Wednesday, 2 December 2015

Jual Beli Patung dan Benda Yang Tidak Bernilai Material Dalam Pandangan Para Fuqoha

Jual Beli Patung dan Benda Yang Tidak Bernilai Material  Dalam Pandangan Para Fuqoha
Oleh: Iswahyudi


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Syari’at Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia baik hubungan vertikal dengan Sang Pencipta maupun hubungan secara horizontal dengan sesama manusia.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari kegiatan bermuamalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu transaksi mu’amalah yang di syari’atkan oleh Islam adalah jual beli. Transaksi jual beli ini merupakan transaksi perdagangan, adapun yang ditransaksikan adalah objeknya yaitu barang yang diperjual belikan dan saubjeknya adalah adalah orang yang melakukan transaksi.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis membahas berkenaan dengan objek dari jual beli yaitu “Jual Beli Patung dan Benda Yang Tidak Bernilai Material Dalam Pandangan Para Fuqoha.”

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah ini, yaitu:
1.      Bagaimana pengertian, rukun, dan syarat dari jual beli?
2.      Bagaimana jual beli patung dalam pandangan para fuqoha?
3.      Bagaimana jual beli benda tidak bernilai material dalam pandangan para fuqoha?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian, Rukun dan Syarat-Syarat Jual Beli

Pengertian

Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’ artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).[1]
Jual beli secara lughawi adalah saling menukar. Jual beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah al-bay’. Secara terminology jual beli adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakatinya. Menurut syari’at islam jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
Jual-beli adalah suatu kegiatan tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu baik dilakukan dengan menggunakan akad maupun tidak menggunakan akad.[2] Intinya, antara penjual dan pembeli telah mengetahui masing-masing bahwa transaksi jual-beli telah berlangsung dengan sempurna.
Landasan Syara’:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Artinya: “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah: dasarnya hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW.[3]


Rukun

Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkanpertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual-beli menurut Jumhur Ulama ada empat, yaitu[4]:
a.   Bai’ (penjual)
b.   Mustari (pembeli)
c.   Shighat (ijab dan qabul)
d.   Ma’qud ‘alaih (benda atau barang).

Syarat-Syarat
Transaksi jual-beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi tiga syarat jual-beli, yaitu:
a.   Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual-beli
b.   Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari penjual kepada pembeli
c.   Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli (sighat ijab qabul).
Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah:
a.    Agar tidak terjai penipuan, maka keduanya harus berakal sehat dan dapat membedakan (memilih).
b.    Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan, bukan karena terpaksa.
c.    Dewasa atau baligh.
Syarat benda dan uang yang diperjual belikan sebagai berikut:
a.    Bersih atau suci barangnya
b.    Ada manfaatnya: jual beli yang ada manfaatnya sah, sedangkan yang tidak ada manfaatnya tidak sah, seperti jual beli lalat, nyamuk, dan sebagainya.
c.    Dapat dikuasai: tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual beli kuda yang sedang lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap lagi, atau barang yang sudah hilang atau barang yang sulit mendapatkannya.
d.   Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain dengan tidak seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru akan menjadi miliknya.
e.    Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga itu, begitu juga jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja dalam janji (tanggungan), maka hukumnya boleh.[5]

B.     Jual Beli Patung Dalam Pandangan Para Fuqoha

Dalam hadits Jabir disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari no. 2236 dan Muslim no. 4132). Yang dimaksud shonam dalam hadits adalah patung yang memiliki bentuk tubuh.
Mengenai alasan haramnya jual beli patung, sebagian ulama mengatakan bahwa sebabnya karena tidak ada manfaatnya.
Ada yang berpendapat, jika patung tersebut dihancurkan, lalu yang sudah hancur tersebut dijual, baru dibolehkan ada lagi berdasarkan kelengkapan dari rupa patung.
Imam Ash Shon’ani mengatakan, “Alasan larangan jual beli patung karena adanya larangan jual beli benda tersebut. Namun boleh menjual yang sudah dihancurkan karena bukan lagi disebut patung atau berhala (ash-nam). Dan tidak ada satu pun dalil yang melarang jual beli patung yang sudah dihancurkan.”[6]
Alasan lainnya dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan bahwa patung dilarang diperjualbelikan karena dapat merusak agama serta sebagai perantara menuju kesyirikan.  Sama halnya dengan jual beli salib dan kitab yang berisi kesyirikan dan peribadahan kepada selain, jelas juga haramnya.[7]
Yang menunjukkan bahwa membuat patung adalah perantara menuju kesyirikan disebutkan dalam perkataan Ibnu Taimiyah berikut ini. Beliau berkata, “Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan bahwa mereka yang disebut dalam surat Nuh adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika mereka mati, orang-orang pada i’tikaf di sisi kubur mereka. Lalu mereka membuat patung orang sholih tersebut. Lantas orang sholih tersebut disembah. Ini sudah masyhur dalam kitab tafsir dan hadits, serta selainnya seperti disebutkan oleh Imam Bukhari.”
Ayat yang dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyah,

“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr” (QS. Nuh: 23).
Ibnu Katsir berkata bahwa ini adalah nama-nama berhala-berhala orang musyrik.
Disebutkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa berhala-berhala tersebut adalah berhala yang disembah di zaman Nabi Nuh.[8]
Kemudian berdasarkan kelengkapan dari rupa patung yaitu;
Adapun patung, maka diharamkan membuat dan memperdagangkannya jika  Patung itu dibuat dengan anggota tubuh lengkap, tidak ada keperluan untuk membuatnya dan dibuat dari bahan yang dapat bertahan lama seperti kayu, logam dan batu. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa’id bin Abi Hasan, dia berkata, “Ketika saya bersama Ibnu Abbas, datanglah seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Abu Abbas, saya adalah orang yang penghidupannya tergantung pada hasil kerajinan tangan saya. Dan saya membuat patung-patung ini.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Aku tidak memberitahumu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah saw.. Aku mendengar beliau bersabda,
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيْهَا أَبَدًا
Barang siapa yang membuat patung, maka Allah akan mengazabnya sampai dia meniupkan ruh kepada patung itu. Akan tetapi dia tidak akan pernah mampu meniupkan ruh kepadanya selama-lamanya.”
Mendengar hal itu tubuh orang tersebut gemetar, hingga wajahnya menjadi pucat. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Kenapa kamu ini! Jika kamu tetap ingin membuat patung, maka buatlah patung pohon dan segala sesuatu yang tidak mempunyai ruh.”
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang berbicara mengenai keharaman membuat patung ini. Jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan hadits ini dengan pembuatan patung sebagaimana dipahami dari konteks hadits. Begitu pula diharamkan memiliki, membuat dan memperdagangkan patung. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.
لاَ تَدخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ
Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan patung.” (Muttafaq alaih).
Hal ini jika patung tersebut mempunyai anggota tubuh lengkap. Tetapi jika patung tersebut tidak mempunyai anggota tubuh yang lengkap, yaitu ia tidak mungkin hidup dalam kondisinya itu jika diwujudkan dalam alam nyata, maka hukum membuatnya, memperdagangkannya dan memilikinya adalah boleh. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda,
أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لِيْ: أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ أَنْ أَكُوْنَ دَخَلْتُ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيْلُ، فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي فِي الْبَيْتِ يُقْطَعُ فَيَصِيْرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَة
Jibril a.s. mendatangiku dan berkata, “Tadi malam aku mendatangimu, namun tidak ada yang menghalangiku untuk masuk ke rumah selain patung yang ada di pintu. Suruhlah untuk menghilangkan kepala patung yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan secara mawqûf dan marfû’ oleh Baihaqi dan lainnya,
الصُّوْرَةُ الرَّأْسُ؛ فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ فَلَيْسَ بِصُوْرَةٍ
Patung adalah kepala. Jika kepala dihilangkan, maka ia bukan lagi patung.”
Dalam keharaman ini, para ulama memberikan pengecualian, yaitu patung-patung yang dibuat untuk suatu kemaslahatan tertentu, seperti untuk mainan anak-anak dan media untuk mengajar. Hal ini didasarkan pada sikap Nabi saw. yang membiarkan boneka-boneka milik Aisyah r.a..
Seorang ulama Malikiyah yang bernama Ashbagh bin Faraj membolehkan pembuatan patung dari makanan dan adonan kue. Bahkan, ada sebagian ulama yang membatasi pengharaman ini pada patung yang dibuat dengan tujuan menyamai hak penciptaan yang hanya dimiliki oleh Allah. Akan tetapi, pendapat ini lemah.[9]

C.    Jual Beli Benda Yang Tidak Bernilai Material

Jual beli benda yang tidak bernilai material, adalah jual beli yang mana objek benda yang diperjual belikan tidak jelas tentang tidak ada kemanfaatan, keadaan benda tersebut atau tak bernilai harganya.
Dan jual beli ini adalah yang dilarang dan digolongkan yang terlarang sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan).
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad.
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarag ada 10 macam :
o  Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya
o  Tidak diketahui harga dan barang
o  Tidak diketahui sifat barang atau harga
o  Tidak diketahui ukuran barang dan harga
o  Tidak diketahui masa yang akan datang seperti, “Saya jual kepadamu jika fulan datang”.
o  Menghargakan dua kali pada satu barang
o  Menjual barang yang diharapkan selamat
o  Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib membeli
o  Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
o  Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
o  Harus jauh sekali tempatnya
o  Tidak boleh dekat sekali tempatnya
o  Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
o  Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
o  Penjual tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.[10]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan makalah diatas, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Jual-beli adalah suatu kegiatan tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu baik dilakukan dengan menggunakan akad maupun tidak menggunakan akad, dan rukun nya antara lain (penjual, pembeli, ijab qabul dan barang objeknya), dan syarat-syarat jual beli adalah berkenaan dengan keadaan akad serta objek, dan penjual serta pembeli.
2.    Hukum Jual beli berdasarkan hadits rasulullah adalah haram karena mengandung unsur kepada kesyirikan. Dan apabila patung tersebut tidak adak kebermanfaatan ulama berbeda pendapat tentang jual-belinya.
3.    Jual beli benda yang tidak bernilai material, adalah jual beli yang mana objek benda yang diperjual belikan tidak jelas tentang tidak ada kemanfaatan, keadaan benda tersebut atau tak bernilai harganya. Dan jual beli ini adalah yang dilarang dan digolongkan yang terlarang sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan).


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Al-Hadits

Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fqihul Islami wa Adillatuhu Jilid 4. (program aplikasi)

Al-Harroni, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah. Majmu’atul Fatawa. 1432 H.  Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm.

Al-Fauzan, Abdullah bin Sholeh. Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom. 1432 H. Dar Ibnul Jauzi.

Ash-Shon’aini, Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani. Subulus Salam.  1432 H. terbitan Dari Ibnul Jauzi.

Imron, Ali. Fikih Taharah, Ibadah Muamalah. 2011. Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis.

Rifa’I, Moh. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. 1978. Semarang: Toha Putra.

Sabiq. Sayyid. Fiqh As-Sunnah, juz 3. Beirut: Dar Al-Fikr.

Yunus, Mahmud dan Nadlrah Naimi. Fiqih Muamalah. 2011. Medan: CP. Ratu Jaya.

Jum’ah Muhammad, “jual beli gambar dan patung” http://balyanda.blogspot.co.id/2011/04/hukum-jual-beli-gambar-dan-patung.html (Download 10 Oktober 2015)

Islam Is Peace, “Jual beli menurut ilmu fiqh” https://slametimo.wordpress.com/muamalah/jual-beli-menurut-ilmu-fiqih.html (Download 10 Oktober 2015)








[1] Moh Rifa’i,Ilmu Fiqih Islam Lengkap,Toha Putra,Semarang:1978, hal 402
[2] Ali Imran,Fikih Taharah, Ibadah Muamalah, Cipta Pustaka Media Perintis, Bandung:2011
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, juz 3. Beirut: Dar Al-Fikr,Cetakan III, 198,  hal.93
[4] Wahbah Az-zuhaili. Al-Fqihul Islami wa Adillatuhu. Jilid 4 hal. 364
[5] Mahmud Yunus, dan Nadlrah Naimi,Fiqih Muamalah, CP. Ratu Jaya, Medan: 2011, hal 104-105
[6] Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani, Subulus Salam,  terbitan Dari Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432, hal: 11
[7] ‘Abdullah bin Sholeh Al Fauzan, Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, hlm. 17
[8] Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah Al Harroni, Majmu’atul Fatawa, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H. hlm. 151
[9] Jum’ah Muhammad, “jual beli gambar dan patung” http://balyanda.blogspot.co.id/2011/04/hukum-jual-beli-gambar-dan-patung.html (Download 10 Oktober 2015)
[10] [10] Islam Is Peace, “Jual beli menurut ilmu fiqh” https://slametimo.wordpress.com/muamalah/jual-beli-menurut-ilmu-fiqih.html (Download 10 Oktober 2015)


#makalah s1 fakultas syariah dan hukum UIN RAFAH
loading...