Saturday 16 January 2016

METODE ISTINBATH MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HANBALI

Metode Istinbath Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali
Oleh: Jamiatul Husnaini & Leni Apriani

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut. Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.
Di dalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath imam mazhab, yaitu imam Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa saja sumber hukum metode istinbath Mazhab Syafi’i?
2.      Apa saja sumber hukum metode istinbath Mazhab Hanbali?

BAB II
METODE ISTINBATH MADZHAB SYAFI’I DAN MADZHAB HANBALI

A.    Pengertian Istinbath dan Mazhab
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu استنبط- يستنبط- استنباط yang berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata dasarnya adalah نبط- ينبط- نبطا- نبوطا (الماء)” berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.
Menurut bahasa, mazhab (مذهب) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (ذهب) yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu (الرأى) yang artinya “pendapat”.
Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a.       Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
b.      Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam. Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
B.     Metode Istinbath Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i sebagai imam rihalah fi thalab al-fiqh, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik dan pergi ke Irak untuk menuntut ilmu kepada Muhammad ibn Al-Hasan, salah seorang murid Imam Abu Hanifah. Karena itu, meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai seorang yang beraliran ahlul hadits, namun pengetahuannya tentang fiqh ahlu al-ra’yu tentu akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum.
Menurut Musthafa al-Siba’iy bahwa Imam Syafi’ilah yang meletakkan dasar pertama tentang kaidah periwayatan hadits, dan ia pula yang mempertahankan Sunnah melebihi gurunya, yaitu Imam Malik bin Anas. Dalam bidang hadits, Imam Syafi’i berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Menurut Imam Syafi’i, apabila suatu hadits sudah shahih sanadnya dan mustahil (bersambung sanadnya) kepada Nabi SAW., maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan dengan amalan ahlul Madinah sebagaimana yang disyaratkan Imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan syarat yang terlalu banyak dalam penerimaan hadits, sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Abu Hanifah. Karena itu, Imam Syafi’i dijuluki sebagai Nashir As-Sunnah (Penolong Sunnah).
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul Qadim terdapat dalam kitabnya yang berjudul Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul Jadid terdapat dalam kitabnya yag berjudul Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
Qaul qadim Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat Rasional dan fiqh ahlul hadits yang bersifat tradisional. Tetapi fiqh yang demikian akan lebih sesuai dengan ulama-ulama yang datang dari berbagai negara Islam ke Mekkah pada saat itu, mengingat situasi dan kondisi negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Mekkah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Qaul jadid dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:[1]
a.       Air yang terkena najis. Qaul Qadim: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak berubah. Qaul Jadid: air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau tidak.
b.      Zakat buah-buahan. Qaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat buah-buahan, walaupun yang tidak tahan lama. Qaul Jadid: tidak wajib mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c.       Membaca talbiyah dalam thawaf. Qaul Qadim: sunat hukumnya membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Qaul Jadid: tidak sunat membaca talbiyah dalam melakukan thawaf.
Adapun pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yng disebutkan Imam Syafi’i dalam kitabnya, Ar-Risalah, sebagai berikut:
لَيْسَ لِأَحَدٍ اَنْ يَقُوْلُ أَبَدًا فِي شَيْءٍ حَلَّ أَوْ حَرُمَ اِلّا مِنْ جِهَةِ الْعِلْمِ وَ جِهَةِ الْخَبَرِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْاِجْمَاعِ وَالْقِيَا سِ
“Tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum selamanya, ini halal, ini haram, kecuali ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.”

Pokok pikiran yang dapat dipahami dari perkataannya yang tercantum dalam kitab Al-Umm, sebagai berikut:
“Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut dzahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang dzahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijdikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu Al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah.”
Dari perkataan beliau tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:[2]
1.      Al-Qur’an dan Sunnah
Imam Syafi’i memandang Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau menempatkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena menurut beliau, Sunnah ini menjelaskan Al-Qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan Al-Qur’an dan hadits mutawatir. Di samping itu, karena Al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti Al-Qur’an.
Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi’i menempuh cara; bahwa apabila di dalam Al-Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits mutawatir. Jika tidak ditemukan dala hadits mutawatir, ia menggunaka khabar ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang dicari dengan kesemuanya itu, maka dicoba untuk menetapka hukumm berdasarkan dzahir Al-Qur’an atau sunnah secara berturut. Dengan teliti ia mencoba menemukan mukhashshish dari Al-Qur’an dan Sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya Al-Ijtihad, Imam Syafi’i jika tidak menemukan dalil dari dzahir nash Al-Qur’an dan Sunnah serta tidak ditemukan mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang pernah dilakukan Nabi atau keputusan Nabi. Kalau tidak ditemukan juga, maka ia dicari lagi bagaimana pendapat para sahabat. Jika ditemukan ada Ijma’ dari mereka tentang hukum masalah yang dihadapi, maka hukum itulah yang dipakai.
Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadits ahad, namun beliau tidak menempatkan sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir. Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut:
a.       Perawinya terpercaya.
b.      Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan.
c.       Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan kepadanya.
d.      Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadits itu.

2.      Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia menempatkan ijma’ ini sesudah Al-Qur’an dan Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’i menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ijma’ menurut pendapat Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.
Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah ijma’ yag disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah. Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama, sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijma’ mereka untuk membiarkan lahan pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma’ seperti ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik. Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya. Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah atau ijma’, atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hukum. Alasan menerima ijma’ sharih, karena kesepakatan itu disandarkann kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan. Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti, karena tidak merupakan kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu menunjukkan setuju.
Contoh Ijma’ sahabat yaitu shalat tarawih 20 rakaat.
3.      Qiyas
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam menetapkan hukum. Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i, yaitu zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahisd sebelumnya sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namu belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktik ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas, hingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yag benar dan mana yang keliru.
Sebagai dalil pengguaan qiyas, Imam Syafi’i mendasarka pada Firman Allah QS. An-Nisa’: 59.   
“kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)....”
Maksud “kembalikan pada Allah dan Rasulnya” itu ialah qiyaskanlah kepada salah satu dari Al-Qur’an atau Sunnah. Selain itu,  dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, berdasarkan hadits tentang dialog Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal, ketika ia diutus ke Yaman.
Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib menjelaskan metode istibath hukum Imam Syafi’i, sebagai berikut:[3]
a.       Imam Syafi’i mendasari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok dalam menetapkan hukum.
Abu Tsur menyatakan bahwa Imam Syafi’i memahami adanya nash yang umum, tetapi bermakna khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi bermakna umum.
Contoh ijtihad:
يايّهاالنّبيّ اذا طلّقتم النّساء
Ayat di atas, menurut Syafi’i, ditujukan kepada Nabi, tetapi maksudnya adalah semua manusia.metode seperti ini merupakan metode baru dalam ilmu fiqh dan ushul, dan umat Islam pada umumnya tidak mengenalnya sebelum datangnya Imam Syafi’i.
b.      Fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh ahlu ra’yi dengan fiqh ahlul hadits.
c.       Dalam pandangan Syafi’i, pendekatan ahlul hadits lebih jelas dalam masalah ushul.
d.      Fiqh Syafi’i menggunakan ijma’ sebagai dasar penetapan hukum.
e.       Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar mazhab.
f.       Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan.

C.    Metode Istinbath Mazhab Hanbali
Metode Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum, yaitu:
a.       Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari Al-Qur’an dan dari sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan nash itu dan tidak mengambil yang lain.
b.      Fatwa para Sahabat Nabi SAW.
Apabila ia tidak mendapatka suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
c.       Fatwa para sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan di antara mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada nash Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi yang disepakati sesama mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
d.      Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang shahihah serta fatwaa-fatwa sahabat yang disepakati atau diperselisihkan, maka beliau menetapkan hadits mursal dan hadits dha’if. Yang dimaksud dengan hadits dha’if oleh Imam Ahmad adalah karena ia membagi hadits dalam dua kelompok: Shahih dan dhaif (bukan Shahih, hasan, dan dha’if seperti kebanyakan ulama).
e.       Qiyas
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al-Qur’an dan Sunnah yang shahihah serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dhaif dan mursal, maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan Maslahah Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebbagai contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan istihsan, istishab, dan sadd al-zara’i, sekalupun Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian, sistematika sumber hukum dan istidlal Mazhab Hanbali, sebagaimana diringkas oleh salim Ali Ats-Tsaqafi[4], terdiri dari:
1.      Nushus (Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’)
2.      Fatwa-fatwa sahabat
3.      Hadits-hadits mursal dan dhaif
4.      Qiyas
5.      Istihsan
6.      Sadd al-Zara’i
7.      Istishab
8.      Maslahah Mursalah
Melihat dasar-dasar Imam Ahmad, tampak bahwa penggunaan rasio dipersempit sampai batas tertentu. Bahkan dalam analisis Mun’in A. Sirry, dalam banyak hal, pemikiran Imam Ahmad dirujukkan pada fatwa-fatwa sahabat tanpa membedakan apakah fatwa itu berdasarkan Sunnah, atsar atau ijtihad. Meskipun fatwa itu merupakan rujukan kedua setelah sunnah. Berbeda dengan Imam Syafi’i, bila terjadi ta’arud antara hadits dan fatwa sahabat, ia mengambil hadits. Apalagi Imam Hanafi tidak menggunakan fatwa sahabat, kecuali setelah diketahui melalui qiyas.
Contoh Istinbath Imam Hanbali[5], yaitu Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah“


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan keterkaitan antara Latar Belakang, Rumusan Masalah serta pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Sumber dan Metode Istinbath yang digunakan Mazhab Syafi’i yaitu:
a.       Al-Qur’an
b.      Sunnah
c.       Ijma’
d.      Qiyas
2.      Sumber dan Metode Istinbath yang digunakan Mazhab Hanbali yaitu:
a.       Nushus (Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’)
b.      Fatwa-fatwa sahabat
c.       Hadits-hadits mursal dan dhaif
d.      Qiyas
e.       Istihsan
f.       Sadd al-Zara’i
g.      Istishab
h.      Maslahah Mursalah


DAFTAR PUSTAKA

Mubarok, Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Supriyadi, Dedi. 2008. Pengantar Perbandingan Madzhab. Bandung: Pustaka Setia.
Ali Ats-Tsaqafi, Salim. 1978. Mafatih al-Fiqh al-Hanbali. Mekkah. Cetakan ke I.
M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo.




[1] Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[2] Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 123-133.
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 175-177.
[4] Salim Ali Ats-Tsaqafi, Mafatih al-Fiqh alHanbali, Mekkah, Cetakan ke I., 1978, hlm. 361-391.
[5]  M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, cet. Ke-4.

____________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...