Wudhu
Oleh: Iswahyudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Thaharah merupakan
bersuci atau suci dari hadast dan najis. Suci dari hadast dilakukan dengan cara
wudhu’, mandi dan tayamum.
Dalam memahami pengertian wudhu,
diperlukan pemahaman terhadap beberapa elemen internal wudhu’ itu
sendiri dimulai dari yang terkecil yaitu kosa kata yang digunakan sampai dengan
tata cara wudhu’ itu sendiri..
Oleh
karena itu makalah ini kami susun berdasarkan beberapa aspek penilaian
disebabkan karena banyaknya pendapat para ulama tentang tata cara berwudhu.
Sebelum melaksanakan
ibadah, setiap manusia diwajibkan untuk berwudhu agar mereka suci dan
bersih dari hadats kecil.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas
ditemukan beberapa permasalahan, diantarannya Sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dari wudhu?
2.
Bagaimanakah
dengan asal usul pensyari’atan wudhu?
3.
Apa
landasan hukum tentang wudhu?
4.
Apa
sajakah tujuan dan fungsi wudhu?
5.
Apa
sajakah keistimewaan wudhu?
6.
Apa
sajakah hukum-hukum wudhu?
7.
Apa
sajakah fardhu (rukun) wudhu?
8.
Apa
sajakah syarat-syarat wudhu?
9.
Apa
sajakah sunnah-sunnah wudhu?
10.
Apa
sajakah makruh-makruh wudhu?
11.
Apa
sajakah hal-hal membatalkan wudhu?
12.
Bagaimanakah
tata cara (praktek Wudhu)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wudhu
Wudhu secara etimologi berasal dari kata shighat, yang artinya bagus atau
bersih.[1]
Menurut Wahbah Al-Zuhaili pengertian wudhu adalah mempergunakan air pada
anggota tubuh tertentu dengan maksud untuk membersihkan dan menyucikan.[2]
Sedangkan menurut istilah fiqih wudhu didefinisikan
sebafai berikut:
نظافة
مخصوصة با سعتمال الماء في أعضاء مخصوصة وهي الوجه, واليدان, والرأس, والرجلان,
بكيفية مجصوصة
Proses pembersihan yang spesifik
dengan menggunakan air pada anggota badan tertentu –wajah, dua tangan, kepala,
dan dua kaki –dengan cara-cara tertentu. (Hasan,
Ta’rifat).[3]
Adapun menurut syara’, wudhu
adalah membersihkan anggota tubuh
tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh
wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.[4]
Dengan demikian, dapat dirumuskan wudhu
merupakan sebuah proses pembersihan diri dari hadas kecil dengan membasuh
beberapa anggota (bagian) badan dan menyapu bagian lainya dengan mutlaq (air
yang bersih dan membersihkan) sesuai dengan ketentuan syari’at.
Adapun yang dimaksud dengan membasuh
adalah mengalirkan air di atas permukaan kulit. Dan ukuran minimal membasuh
adalah air tersebut sampai menetes dari permukaan kulit yang paling sedikit dua
tetes (Hasan, Ta’tifat).[5]
B.
Pensyari’atan Wudhu
Pada zaman jahiliyah,
pra Islam, Wudhu belum dikenal. Dalam syari’at Islam Wudhu berkaitan
dan berhubungan erat dengan pelaksanaan ibadah tertentu terutama ibadah sholat.
Bahkan ibadah-ibadah semacam itu tidak sah tanpa wudhu. Oleh Karena itu,
wudhu sudah disyari’atkan Allah SWT sejak awal-awal Islam. Ketika Allah SWT
mensyari’atkan sholat pada malam isro’ dan mi’roj; yaitu beberapa tahun sebelum
hijiriahnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihu wasallam ke Madinah al-Munawwaroh, wudhu
pun disyari’atkan.[6]
C.
Landasan Hukum
Berwudhu ini tegas di syariatkan
berdasarkan tiga macam landasan hukum atau alasan :
·
QS. Al-Maidah : 6 ö
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, …
·
Sunnah
Di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda :
لاَ يَقْبَلُ
اللهَ صَلاَةَ أَحَدُكُمْ إِذَا أَحْدَث َحَتَّى يَتَوَضّأ
“Allah tidak
menerima sholat seseorang diantaramu bila ia berhadast, sampai ia berwudhu”.
·
Ijma’
Telah terjalin kesepakatan kaum
muslimin atas di syari’atkan wudhu, semenjak zaman Rosulullah SAW. Hingga
sekarang ini, hingga tak dapat disangkai lagi bahwa ia adalah ketentuan yang
berasal dari agama.[7]
D.
Tujuan dan Fungsi Wudhu
Para ulama fiqih berpendapat bahwa
hadas itu dibagi menjadi dua bagian, pertama: Hadast kecil, yaitu
yang hanya mewajibkan wudhu’ saja. Kedua: Hadas besar yang
kedua ini pun dibagi dua: ada yang hanya diwajibkan mandi saja, dan ada yang
diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan.
Orang yang berhadas kecil dilarang
melakukan beberapa hal dibawah ini:
1.
Shalat, baik itu sunnah maupun wajib, menurut kesepakatan semua ulama.
Hanya Imamiyah berpendapat lain tentang shalat jenazah. Bagi Imamiyah:
dalam shalat jenazah tidak diwajibkan berwudhu, hanya disunnahkan saja,
karena ia hanya mendoakan saja pada dasarnya, bukan shalat yang sebenarnya.
2.
Thawaf, ia seperti shalat, maksudnya tidak sah melakukan thawaf
tanpa berwudhu terlebih dahulu, begitulah menurut Maliki, Syafi’I,
Imamiyah dan Hambali berdasarkan
hadits: “Berthawaf di Baitullah adalah shalat”. Hanafi:
Barang siapa yang bertawaf di Baitullah dalam keadaan hadas, ia tetap sah,
sekalipun berdosa.
3.
Sujud
Tilawah dan sujud syukur juga wajib suci (berwudhu), menurut empat mazhab, tetapi menurut Imamiyah hanya
disunnahkan.
4.
Menyentuh
Mushaf. Semua Mazhab sepakat bahwa
tidak boleh menyentuh tulisan Al-Qur’an kecuali. Hanya mereka berbeda pendapat
tentang orang yang berhadas kecil, apakah ia boleh menulis Al-Qur’an dan
membacanya baik ada Al-Qur’annya maupun tidak ada, dan menyentuhnya dengan
aling-aling serta membawanya demi menjaganya.
Maliki: Tidak boleh
menulisnya, menyentuh kulitnya walaupun dengan aling-aling tetapi boleh
melafalkan dengan membaca maupun tidak,
atau sentuhannya dengan aling-aling dan membawanya demi menjaganya.
Hambali: Boleh
menulisnya, dan membawanya demi menjaganya kalau dengan aling-aling.
Syafi’i: Tidak boleh
menyentuh kulitnya, walau ia terpisah dengan isinya, juga tidak boleh menyentuh
talinya selama ia masi melekat dengan Al-Qur’an, tetapi boleh menulisnya dan
membawanya demi menjaganya sebagaimana boleh menyentuh sesuatu yang menjadi
sulaman dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Hanafi: Tidak boleh
menulisnya dan menyentuhnya walaupun ditulis dengan bahada asing, tetapi boleh
membacanya tanpa memakai Al-Qur’an.
Imamiyah: Diharamkan
menyentuh Al-Qur’an bertuliskan huruf Arab tanpa aling-aling (alas), baik
tulisan tersebut di dalam Al-Qur’an maupun tidak, tetapi tidak diharamkan
membaca dan menulis, membawa demi menjaganya dan menyentuh tulisan selain
tulisan Arab, kecuali kata ”Allah”, maka diharamkan bagi orang yang berhadas
menyentuhnya dalam bentuk tulisan apa pun juga, dengan bahasa apa pun dan
dimana saja, baik yang ada di Al-Qur’an maupun bukan.[8]
E.
Keistimewaan Wudhu
Wudhu tergolong salah satu ibadat yang bersifat ta’abudi,
yakni ibadah yang tidak terjangkau oleh akal maksud dan tujuan serta hikmahnya.
Wudhu merupakan syarat sah bagi pelaksanaan beberapa
ibadah, seperti shalat dan thawaf. Tidak hanya itu, wudhu juga menjadi
syara’ di bolehkannya seseorang menyentuh mushaf sebagai kitab-kitab suci yang
didalamnya termaktub firman-firman Allah SWT.
Disamping
kegunaan-kegunaan yang hendak dicapai di atas berwudhu juga akan
menghapuskan atau paling tidak akan mengurangi dosa,
Mengenai
tentang keistimewaan wudhu, Rasulullah saw bersabda, yang artinya sebagai berikut :
“Bila seorang hamba
berwudhu lalu berkumur-kumur, maka keluarlah dosa-dosa dari mulutnya ; jika ia
membersihkan hidung, maka dosa-dosanya akan keluar dari hidungnya, begitu juga
tatkala ia membasuh muka, maka dosa-dosanya akan keluar dari mukanya
sampai-sampai dari bawah pinggir kelopak matanya. Jika ia membasuh kedua
tangan, maka dosa-dosanya akan keluar dari kedua tangan ia sampai-sampai dari
bawah kukunya, demikian pula halnya dengan ia menyapu kepala, maka dosa-dosanya
akan keluar dari kepala bahkan dari kedua telinganya. Begitupun tatkala ia
membasuh kedua kaki, maka keluarlah dosa-dosa tersebut dari dalamnya,
sampai-sampai bawah kuku jari-jari kakinya. Kemudian tinggallah
perjalanannya ke masjid dan shalatnya menjadi pahala yang bersih baginya“. (HR. Malik, Nasa’i, Ibnu Majah dan Hakim).[9]
F.
Hukum-Hukum Wudhu
Hukum wudhu tidak bersifat
mutlak tetapi tergantung kondisi dan kebutuhan. Berikut ini adalah hukum-hukum wudhu:
1.
Fardhu
a.
Apabila
ingin melaksanakan shalat dalam keadaan berhadats.
Orang yang berhadats wajib berwudhu ketika hendak
melaksanakan shalat, baik wajib maupun sunat, sempurna atau tidak sempurna.
Barang siapa berwudhu untuk satu jenis saja maka ia boleh melakukan semuanya.
b.
Ketika
hendak memegang mushaf Al-Qur’an berdasarkan Al-Qur’an:
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
Ulama hanafiah membolehkan menyentuh mushaf atau menuliskannya
tanpa berwudhu dengan syarat:[10]
1. Kondisi
darurat / terpaksa.
2. Adanya
pembungkus yang terpisah atau kulit yang bersambung dengannya.
3. Usia
belum baligh, tetapi bagi yang sudah baligh dan wanita haidh tetap tidak boleh
menyentuhnya kecuali dengan berwudhu baik dia sebagai guru atau murid.
4. Hendaklah
ia seorang Muslim, tidak boleh seorang Muslim membiarkan orang kafir
menyentuhnya selagi dia sanggup melarangnya.
2.
Wajib
Wudhu wajib hukumnya
bagi orang yang akan melaksanakan thawaf. Jumhur Ulama sepakat behwa hukum
berwudhu bagi orang yang hendak thawaf adalah wajib.[11]
3.
Sunat / Mandub / Mustahab
Hukum wudhu adalah mandub (sunat) dalam banyak kondisi
antara lain:
a. Sebelum
berdzikir dan berdo’a.
b. Sebelum
tidur.
c. Setiap
kali berhadats.
d. Setiap
kali akan melaksanakan shalat.
e. Setelah
membawa jenazah.
f. Ketika
marah.
g. Beberapa
pekerjaan baik, seperti adzan, iqamat, menyampaikan khutbah, mengkhitbah
(melamar) perempuan dan ziarah ke makan Rasulullah.
h. Sesudah
melakukan kesalahan.
4.
Makruh
Wudhu hukumnya makruh
dilakukan ketika mengulang wudhu sebelum menunaikan shalat dengan wudhu
yang pertama, artinya berwudhu di atas wudhu yang lain hukumnya
makruh.[12]
5.
Mubah
Wudhu hukumnya
mubah, jika wudhu dilakukan untuk kebersihan dan kesegaran.[13]
6.
Mamnu’ / Haram
Hanafiah beralasan ketika berwudhu dengan air rampasan dan
anak yatim. Pengikut Madzab Hambali mengatakan: Tidak sah wudhu dengan air
hasil rampasan (ghasab).[14]
G.
Fardhu (Rukun Wudhu)
·
Niat
Niat adalah maksud hati terhadap
sesuatu yang disertai dengan pelaksanaannya. Adapun niat wudhu adalah
suatu ketetapan hati untuk melakukan wudhu sebagai pelaksanaan dari
perintah Allah SWT.
Adapun dalil tentang kewajiban niat
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar ra bahwa Rasulullah SAW
bersabda:[15]
“Sesunggguhnya setiap amal itu
tergantung pada niatnya” (HR. Bukhari)
Niat merupakan tujuan untuk berbuat
(melakukan) dengan memotivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah
Allah. Para ulama mazhab sepakat bahwa niat itu termasuk salah satu fardhu
dalam wudhu dan tempatnya pada waktu melakukan wudhu itu.
Hanafi: Sahnya shalat tidak hanya tergantung pada wudhu dan niat;
maka seandainya ada seorang yang mandi dengan tujuan hanya untuk mendinginkan
badanya atau untuk membersihkan badannya, kemudian membasahi semua anggota wudhu,
lalu ia shalat, maka shalatnya adalah sah, karena tujuan final dari wudhu
itu adalah suci, sedangkan kesucian dengan mandi tersebut telah tercapai, hanya
Hanafi mengecualikan sesuatu bercampur dengan sisa-sisa keledai atau
anggur terbuat dari kurma. Dalam masalah ini mereka (Hanafi) menegaskan dengan
wajibnya niat.[16]
·
Membasuh Muka
Dalil wajibnya
membasuh wajah adalah firman Allah SWT:
فَا
غْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ ...
“Maka basuhlah
wajahmu.” (QS. Al-Maidah:6)
Membasuh (al-ghaslu)
adalah mengalirkan air ke anggota tubuh denganmerata. Menurut pendapat yang
lain al-ghaslu adalah mengalirkan air ke atas sesuatu dengan tujuan
untuk menghilangkan kotoran atau sejenisnya. Adapun batas membasud wajah adalah
tinggi dari tempat tumbuhnya rambut (atas kening) sampai ke bawah dagu, lebar
adalah jarak dua daun telinga. Bagi orang yang memiliki jenggot tipis hendaklah
membasuh sampai air mengenai kulitnya. Bagi orang yang memiliki jenggot tebal
hendaklah ia mentakhlilnya (menyela-nyela).[17]
Kemudian yang di maksud dengan
membasuh muka menurut ulama mazhab adalah mengalirkan air pada muka. Ia wajib
cukup satu kali saja. Batasnya dari tumbuhnya rambut sampai pada ujung dagu. Syafi’i:
Juga wajib membasahi sesuatu yang di bawah dagu. Imamiyah dan Maliki:
Batasnya seluas ibu jari dan telunjuk. Mazhab-mazhab yang lain: Batas
membasuh muka itu dari anak kuping kiri keanak kuping kanan. Empat mazhab:
Kewajibanya itu hanya membasuh muka, sedangkan memulai dari atas itu adalah
lebih utama.[18]
·
Membasuh Dua Tangan
Dalil perintah membasuh kedua tangan sampai siku adalah firman Allah:
·
وَ اَيْدِيْكُمْ اِلىَ الْمَرَافِقِ ...
”Dan membasuh kedua tangan sampai siku” (QS. Al-Maidah: 6)
Tangan adalah organ tubuh antara ujung jari sampai siku. Sedangkan
siku adalah sendi yang terletak antara pangkal lengan dengan pergelangan
tangan. Oleh sebab itu membasuh dua siku adalah wajib.
Cara membasuh kedua tangan sampai
siku adalah dimulai dari tangan kanan: ujung jari dengan membersihkan sela-sela
jari, menggosok lengan sampai ke siku. Setelah selesai dengan tangan kanan
sebanyak 3 kali, dilanjutkan tangan kiri dengan cara yang sama.[19]
Kaum muslimin sepakat bahwa membasuh
dua tangan sampai dua siku-sikunya satu kali adalah wajib.
Imamiyah: Wajib memulainya dari dua siku-siku dan batal bila sebaliknya,
sebagaimana Imamiyah mewajibkan mendahulukan tangan yang kanan dari
tangan yang kiri. Mazhab-mazhab yang lain: yang wajib itu adalah
membasuhnya, sedangkan mendahulukan tangan yang kanan dan memulai dari jari
jemari adalah lebih utama.[20]
·
Mengusap Kepala
Menyapu kepala termasuk telinga
sebagai rukun wudhu didasarkan atas firman Allah SWT dalam surah
Al-Maidah ayat 6:
وَامْسَحُوْ
بِرُءُ وْسِكُم ...
”Dan sapulah kepalamu”
Menyapu (almashu) adalah
melewatkan tangan yang basah di atas anggota tubuh. Sedangkan kepala adalah
suatu tempat yang biasa ditumbuhi rambut yang letaknya dari atas kening sampai
ke belakang tengkuk dan termasuk kedalamnya adalah pelipis yang letaknya diatas
tulang yang biasa timbul di wajah.
Adapun menyapu sebagian kepala baik
sedikit atau banyak, diperbolehkan sepanjang ia masih dalam pengertian yang
benar tentang menyapu dan tentang menyapu satu atau tiga helai rambut saja hal
itu tidaklah benar.
Ada tiga cara mengusap kepala:
a. Pertama,
mengusap dengan dua tangan dimulai dari bagian dpan, terus kebelakang, kemudian
dari belakang diteruskan ke dapan dan memasukkan jari telunjuk ke dalam kedua
telinga, sedangkan ibu jari menggosok telinga bagaian luar.
b. Kedua,
apabial seseorang mengenakan serban dikepalanya maka cukup membasuh serbannya.
Ketiga, membasuh ubun-ubun dan serban sekaligus.[21]
Menurut Hambali: Wajib
mengusap semua kepala dan dua telinga. Menurut Hambali adalah cukup
sebagai pengganti dari mengusap, dengan syarat melewatkan kedua tangannya
diatas kepala. Maliki: Wajib mengusap semua kepala, tetapi cukup dengan
memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepalanya.
Syafi’i: Wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup
dengan membasahi atau mengiram sebagai pengganti dari mengusap.
Imamiyah: Wajib mengusap sebagian dari depan kepala, dan cukup dengan
sangat sedikit sepanjang bisa dinamakan mengusap kepala, tetapi tidak boleh
membasahi dan tidak boleh pula menyiraminya, sebagaimana Imamiyah
mewajibkan mengusapknya dengan basahan wudhu, dan jika digunakan air
baru serta mengusap dengannya, maka wudhunya batal. Empat mazhab:
Wajib mengusap dengan air baru.[22]
·
Membasuh/mengusap Kedua Kaki
Perintah membasuh kedua kaki sampai
mata kaki dalam berwudhu berdasarkan firman Allah SWT Surah Al-Maidah 6:
وَاَرْجُلَكُمْ
اِلَىالْكَعْبَيْنِ قلى
”Dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.”
Dua mata kaki (ka’bain) adalah dua
tulang yang menonol disamping, tepatnya dipersendian betis dengan telapak kaki.
Membasuh kaki adalah wajib sesuai dengan kesepakatan umat berdasarkan nash
Al-Qur’an dan hadits.
Cara membasuh kedua kaki adlah
dimulai dengan membasuh ujung-ujung jari sampai mata kaki, mencuci mata kaki
dan membersihkan sela-sela jari kaki. Setelah selesai kaki kanan sebanyak 3
kali, dilanjutkan kaki kiri dengan cara yang sama.[23]
Menurut Empat mazhab: Wajib
membasuhnya sampai mata kaki satu kali. Imamiyah: Wajib mengusapnya dari
ujung jari-jemari sampai pada mata kaki. Kesepakatan ulama mazhab: Boleh
mendahulukan yang kanan dari yang kiri. Perbedaan apakah mengusap atau membasuh
dua kaki itu sebenarnya bersumber dari pemahaman ayat 6 surah al-ma’idah:
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
Kata arjul ada yang membaca
dengan kasrah, yaitu arjulikum, dan ada yang membacanya dengan fatha,
yaitu arjulakum. Maka orang yang berpendapat dengan cukup mengusap berarti
menjadikan kata arjul itu athaf kembali pada kata ru’us
sekaligus membacanya kasrah, dan kedudukan nasabnya fil mahalli (berada
di tempat), karena setiap di kasrahkan lafaznya ia di-nashabkan-kan (di-fathah-kan)
pada mahal tempat.
Dan orang berpendapat dengan
membasuh, ia mengatakan bahwa arjul itu di-nashab-kan (di-fathah-kan)
dengan menjadikannya athaf kembali pada kata aidiya.[24]
·
Tertib
Tertib dalam melakukan wudhu hukumnya
wajib. Artinya jika mendahulukan sebagian anggota dan mengakhirkan yang lain
bukan menurut aturan sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an, maka wudhunya
batal
atau tidak sah. Praktek wudhu menurut sunah (contoh Rasul)
adalah tertib. Tidak terdapat suatu riwayatpun tentang wudhu melinkan
beliau melakukannya dengan tertib. Yang dimaksud tertib disini adalah tersusun
sebagaimana urutan dalam Al-Qur’an.[25]
Tertib ini berdasarkan keterangan
ayat, yaitu: Dimulai dari muka, lalu dua tangan, lalu kepala, lalu dua kaki. Ia
wajib sekaligus syarat sahnya wudhu, menurut Imamiyah, Syafi’i
dan Hambali.
Hanafi dan Maliki: Tidak wajib tertib, dan boleh dimulai dari dua
kaki dan berakhir di muka.
·
Muwalat
Yaitu berurutan antara membasuh
anggota-anggota wudhu dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu
pindah (melakukan) pada anggota selanjutnya dengan segera.
Imamiyah dan Hambali: Wajib muwalat, hanya Imamiyah
mensyaratkan tidak sampai kering anggota yang dibasuh itu sebelum melanjutkan anggota sesudahnya.
Kalau sampai kering anggota wudhu itu, maka batallah wudhunya,
dan wajib memulai lagi.
Hanafi dan Syafi’i : Tidak wajib muwalat, hanya dimakruhkan
memisahkan dalam membasuh antar anggota-anggota wudhu itu kalau tidak udzur,
bila ada udzur, maka hilanglah kemakruhan itu.
Maliki: muwalat itu diwajibkan hanya bagi orang yang berwudhu
dalam keadaan sadar, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa ia tidak
sadar, sebagaimana kalau ia menuangkan air yang dianggapnya untuk wudhu, maka
kalau ia membasuh mukanya, lalu lupa membasuh dua tanganya, atau air yang akan
dipergunakan untuk wudhu itu telah habis, maka kalau mengikuti keyakinannya
berarti ia telah melakukan sesuatu yang dibangun diatas keyakinannya, sekalipun
telah lama.[26]
H.
Syarat-Syarat Wudhu
Wudhu itu mempunyai beberapa syarat, di antaranya adalah: Airnya harus mutlak
dan suci, dan tidak dipergunakan untuk menghilangkan kotoran dan hadas,
sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam bab air. Juga tidak ada larangan
untuk mempergunakan air, baik karena sakit atau karena sangat membutuhkannya.
Dan anggota-anggota wudhu itu suci, tidak ada batas yang mencegah
sampainya air ke kulit. Juga waktunya luas.
Menurut Imamiyah:
mensyaratkan bahwa air, bejana, dan tempat orang yang berwudhu harus halal,
bukan rampasan dari orang lain (ghasab). Kalau salah satu dari hal
tersebut ada yang ghasab, maka batallah wudhunya, tetapi menurut mazhab-mazhab
lain, wudhunya tetap sah, hanya ia berdosa.[27]
Sedangkan syarat
menurut para ulama fiqh adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum
syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri. Ketiadaannya, hukum pun tidak
ada. Fuqaha membagi syarat wudhu menjadi dua, yaitu syarat wajib dan
syarat sah wudhu.
·
Syarat Wajib Wudhu
Wahbah
al-Zuhaili, guru besar fiqih Universitas Damaskus mengemukakan bahwa wudhu
diwajibkan kepada seseorang apabila ia memenuhi delapan syarat berikut:
1. Muslim, karena yang mendapat perintah dari Allah (Haakim)
adalah khusus orang Islam (mahkum
’alaih).
2. Baligh, wudhu tidak wajib bagi anak kecil yang
belum baligh, tetapi wudhunya tetap sah.
3. Berakal, wudhu tidak wajib bagi orang gila, pingsan,
kesurupan, tidur.
4. Mampu menggunakan air yang suci dan cukup. Kemampuan orang yang
menggunakan air menjadi syarat wajib wudhu, maka tidak wajib berwudhu
bagi orang sakit karena ia tidak bisa mengunakannya juga ketika air tidak ada
dan kalau seseorang mendapatkan sedikit air maka ia boleh membasuh satu kali
satu kali.
5. Sedang berhadats kecil, seseorang yang telah berwudhu tidak ada
kewajiban untuk mengulang lagi wudhunya.
6. Tidak sedang haid.
7. Tidak sedang nifas.
8. Ketika waktu untuk mengerjakan ibadah sudah datang.
·
Syarat Sah Wudhu
Fuqaha madzhab Hanafi mengemukakan
syarat sah wudhu ada tiga, sementara menurut jumhur ada empat, yaitu:
a. Menyiramkan
air secara merata ke semua anggota tubuh yang dibasuh.
b. Menghilangkan
apa-apa yang dapat menghalangi sampainya air ke anggota tubuh yang dibasuh.
c. Berhentinya
segala yang membatalkan wudhu ketika wudhu dimulai, seperti haid, nifas
dan hadats kecil
d. Berwudhu setelah masuk waktu seperti
halnya orang yang bertayamum dan bagi yang memiliki udzur selalu
berhadats seperti menetesnya air seni. Syarat keempat ini menurut jumhur fuqaha
selain Hanafiah.[28]
I.
Sunah-Sunnah Wudhu
Ada sepuluh, bahkan lebih,
sunnah-sunnah wudhu berdasarkan mazhaf syafi’i. Sunnah-sunnah wudhu
ini ada yang dilakukan sebelum berwudhu, ada yang dilaksanakan ketika
sedang berwudhu, dan ada yang dilakukan ketika selesai berwudhu.
Yaitu sebagai berikut:
1.
Sebelum berwudhu:
a)
Membaca
Basmalah (al-tasmiyah).
b)
Membasuh
kedua tangan.
c)
Bersiwak.
d)
Berkumur-kumur
dan memasukan air kedalam hidung.
2.
Pada saat berwudhu:
a)
Menyapu
seluruh kepala dengan air.
b)
Menyapun
seluruh telinga.
c)
Menyelati
janggut yang tebal.
d)
Melafalkan
aniat.
e)
Mendahulukan
anggota badan yang kanan dari yang sebelah kiri.
f)
Membasuh
dan menyapu masing-masing anggota wudhu (al-Tatslits).
g)
Menyelati
jari-jemari tangan.
h)
Menyelati
jari-jemari kaki.
i)
Dilakukan
secara mandiri.
j)
Tidak
memutuskan niat selama berwudhu.
k)
Mengahadap
kiblat.
l)
Menggosok-gosok
setiap anggota wudhu.
m)
Memulai
membasuh muka di bagian sebelah atas.
n)
Melebihkan
wilayah basuhan ketika membasuh muka dengan membasuh juga sedikit bagian depan
kepala dan kiri kanan kuduk atau leher.
o)
Melebihkan
wilayah basuhan ketika membasuh tangan dengan membasuh juga sedikit bagian
lengan atas.
p)
Melebihkan
wilayah basuhan ketika membasuh kaki dengan membasuh juga sedikit bagian bawah
betis.
q)
Memulai
membasuh tangan dari ujung jemarinya.
r)
Tidak
berkata-kata selain zikir selama berwudhu kecuali sangat dibutuhkan.
s)
Menggerak-gerakan
cincin.
t)
Menghindari
percikan-percikan (yang berlebihan).
u)
Muwalat (berturut-turut seluruh proses wudhu dari awal hingga
akhir).
v)
Berhemat
dengan air.
3.
Sesudah berwudhu:
a)
Tidak
menyeka air bekas berwudhu yang ada pada anggota wudhu.
b)
Mengucapkan
dua kalimat syahadat.
c)
Berdoa.
d)
Melakukan
shalat sunnat dua rakaat setelah berwudhu.[29]
Kemudian ada beberapa perbuatan yang
untuk melakukannya disunnahkan dalam keadaan berwudhu
yaitu:
a)
Membaca
Al-Qur’an dan atau mendengarkan bacaan.
b)
Membaca
hadits dan atau mendengarkan bacaanya.
c)
Membawa
buku tafsir, hadits dan fikih.
d)
Membaca
ilmu syari’at.
e)
Adzan.
f)
Memasuki
masjid atau duduk didalamnya.
g)
Wukuf
di a’rofah.
h)
Sa’i.
i)
Ziarah
ke kuburan Rasulullah Saw.
j)
Ketika
hendak tidur.
k)
Ketika
bangun dari tidur.
l)
Setelah
memikul atau menyentuh jenazah.
m)
Setelah
berbekam.
n)
Sehabis
muntah.
o)
Sehabis
makan nagging unta.
p)
Sehabis
tertawa terbahak-bahak.
q)
Sehabis
menyentu badan khuntsa.
r)
Sehabis
menyentuh kemaluan.
s)
Ketika
marah atau mengucapkan kata-kata yang buruk.
t)
Hendak
membaca khotbah selain khotbah jum’at.[30]
Kemudian dalam persfektif
mazhab lain sunnah-sunnah wudhu juga banyak sekali,
diantaranya: Memulai membasuh kedua telapak tangan, kumur-kumur dan menghirup
air kedalam hidung lalu dihembuskan (dalam dua hal ini Hambali
mewajibkannya), sedangkan Imamiyah tidak membolehkannya; memakai siwak
(sikat gigi) dan menghadap kiblat ketika berwudhu; berdoa dengan doa matsur
dan setiap membasuh muka, tangan, sampai tiga kali, menurut empat mazhab.
Imamiyah: Basuhan pertama adalah wajib, sedangkan kedua kalinya adalah
disunnahkan, tapi ketiga kalinya adalah bid’ah, dan orang yang
mengerjakannya adalah dosa kalau ketika melaksanakannya berniat mengikuti syara’,
tapi kalau tidak berniat seperti itu maka tidaklah dosa, hanya wudhu nya
menjadi batal kalau mengusapnya dengan air tersebut.[31
J.
Makruh-Makruh Wudhu
Makruh adalah sesuatu yang diminta
oleh syari’ untuk ditinggalkan dengan permintaan yang tidak harus.
Apabila hal itu ditinggalkan oleh seorang mukallaf maka ia mendapat pahala dan
apabila dikerjakan maka ia tidak mendapat siksa.
Adapun Hal – hal yang makruh dalam wudhu, antara lain :
1. Berlebih – lebihan dalam menggunakan air.
Selain air yang mauquf (diwaqafkan untuk bersama)
maka dalam hal ini berlebih – lebihan hukumnya adalah haram, dengan syarat air
tersebut tidak terdapat dikolam atau di bak tempat wudhu’, maka yang
demikian tidaklah haram, karena air tersebut dapat kembali lagi kedalam kolam
bak air itu.Akan tetapi hukumnya makruh saja.
2. Berbicara
ketika sedang malakukan wudhu.
4.
Berlebih
– lebihan dalam berkumur – kumur bagi orang yang berpuasa, atau ber –istinsyak.
5.
Berwudhu’
ditempat yang mutanajjis.
6.
Mengusap
anggota wudhu’ lebih dari tiga kali.
K.
Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu
Batal Yaitu Tidak cukup syarat dan
rukunnya atau salah. Jadi apabila sesuatu pekerjaan atau perkara tidak memenuhi
syarat dan rukunnya maka perkara itu tidak sah atau batal.
Hal yang dapat membatalkan wudhu
dibagi menjadi 2 bagian :
Pertama : Sesuatu yang
keluar dari dua jalan yaitu Qubul dan dubur. Hal ini dibagi lagi menjadi
2,yaitu :
1.
Sesuatu yang
biasa keluar.
Sesuatu yang
biasa keluar dari salah satu dua jalan yaitu qubul dan dubur, ada yang
membatalkan wudhu’ saja dan ada yang mewajibkan mandi. Adapun yang hanya
membatalkan wudhu’ dan tidak mewajibkan mandi adalah kencing, madzi dan
wadi.
Air madzi
adalah air kuning encer yang pada ghalibnya / biasanya ia keluar dari kubul
ketika ia merasakan nikmat. Air wadi adalah air kental dan putih serupa dengan
air mani ; umumnya ia keluar setelah kencing. Yang serupa dengan air wadi
adalah air hadi yaitu air putih yang keluar dari qubul wanita
hamil sebelum melahirkan dan air mani yang keluar tanpa merasakan nikmat. Tidak
dapat disangkal bahwa semua ini adalah keluar dari qubul. Sedangkan Sesuatu
yang keluar dari dubur adalah tahi, dan kentut.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
( إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ:
أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا
أَوْ يَجِدَ رِيحًا ) أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu
berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila
seseorang di antara kamu merasakan sesuatu dalam perutnya kemudian dia
ragu-ragu apakah dia mengeluarkan sesuatu (kentut) atau tidak maka janganlah
sekali-kali ia keluar dari masjid kecuali ia mendengar suara atau mencium
baunya" Dikeluarkan oleh Muslim.
2.
Sesuatu
yang keluar dari salah satu dua jalan dengan cara yang tidak biasa.
Sesuatu yang keluar dari salah satu
dua jalan dengan cara yang tidak biasa, seperti batu kerikil, ulat, darah, air
nanah yang tidak bercampur dengan darah dan air nanah yang bercampur dengan
darah. Ia dapat membatalkan wudhu’, baik ia keluar dari qubul maupun dubur.
Kedua : Sesuatu yang menyebabkan batalnya wudhu’ selain yang
keluar dari salah satu dua jalan. Hal ini dibagi menjadi 4, Yaitu :
1.
Hilang
Akal, Baik karena gila, ayan, mabuk, pingsan maupun tidur.
Tidur dapat
membatalkan wudhu’ bukan karena tidur itu sendiri melainkan karena terjadinya
hadats yang disebabkan karena tidur. Tidur itu dapat membatalkan wudhu’ jika
pantatnya tidak tetap diatas tanah atau lainnya, sekalipun dapat dipastikan
tidak keluar hadats. Tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila orang yang
tidur itu tidak duduk mantap diatas tempatnya, misalnya ia tidur sambil duduk
atau sambil mengendarai sesuatu tanpa ada renggang antara tempat duduk dan
tempat menetapnya. Jika ia tidur telentang atau miring; antara tempat duduknya
dan tempat tetapnya itu ada renggang, karena ia kurus, maka batallah wudhu’nya.
Dan wudhu’ itu tidak batal disebabkan karena ngantuk, yaitu rasa berat pada
otak akan tetapi bersamaan dengan itu pula masih dapat mendengar pembicaraan
orang – orang yang ada disekitarnya walaupun tidak dapat memahaminya.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم -عَلَى عَهْدِهِ- يَنْتَظِرُونَ اَلْعِشَاءَ حَتَّى تَخْفِقَ
رُؤُوسُهُمْ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ ) أَخْرَجَهُ أَبُو
دَاوُدَ وَصَحَّحَهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ ُ وَأَصْلُهُ فِي مُسْلِ
Anas Ibnu Malik
Radliyallaahu 'anhu berkata: pernah para shahabat Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam pada jamannya menunggu waktu isya' sampai kepala mereka
terangguk-angguk (karena kantuk) kemudian mereka shalat dan tidak berwudlu
Dikeluarkan oleh Abu Dawud shahih menurut Daruquthni dan berasal dari riwayat
Muslim.
2.
Menyentuh
seseorang yang dapat mengundang syahwat, baik ia wanita atau laki – laki muda.
Menyentuh wanita bukan muhrim dapat
membatalkan wudhu’ secara mutlak sekalipun tanpa merasakan nikmat,
sekalipun laki – lakinya lemah tua dan wanitanya lemah tua juga dan tidak
menarik (berwajah jelek). Mungkin juga dikatakan bahwa persoalan seorang wanita
tua yang sudah lemah dan tidak menarik itu adalah tidak adanya rasa nikmat
dengan menyentuhnya. Selama wanita itu masih hidup maka tidak akan hilang
darinya rasa nikmat dengan menyentuhnya.
Dan sentuhan
itu dapat membatalkan wudhu’ hanya apabila antara kulit yang menyentuh
dan kulit yang disentuh itu tidak ada batas penghalang. Wudhu seseorang
tidaklah batal dengan menyentuh seorang wanita muhrim, yaitu wanita yang haram
dinikahi untuk selama – lamanya karena ada hubungan nasab (keturunan) atau
susuan atau karena pernikahan. Sedangkan Wanita – wanita yang tidak haram
dinikahi selama – lamanya adalah seperti saudara perempuan isteri (ipar
perempuan), saudara perempuan dari pihak ayah isteri dan saudara perempuan dari
pihak ibu isteri (bibi isteri dari pihak ayah / ibu), maka apabila menyentuh
salah seorang dari mereka ini batallah wudhu’nya. Begitu pula wudhu’ dapat
batal dengan menyentuh wanita yang disetubuhi dengan subhat dan anak
perempuannya. Sekalipun menikahi keduanya itu adalah haram untuk selama –
lamanya akan tetapi haramnya itu bukan disebabkan karena nasab, bukan karena
susuan dan bukan pula karena perkawinan .
Seorang laki –
laki yang menyentuh laki – laki lain tidaklah batal wudhu’nya walaupun
laki – laki yang disentuh itu adalah seorang anak muda yang belum berjanggut
dan tampan, akan tetapi disunnatkan baginya untuk berwudhu. Dan tidak
batal pula seorang wanita yang menyentuh sejenisnya, begitu pula seorang banci
yang menyentuh banci lainnya ataupun ia menyentuh seorang laki – laki atau
seorang wanita. Wudhunya tidaklah batal kecuali apabila yang menyentuh
dan yang disentuh itu sampai mencapai batas syahwat bagi mereka yang mempunyai
tabi’at (kejiwaan) yang sehat. Wudhu’ juga dapat batal apabila menyentuh mayat;
akan tetapi bagi orang yang memandikan mayyit, maka ia wajib mandi setelahnya.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ
غَسَّلَ مَيْتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )
أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَه وَقَالَ
أَحْمَدُ لَا يَصِحُّ فِي هَذَا اَلْبَابِ شَيْ
Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Barangsiapa yang memandikan mayyit hendaknya ia mandi dan
barangsiapa yang membawanya hendaknya ia berwudlu" Dikeluarkan oleh Ahmad
Nasa'i dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan hadits ini hasan sedang Ahmad berkata:
tak ada sesuatu yang shahih dalam bab ini.
3.
Menyentuh
Kemaluan (Dzakar) dengan tangan.
Menyentuh
dzakar itu dapat membatalkan wudhu’, baik terhadap dzakarnya sendiri
maupun dzakar orang lain, walaupun yang disentuh itu adalah dzakar anak kecil
atau dzakar mayat. Yang batal wudhu’nya adalah yang menyentuh, bukan
yang disentu. Begitu pula bisa batal wudhu’ seorang wanita apabila ia
menyentuh qubulnya, sebagaimana juga batal wudhu’ seorang laki – laki
yang menyentuhnya. Lingkaran dubur itu adalah sama hukumnya dengan qubul
wanita. Berbeda halnya dengan buah pelir dan bulu dzakar, maka wudhu’
itu tidak batal dengan menyentuhnya. Memegang dzakar itu membatalkan wudhu’
berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW :
عَنْ
بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ )
أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّان َ وَقَالَ
اَلْبُخَارِيُّ هُوَ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا اَلْبَابِ
Dari Busrah
binti Shofwan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia
berwudlu" Dikeluarkan oleh Imam Lima dan hadits shahih menurut Tirmidzi
dan Ibnu Hibban Imam Bukhari menyatakan bahwa ia adalah hadits yang paling
shahih dalam bab ini.
Namun ada
sebagian menganggap bahwa memegang dzakar itu tidak membatalkan wudhu’
berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW :
وَعَنْ طَلْقِ
بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( قَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ
اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ
وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم "لَا إِنَّمَا
هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ ) أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان
وَقَالَ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ: هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيثِ بُسْرَة
Thalq Ibnu Ali
Radliyallaahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki berkata: saya menyentuh
kemaluanku atau ia berkata: seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada
waktu shalat apakah ia wajib berwudlu؟
Nabi menjawab: "Tidak karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu"
Dikeluarkan oleh Imam Lima dan shahih menurut Ibnu Hibban Ibnul Madiny berkata:
Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.
Wudhu’ tidak dapat batal apabila menyentuh tempat potongan dzakar
(tempat sunatannya), dengan syarat – syarat berikut :
a. Adanya
suatu penghalang
b. Sentuhan
itu tidak dilakukan dengan menggunakan telapak tangan atau jemari tangan bagian
dalam.
Yang disebut
dengan telapak tangan atau jemari tangan bagian dalam adalah bagian yang tertutup
disaat kedua tangan itu dirapatkan dengan sedikit ditekan. Oleh sebab itu maka wudhu’
tersebut tidak batal dengan menyentuh dzakar menggunakan bagian pinggir telapak
tangannya atau dengan menggunakan ujung jemarinya dan dengan menggunakan bagian
yang terdapat antara pinggir telapak tangan dan ujung jemari.
4.
Sesuatu
yang keluar dari badan manusia selain dari qubul dan dubur, seperti nanah yang
keluar dari bisul atau darah yang keluar karena sebab bisul itu, atau
disebabkan karena luka.
Wudhu’ juga bisa batal disebabkan karena murtad. Apabila seseorang yang
mempunyai wudhu; keluar dari islam, maka wudhu’nya batal. Hal itu banyak
terjadi pada orang – orang bodoh yang dikuasai oleh perasaan sangat marah lalu
mereka menghina agama dan berucap dengan kata – kata yang dapat mengkafirkan
tanpa sadar kemudian mereka menyesal setelahnya, maka wudhu’ mereka batal bila
mereka mempunyai wudhu’. Wudhu’ tidaklah batal disebabkan karena tertawa dengan
terbahak – bahak dalam sholat.
Wudhu’ juga tidak batal disebabkan karena ragu – ragu dalam hadats.
Dalam hal itu terdapat 2 bentuk :
Pertama : Ia
berwudhu’ dengan yakin, kemudian ia ragu apakah ia berhadats ataupun tidak.
Keraguan ini tidaklah membatalkan wudhu’nya, karena ia ragu akan
terjadinya hadats setelah melakukan wudhu’. Sedangkan keraguan tidak
dapat menghilangkan keyakinan tentang adanya thaharah.
Kedua : Ia berwudhu’
dengan yakin dan berhadats dengan yakin pula, akan tetapi iaragu apakah ia berwudhu’
sebelum hadats, maka dalam hal ini wudhu’nya batal karena hadats atau ia
berwudhu’ setelah hadats, maka dalam hal ini wudhu’nya itu masih.
Dalam kasus
semacam ini terdapat 2 hal :
1.
Sebelum
itu ia ingat akan wudhu’ dan hadats yang diragukan itu, akan tetapi ia
tidak tahu mana diantara keduanya yang terjadi terlebih dahulu. Jika ingat
bahwa ia berhadats sebelum berwudhu’, maka ia dianggap mempunyai wudhu’
karena telah tetap suatu keyakinan bahwa ia berwudhu’ setelah hadats pertama,
dan ia ragu apakah ia berhadats lagi atau tidak.
Contohnya
adalah, jika ada seorang berwudhu’ setelah sholat dzuhur dengan yakin, dan
berhadats dengan yakin, akan tetapi ia ragu apakah hadats yang membatalkan itu
terjadi terlebih dahulu, maka dalam hal ini maka wudhu’nya masih; atau
ia berwudhu’ terlebih dahulu, maka dalam hal ini maka wudhu’nya batal
karena hadats tersebut.
Dalam hal ini
hendaknya ia melihat terhadap apa yang ada pada dirinya sebelum sholat dzuhur.
Jika ia ingat bahwa ia berhadats sebelum sholat dzuhur, maka ia dianggap Mutathahhir (suci
dari hadats) setelah dzuhur, karena ia meyakini hadats pertama itu terjadi
setelah dzuhur dan meyakini adanya wudhu’ yang ia lakukan setelah dzuhur; serta
ragu terhadap hadats kedua yang terjadi setelah dzuhur, apakah hadats itu
terjadi sebelum wudhu’ atau sesudahnya? Keraguan tidaklah menghilangkan
hadats tersebut, maka dengan demikian berarti ia masih mempunyai wudhu’.
2.
Ia
ingat bahwa ia berwudhu’ sebelum dzuhur, kemudian ia berwudhu’ lagi setelah
dzuhur dan berhadats.
Semua ini
adalah apabila orang tersebut ragu setelah wudhu’nya itu sempurna. Sedangkan
apabila ia ragu disaat pertengahan wudhu’ tentang anggota wudhu’ yang
disucikannya, maka ia wajib mengulangi mensucikan anggota wudhu’ yang diragukan
itu.[32]
L.
Tata Cara (Praktek Wudhu)
Sebelum kita mengambil air wudhu,
hendaknya kita membaca basmalah seperti dikemukakan hadits berikut:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَلاَ
وُضُوْءَ لِمَنْ لاَ يَذْ كُرِاسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Tidak
sah shalat seseorang yang tidak berwudhu sebelumnya, dan tidak sah wudhu
seseorang jika tidak diawali dengan membaca basmalah. (HR Ahmad).
Wudhu diawali dengan
mencuci tangan tiga kali, berkumur lalu membersihkan lubang hidung
masing-masing tiga kali. Setelah itu kita membasuh muka, lalu membasuh kedua
lengan sampai siku (lengan kanan terlebih dahulu), masing-masing juga tiga
kali. Selesai membasuh tangan dilanjutkan dengan membasuh kepala. Caranya,
kepala kita usap dengan tangan basah, yaitu mulai dari depan ke belakang terus
dibalikkan ketelinga bagian dalam dan ibu jari mengusap telinga bagian luar
sekali, kemudian dilanjutkan dengan membasuh kedua kaki hingga mata kaki (kaki
kanan lebih dahuli), masing-masing tiga kali. Cara Wudhu Rasulullah Saw.
Dapat dilihat dalam hadits berikut ini.
قِيْلَ
لِعَبْدِاللهِ بْنِ زَيْدٍ : تَوَضَّأْ رَسُوْ لِ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَدَعَا بِاِ نَاءٍ فَا كْفَأَ مِنْهُ عَلَ يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلاَ ثًا
ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَا سْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَا سْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ
وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَالِكَ ثَلاَثًا, ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَا سْتَخْرَجَهَا
فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَ ثاً, ثُمَّ اَدْخَلَ يَدَهُ فَا سْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ
بِرَأْسِهِ فَاَقْبَلَ بِيَديْهِ وَاَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ اِلىَ
الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ: هَاكَذَا كَانَ وُضُوْءَ رَسًوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Seseorang
berkata kepada ‘Abdullah bin Zaid,” Coba jelaskan kepadaku praktek wudhu
Rasulullah Saw.! Untuk itu, ‘Abdullah kemudian mengambil satu bejana berisi
air, lalu mengucurkan air pada kedua tangannya, kemudian membasuh kedua tangan
tiga kali. Setelah itu, ia memasukkan tangan kedalam bejana berisi air, lalu berkumur
dan menghisap air ke hidung dari telapak tangan tiga kali, terus memasukkan
bejana berisi air, lalu di keluarkan lagi, terus membasuh muka tiga kali.
Setelah itu, ia memasukkan lagi tangannya hingga ke siku tiga kali, kemudian
memasukkan lagi tangan ke wadah dan mengeluarkannya, lalu mengusap kepala,
yaitu menggerakan kedua tangan pada kepala bagian depan ke belakang. Setelah
itu, membasuh dua kakinya hingga mata kaki, lalu dia (A’bdullah bin Zaid)
berkata, “Nah begitulah praktek wudhu Rasulullah.” (HR.
Bukhori-Muslim).
Catatan: menurut riwayat Bukhari, Ibnu
‘Abbas dan dari ‘Abdullah bin Zaid, Rasulullah Saw. Pernah berwudhu
sekali-sekali, pernah juga dua kali-dua, dan juga menurut riwayat muslim dari
‘Utsman, Rasulullah Saw. Pernah berwudhu kali-tiga kali.
Bagi orang yang
menggunakan sorban atau ikat kepala, seperti banyak suku bangsa di Indonesia
dan sejumlah bangsa muslim lainnya, tutup kepala boleh tidak dilepas, cukup
digeserkan sedikit ke belakang agar sebagian rambut atau kepala bagian depan
bisa terlihat, lalu rambut itu diusap, disekalikan dengan mengusap sorban (ikat
kepala). Kebolehan praktek demikian didasarkan pada hadits berikut:
بَعَثَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً فَاَ مَرَهُمْ اَنْ يَمْسَحُوْا
عَلَى الْعَصَا ئِبِ يَعْنِى الْمَمَا ئِم
- وَالنَّسَا خَيْنِ – يَعْنِى الْخِفَافَ
Rasulullah
Saw. Pernah mengirimkan pasukan (ke medan perang), beliau menyuruh pasukan
tersebut agar (pada waktu berwudhu cukup dengan) mengusap sorban dan sepatunya
saja. (HR. Ahmad,
Abu Daud).
Demikian
juga, bagi orang yang memakai sepatu, ia boleh tidak usah membuka sepatu
asalkan bagian atas sepatu itu diusap dengan tangan yang basah. Adapun
kebolehan tidak usah membuka sepatu adalah bagi orang yang sedang berpergian
selama tiga hari tiga malam. Tetapi bagi yang tidak berpergian hanya
diperbolehkan sehari-semalam.
جَعَلَ النَّبِيُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثَلاَثَةَ اَيَّا مٍ وَلَيَا لِيَهُنَّ لِلْمُسَا فِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً
لِلْمُقِيْمِ – يَعْنِى فِى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ.
Nabi
Saw. Menetapkan tiga hari tiga malam bagi yang sedang berpergian dan sehari
bagi yang tidak berpergian, yaitu dalam hal mengusap sepatu bagian atas. (HR. Muslim).[33]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tentang wudhu,
dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pengertian
wudhu adalah membersihkan anggota
tubuh tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat,
membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala.
2.
Pensyariatan wudhu sudah disyari’atkan Allah SWT sejak
awal-awal Islam, ketika Allah SWT mensyari’atkan sholat pada malam isro’ dan
mi’roj.
3.
Adapun
landasan hukum wudhu yaitu Surah Al-Maidah ayat 6, dan hadits yang
artinya yaitu “Allah tidak menerima sholat seseorang diantaramu bila ia
berhadast, sampai ia berwudhu”. Serta Ijma’ yang telah terjalin
kesepakatan kaum muslimin atas di syari’atkan wudhu, semenjak zaman Rosulullah
SAW.
4.
Para
ulama fiqih berpendapat bahwa hadas itu dibagi menjadi dua bagian, pertama:
Hadast kecil, yaitu yang hanya mewajibkan wudhu’ saja. Kedua:
Hadas besar yang kedua ini pun dibagi dua: ada yang hanya diwajibkan
mandi saja, dan ada yang diwajibkan mandi dan wudhu secara bersamaan.
5.
Keistimewaan Wudhu merupakan syarat sah
bagi pelaksanaan beberapa ibadah, seperti shalat dan thawaf. Tidak hanya itu,
wudhu juga menjadi syara’ di bolehkannya seseorang menyentuh mushaf sebagai
kitab-kitab suci yang didalamnya termaktub firman-firman Allah SWT. Disamping
kegunaan-kegunaan yang hendak dicapai di atas berwudhu juga akan
menghapuskan atau paling tidak akan mengurangi dosa.
6.
Adapun
hukum wudhu tidak bersifat mutlak tetapi tergantung kondisi dan
kebutuhan, seperti fardu, wajib, sunat / mandub / mustahab, makruh, mubah dan
mamnu’/ haram.
7.
Adapun
fardhu-fardhu (rukun wudhu) yaitu Niat, membasuh muka, membasuh dua
telapak tangan, mengusap kepala, membasuh dua kaki, tertib dan muwalat.
8.
Adapun
syara’ wajib wudhu yaitu muslim, baligh, berakal, mampu menggunakan air
yang suci dan cukup, sedang beradas keci;, tidak haid, tidak nifas dan ketika
waktu untuk mengerjakan ibadah sudah datang. Sedangkan syarat sah wudhu yaitu
menyiram air secara merata, menghilangkan apa-apa yang menghalangii wudhu,
memberhentikan wudhu apabila terlarang wudhu’ seperti haid, nifas dll,
dan berwudhu setelah masuk waktu dekat dengan masuk waktu.
9.
Ada
sepuluh, bahkan lebih, sunnah-sunnah wudhu berdasarkan mazhaf syafi’i.
Sunnah-sunnah wudhu ini ada yang dilakukan sebelum berwudhu, ada
yang dilaksanakan ketika sedang berwudhu, dan ada yang dilakukan ketika
selesai berwudhu.
10.
Adapun
makruh-makruh wudhu yaitu menggunakan air berlebihan, berbicara ketika wudhu,
berlebih lebihan dalam berkumur dan berkumur bagi orang yang berpuasa, atau ber
–istinsyak, berwudhu’ ditempat yang mutanajjis, menyapu/membasuh
anggota wudhu lebih dari tiga kali.
11.
Hal
yang dapat membatalkan wudhu dibagi menjadi 2 bagian: Pertama
ialah Sesuatu yang keluar dari dua jalan yaitu Qubul dan dubur, Kedua
ialah Sesuatu yang menyebabkan batalnya wudhu’ selain yang keluar dari
salah satu dua jalan.
12.
Wudhu diawali dengan mencuci tangan tiga kali,
berkumur lalu membersihkan lubang hidung masing-masing tiga kali. Setelah itu
kita membasuh muka, lalu membasuh kedua lengan sampai siku (lengan kanan
terlebih dahulu), masing-masing juga tiga kali. Selesai membasuh tangan
dilanjutkan dengan membasuh kepala. Caranya, kepala kita usap dengan tangan
basah, yaitu mulai dari depan ke belakang terus dibalikkan ketelinga bagian
dalam dan ibu jari mengusap telinga bagian luar sekali, kemudian dilanjutkan
dengan membasuh kedua kaki hingga mata kaki (kaki kanan lebih dahuli),
masing-masing tiga kali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Al-Rahman. 1996. Silsilah-Arba’ah, Juz 1.Mesir:
Dar al-Fikr.
Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu. Mesir:
Dar al-Fikr.
Tafsir
Munir. Mesir: Dar al-Fikr.
Cholidi. 2012. BERSIH Dalam Persfektif Fiqh (Berbasis Mazhab
Syafi’i). Palembang : Syari’ah IAIN Raden Fatah Press.
Labib. 2000. Rangkuman Shalat Lengkap. Surabaya: Bintang
Usaha Jaya.
Munawwir, A.W. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Cet Ke-4. Surabaya: Pustaka Progresif.
Saqiran. 2007. Mukjizat Gerakan Shalat. Jakarta: Qultumedia.
Sayid, Sabiq. 1937. Fiqih Sunnah 1. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Sukandi, Syarief. 2011. Bimbingan Praktis Fiqh Ibadah, Cet III.
Bandung: Kiblat.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 2013. Fiqih Lima Mazhab, Cetakan
Ke-28. Jakarta: Lentera Anggota IKAPI.
Blog Archive. Belajar Tanpa Batas. diakses dari http://tulisanserat.blogspot.com/2012/10/hal-hal-yang-makruh-dalam-berwudhu.html. Pada
tanggal 28 Oktober 2013 pukul 22.47.
[1] A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap,Cet. Ke-4, (Surabaya:Pustaka Progressif,
1997), hlm. 1564.
[2] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adilatuhu, (Mesir: Daar al-Fikri), hlm.359-360.
[3] Prof.
DR. Cholidi, MA, BERSIH Dalam persfektif fikih (Berbasis Mazhab Syafi’i),
(Palembang: Syari’ah IAIN Raden Fatah
Press, 2012), hlm. 67.
[5]
Prof. DR. Cholidi, MA,, Op.Cit., Loc.
[6]
Ibid, hlm. 67-68.
[8]
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cetakan ke-28, (Jakarta:
Lentera Anggota IKAPI, 2013), hlm. 20-21.
[11] Wahbah Al-Zuhaily, op.cit.,
hlm. 361.
[12]
Ibid, hlm. 364.
[13]
Ibid, hlm. 365.
[14]
Ibid, hlm. 364.
[15] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhaj
Al-Shahih Muslim, (Daar Al-Fikr: Beirut, 1995), hlm. 167.
[16] Muhammad
Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 22.
[17] Wahbah Al-Zuhaili, Tafsir munir, Op.
Cit, hlm. 211.
[18] Muhammad
Jawad Mughniyah, Op.Loc.
[19]
Saqiran, Mukjizat Gerakan Shalat, (Jakarta: Qultummedia, 2007), hlm. 10.
[20]
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 23.
[21] Wahbah
Zuhaili, Op.Cit., hlm. 371-374.
[22] Muhammad
Jawad Mughniyah, Op.Loc.
[23] Wahbah
Al-Zuhaily, Op.Cit., hlm. 214
[24]
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 23-24.
[25] Wahbah
Al-Zuhaily, Op.Cit., hlm. 215
[26] Muhammad
Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 24-25.
[27] Muhammad
Jawad Mughniyah, Op.Cit., hlm. 26.
[28] Wahbah Al-Zuhaily, Op. cit., hlm.
391-392.
[29] Prof.
Dr. Cholidi, MA, Op. Cit, hlm. 97-115.
[30]
Ibid, hlm. 116-117.
[31]
Muhammad Jawad Mughniyah, Op.Loc.
[32] Blog
Archive, Belajar Tanpa Batas, diakses dari http://tulisanserat.blogspot.com/2012/10/hal-hal-yang-makruh-dalam-berwudhu.html,
pada tanggal 28 Oktober 2013 pukul 22.47.
[33] KH.
Syarief Sukandi, Bimbingan Praktis Fiqh Ibadah, Cet III, (Bandung: Kiblat,
2011), hlm. 18-20.
#makalah_s1_fakultas_syariah_dan_hukum_UIN_Rafah