TAFSIR MAUDHU’I tentang Ayat-ayat tentang Meminta Izin (Isti’dzan)
Oleh: Jamiatul Husnaini
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Di Madinah, kaum muslimin benar-benar
menjadi penduduk yang aman, sejahtera sehingga memungkinkan untuk menerapkan
syari’at-syari’at Allah. Mereka memiliki pemimpin yang menerapkan hukum-hukum
langit. Karena itu, tema-tema Al-Qur’an yang turun di sana berkaitan dengan
hokum yang menata kehidupan dan ibadah mereka. Di sana pulalah, surat An-Nur
turun. Dalam surat itu terdapat renungan-renungan hokum, moral, dan
kemasyarakatan yang bertujuan memperbaiki kehidupan manusia. Pada dasarnya,
hokum dan ajaran Tuhan yang terdapat dalam surat ini terbagi pada dua bagian:[1]
1. Hukum-hukum yang meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yag telah tumbuh di masyarakat muslim Madinah,
seperti:
a. Ayat-ayat tentang zina
b. Ayat-ayat tentang qadzaf
c. Ayat-ayat tentang li’an
2. Hukum-hukum yang berfungsi sebagai
perevensi sebelum penyimpangan-penyimpangan lain muncul, seperti:
a. Ayat-ayat tentang meminta izin (isti’dzan)
b. Ayat-ayat tentang menahan pandangan dan
memelihara kemaluan
c. Ayat-ayat tentang dorongan menikah
Insya Allah, Makalah ini membahas ayat-ayat
tentang meminta izin (isti’dzan) secara rinci beserta tafsirnya. Dengan
metode tafsir Maudhu’i (tematik) yang diambil dari beberapa ayat dalam surat An-Nur
yang mempunyai tema yang sama, yaitu meminta izin (isti’dzan).
B. Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yang
membahas mengenai ayat-ayat yang berkenaan dengan meminta izin (isti’dzan)
dengan metode tafsir maudhu’i, yaitu:
1. Bagaimana penjelasan mengenai ayat-ayat
tentang meminta izin (isti’dzan) dengan metode tafsir maudhu’i?
PEMBAHASAN
A. Ayat-ayat
tentang Meminta Izin (Isti’dzan)
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai
meminta izin (isti’dzan) ketika memasuki rumah, baik rumah sendiri
maupun rumah orang lain terdapat sedikitnya lima ayat, yang semuanya tercantum
dalam satu surat, yaitu Al-Qur’an Surat An-Nur.
Beberapa ayat tersebut, yaitu:
1. Qur’an Surat An-Nur: 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (Qur’an Surat An-Nur: 27)
2. Qur’an Surat An-Nur: 28
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu
masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali
(saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qur’an Surat An-Nur: 28)
3. Qur’an Surat An-Nur: 29
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ
“ Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak
disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah
mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.” (Qur’an Surat An-Nur: 29)
4. Qur’an Surat An-Nur: 58
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ۚ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ۚ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ ۚ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ ۚ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan
wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu,
meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang
subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang
Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu[2].
tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu[3].
mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang
lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qur’an Surat An-Nur: 58)
5. Qur’an Surat An-Nur: 59
وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin[4].
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (Qur’an Surat An-Nur: 59)
B. Kosa Kata
(Mufrodat)
Kosa kata yang dapat diambil dan dijelaskan
dari lima ayat di atas adalah sebagai berikut.
1. #qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (meminta izin), maknanya adalah tasta’dzinu.
Akan tetapi, Allah lebih memilih kata pertama untuk menunjukkan bahwa rumah
merupakan hak privasi seseorang sehingga orang lain yang ingin memasukinya
harus meminta izin terlebih dahulu. Ia tidak diperkenankan memasukinya sebelum
tuan rumah mengizinkannya. Selain itu, penggunaan kata “tasta’nisu”
bertujuan menunjukkan kepada orang-orang mukmin tentang perlunya restu tuan
rumah sebelum memasuki rumahnya. Janganlah sekali-kali meminta izin dengan cara
paksa.
2. #qßJÏk=|¡è@ur (member salam), maknanya adalah ucapkanlah “assalamu’alaikum”
kepada tuan rumah dengan tujuan memelihara kaidah pokok yang menghormati
privatisasi seseorang untuk diam di rumahnya tanpa gangguan orang lain
sekaligus menghindari tradisi tata cara penghormatan ala jahiliyah yang
mengucapkan “selamat pagi” dan “selamat sore” sebelum memasuki
rumh orang lain.[5]
Juga, membedakan tata cara salam orang-orang Islam dengan tata cara
penghormatan orang-orang sekarang yang mengucapkan penghormatan dengan kata-kat
asing.
3. }ö
îy$oYã_/ä3øn=tæ§ø©9 (tidak ada dosa bagimu), yakni tidak ada masalah bila
memasuki rumah yang tidak dihuni sekadar mengambil barangg milik sendiri tanp
terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam.
4. tô
óOä3ãZ»yJ÷r&
Ms3n=tBûïÏ%©!$# (budak-budak yang kamu miliki), yaitu hamba sahaya dan
jariyah yang kalian miliki.
5. óNè=çtø:$#
(#qäóè=ö7t
Os9ûïÏ%©!$# (orang-orang yang belum baligh), yakni anak-anak kecil
yang belum mencapai usia baligh.[6]
6. ;Nºuöqtãß]»n=rO (tiga aurat), yakni tiga waktu: sebelum shalat,
saat-saat santai, istirahat di tengah hari, dan selepas shalat ‘isya’. Arti
semula aurat adalah lubang, tetapi terkadang digunakan pula untuk menunjukkan
sesuatu yang perlu ditutupi. Penggunaannya dalam ketiga waktu di atas untuk
menunjukkan bahwa seakan-akan ketiga waktu itu merupakan aurat.[7]
7. /ä3øn=tæcqèùº§qsÛ (mereka melayani kamu), yakni orang-orang yang
mondar-mandir di hadapan kalian untuk mengurusi keperluan hidupnya.
C. Latar
Belakang (Asbabun Nuzul) Pensyari’atan Meminta Izin (Isti’dzan)
1. Latar
Belakang Umum
Surat An-Nur berisi kandungan hukum yang
dapat mengobati berbagai penyimpangan dalam masyarakat. Penyimpangan yang
mula-mula menjadi sasaran adalah uraian tentang zina dan hal-hal yang memicu
terjadinya perzinaan, di antaranya adalah pergaulan bebas antara lelaki dan
wanita serta berkunjungnya lelaki ke rumah wanita yang berada dalam suasana
sepi.[8]
Aturan-aturan semacam ini bertujuan mencegah timbulnya hal-hal yang dapat
merusak bangunan masyarakat.[9]
Ayat-ayat tentang meminta izin (isti’dzan) ini turun untuk tujuantujuan di
atas.
2. Latar
Belakang Khusus
a. Orang-orang Arab saat itu mempunyai
kebiasaan memasuki rumah orang lain dengan mengucapkan “selamat subuh”
dan “selamat sore” tanpa meminta izin dari tuan rumahnya terlebih
dahulu. Ketika memasuki rumah orang lain, terkadang mereka melihat seorang
wanita dalam kondisi yang tidak laik dipandang sehingga menyinggung
perasaannya. Inilah yang mendorong salah seorang wanita Anshar untuk berkunjung
dan bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, suatu ketika aku sedang berada
di rumah dalam kondisi yang aku tidak senang dipandang siapa pun, termasuk
orang tua dan anak-anakku. Tiba-tiba, datanglah bapakku menemuiku, padahal aku
dalam kondisi seperti itu. Lalu apa yang harus aku lakukan?.” Lalu turunlah
surat An-Nur: 27-28 ditetapkan sebagai kaidah pokok tentang larangan memasuki
rumah orang lain tanpa seizing pemiliknya. (Diriwayatkan oleh Al-Faryabi dan
Ibnu Jarir, yang bersumber dari ‘Adi bin Tsabit).[10]
Melalui Surat An-Nur: 27-28 Allah
menegaskan bahwa setiap individu mempunyai hak menyendiri dan sesungguhnya
siapapun tidak boleh memasuki rumah orang lain tanpa seizi pemiliknya.[11]
b. Sebagian
besar masyarakat Arab adalah pedagang yang sering melakukan perjalanan niaga
antara Mekkah dan Syam. Di tengah perjalanan, mereka sering singgah atau
menginap di tempat-tempat penginapan untuk beristirahat. Namun, suasana yang
mereka rasakan tidak seperti yang mereka rasakan di rumahnya masing-masing. Abu
Bakar Ash-Shiddiq r.a. bertanya kepada Nabi setelah ayat tentang isti’dzan
itu turun, “Wahai Rasulullah, Bagaimana dengan pedagang-pedagang Quraisy
yang hilir mudik ke Mekkah, Madinah, Syam dan mereka mempunyai rumh-rumah
tertentu di jalan, apakah mereka mesti meminta izin dan memberi salam padahal
tidak ada penghuninya?” Maka, turun ayat Q.S. An-Nur: 29. Yang membolehkan
kaum mukminin memasuki rumah yang disediakan bukan untuk tempat tinggal karena
keperluan tertentu. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim yang bersumber dari
Muqatil bin Hibban).[12]
Dengan demikian, Allah telah sempurna
mengajarkan hamba-hamba-Nya meminta izin yang disyari’atkan ketika memasuki
rumah-rumah tempat tinggal, dan tempat-tempat umum.
c. Al-Wahidi (dalam Asbabun Nuzul) menuturkan
sebuah riwayat dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bercerita, “suatu ketika
Rasulullah menyuruh seorang pelayan dari keluarga Anshar untuk memanggil Umar
bin Khaththab. Tatkalaa memasuki rumh, pelayan itu melihat umar dalam keadaan
tidak pantas untuk dilihat. Umar lalu berkata kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah, saya mengharapkan Allah memerinahkan atau melarang kami etika
meminta izin memasuki rumah.”
Al-Wahidi menyebutkan riwayat lain dari
Muqatil (bin Sulaiman). Muqatil bercerita, “Asma binti Murtsid memiliki
seorang pelayan yang sudah besar. Ia pernah menemui Asma dalam kondisi yang
tidak disenanginya. Asma kemudian mendatangi Rasulullah dan berkata bahwa
pelayannya telah menemuinya dalam kondisi yang tidak disenanginya.”
Maka turunlah ayat Q.S. An-Nur: 58 yang
menetapkan aturan pokok, yaitu seorang hamba, pelayan, dan anak kecil (yang
belum mencapai usia baligh) mempunyai hak untuk mondar-mandir memasuki rumah
kecuali pada tiga waktu. Pada saat itu mereka dilarang memasuki rumah, kecuali
atas seizing tuan rumah. Tujuannya adalah memelihara hak kesendirian seseorang
dalam rumahnya sehingga hal-hal yang tidak boleh dilihat orang lain tetap
terpelihara.
D. Tafsir Ayat
Maudhu’i
a. Cara-cara
Meminta Izin
Setelah pensyari’atan meminta izin turun,
Rasulullah kemudian menjelaskan cara-cara meminta izin, yaitu:
1) Tamu hendaknya meminta izin sebanyak tiga
kali sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah. Qais bin Sa’ad bin Ubadah
meriwayatkan, suatu ketika Rasuluah mengunjungi kami. Beliau mengucapkan, “Assalamu’alaikum
wa rahmatullah wa barakatuh.” Sa’ad menjawabnya dengan pelan. Qais berkata
kepada Sa’ad (ayahnya), “Apakah engkau tidak mengizinkan Rasulullah mauk
rumah?”
“Biarkan Rasulullah memperbanyak ucapan
salam bagi kita,” jawab Sa’ad. Rasulullah berkata lagi, “Assalamu’alaikum wa
rahmatullah wa barakatuh.” Beliau lalu pulang. Sa’ad keluar dan menyusul
Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasululah, sebenarnya aku mendengar ucapan
salammu, dan aku menjawabnya dengan pelan-pelan agar engkau memperbanyak
mengucapkan salam bagi kami.” Rasulullah pun kembali lagi ke rumah Sa’ad.[13]
Hikmah meminta izin sebanyak tiga kali,
yaitu:
a. Memberitahukan kepada tuan rumah bahwa ada
tamu yang hendak berkunjung.
b. Member kesempatan kepada tuan rumah untuk
mengizinkan atau tidak mengizinkan tamu memasuki rumahnya.
c. Tamu dapat memperoleh kepastian apakah ia
diizinkan memasuki rumah atau tidak diizinkan, atau memastikan bahwa di dalam
rumah tidak ada orang sama sekali.[14]
2) Antara tiga ucapan salam itu harus ada
jarak waktu tertentu, tidak langsung. Tujuannya agar tuan rumah sempat
menyelesaikan terlebih dahulu urusan yang tidak mungkin dapat ditinggalkan.[15]
3) Seorang tamu tidak diperkenankan unntuk
memaksa tuan rumah memberikan izin, atau tetap berdiri di depan pintu setelah
ada kepastian tidak memperoleh izin dari tuan rumah. Setelah meminta izin
sebanyak tiga kali, tetap tidak memperoleh izin, ia harus segera pulang.[16]
Hal ini tercantum dalam Q.S. An-Nur: 28.
4) Ketika meminta izin, sebaiknya tamu tidak
berdiri di depan pintu, tetapi di samping kanan atau kiri pintu, sehingga
pandangannya tidak jatuh pada aurat tuan rumah ketika membuka pintu. Tatkala
meminta izin, Rasulullah tidak pernah berdiri di muka pintu, melainkan berdiri
di sisi kanan atau kiri pintu, lalu beliau mengucapkan, “Assalamu’alaikum wa
rahmatullah wa barakatuh.”[17]
Dalam sebuah hadits, Rasulullah pernah bersabda:
جُعِلَ الْاِسْتِأْذَانُ مِنْ أَجْلِ
الْيَسَرِ
“Hendaklah meminta izin itu dilakukan
dari sebelah kiri (pintu).”
5)
Sebaiknya tamu menyebutkan nama atau identitas lain
tatkala tuan rumah menanyakannya. Jangan hanya menjawab “Saya” sebagaimana dilakukan
oleh kebanyakan orang. Rasulullah pun tidak menyukai jawaban “Saya” dari tamu
yng hendak mengunjunginya. Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah bahwa ia pernah
meminta izin kepada Rasulullah untuk mengunjunginya. “Siapa di luar?” Tanya
Rasulullah. “Saya,” kataku. “Saya…. Saya!,” kata Rasulullah. Rasulullah tidak
menyukai jawaban “saya” dan jawaban seperti itu tidak dapat memenuhi
persyaratan meminta izin sebagaimana yang telah diperinthkan oleh syari’at.[18]
Anyak sahabat yang selalu menyebutkan
namanya ketika meminta izin kepada Rasulullah untuk mengunjunginya.
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab mengunjungi Nabi yang tengah menikmati
minumannya. Umar berkata, “Assalamu’alaikum, wahai Rasulullah. Apakah
Umar boleh masuk?” Hal seperti ini dilakukan pula oleh Abu Musa Al-Asy’ari
ketika mengunjungi rumah Umar bin Khaththab. Abu Musa berkata, “Assalamu’alaikum,
ini Abu Musa. Assalamu’alikum, ini Abu Musa.”[19]
b.
Memasuki Rumah Khusus
Sunnah Nabi menjelaskan cara dan
etika meminta izin serta macam-macam rumah yang ketika memasukinya diharuskan
meminta izi terlebih dahulu. Ada tiga macam rumah yang telah dijelaskan, yaitu rumah orang lain,
rumah kerabat dekat, dan rumah sendiri.
1. Memasuki
Rumah Orang Lain
Melalui QS. An-Nur: 28, Allah menegaskan
bahwa setiap orang berhak mengizinkan atau menolak seseorang untuk memasuki
rumahnya. Begitu juga, jika rumah yang sedang ditinggal pemiliknya tidak
diperkenankan untuk dimasuki. Demikia pula bila orang yang dapat member izin
tidak ada di rumah.
Dalam sunnah Nabi ditegaskan bahwa hak
seseorang untuk menyendiri tidak terbatas pada rumahnya saja, tetapi juga pada
apa saja yang tidak boleh dilihat orang lain, sampai surat sekalipun. Tamu
tidak boleh membaca surat tuan rumah tanpa seizinnya. Hal itu sebagaimana
diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah
bersabda:
من نظر في كتاب أخيه بغير اذنه فأنّما ينظر في النّا ر
“Siapa membaca buku tanpa seizin
pemiliknya, seolah-olah ia melihat neraka.”
Al-Qur’an telah menjelaskan kaidah pokok
kepada orang-orang mukmin, yakni larangan memasuki rumah orang lain kapan pun.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. .”(QS. An-Nur:
27)
Namun, ada pengecualian dari kaidah pokok,
yaitu memasuki rumah orang lain dengan seizing pemiliknya.
“sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur:27)
Meminta izin yang dimaksud oleh ayat di
atas adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Tujuannya adalah demi
menjaga kemaslahatan muslimin dan menumbuhkan ikatan kasih saying di antara
mereka.
2. Memasuki
Rumah Kerabat Dekat
Aturan tentang memasuki rumah orang lain
berlaku pula bagi orang yang hendak memasuki rumah kerabat dekatnya. Firman
Allah: Nà6Ï?qãç/ öxî (bukan rumah kalian) mencakup pula ruah kerabat dekat. Atha bin Yasar
menceritakan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi, “Apakah saya harus
meminta izin untuk memasuki rumah ibuku?”
“Ya,” jawab Nabi.
“Saya akan melayaninya,” sahut lelaki itu.
“Mintalah izin kepadanya,” jawab Nabi lagi.
Tanya jawab itu berlangsung tiga kali.
Nabi akhirnya bertanya, “Apakah engkau senang
melihatnya dalam keadaan telanjang?”
“Tidak,” jawab lelaki itu.
“Dengan demikian, mintalah izin terlebih dahulu,” kata
Nabi.
Riwayat lain yang berasal dari Ibn Mas’ud dan Ibn
Abbas menyebutkan bahwa Rasulullah pernah ditanya seseorang,
“Apakah saya harus meminta izin terlebih dahulu ketika
memasuki rumah saudara perempuanku?”
“Ya”
Lelaki itu mengulangi pertanyaannya agar Nabi memberi
keringanan. Namun, Nabi tetap menolak. Akhirnya Nabi bersabda,
“Senangkah engkau melihat saudara perempuanmu dalam
keadaan telanjang?”
“Tidak.”
“Maka minta izinlah terlebih dahulu.”
Lelaki itu mengulangi lagi pertannyaannya. Nabi
bersabda, “Apakah engkau senang menaati Allah?”
“Ya.”
“Minta izinlah terlebih dahulu.”[20]
3.
Memasuki Rumah Sendiri
Jika seseorang tinggal di rumahnya beserta ibu dan
saudara perempuannya, ia tetap haruss meminta izin terlebih dahulu ketika
hendak memasuki rumahnya sendiri, atas dasar alasan-alasan yang telah
dijelaskan di atas. Akan tetapi, apabila yang ada di rumahnya hanya istriya
sendiri, tidak perlu meminta izin terlebih dahulu.[21]
Ibn Juraij pernah bertanya kepada Atha, “Apakah
seorang suami perlu meminta izin kepada istrinya ketika hendak memasuki rumah?”
“Tidak perlu,” jawab Atha. Ini menunjukkan tidak wajib. Namun, sebaiknya suami
tetap meminta izin kepada istrinya atau member tahu kedatangannya agar istrinya
tidak kaget. Sebab, mungkin saja istrinya berada dalam kondisi yang tidak baik
untuk dilihat.
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud r.a, pernah
bercerita, “Jika suaminya datang dari bepergian, ia berhenti sejenak di depan
pintu sambil dehem atau meludah.” Dalam sebuah riwayat shahih dijelaskan bahwa
Rasulullah melarang seseorang mengetuk rumah keluarganya di malam hari sebab
akan mengganggunya. Dalam riwayat lain dijelaskan pula bahwa Rasulullah pernah
datang ke Madinah pada siang hari. Beliau lalu beristirahat di pinggir kota
sambil bersabda, “Tunggulah sampai sore sehingga rambut-rambut istri yang kusut
sudah disisiri dan wanita yang sedang ditinggalkan suaminya sudah berpenampilan
cantik.”
4.
Memasuki Rumah Umum
Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memasuki rumah yang bukan rumah kalian.” Berlaku dalam setiap kondisi, waktu dan
perseorangan, baik rumah itu milik perseorangan maupun milik umum. Adapun
kondisi yang dimaksud Allah dalam firman-Nya:
“Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk
didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu.” Hanya berlaku bagi rumah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu (1) tidak
dimaksudkan untuk dihuni, (2) di dalamnya ada sesuatu yang diperlukan. Rumah
seperti itu diantaranya adalah pertokoan, gedung sekolah, tempat penginapan,
dan sarana umum lainnya. Namun, karena izin memasuki tempat itu diberikan
kepada semua orang, terkadang ada pula orang yang memasukinya dengan niat
jahat. Oleh karena itu, Allah mengingatkan
bahwa Allah senantiasa mengetahui niat seseorang ketika memasuki tempat-tempat
umum:
“Dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu
sembunyikan.” Yakni apabila seseorang memasuki tempat
umum dengan niat buruk dan tersembunyi, Allah senantiasa mengetahuinya.[22]
Dengan demikian, Allah memerintahkan agar tempat umum ini memiliki manfaat,
bersih, dan tidak menebarkan kerusakan bagi masyarakat.
c. Memasuki
Rumah Bersama
1. Pengantar
Setelah menjelaskan etika meminta izin
memasuki rumah khusus dan umum, yang teknis operasionalnya telas dijelaskan
pula oleh Nabi, Al-Qur’an yang memberikan penjelasan tentang etika memasuki
rumah bersama dan kaidah yang mengikat para penghuninya, hal ini terdapat dalam
QS. An-Nur: 58.
Ayat yang menegaskan kewajiban meminta izin
di antara penghuni rumah bersama turun lebih akhir daripada ayat-ayat meminta
izin memasuki rumah khusus dan tempat umum. Kedua kelompok ayat itu diselingi
oleh ayat 28 yang mengandung pendahuluan tentang kewajiban melaksanakan
perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.[23]
Kesemuanya merupakan penambahan dan penekanan pentingnya meminta izin memasuki
rumah.
2. Kaidah
Berdasarkan ayat di atas, dapat disimpulkan
kaidah pokok mengenai etika memasuki rumah bersama, yaitu pembantu, budak, dan
anak kecil yang belum baligh tidak diharuskan meminta izin untuk memasuki rumah
bersama kapanpun. Hal ini ditetapkan atas dasar kemaslahatan rumah tangga.
Dengan demikian, aktivitas rumah tangga akan lancer.
3. Pengecualian
Namun, mereka yang telah disebutkan di atas
tetap harus meminta izin pada tiga waktu, yaitu sebelum shalat shubuh, tengah
hari, dan sesudah shalat ‘Isya’.
4. Alasan
Pengecualian
Pengecualian itu menunjukkan pengakuan
Al-Qur’an terhadap hak pemilik rumah untuk menyendiri di rumahnya tanpa
gangguan orang lain pada waktu tertentu. Dengan demikian, hal itu memungkinkan
kaum muslimin untuk menjaga rahasia mereka dan memperoleh ketenangan di
rumahnya. Pengecualian ini sekaligus mengingatkan kepada kaum muslimin mengenai
pentingnya member jaminan keamanan bagi pembantu, hamba sahaya, dan anak-anak
kecil. Pada saat bersamaan, pengecualian ini dapat menghilangkan kesulitan yang
diakibatkan keluar-masuknya penghuni rumah.
Pengecualian ini pun merupakn kemaslahatan
bagi kaum muslimin dalam rangka memenuhi hal-hal yang membawa ketenangan di
dalam rumah. Sebab, ketiga waktu itu dibutuhkan oleh setiap orang untuk
beristirahat dari beban aktivitas sehari-hari dan melepaskan kewajibannya untuk
melayani tamu. Pada saat itu, seseorang diberi kebebasan untuk memanfaatkan
waktu seiring dengan keinginannya. Oleh karena itu, ia bebas dari perhatian
orang lain. Setiap orang membutuhkan saat-saat tertentu untuk menikmati
kebebasannya dan ketiga waktu itulah yang paling baik. Ketiga waktu itu,
sebagaimana telah dijelaskan adalah sebagai berikut.
a) Sebelum shalat shubuh, yakni ketika
seseorang bangun dari tidurnya dan menanggalkan baju tidurnya, membersihkan
badan, atau membasuh sebagian anggota badannya. Setiap orang membutuhkan waktu
khusus untuk melakukan semua itu.
b) Selepas shalat ‘Isya’, yakni ketika
seseorang menyelesaikan aktivitas keseharian dan ibadahnya, serta pergi ke
tempat tidur utuk beristirahat. Tentu saja sebelumnya ia menanggalkan pakaian
kerja dan menggantinya dengan pakaian tidur. Kadangkala, saat-saat itu
seseorang berhasrat untuk bercengkrama dengan istri/suaminya sehingga suasana
seperti itu tidak diganggu oleh kedatangan orang lain walaupun anak kecil atau
kaum kerabat.
c) Ketika seseorang menanggalkan pakaian di
siang hari. Waktu yang ketiga ini tidak memiliki batasan tertentu dan bersifat
relative. Sebab, terkadang seseorang berkehendak untuk segera beristirahat
tidur; ada pula yang sedang mengakhirkannya; dan ada pula yang tidak
membutuhkannya sama sekali.[24]
5. Kembali pada
Hukum Semula
Tatkala membicarakan anak-anak, Allah
mewajibkan mereka untuk meminta izin memasuki rumah pada tiga waktu yang telah
diuraikan di atas. Ketika mencapai usia baligh, mereka diwajibkan meminta izin
memasuki rumah kapan pun, termasuk ketiga waktu itu.
“Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah
mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin[1049].” (QS. An-Nur: 59)
[1049] Maksudnya:
anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang telah baligh haruslah meminta izin lebih dahulu kalau hendak masuk
menurut cara orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28 surat ini meminta
izin.
Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari
pelajaran ini.
a) Kedudukan anak kecil di rumah dan di antara
keluarga berubah seiring dengan bertambahnya usia dan kematangan akalnya.
Tujuannya adalah tetap memelihara rahasia rumah; memelihara kebebasan penghuni rumah;
dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan aurat.
b) Bagi para penghuni satu atap rumah tidak
diperkenankan untuk memasukinya tanpa meminta izin terlebih dahulu, kecuali
suami terhadap istrinya atau sebaliknya.
c) Rumah Islami merupakan benteng dan
pertahanan yang mempunyai fungsi yang sangat vital, yaitu menjaga timbulnya
fitnah dan kerusakan.
Oleh karena itu, logislah Allah mengakhiri
rangkaian ayat-ayat isti’dzan dengan ayat:
“Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Maksudnya, dengan penjelasan yang jelas dan
lengkap ini, Allah menjelaskan kepada kita ayat-ayat, hokum-hukum, dan
kaidah-kaidah yang bermanfaat. Allah Maha megetahui aturan yang maslahat bagi
kita. Allah pun Maha mengetahui siapa di antara kita yang mengikuti aturan-Nya
dan siapa yang menentang-Nya.Allah Mahabijaksana di dalam semua perbuatan-Nya.
Oleh karena itu, Ia syari’atkan bagi kita aturan-aturan yang membawa
kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat.[25]
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang secara rinci
dan runtut di atas mengenai ayat-ayat meminta izin (isti’dzan), dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Ayat-ayat yang berkenaan mengenai meminta
izin (isti’dzan) semuanya terdapat dalam Surat An-Nur, yaitu terdapat dalam
ayat 27, 28, 29, 58 dan 59.
2. Tafsir Maudhu’i yang terdapat dalam
ayat-ayat ini menjelaskan tentang cara-cara meminta izin, adab memasuki rumah
khusus, rumah umum dan rumah bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
As-Sa’ud. Irsyad Al-Aql As-Salim, jilid IV.
Abu Al-Ala
Al-Maududi. Tafsir Surat An-Nur.
Shaleh, dkk. 2000. Asbabun Nuzul: Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an. Bandung: CV. Diponegoro.
Ibn Katsir,
jilid III.
Al-Jamal, Fi
Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, jilid III.
Ibnu Katsir,
jilid II.
Ibn
Al-Arabi, Abi Bakr Muhammad ibn Abdul Allah. 1967. Ahkam Al-Qur’an,
jilid III. Beirut: Alim Al-Kutub.
Ibrahim
Al-Jabali, Tafsir Surat An-Nur.
Abdul Hayy
Al-Farmawi, Al-Bidayah fi At-Tafsir Al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah
Maudhu’iyyah, (Mesir: Maktabah Jumhuriyyah), diterj. Rosihon Anwar, 2002. Metode
Tafsir Maudhu’I. Bandung: CV. Pustaka Setia.
[1] Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah
fi At-Tafsir Al-Maudhu’i: Dirasah Manhajiyyah Maudhu’iyyah, (Mesir:
Maktabah Jumhuriyyah), diterj. Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’I,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), hlm. 92-93.
[2] Maksudnya: tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu itu badan
banyak terbuka. oleh sebab itu Allah melarang budak-budak dan anak-anak dibawah
umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa idzin pada waktu-waktu
tersebut.
[3]
Maksudnya: tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa izin, dan tidak
pula mereka berdosa kalau masuk tanpa meminta izin.
[4]
Maksudnya: anak-anak dari orang-orang yang merdeka yang bukan mahram, yang
telah baligh haruslah meminta izin lebih dahulu
kalau hendak masuk menurut cara orang-orang yang tersebut dalam ayat 27 dan 28
surat ini meminta izin.
[10] Shaleh, dkk, Asbabun
Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung: CV.
Diponegoro, 2000), hlm. 381.
[12] Shaleh, dkk, Asbabun
Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, (Bandung: CV.
Diponegoro, 2000), hlm. 382.m
[17] Ibn Katsir, jilid III, hlm. 279.
____________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang