Saturday 16 January 2016

TAFSIR MAUDHU’I tentang Ayat-ayat tentang Meminta Izin (Isti’dzan)

TAFSIR MAUDHU’I tentang Ayat-ayat tentang Meminta Izin (Isti’dzan)
Oleh: Jamiatul Husnaini


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Di Madinah, kaum muslimin benar-benar menjadi penduduk yang aman, sejahtera sehingga memungkinkan untuk menerapkan syari’at-syari’at Allah. Mereka memiliki pemimpin yang menerapkan hukum-hukum langit. Karena itu, tema-tema Al-Qur’an yang turun di sana berkaitan dengan hokum yang menata kehidupan dan ibadah mereka. Di sana pulalah, surat An-Nur turun. Dalam surat itu terdapat renungan-renungan hokum, moral, dan kemasyarakatan yang bertujuan memperbaiki kehidupan manusia. Pada dasarnya, hokum dan ajaran Tuhan yang terdapat dalam surat ini terbagi pada dua bagian:[1]
1.      Hukum-hukum yang meluruskan penyimpangan-penyimpangan yag telah tumbuh di masyarakat muslim Madinah, seperti:
a.       Ayat-ayat tentang zina
b.      Ayat-ayat tentang qadzaf
c.       Ayat-ayat tentang li’an
2.      Hukum-hukum yang berfungsi sebagai perevensi sebelum penyimpangan-penyimpangan lain muncul, seperti:
a.       Ayat-ayat tentang meminta izin (isti’dzan)
b.      Ayat-ayat tentang menahan pandangan dan memelihara kemaluan
c.       Ayat-ayat tentang dorongan menikah
Insya Allah, Makalah ini membahas ayat-ayat tentang meminta izin (isti’dzan) secara rinci beserta tafsirnya. Dengan metode tafsir Maudhu’i (tematik) yang diambil dari beberapa ayat dalam surat An-Nur yang mempunyai tema yang sama, yaitu meminta izin (isti’dzan).
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yang membahas mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan meminta izin (isti’dzan) dengan metode tafsir maudhu’i, yaitu:
1.      Bagaimana penjelasan mengenai ayat-ayat tentang meminta izin (isti’dzan) dengan metode tafsir maudhu’i?


PEMBAHASAN
A.    Ayat-ayat tentang Meminta Izin (Isti’dzan)
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai meminta izin (isti’dzan) ketika memasuki rumah, baik rumah sendiri maupun rumah orang lain terdapat sedikitnya lima ayat, yang semuanya tercantum dalam satu surat, yaitu Al-Qur’an Surat An-Nur.
Beberapa ayat tersebut, yaitu:
1.      Qur’an Surat An-Nur: 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (Qur’an Surat An-Nur: 27)
2.      Qur’an Surat An-Nur: 28
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qur’an Surat An-Nur: 28)
3.      Qur’an Surat An-Nur: 29
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ
Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (Qur’an Surat An-Nur: 29)
4.      Qur’an Surat An-Nur: 58
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu[2]. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu[3]. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qur’an Surat An-Nur: 58)
5.      Qur’an Surat An-Nur: 59
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin[4]. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qur’an Surat An-Nur: 59)
B.     Kosa Kata (Mufrodat)
Kosa kata yang dapat diambil dan dijelaskan dari lima ayat di atas adalah sebagai berikut.
1.      #qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (meminta izin), maknanya adalah tasta’dzinu. Akan tetapi, Allah lebih memilih kata pertama untuk menunjukkan bahwa rumah merupakan hak privasi seseorang sehingga orang lain yang ingin memasukinya harus meminta izin terlebih dahulu. Ia tidak diperkenankan memasukinya sebelum tuan rumah mengizinkannya. Selain itu, penggunaan kata “tasta’nisu” bertujuan menunjukkan kepada orang-orang mukmin tentang perlunya restu tuan rumah sebelum memasuki rumahnya. Janganlah sekali-kali meminta izin dengan cara paksa.
2.      #qßJÏk=|¡è@ur (member salam), maknanya adalah ucapkanlah “assalamu’alaikum” kepada tuan rumah dengan tujuan memelihara kaidah pokok yang menghormati privatisasi seseorang untuk diam di rumahnya tanpa gangguan orang lain sekaligus menghindari tradisi tata cara penghormatan ala jahiliyah yang mengucapkan “selamat pagi” dan “selamat sore” sebelum memasuki rumh orang lain.[5] Juga, membedakan tata cara salam orang-orang Islam dengan tata cara penghormatan orang-orang sekarang yang mengucapkan penghormatan dengan kata-kat asing.
3.      }ö îy$oYã_/ä3øn=tæ§øŠ©9 (tidak ada dosa bagimu), yakni tidak ada masalah bila memasuki rumah yang tidak dihuni sekadar mengambil barangg milik sendiri tanp terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam.
4.      tô óOä3ãZ»yJ÷ƒr& Ms3n=tBûïÏ%©!$# (budak-budak yang kamu miliki), yaitu hamba sahaya dan jariyah yang kalian miliki.
5.      óNè=çtø:$# (#qäóè=ö7tƒ Os9ûïÏ%©!$# (orang-orang yang belum baligh), yakni anak-anak kecil yang belum mencapai usia baligh.[6]
6.      ;Nºuöqtãß]»n=rO (tiga aurat), yakni tiga waktu: sebelum shalat, saat-saat santai, istirahat di tengah hari, dan selepas shalat ‘isya’. Arti semula aurat adalah lubang, tetapi terkadang digunakan pula untuk menunjukkan sesuatu yang perlu ditutupi. Penggunaannya dalam ketiga waktu di atas untuk menunjukkan bahwa seakan-akan ketiga waktu itu merupakan aurat.[7]
7.      š/ä3øn=tæcqèùº§qsÛ (mereka melayani kamu), yakni orang-orang yang mondar-mandir di hadapan kalian untuk mengurusi keperluan hidupnya.
C.    Latar Belakang (Asbabun Nuzul) Pensyari’atan Meminta Izin (Isti’dzan)
1.      Latar Belakang Umum
Surat An-Nur berisi kandungan hukum yang dapat mengobati berbagai penyimpangan dalam masyarakat. Penyimpangan yang mula-mula menjadi sasaran adalah uraian tentang zina dan hal-hal yang memicu terjadinya perzinaan, di antaranya adalah pergaulan bebas antara lelaki dan wanita serta berkunjungnya lelaki ke rumah wanita yang berada dalam suasana sepi.[8] Aturan-aturan semacam ini bertujuan mencegah timbulnya hal-hal yang dapat merusak bangunan masyarakat.[9] Ayat-ayat tentang meminta izin (isti’dzan) ini turun untuk tujuantujuan di atas.
2.      Latar Belakang Khusus
a.       Orang-orang Arab saat itu mempunyai kebiasaan memasuki rumah orang lain dengan mengucapkan “selamat subuh” dan “selamat sore” tanpa meminta izin dari tuan rumahnya terlebih dahulu. Ketika memasuki rumah orang lain, terkadang mereka melihat seorang wanita dalam kondisi yang tidak laik dipandang sehingga menyinggung perasaannya. Inilah yang mendorong salah seorang wanita Anshar untuk berkunjung dan bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, suatu ketika aku sedang berada di rumah dalam kondisi yang aku tidak senang dipandang siapa pun, termasuk orang tua dan anak-anakku. Tiba-tiba, datanglah bapakku menemuiku, padahal aku dalam kondisi seperti itu. Lalu apa yang harus aku lakukan?.” Lalu turunlah surat An-Nur: 27-28 ditetapkan sebagai kaidah pokok tentang larangan memasuki rumah orang lain tanpa seizing pemiliknya. (Diriwayatkan oleh Al-Faryabi dan Ibnu Jarir, yang bersumber dari ‘Adi bin Tsabit).[10]
Melalui Surat An-Nur: 27-28 Allah menegaskan bahwa setiap individu mempunyai hak menyendiri dan sesungguhnya siapapun tidak boleh memasuki rumah orang lain tanpa seizi pemiliknya.[11]
b.       Sebagian besar masyarakat Arab adalah pedagang yang sering melakukan perjalanan niaga antara Mekkah dan Syam. Di tengah perjalanan, mereka sering singgah atau menginap di tempat-tempat penginapan untuk beristirahat. Namun, suasana yang mereka rasakan tidak seperti yang mereka rasakan di rumahnya masing-masing. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. bertanya kepada Nabi setelah ayat tentang isti’dzan itu turun, “Wahai Rasulullah, Bagaimana dengan pedagang-pedagang Quraisy yang hilir mudik ke Mekkah, Madinah, Syam dan mereka mempunyai rumh-rumah tertentu di jalan, apakah mereka mesti meminta izin dan memberi salam padahal tidak ada penghuninya?” Maka, turun ayat Q.S. An-Nur: 29. Yang membolehkan kaum mukminin memasuki rumah yang disediakan bukan untuk tempat tinggal karena keperluan tertentu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim yang bersumber dari Muqatil bin Hibban).[12]
Dengan demikian, Allah telah sempurna mengajarkan hamba-hamba-Nya meminta izin yang disyari’atkan ketika memasuki rumah-rumah tempat tinggal, dan tempat-tempat umum.
c.       Al-Wahidi (dalam Asbabun Nuzul) menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bercerita, “suatu ketika Rasulullah menyuruh seorang pelayan dari keluarga Anshar untuk memanggil Umar bin Khaththab. Tatkalaa memasuki rumh, pelayan itu melihat umar dalam keadaan tidak pantas untuk dilihat. Umar lalu berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, saya mengharapkan Allah memerinahkan atau melarang kami etika meminta izin memasuki rumah.”
Al-Wahidi menyebutkan riwayat lain dari Muqatil (bin Sulaiman). Muqatil bercerita, “Asma binti Murtsid memiliki seorang pelayan yang sudah besar. Ia pernah menemui Asma dalam kondisi yang tidak disenanginya. Asma kemudian mendatangi Rasulullah dan berkata bahwa pelayannya telah menemuinya dalam kondisi yang tidak disenanginya.”
Maka turunlah ayat Q.S. An-Nur: 58 yang menetapkan aturan pokok, yaitu seorang hamba, pelayan, dan anak kecil (yang belum mencapai usia baligh) mempunyai hak untuk mondar-mandir memasuki rumah kecuali pada tiga waktu. Pada saat itu mereka dilarang memasuki rumah, kecuali atas seizing tuan rumah. Tujuannya adalah memelihara hak kesendirian seseorang dalam rumahnya sehingga hal-hal yang tidak boleh dilihat orang lain tetap terpelihara.
D.    Tafsir Ayat Maudhu’i
a.      Cara-cara Meminta Izin
Setelah pensyari’atan meminta izin turun, Rasulullah kemudian menjelaskan cara-cara meminta izin, yaitu:
1)      Tamu hendaknya meminta izin sebanyak tiga kali sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah. Qais bin Sa’ad bin Ubadah meriwayatkan, suatu ketika Rasuluah mengunjungi kami. Beliau mengucapkan, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” Sa’ad menjawabnya dengan pelan. Qais berkata kepada Sa’ad (ayahnya), “Apakah engkau tidak mengizinkan Rasulullah mauk rumah?”
“Biarkan Rasulullah memperbanyak ucapan salam bagi kita,” jawab Sa’ad. Rasulullah berkata lagi, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” Beliau lalu pulang. Sa’ad keluar dan menyusul Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasululah, sebenarnya aku mendengar ucapan salammu, dan aku menjawabnya dengan pelan-pelan agar engkau memperbanyak mengucapkan salam bagi kami.” Rasulullah pun kembali lagi ke rumah Sa’ad.[13]
Hikmah meminta izin sebanyak tiga kali, yaitu:
a.       Memberitahukan kepada tuan rumah bahwa ada tamu yang hendak berkunjung.
b.      Member kesempatan kepada tuan rumah untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan tamu memasuki rumahnya.
c.       Tamu dapat memperoleh kepastian apakah ia diizinkan memasuki rumah atau tidak diizinkan, atau memastikan bahwa di dalam rumah tidak ada orang sama sekali.[14]

2)      Antara tiga ucapan salam itu harus ada jarak waktu tertentu, tidak langsung. Tujuannya agar tuan rumah sempat menyelesaikan terlebih dahulu urusan yang tidak mungkin dapat ditinggalkan.[15]
3)      Seorang tamu tidak diperkenankan unntuk memaksa tuan rumah memberikan izin, atau tetap berdiri di depan pintu setelah ada kepastian tidak memperoleh izin dari tuan rumah. Setelah meminta izin sebanyak tiga kali, tetap tidak memperoleh izin, ia harus segera pulang.[16] Hal ini tercantum dalam Q.S. An-Nur: 28.
4)      Ketika meminta izin, sebaiknya tamu tidak berdiri di depan pintu, tetapi di samping kanan atau kiri pintu, sehingga pandangannya tidak jatuh pada aurat tuan rumah ketika membuka pintu. Tatkala meminta izin, Rasulullah tidak pernah berdiri di muka pintu, melainkan berdiri di sisi kanan atau kiri pintu, lalu beliau mengucapkan, “Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.”[17] Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda:
جُعِلَ الْاِسْتِأْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْيَسَرِ
                   “Hendaklah meminta izin itu dilakukan dari sebelah kiri (pintu).”
5)      Sebaiknya tamu menyebutkan nama atau identitas lain tatkala tuan rumah menanyakannya. Jangan hanya menjawab “Saya” sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang. Rasulullah pun tidak menyukai jawaban “Saya” dari tamu yng hendak mengunjunginya. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ia pernah meminta izin kepada Rasulullah untuk mengunjunginya. “Siapa di luar?” Tanya Rasulullah. “Saya,” kataku. “Saya…. Saya!,” kata Rasulullah. Rasulullah tidak menyukai jawaban “saya” dan jawaban seperti itu tidak dapat memenuhi persyaratan meminta izin sebagaimana yang telah diperinthkan oleh syari’at.[18]
Anyak sahabat yang selalu menyebutkan namanya ketika meminta izin kepada Rasulullah untuk mengunjunginya. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab mengunjungi Nabi yang tengah menikmati minumannya. Umar berkata, “Assalamu’alaikum, wahai Rasulullah. Apakah Umar boleh masuk?” Hal seperti ini dilakukan pula oleh Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengunjungi rumah Umar bin Khaththab. Abu Musa berkata, “Assalamu’alaikum, ini Abu Musa. Assalamu’alikum, ini Abu Musa.”[19]
b.      Memasuki Rumah Khusus
Sunnah Nabi menjelaskan cara dan etika meminta izin serta macam-macam rumah yang ketika memasukinya diharuskan meminta izi terlebih dahulu. Ada tiga macam rumah yang telah dijelaskan, yaitu rumah orang lain, rumah kerabat dekat, dan rumah sendiri.
1.      Memasuki Rumah Orang Lain
Melalui QS. An-Nur: 28, Allah menegaskan bahwa setiap orang berhak mengizinkan atau menolak seseorang untuk memasuki rumahnya. Begitu juga, jika rumah yang sedang ditinggal pemiliknya tidak diperkenankan untuk dimasuki. Demikia pula bila orang yang dapat member izin tidak ada di rumah.
Dalam sunnah Nabi ditegaskan bahwa hak seseorang untuk menyendiri tidak terbatas pada rumahnya saja, tetapi juga pada apa saja yang tidak boleh dilihat orang lain, sampai surat sekalipun. Tamu tidak boleh membaca surat tuan rumah tanpa seizinnya. Hal itu sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:
من نظر في كتاب أخيه بغير اذنه فأنّما ينظر في النّا ر
“Siapa membaca buku tanpa seizin pemiliknya, seolah-olah ia melihat neraka.”
Al-Qur’an telah menjelaskan kaidah pokok kepada orang-orang mukmin, yakni larangan memasuki rumah orang lain kapan pun.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. .”(QS. An-Nur: 27)
Namun, ada pengecualian dari kaidah pokok, yaitu memasuki rumah orang lain dengan seizing pemiliknya.
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (QS. An-Nur:27)
Meminta izin yang dimaksud oleh ayat di atas adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Tujuannya adalah demi menjaga kemaslahatan muslimin dan menumbuhkan ikatan kasih saying di antara mereka.
2.      Memasuki Rumah Kerabat Dekat
Aturan tentang memasuki rumah orang lain berlaku pula bagi orang yang hendak memasuki rumah kerabat dekatnya. Firman Allah:  Nà6Ï?qãç/  Žöxî (bukan rumah kalian) mencakup pula ruah kerabat dekat. Atha bin Yasar menceritakan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi, “Apakah saya harus meminta izin untuk memasuki rumah ibuku?”
“Ya,” jawab Nabi.
“Saya akan melayaninya,” sahut lelaki itu.
“Mintalah izin kepadanya,” jawab Nabi lagi.
Tanya jawab itu berlangsung tiga kali.
Nabi akhirnya bertanya, “Apakah engkau senang melihatnya dalam keadaan telanjang?”
“Tidak,” jawab lelaki itu.
“Dengan demikian, mintalah izin terlebih dahulu,” kata Nabi.
Riwayat lain yang berasal dari Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas menyebutkan bahwa Rasulullah pernah ditanya seseorang,
“Apakah saya harus meminta izin terlebih dahulu ketika memasuki rumah saudara perempuanku?”
“Ya”
Lelaki itu mengulangi pertanyaannya agar Nabi memberi keringanan. Namun, Nabi tetap menolak. Akhirnya Nabi bersabda,
“Senangkah engkau melihat saudara perempuanmu dalam keadaan telanjang?”
“Tidak.”
“Maka minta izinlah terlebih dahulu.”
Lelaki itu mengulangi lagi pertannyaannya. Nabi bersabda, “Apakah engkau senang menaati Allah?”
“Ya.”
“Minta izinlah terlebih dahulu.”[20]
3.      Memasuki Rumah Sendiri
Jika seseorang tinggal di rumahnya beserta ibu dan saudara perempuannya, ia tetap haruss meminta izin terlebih dahulu ketika hendak memasuki rumahnya sendiri, atas dasar alasan-alasan yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi, apabila yang ada di rumahnya hanya istriya sendiri, tidak perlu meminta izin terlebih dahulu.[21]
Ibn Juraij pernah bertanya kepada Atha, “Apakah seorang suami perlu meminta izin kepada istrinya ketika hendak memasuki rumah?” “Tidak perlu,” jawab Atha. Ini menunjukkan tidak wajib. Namun, sebaiknya suami tetap meminta izin kepada istrinya atau member tahu kedatangannya agar istrinya tidak kaget. Sebab, mungkin saja istrinya berada dalam kondisi yang tidak baik untuk dilihat.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud r.a, pernah bercerita, “Jika suaminya datang dari bepergian, ia berhenti sejenak di depan pintu sambil dehem atau meludah.” Dalam sebuah riwayat shahih dijelaskan bahwa Rasulullah melarang seseorang mengetuk rumah keluarganya di malam hari sebab akan mengganggunya. Dalam riwayat lain dijelaskan pula bahwa Rasulullah pernah datang ke Madinah pada siang hari. Beliau lalu beristirahat di pinggir kota sambil bersabda, “Tunggulah sampai sore sehingga rambut-rambut istri yang kusut sudah disisiri dan wanita yang sedang ditinggalkan suaminya sudah berpenampilan cantik.”
4.      Memasuki Rumah Umum
Firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumah kalian.” Berlaku dalam setiap kondisi, waktu dan perseorangan, baik rumah itu milik perseorangan maupun milik umum. Adapun kondisi yang dimaksud Allah dalam firman-Nya:
Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu.” Hanya berlaku bagi rumah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) tidak dimaksudkan untuk dihuni, (2) di dalamnya ada sesuatu yang diperlukan. Rumah seperti itu diantaranya adalah pertokoan, gedung sekolah, tempat penginapan, dan sarana umum lainnya. Namun, karena izin memasuki tempat itu diberikan kepada semua orang, terkadang ada pula orang yang memasukinya dengan niat jahat. Oleh karena itu,  Allah mengingatkan bahwa Allah senantiasa mengetahui niat seseorang ketika memasuki tempat-tempat umum:
Dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” Yakni apabila seseorang memasuki tempat umum dengan niat buruk dan tersembunyi, Allah senantiasa mengetahuinya.[22] Dengan demikian, Allah memerintahkan agar tempat umum ini memiliki manfaat, bersih, dan tidak menebarkan kerusakan bagi masyarakat.
c.       Memasuki Rumah Bersama
1.      Pengantar
Setelah menjelaskan etika meminta izin memasuki rumah khusus dan umum, yang teknis operasionalnya telas dijelaskan pula oleh Nabi, Al-Qur’an yang memberikan penjelasan tentang etika memasuki rumah bersama dan kaidah yang mengikat para penghuninya, hal ini terdapat dalam QS. An-Nur: 58.
Ayat yang menegaskan kewajiban meminta izin di antara penghuni rumah bersama turun lebih akhir daripada ayat-ayat meminta izin memasuki rumah khusus dan tempat umum. Kedua kelompok ayat itu diselingi oleh ayat 28 yang mengandung pendahuluan tentang kewajiban melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.[23] Kesemuanya merupakan penambahan dan penekanan pentingnya meminta izin memasuki rumah.
2.      Kaidah
Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan kaidah pokok mengenai etika memasuki rumah bersama, yaitu pembantu, budak, dan anak kecil yang belum baligh tidak diharuskan meminta izin untuk memasuki rumah bersama kapanpun. Hal ini ditetapkan atas dasar kemaslahatan rumah tangga. Dengan demikian, aktivitas rumah tangga akan lancer.
3.      Pengecualian
Namun, mereka yang telah disebutkan di atas tetap harus meminta izin pada tiga waktu, yaitu sebelum shalat shubuh, tengah hari, dan sesudah shalat ‘Isya’.
4.      Alasan Pengecualian
Pengecualian itu menunjukkan pengakuan Al-Qur’an terhadap hak pemilik rumah untuk menyendiri di rumahnya tanpa gangguan orang lain pada waktu tertentu. Dengan demikian, hal itu memungkinkan kaum muslimin untuk menjaga rahasia mereka dan memperoleh ketenangan di rumahnya. Pengecualian ini sekaligus mengingatkan kepada kaum muslimin mengenai pentingnya member jaminan keamanan bagi pembantu, hamba sahaya, dan anak-anak kecil. Pada saat bersamaan, pengecualian ini dapat menghilangkan kesulitan yang diakibatkan keluar-masuknya penghuni rumah.
Pengecualian ini pun merupakn kemaslahatan bagi kaum muslimin dalam rangka memenuhi hal-hal yang membawa ketenangan di dalam rumah. Sebab, ketiga waktu itu dibutuhkan oleh setiap orang untuk beristirahat dari beban aktivitas sehari-hari dan melepaskan kewajibannya untuk melayani tamu. Pada saat itu, seseorang diberi kebebasan untuk memanfaatkan waktu seiring dengan keinginannya. Oleh karena itu, ia bebas dari perhatian orang lain. Setiap orang membutuhkan saat-saat tertentu untuk menikmati kebebasannya dan ketiga waktu itulah yang paling baik. Ketiga waktu itu, sebagaimana telah dijelaskan adalah sebagai berikut.
a)      Sebelum shalat shubuh, yakni ketika seseorang bangun dari tidurnya dan menanggalkan baju tidurnya, membersihkan badan, atau membasuh sebagian anggota badannya. Setiap orang membutuhkan waktu khusus untuk melakukan semua itu.
b)      Selepas shalat ‘Isya’, yakni ketika seseorang menyelesaikan aktivitas keseharian dan ibadahnya, serta pergi ke tempat tidur utuk beristirahat. Tentu saja sebelumnya ia menanggalkan pakaian kerja dan menggantinya dengan pakaian tidur. Kadangkala, saat-saat itu seseorang berhasrat untuk bercengkrama dengan istri/suaminya sehingga suasana seperti itu tidak diganggu oleh kedatangan orang lain walaupun anak kecil atau kaum kerabat.
c)      Ketika seseorang menanggalkan pakaian di siang hari. Waktu yang ketiga ini tidak memiliki batasan tertentu dan bersifat relative. Sebab, terkadang seseorang berkehendak untuk segera beristirahat tidur; ada pula yang sedang mengakhirkannya; dan ada pula yang tidak membutuhkannya sama sekali.[24]
5.      Kembali pada Hukum Semula
Tatkala membicarakan anak-anak, Allah mewajibkan mereka untuk meminta izin memasuki rumah pada tiga waktu yang telah diuraikan di atas. Ketika mencapai usia baligh, mereka diwajibkan meminta izin memasuki rumah kapan pun, termasuk ketiga waktu itu.
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin[1049].” (QS. An-Nur: 59)
[1049] Maksudnya: anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah baligh haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk menurut cara orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 surat ini meminta izin.
Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari pelajaran ini.
a)      Kedudukan anak kecil di rumah dan di antara keluarga berubah seiring dengan bertambahnya usia dan kematangan akalnya. Tujuannya adalah tetap memelihara rahasia rumah; memelihara kebebasan penghuni rumah; dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan aurat.
b)      Bagi para penghuni satu atap rumah tidak diperkenankan untuk memasukinya tanpa meminta izin terlebih dahulu, kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya.
c)      Rumah Islami merupakan benteng dan pertahanan yang mempunyai fungsi yang sangat vital, yaitu menjaga timbulnya fitnah dan kerusakan.
Oleh karena itu, logislah Allah mengakhiri rangkaian ayat-ayat isti’dzan dengan ayat:
 Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Maksudnya, dengan penjelasan yang jelas dan lengkap ini, Allah menjelaskan kepada kita ayat-ayat, hokum-hukum, dan kaidah-kaidah yang bermanfaat. Allah Maha megetahui aturan yang maslahat bagi kita. Allah pun Maha mengetahui siapa di antara kita yang mengikuti aturan-Nya dan siapa yang menentang-Nya.Allah Mahabijaksana di dalam semua perbuatan-Nya. Oleh karena itu, Ia syari’atkan bagi kita aturan-aturan yang membawa kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat.[25]
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang secara rinci dan runtut di atas mengenai ayat-ayat meminta izin (isti’dzan), dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ayat-ayat yang berkenaan mengenai meminta izin (isti’dzan) semuanya terdapat dalam Surat An-Nur, yaitu terdapat dalam ayat 27, 28, 29, 58 dan 59.
2.      Tafsir Maudhu’i yang terdapat dalam ayat-ayat ini menjelaskan tentang cara-cara meminta izin, adab memasuki rumah khusus, rumah umum dan rumah bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Abu As-Sa’ud. Irsyad Al-Aql As-Salim, jilid IV.
Abu Al-Ala Al-Maududi. Tafsir Surat An-Nur.
Shaleh, dkk. 2000. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Bandung: CV. Diponegoro.
Ibn Katsir, jilid III.
Al-Jamal, Fi Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, jilid III.
Ibnu Katsir, jilid II.
Ibn Al-Arabi, Abi Bakr Muhammad ibn Abdul Allah. 1967. Ahkam Al-Qur’an, jilid III. Beirut: Alim Al-Kutub.
Ibrahim Al-Jabali, Tafsir Surat An-Nur.
Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah), diterj. Rosihon Anwar, 2002. Metode Tafsir Maudhu’I. Bandung: CV. Pustaka Setia.



[1] Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah), diterj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’I, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), hlm. 92-93.
[2] Maksudnya: tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu itu badan banyak terbuka. oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anak-anak dibawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa idzin pada waktu-waktu tersebut.
[3] Maksudnya: tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa izin, dan tidak pula mereka berdosa kalau masuk tanpa meminta izin.
[4] Maksudnya: anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah baligh haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk menurut cara orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 surat ini meminta izin.
[5] Abu As-Sa’ud, Irsyad Al-Aql As-Salim, jilid IV, hlm. 54.
[6] Abu Al-Ala Al-maududi, Tafsir Surat An-Nur, hlm. 221.
[7] Abu As-Sa’ud, Irsyad Al-Aql As-Salim, jilid IV, hlm. 74.
[8] Ibid, jilid IV, hlm. 54.
[9] Al-Maududi, Tafsir An-Nur, hlm. 140.
[10] Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), hlm. 381.
[11] Al-Maududi, Tafsir An-Nur, hlm. 142.
[12] Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), hlm. 382.m
[13] Ibn Katsir, jilid III, hlm. 279.
[14] Lihat Al-Jamal, Fi Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, jilid III, hlm. 217.
[15] Al-Maududi, Tafsir Surat An-Nur, hlm. 146.
[16] Ibnu Katsir, jilid II, hlm. 281.
[17] Ibn Katsir, jilid III, hlm. 279.
[18] Ibid.
[19] Al-Jamal, Al-Futuhat, jilid III, hlm. 207.
[20] Ibn Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, jilid III, hlm. 1349.
[21] Ibid.
[22] Ibn Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, jilid III, hlm. 1352.
[23] Abu As-Sa’ud, Tafsir Al-Qur’an, jilid IV, hlm. 72.
[24] Ibrahim Al-Jabali, Tafsir Surat An-Nur, hlm. 230-231.
[25] Abu Sa’ud, Irsyad Al-Aql As-Salim, jilid IV, hlm. 74.

____________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...