Jual Beli Patung dan Benda Yang Tidak Bernilai Material Dalam Pandangan Para Fuqoha
Oleh: Iswahyudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Berbisnis merupakan aktivitas yang
sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah
menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang
(al-hadits). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan
dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan
sesuatu yang diperbolehkan (QS 2 : 275), dengan catatan selama dilakukan dengan
benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Islam adalah
agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya
kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan
syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Syari’at Islam mengatur
segala aspek kehidupan manusia baik hubungan vertikal dengan Sang Pencipta
maupun hubungan secara horizontal dengan sesama manusia.
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak terlepas dari kegiatan bermuamalah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Salah satu transaksi mu’amalah yang di syari’atkan oleh
Islam adalah jual beli. Transaksi jual beli ini merupakan transaksi
perdagangan, adapun yang ditransaksikan adalah objeknya yaitu barang yang
diperjual belikan dan saubjeknya adalah adalah orang yang melakukan transaksi.
Oleh karena
itu, pada makalah ini penulis membahas berkenaan dengan objek dari jual beli
yaitu “Jual Beli Patung dan Benda Yang Tidak Bernilai Material Dalam Pandangan
Para Fuqoha.”
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa
rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana
pengertian, rukun, dan syarat dari jual beli?
2.
Bagaimana
jual beli patung dalam pandangan para fuqoha?
3.
Bagaimana
jual beli benda tidak bernilai material dalam pandangan para fuqoha?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Rukun
dan Syarat-Syarat Jual Beli
Pengertian
Jual beli
menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan sesuatu, sedang menurut syara’
artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (‘aqad).[1]
Jual beli
secara lughawi adalah saling menukar. Jual beli dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah al-bay’. Secara terminology jual beli adalah suatu transaksi yang
dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang
dengan harga yang disepakatinya. Menurut syari’at islam jual
beli adalah
pertukaran harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan
ganti yang dapat dibenarkan.
Jual-beli
adalah suatu kegiatan tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara
tertentu baik dilakukan dengan menggunakan akad maupun tidak menggunakan akad.[2]
Intinya, antara penjual dan pembeli telah mengetahui masing-masing bahwa
transaksi jual-beli telah berlangsung dengan sempurna.
Landasan
Syara’:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Artinya: “
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Secara asalnya, jua-beli itu merupakan hal yang hukumnya mubah atau
dibolehkan. Sebagaimana ungkapan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah: dasarnya
hukum jual-beli itu seluruhnya adalah mubah, yaitu apabila dengan keridhaan
dari kedua-belah pihak. Kecuali apabila jual-beli itu dilarang oleh Rasulullah
SAW. Atau yang maknanya termasuk yang dilarang beliau SAW.[3]
Rukun
Dalam menetapkan rukun jual-beli, diantara para ulama
terjadi perbedaan pendapat. Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual-beli adalah
ijab dan qabul yang menunjukkanpertukaran barang secara rida, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.
a.
Bai’ (penjual)
b.
Mustari
(pembeli)
c.
Shighat (ijab
dan qabul)
d.
Ma’qud ‘alaih
(benda atau barang).
Syarat-Syarat
Transaksi jual-beli baru dinyatakan
terjadi apabila terpenuhi tiga syarat jual-beli, yaitu:
a.
Adanya dua
pihak yang melakukan transaksi jual-beli
b.
Adanya sesuatu
atau barang yang dipindahtangankan dari penjual kepada pembeli
c.
Adanya kalimat
yang menyatakan terjadinya transaksi jual-beli (sighat ijab qabul).
Syarat yang harus dipenuhi oleh penjual
dan pembeli adalah:
a. Agar tidak terjai penipuan, maka keduanya harus berakal
sehat dan dapat membedakan (memilih).
b. Dengan kehendaknya sendiri, keduanya saling merelakan,
bukan karena terpaksa.
c. Dewasa atau baligh.
Syarat benda dan uang yang diperjual
belikan sebagai berikut:
a. Bersih atau suci barangnya
b.
Ada manfaatnya:
jual beli yang ada manfaatnya sah, sedangkan yang tidak ada manfaatnya tidak
sah, seperti jual beli lalat, nyamuk, dan sebagainya.
c.
Dapat dikuasai:
tidak sah menjual barang yang sedang lari, misalnya jual beli kuda yang sedang
lari yang belum diketahui kapan dapat ditangkap lagi, atau barang yang sudah
hilang atau barang yang sulit mendapatkannya.
d. Milik sendiri: tidak sah menjual barang orang lain dengan
tidak seizinnya, atau barang yang hanya baru akan dimilikinya atau baru akan
menjadi miliknya.
e. Mestilah diketahui kadar barang atau benda dan harga itu,
begitu juga jenis dan sifatnya. Jual beli benda yang disebutkan sifatnya saja
dalam janji (tanggungan), maka hukumnya boleh.[5]
B.
Jual Beli Patung Dalam Pandangan Para Fuqoha
Dalam hadits Jabir disebutkan,
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ
الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ
“Sesungguhnya, Allah dan Rasul-Nya mengharamkan
jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung.” (HR. Bukhari no. 2236
dan Muslim no. 4132). Yang dimaksud shonam dalam hadits adalah patung yang
memiliki bentuk tubuh.
Mengenai alasan haramnya jual beli patung,
sebagian ulama mengatakan bahwa sebabnya karena tidak ada manfaatnya.
Ada yang berpendapat, jika patung tersebut
dihancurkan, lalu yang sudah hancur tersebut dijual, baru dibolehkan ada lagi
berdasarkan kelengkapan dari rupa patung.
Imam Ash Shon’ani mengatakan, “Alasan larangan
jual beli patung karena adanya larangan jual beli benda tersebut. Namun boleh
menjual yang sudah dihancurkan karena bukan lagi disebut patung atau berhala
(ash-nam). Dan tidak ada satu pun dalil yang melarang jual beli patung yang
sudah dihancurkan.”[6]
Alasan lainnya dikemukakan oleh Syaikh
‘Abdullah Al Fauzan bahwa patung dilarang diperjualbelikan karena dapat merusak
agama serta sebagai perantara menuju kesyirikan. Sama halnya dengan jual
beli salib dan kitab yang berisi kesyirikan dan peribadahan kepada selain,
jelas juga haramnya.[7]
Yang menunjukkan bahwa membuat patung adalah
perantara menuju kesyirikan disebutkan dalam perkataan Ibnu Taimiyah berikut
ini. Beliau berkata, “Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya mengatakan bahwa mereka
yang disebut dalam surat Nuh adalah orang-orang sholih di kaum Nuh. Ketika
mereka mati, orang-orang pada i’tikaf di sisi kubur mereka. Lalu mereka membuat
patung orang sholih tersebut. Lantas orang sholih tersebut disembah. Ini sudah
masyhur dalam kitab tafsir dan hadits, serta selainnya seperti disebutkan oleh
Imam Bukhari.”
Ayat yang dimaksudkan oleh Ibnu Taimiyah,
“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan
nasr” (QS. Nuh: 23).
Ibnu Katsir berkata bahwa ini adalah nama-nama berhala-berhala
orang musyrik.
Disebutkan dari ‘Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata bahwa berhala-berhala tersebut adalah berhala yang disembah
di zaman Nabi Nuh.[8]
Kemudian berdasarkan kelengkapan dari rupa
patung yaitu;
Adapun patung,
maka diharamkan membuat dan memperdagangkannya jika Patung itu dibuat dengan anggota tubuh lengkap,
tidak ada keperluan untuk membuatnya dan dibuat dari bahan yang dapat bertahan
lama seperti kayu, logam dan batu. Hal ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa’id bin Abi Hasan, dia berkata,
“Ketika saya bersama Ibnu Abbas, datanglah seorang laki-laki dan berkata,
“Wahai Abu Abbas, saya adalah orang yang penghidupannya tergantung pada hasil
kerajinan tangan saya. Dan saya membuat patung-patung ini.” Maka Ibnu Abbas
berkata, “Aku tidak memberitahumu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah
saw.. Aku mendengar beliau bersabda,
مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ
مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيْهَا أَبَدًا
“Barang siapa yang membuat patung, maka
Allah akan mengazabnya sampai dia meniupkan ruh kepada patung itu. Akan tetapi
dia tidak akan pernah mampu meniupkan ruh kepadanya selama-lamanya.”
Mendengar hal itu tubuh orang tersebut gemetar,
hingga wajahnya menjadi pucat. Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Kenapa kamu
ini! Jika kamu tetap ingin membuat patung, maka buatlah patung pohon dan segala
sesuatu yang tidak mempunyai ruh.”
Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang
berbicara mengenai keharaman membuat patung ini. Jumhur (mayoritas) ulama
menafsirkan hadits ini dengan pembuatan patung sebagaimana dipahami dari
konteks hadits. Begitu pula diharamkan memiliki, membuat dan memperdagangkan
patung. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.
لاَ تَدخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ
كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ
“Malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya
terdapat anjing dan patung.” (Muttafaq alaih).
Hal ini jika patung tersebut mempunyai anggota
tubuh lengkap. Tetapi jika patung tersebut tidak mempunyai anggota tubuh yang
lengkap, yaitu ia tidak mungkin hidup dalam kondisinya itu jika diwujudkan
dalam alam nyata, maka hukum membuatnya, memperdagangkannya dan memilikinya
adalah boleh. Hal ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah, ia berkata,
“Rasulullah saw. bersabda,
أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
فَقَالَ لِيْ: أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ أَنْ أَكُوْنَ
دَخَلْتُ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيْلُ، فَمُرْ بِرَأْسِ
التِّمْثَالِ الَّذِي فِي الْبَيْتِ يُقْطَعُ فَيَصِيْرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَة
“Jibril a.s. mendatangiku dan berkata, “Tadi
malam aku mendatangimu, namun tidak ada yang menghalangiku untuk masuk ke rumah
selain patung yang ada di pintu. Suruhlah untuk menghilangkan kepala patung
yang ada di rumah itu sehingga menjadi seperti bentuk pohon.” (HR. Abu
Dawud dan Tirmidzi).
Dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan
secara mawqûf dan marfû’ oleh Baihaqi dan lainnya,
الصُّوْرَةُ الرَّأْسُ؛ فَإِذَا قُطِعَ الرَّأْسُ
فَلَيْسَ بِصُوْرَةٍ
“Patung adalah kepala. Jika kepala
dihilangkan, maka ia bukan lagi patung.”
Dalam keharaman ini, para ulama memberikan
pengecualian, yaitu patung-patung yang dibuat untuk suatu kemaslahatan tertentu,
seperti untuk mainan anak-anak dan media untuk mengajar. Hal ini didasarkan
pada sikap Nabi saw. yang membiarkan boneka-boneka milik Aisyah r.a..
Seorang ulama Malikiyah yang bernama Ashbagh
bin Faraj membolehkan pembuatan patung dari makanan dan adonan kue. Bahkan, ada
sebagian ulama yang membatasi pengharaman ini pada patung yang dibuat dengan
tujuan menyamai hak penciptaan yang hanya dimiliki oleh Allah. Akan tetapi,
pendapat ini lemah.[9]
C.
Jual Beli Benda Yang Tidak Bernilai Material
Jual beli benda
yang tidak bernilai material, adalah jual beli yang mana objek benda yang
diperjual belikan tidak jelas tentang tidak ada kemanfaatan, keadaan benda
tersebut atau tak bernilai harganya.
Dan jual beli
ini adalah yang dilarang dan digolongkan yang terlarang sebab Ma’qud Alaih
(Barang Jualan).
Secara umum, ma’qud alaih
adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa
disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual
beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau
bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang
akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari
syara’.
Selain itu, ada beberapa
masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama
lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak
ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang
yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak
dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan,
seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan
ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang
mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw
bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti
itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad.
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang
dilarag ada 10 macam :
o Tidak dapat diserahkan, seperti
menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya
o Tidak diketahui harga dan
barang
o Tidak diketahui sifat barang
atau harga
o Tidak diketahui ukuran barang
dan harga
o Tidak diketahui masa yang akan
datang seperti, “Saya jual kepadamu jika fulan datang”.
o Menghargakan dua kali pada satu
barang
o Menjual barang yang diharapkan
selamat
o Jual beli husha’ misalnya
pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib membeli
o Jual beli munabadzah yaitu jual
beli dengan cara lempar melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian
yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
o Jual beli mulasamah apabila
mengusap baju atau kain maka wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis
dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli
barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang
barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti
minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang
yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah
dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki
seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh
jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air
yang mubah yakni semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak
jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini
adalah fasad, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan
pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak
ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini
dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar
ketika melihatnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan
tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan
sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
o Harus jauh sekali tempatnya
o Tidak boleh dekat sekali tempatnya
o Bukan pemiliknya harus ikut
memberikan gambaran
o Harus meringkas sifat-sifat
barang secara menyeluruh
o Penjual tidak boleh memberikan
syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum
dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang
dapat dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya
secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah
melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau
tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak
ada akad. Setelah ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama
Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan
itu telah matang, akadnya dibolehkan.[10]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, dapat
di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Jual-beli adalah suatu kegiatan
tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu baik
dilakukan dengan menggunakan akad maupun tidak menggunakan akad, dan rukun nya antara lain
(penjual, pembeli, ijab qabul dan barang objeknya), dan syarat-syarat jual beli
adalah berkenaan dengan keadaan akad serta objek, dan penjual serta pembeli.
2. Hukum Jual beli berdasarkan hadits
rasulullah adalah haram karena mengandung unsur kepada kesyirikan. Dan apabila
patung tersebut tidak adak kebermanfaatan ulama berbeda pendapat tentang
jual-belinya.
3. Jual beli benda yang tidak bernilai material, adalah jual beli yang mana
objek benda yang diperjual belikan tidak jelas tentang tidak ada kemanfaatan,
keadaan benda tersebut atau tak bernilai harganya. Dan jual beli ini adalah yang dilarang dan digolongkan yang terlarang sebab
Ma’qud Alaih (Barang Jualan).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Al-Hadits
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fqihul
Islami wa Adillatuhu Jilid 4. (program aplikasi)
Al-Harroni, Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah. Majmu’atul
Fatawa. 1432 H. Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm.
Al-Fauzan, Abdullah
bin Sholeh. Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom.
1432 H. Dar Ibnul Jauzi.
Ash-Shon’aini, Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani. Subulus Salam. 1432 H. terbitan Dari Ibnul Jauzi.
Imron, Ali. Fikih
Taharah, Ibadah Muamalah. 2011. Bandung:
Cipta Pustaka Media Perintis.
Rifa’I, Moh. Ilmu
Fiqh Islam Lengkap. 1978. Semarang: Toha Putra.
Sabiq. Sayyid. Fiqh
As-Sunnah, juz 3. Beirut: Dar Al-Fikr.
Yunus, Mahmud dan
Nadlrah Naimi. Fiqih Muamalah. 2011. Medan: CP. Ratu Jaya.
Jum’ah Muhammad, “jual beli
gambar dan patung” http://balyanda.blogspot.co.id/2011/04/hukum-jual-beli-gambar-dan-patung.html
(Download 10 Oktober 2015)
Islam Is Peace, “Jual beli
menurut ilmu fiqh”
https://slametimo.wordpress.com/muamalah/jual-beli-menurut-ilmu-fiqih.html
(Download 10 Oktober 2015)
[3] Sayyid
Sabiq, Fiqh As-Sunnah, juz 3. Beirut: Dar Al-Fikr,Cetakan III, 198, hal.93
[4] Wahbah
Az-zuhaili. Al-Fqihul Islami wa Adillatuhu. Jilid 4 hal. 364
[6] Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani, Subulus Salam, terbitan Dari Ibnul Jauzi, cetakan kedua,
tahun 1432, hal: 11
[7] ‘Abdullah
bin Sholeh Al Fauzan, Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, hlm. 17
[8] Syaikhul
Islam Taqiyyuddin Ahmad bin Taimiyah Al Harroni, Majmu’atul
Fatawa, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm, cetakan keempat,
tahun 1432 H. hlm. 151
[9]
Jum’ah Muhammad, “jual beli gambar dan patung” http://balyanda.blogspot.co.id/2011/04/hukum-jual-beli-gambar-dan-patung.html
(Download 10 Oktober 2015)
[10] [10]
Islam Is Peace, “Jual beli menurut ilmu fiqh” https://slametimo.wordpress.com/muamalah/jual-beli-menurut-ilmu-fiqih.html
(Download 10 Oktober 2015)
#makalah s1 fakultas syariah dan hukum UIN RAFAH