjukan, beberapa sahabat
mengakui hasil ijtihad tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka.
Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika memang qaul ash-shahabi merupakan
hujjah.[4]
D.
AL-‘URF
1.
Pengertian
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-‘urf
berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’, dan fa’ yang
berarti dikenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif
(definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf
(kebiasaan yang baik).
Adapun dari terminoloig, kata ‘urf mengandung makna:
مَا اعْتَا دَهُ
النَّا سُ وَسَا رُوْا عَلَيْهِ مِنْ كُلِّ فِعْلٍ شَاعَ بَيْنَهُمْ, أَوْ لَفْظٌ تَعاَ
رَفُوْ ا أِطْلا قَةُ عَلَى مَعْنً خَا صٍّ لا تَأَ لَّفَهُ الُّلغَةُ وَلا
يَتَبَا دَرُ غَيْرَهُ عِنْدَ سِمَا عِهِ
Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan
mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara
mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu,
bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.
Kata ‘urf dalam pengertian terminologi
sama dengan istilah al’adah (kebiasaan), yaitu:
مَا اسْتَقَرَّ
فِى النُّفُوْسِ مِنْ جِهَّةِ اْلغُقُوْلِ وَتَلَقَّتْهُ الطَّبَا عُ
السَّلِيْمَةُ بِا لْقَبُوْلِ
Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari
segi dapatnya diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami, al-‘urf
terdiri dari atas dua bentuk yaitu, al-‘urf al-qauli (kebiasaan dalam
bentuk perkataan) dan al-‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam bentuk
perbuatan).
‘Urf dalam bentuk perbuatan, misalnya, transaksi
jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa mengucapkan lafal ijab
dan qabul. Demikian juga membagi mahar dengan “hantaran” dan “mas
kawin”. Sedangkan contoh ‘urf dalam bentuk perkataan, misalnya,
kalimat “engkau saya kembalikan kepada orangtuamu” dalam masyarakat islam
Indonesia, mengandung arti talak.
2.
Pembagian
al-‘Urf
Ditinjau dari segi jangkauanya, ‘urf
dapat dibagi dua, yaitu: al-‘urf al-amm dan al-‘urf al-khashsh.
a.
Al-‘Urf al-Amm
Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku
bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya,
membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tetentu, tanpa perincian jauh atau
dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum.
b.
Al-‘Urf
al-Khashsh
Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus
pada suatu masyarakat tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya kebiasaan
masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjukan
pengertian luas tanah 10 X 10 meter.
Demikin juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi
sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua
orang saksi.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, al-‘urf
dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut.
a.
Al-‘Urf
ash-Shahihah (‘Urf yang Absah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan
tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum islam. Dengan kata lain, ‘urf
yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya,
mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam
suatu masyarakat, hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika
peminangan, tidak dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan
dibatalkan oleh pihak laki-laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan
adalah pihak wanita, maka “hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang
dikembalikan dua kali lipat jumlahnya kepada pihak laki-laki yang meminang.
b.
Al-‘Urf
al-Fasidah (‘Urf yang Rusak/salah)
Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syara’. Sebalik dari al-‘Urf
ash-shahihah, maka adat kebiasaan yang salah adalah yang menhalalkan
hal-hal yang haram, atau mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan berciuman
antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara
pertemuan-pertemuan pesta.
3.
Kedudukan
al-‘Urf sebagai Dalil Syara’
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati
kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan
tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas
penggunaaanya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah
adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil,
dibandingkan dengan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’,
didasarkan atas argument-argumen berikut ini.
a.
Firman Allah SWT pada surah al-‘araf (7): 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِي
199.
Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Melalui ayat diatas Allah
memrintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang
disebut yang ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin
sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan
watak menusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran
islam.
b.
Ucapan sahabat Rasulullah Abdullah bin Mas’ud:
فَمَا آهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَا
للهِ حَسَنٌ وَمَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئاً فَهُوَ عِنْدَاللهِ سَيْءٌ
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum
muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia
buruk disisi Allah”.
Ungakapan Abdullah bin Mas’ud
diatas , baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukan bahwa
kebiasaaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim sejalan
dengan tuntutan umum syariat islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik
disisi Allah.
4.
Hukum Dapat Berubah karena Perubahan ‘Urf
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa sebagai adat kebiasaan, ‘urf
dapat berubah karena adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai konsekuensinya,
mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan ‘urf tersebut.
Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan:
ااْحُكْمُ
يَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الاَّزْمِنْةِ وَالأمْكِنَةِ والأحْوالِوالأشْخاصِ
والبِيْئاتِ
Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu.
Tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan.[5]
E.
SYAR’U MAN QABLANA
1.
Pengertian
Syar’u man qablana artinya ialah, syariat orang-rang yang sebelum kita. Yang dimaksud
dengan syar’u man qablana ialah, syariat hukum dan ajaran-ajaran yang berlaku
pada para nabi ‘alaihim ash-shalat wa as-salam sebelum Nabi Muhammad Saw
diutus menjadi rasul, seperti: syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud, Nabi Musa,
Nabi Isa, dan lain-lain.
Sebagaimana diyakini, syariat Nabi Muhammad Saw merupakan syariat
terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia. Dalam pada itu, baik Alquran Maupun
hadits Nabi Saw banyak berisi kisah para Nabi dan Rasul Allah yang dahulu,
serta hukum-hukum syara’ yang berlaku bagi mereka dan umatnya. Berkaitan dengan
syariat para Nabi tersebut, dalam kajian ushul fiqh, para ulama mengemukakan
pembahasan tentang persoalan.
2.
Pendapat Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Semua ulama sepakat, syar’u man qablana yang tidak terdapat dalam
Alqur’an maupun sunnah, tidak berlaku bagi Nabi Saw dan umat beliau. Sebab
syariat Nabi Muhammad nersifat menggantikan syariat terdahulu. Dengan demikian,
dengan datangnya syariat Nabi Muhammad Saw maka semua syariat para Nabi
terdahulu yang tidak tercantum dalam nashsh Alquran dan sunnah dengan
sendirinya menjadi berlaku. Misalnya, haramnya memakan semua daging binatang
berkuku genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat, dan memotong bagian
pakaian yang terkena najis.
Selanjutnya, para ulama juga sepakat , syar’u man qablana
yang tercantum dalam Alquran atau sunnah dan cara tegas dinyatakan berlaku oleh
Rasulullah Saw
keberlakuannya
bukan karena kedudukannya sebagai syar’u man qablana, melainkan karena
disyariatkan oleh Alquran sunnah Rasulullah Saw. Syariat Puasa, Misalanya:
diberlakukan kepada Nabi Saw dan umatnya, bukan karena ia merupakan syar’u man
qablana, melainkan karena diasyariatkan oleh Alquran, sebagaiman terdapat
dalam firman Allah surah al-Baqarah (2) : 183. Bukan karena semata ia merupakan
syar’u man qablana. Tambah lagi kedua syariat ibadah tersebut memiliki
perbedaan-perbedaan dengan ibadah puasa dan haji yang berlaku pada para Nabi
dan rasul terdahulu.
Adapun yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama ialah, hukum
dari masalah-masalah yang tidak secara tegas diberlakukan pada syariat pada
Nabi Muhammad
Mayoritas ulama Hanafiyyah, ualama Malikiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah
dan sebagian Hanabillah, anatara lain: at-Tamimi, berpendapat, syar’u man
qabalana berlaku bagi umat islam, jika syariat syariat tersebut
diinformasikan melalui Rasulullah, bukan karena terdapat dalam kitab-kitab suci
mereka yang telah mengalami perubahan, dan tidak terdapat nashsh syara’ yang
membatahnya.
Ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syiah, sebagin ulama Syafi’yyah dan
mayoritas ulama Hanabillah berpendapat, syar’u man qablana yang tidak
ada ketegasan pemberlakuannya dan tidak pula ada nash yang me-nasakh-kannya,
maka ia tidak berlaku bagi Nabi Muhammad Saw Saw dan umatnya.[6]
F.
MASLAHAH MURSALAH
1.
Defenisi Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah secara istilah terdiri dari dua kata yaitu maslaha
dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa artinya “manfaat” dan kata
mursalah berarti “lepas”. Seperti dikemukakan Abdul wahab kallaf berarti
sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk
merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun
yang menolaknya.
Maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkan (maslahah
yang bersifat umum), menurut istilah ulama ushul yaitu maslahah dimana syar’i
tidak mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat
dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Contohnya: maslahah yang karena maslahah itu, sahabat mensyariatkan
pengadaan penjara, atau mencetak mata uang atau menetapkan (hak milik) tanah
pertanian sebagai hasil kemenangan warga sahabat itu sendiri dan ditentukan
pajak pengasilannya, atau maslahah-maslahah lain yang harus dituntut oleh
keadaan-keadaan darurat, kebutuhan atau karena kebaikan, dan belum di syariatkan
hukumnya, juga tidak terdapat saksi syara’ yang mengakuinya atau
membatalkannya.
2. Dasar
Hukum Maslahah Mursalah
Ada bebrapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah
Mursalah diantaranya adalah :
a) Al Quran.
Di antara ayat-ayat yang dijadikan dasar berlakunya maslahah
mursalah adalah firman Allah SWT.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah
kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (Q.S. Al
Anbiya : 107)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. (
Q.S. Yunus : 57).
b) Hadits.
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan
syar’i atas kehujahan maslahah mursalah adalah sabda Nabi saw.
Tidak boleh berbuat madhorot dan pula saling memadhorotkan.
(H.R. lbnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini
berkualitas hasan)
c) Perbuatan
Para Sahabat dan Ulama Salaf
Dalam memberikan contoh maslahah mursalah di
muka telah dijelaskan, bahwa para sahabat seperti Abu Bakar As Shidik, Umar bin
Khathab dan para imam madzhab telah mensyariatkan aneka ragam hukum berdasarkan
prinsip maslahah. Disamping dasar-dasar tersebut di atas, kehujahan maslahah
musrsalah juga didukung dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya Ilmu Ushulil Fiqh
bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya,
karenanya, kalau tidak ada syariah hukum yang berdasarkan maslahat manusia
berkenaan dangan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum
hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syar saja, maka
pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di
setiap masa dan tempat akan terabaikan.[3]
Para ulama yang menjadikan mursalah sebagai
salah satu dalil syara, menyatakan bahwa dalil hukum. Maslahah mursalah ialah :
a. Persoalan
yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang demikian pula kepentingan
dan keperluan hidupnya.
b. Sebenarnya
para sahabat, para tabi’in, tabi’t tabi’iin dan para ulama yang datang
sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukun
sesuai dengan kemashlahatan kaum muslimin pada masa itu.
3. Macam-macam
Maslahah Mursalah
Ulama ushul membagi maslahah kepada tiga
bagian yaitu :
1)
Maslahah Dharuriyah adalah perkara-perkara
yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila di tinggalkan, maka
rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbulah fitnah dan kehancuran
yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara,yaitu
agama,jiwa, akal, keturunan dan harta.
2) Maslahah Hajjiyah
أَمَّا
اْلمَصْلَحَةُ اْلحَاجِيَّةِ فَهِيَ عِبَارَةُ عَنِ اْلأَعْمَالِ
وَالتَّصَرُّفَاتِ التِّيْ لاَ تَتَوَقَفُ عَلَيْهَا تِلْكَ اْلأُصُوْلِ
الخَمْسَةِ بَلْ تَتَحَقَّقُ
بِدُوْنِهَا
وَلَكِنْ صِيَانَةِ مَعَ الضَيِّقِ وَاْلحَرَجِ
“Maslahah
Hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan
dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh
masyarakat tetapi juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan
menghilangkan kesempitan”.
3) Maslahah
Tahsiniyah
أَمَّا
اْلمَصَالِحُ التَّحْسِيْنِيَّةُ فَهِيَ عِبَارَةِ عَنْ اْلأُمْوْرِ التِيْ
تَفْتَضِيْهَا المُرُوْءَةِ وَمَكَارِمِ اْلأَخْلاَقِ وَمَحَاسِنِ اْلعَادَاتِ
“ Maslahah
Tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh
adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak”.
4. Kedudukan
atau Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa maslahah
mursalah tidak sah menjadi landasan hukumdalam bidang ibadah karena bidang
ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya yang diwariskan oleh rasulullah
SAW, dan oleh karena itu bidang ibadah tidak berkembang.[4]
Dalam kehujjahan maslahah mursalah, terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul di antaranya :
a. Maslahah
mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama
hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir
b. Maslahah
mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan
sebagian ulam syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah
mensyaratkan tentang maslah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila
terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat
mudhabit (tepat), sehigga dalam hubungan hukumitu terdpat tempat untuk
merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada
kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam
menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan
mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat
bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada
maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakui kebenarannya
c. Imam
Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah
mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu
dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang
mengikat. Diantara ulama yang paling banyak melakuakn atau menggunakan
maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus
utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang
mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa
maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah
diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.
5. Syarat-syarat
Maslahah Mursalah
Abdul wahab kallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan
maslahah mursalah yaitu:
1. Sesuatu
yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang
benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudaratan, bukan
berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemamfaatan tanpa
melihat kepada akibat negatif yang ditimbulkannya. Minsalnya yang disebut
terahir ini adalah anggapan bahwa hak untuk menjatuhkan talak itu berada di
tangan wanita bukan lagi ditangan pria adalah maslahat yang palsu, karena
bertentangan dengan ketentuan syariat yang menegaskan bahwa hak untuk
menjatuhkan talak berada di tangan suami sebagaimana yang disebutkan
dalam hadis:
“dari ibnu umar sesungguhnya dia pernah
menalak istrinya padahal dia sedang dalam keadaan haid hal ini diceritakan
kepada nabi SAW, maka beliau bersabda: suruh ibnu umar untuk merujuknya lagi,
kemudian menalaknya dalam kondisi suci atau hamil” (HR. Ibnu majah)
2. Sesuatu
yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum bukan kepentingan
pribadi
3. Sesuatu
yang dianggap maslahat itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ditegaskan
dalam Alquran atau sunnah Rasulullah atau bertentangan dengan ijma’.[5]
6. Maslahah
Mursalah di Zaman Kontenporer
Didalam penerapan realita penulis akan
mengambil sebuah contoh mengenai P.2. (2) UU No. 1/ 1974. Jpo. P.2 PP. No.
9/1975 bahwa demi terjaminnya ketertiban tiap-tiap perkawinan harus dicatat.
Pencatatan perkawinan meskipun secara harfiyah tidak diatur dalam nash syari
dan tidak pula dijumpai nash yang melarangnya, tetapi ketentuan itu memberikan
dampak yang positif bagi umat manusia. Ini jelas, keharusan mencatatkan nikah
itu tidak bertentangan dengan tujuan umum pembentukan hukum, yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena ketentuan dalam pasal-pasal tersebut
tidak didasarkan pada nash-nash tertentu, maka dasarnya adalah maslahah
mursalah.
Demikian juga Pasal 7 (1) UUP No. 1/1974
jo. Pasa1.15 (1) kompilasi hukum Islam tentang batasan umur kawin. Seperti
halnya pencatatan nikah, Islam juga tidak mengatur secara harfiyah batasan umur
untuk boleh melakukan pernikahan, namun demi kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga yang bahagia, perkawinan boleh dilakukan oleh orang-orang yang sudah
mencapai umur dewasa yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita yang
secara lahiriyah mereka itu sudah matang jiwa dan raganya. Ketentuan ini jelas
kemaslahatan yang besar bagi umat manusia.
Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundangundangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.
Kemudian dapat penulis inventarisasikan ketentuan-ketentuan lain dan perundangundangan dan peraturan lain yang didasarkan atas prinsip maslahah mursalah, antara lain Pasal 2 (2), Pasal 5 (1) UU. No. I/1974 jo Pasal 56-58 Kompilasi Hukum Islam. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang poligami dan yang berkaitan dengan itu yang secara keseluruhan merupakan azas mempersulit poligami demi kamaslahatan keluarga agar tidak begitu raja para suami menterlantarkan para isteri dan anak-anak mereka.
Selain ketentuan-ketentuan hukum produk
pemerintah, perlu dikemukakan keputusan-keputusan hukum oleh
organisasi-organisasi keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan MUI, sehingga akan
memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang pembinaan hukum di Indonesia.
Namun di sini penulis hanya akan mengemukakan secara global saja tentang
kasus-kasus tertentu yang keputusannya didasarkan atas pertimbangan maslahah.
Sebagai akibat modernisasi dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, banyak kasusu-kasus yang timbul yang tenth
memerlukan status hukum, contoh seperti program KB, bayi tabung, iminasi buatan
pada hewan, pencangkokan organ tubuh, donor darah, operasi plastik dan
lain-lain. Kasus-kasus tersebut merupakan masalah ijtihadiyah karena tidak
terdapat nash hukumnya dalam Al Quran dan As Sunah. Dalam menghadapi
kasus-kasus seperti ini, pada umumnya dalam memberikan status hukum pars Ulama
tidak meninggalkan prinsip maslahah, oleh Karena dasar maslahahlah yang paling
tepat dan efektif sebagai salah satu alternatif pemecahannya. Para Ulama yang
tergabung dalam tiga organisasi keagamaan tersebut, pada dasarnya boleh
dikatakan sepakat memper-bolehkan masalah-masalah tersebut dengan berbagai
pariasi keputusan dan syarat-syarat tertentu yang sedikit ada perbedaan yang
terkadang menunjukkan spesifikasi masing-masing. Hal ini dimungkinkan terjadi
mengingat antara tiga organisasi tersebut ada sedikit perbedaan dalam cara
beristimbat, seperti NU misalnya, dalam menetapkan hukum biasanya hanya
didasarkan pada kitab kuning dengan cara memperluas pengertiannya di samping
selalu terikat oleh madzhab-madzhab fiqh tertentu yang dalam hal ini madzhab Syafi’i
. meskipun keputusan NU itu dasarnya adalah kitab kuning, tapi kalau dikaji
secara metodologis, jelas banyak sekali keputusan-keputusan hukum yang
sebenarnya didasarkan atas pertimbangan maslahah atau maslahah mursalah.[7]
G.
ADZ-DZARI’AH
1.
Pengertian Adz- dzari’ah
Dari segi
bahasa, adz-dzari’ah (jama: zara’i) berarti: media yang
menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian istilah ushul fiqh,
yang dimaksud dengan adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media
dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik
yang haram ataupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang
menuju ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena itu, dalam kajian ushul fiqh, adz-dzari’ah
dibagi dua;
a.
Sadd adz-dzari’ah
Yang di maksud sadd
adz-dzari’ah (makna generik: menutup jalan) ialah, mencegah sesuatu
perbuatan agar tidak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia
akan menimbulkan mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena
ia bersifat terlarang Sebagai contoh, pada dasarnya, menjuar anggyr adalah
mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang halal di makan. Akan
tetapi, menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman keras dan menjadi terlarang.
b.
Fath adz-dzari’ah
Yang di maksud Fath
adz-dzari’ah (makan generik: membuka jalan) adalah kebalikan dari sad
adz-dzari’ah yaitu, menganjurkan media/jalan yang menyampaikan kepada sesuatu
yang dapat menimbulkan al-maslahah (manfaat/kebaikan), jika akan menghasilkan
kebaikan. Sebagai contoh, dianjurkan untuk membangun industri tekstil, karena
hal itu akan mengahasilkan kebaikan, yaitu berguna membantu orang menutup
auratnya.
Sebagai objek
hukum syara’, perbuatan yang merupakan adz-dzari’ah berperan sebagai
jalan/media/perantara untuk mencapai tujuan hukum, dapat diberi predikat salah
satu dari huku taklifi yang lima, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh, dan
mubah.
2.
Metode Penentuan Hukum adz-Dzariah
Predikat-predikat
hukum syara’ yang diletakkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzari’ah
dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
a.
Ditinjau
dari segi al-ba’its (motif pelaku).
b.
Ditinjau
dari segi dampak yang ditimbulkannya semata-mata, tanpa meninjaunya dari segi
motif dan niat pelaku.
3.
Kedudukan adz-Dzari’ah dalam Hukum Islam
Imam Malik dan
Ahmad bin Hanbal menjadikan adz-dzari’ah sebagai dalil hukum syara’.
Sementara Abu Hanifah dan asy-Syafi’I terkadang menjadikan adz-dzari’ah
sebagai dalil, tetapi pada waktu yang lain menolaknya sebagai dalil. Sebagai
contoh, asy-syafi’I membolehkan seseorang yang karena uzur (seperti sakit dan
musafir) meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur,
namun hendaknya ia mengerjakan shalat zhuhur tersebut secara tersembunyi dan
diam-diam agar tidak dituduh orang sengaja meninggalkan shalat jum’at. Selanjutnya,
ulama Syi’ah juga menggunakan sad adz-dzari’ah. Akan tetapi Ibnu Hazm
azh-Zhahiri sama sekali menolak adz-dzari’ah sebagai dalil syara’
(hujjah).[8]
BAB
3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan
makalah ushul fiqh tebntang pembagian mukhtalaf., dapat di tarik kesimpulan
sebagai berikut:
1.
Istihsan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena
menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun
maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. atau dapat
diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari hukum yang jelas (
Qur'an, sunnah, Ijma' dan qiyas ) ke hukum yang samar-samar ( Qiyas khafi, dll
) karena kondisi/keadaan darurat atau adat istiadat. Dan terbagi menjadi dua
yaitu: Istihsan Qiyasi dan Istihsan
istitsna’I.
2.
Istishhab adalah , suatu hukum, baik dalam bentuk positif ataupun negatif ,
tetap berlaku selama belum ada yang mengubahnya, dan status keberlakuan hukum
tersebut tidak memerlukan dalil lain untuk tetap terus berlaku.
3.
Qaul ash-shahabi ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh
seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Saw secara individu, tentang
suatu hukum syara’ yang tidak terdapat, baik dalam al-qur’an maupun sunnah, di
mana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan diantara
mereka.
4.
Al-‘Urf
adalah Sesuatu yang
menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap
perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka
kenal dengan pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika
mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.
5.
Syar’u man qablana ialah, syariat hukum dan ajaran-ajaran yang
berlaku pada para nabi ‘alaihim ash-shalat wa as-salam sebelum Nabi
Muhammad Saw diutus menjadi rasul, seperti: syariat Nabi Ibrahim, Nabi Dawud,
Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain-lain.
6.
Al-Mashlahah Mursalah adalah sesuatu yang
member faedah atau kebaikan tanpa ada hukum yang melarang.
7.
Adz-dzari’ah
ialah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang
berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang
terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksiatan.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Abd. Rahman. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Hanafie,
A. 1962. Ushul Fiqh. Jakarta.
http://wwwbloggercopai.blogspot.com/2012/09/maslahah-mursalah-sebagai-dalil-hukum.html. Diakses. Rabu 24/4/13. Jam 22.00.
Online.
#makalah_s1_fakultas_syariah_dan_hukum_UIN_rafah