Metode Istinbath Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali
Oleh: Jamiatul Husnaini & Leni Apriani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at
Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan
mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks.
Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam.
Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani
oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin
semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari
Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin
Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau
sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang
tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut. Dengan
berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad
disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara
tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah
kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan
tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits
serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan
dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang
oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya
beberapa mazhab dalam fiqih.
Di dalam makalah ini penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai
sistematika sumber hukum Islam dan sistem istinbath imam mazhab, yaitu imam
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.
B. Rumusan
Masalah
Rumusan Masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa saja sumber hukum metode istinbath Mazhab Syafi’i?
2.
Apa saja sumber hukum metode istinbath Mazhab Hanbali?
BAB II
METODE ISTINBATH MADZHAB SYAFI’I DAN
MADZHAB HANBALI
A. Pengertian
Istinbath dan Mazhab
Secara bahasa kata istinbath berasal dari bahasa Arab yaitu “استنبط-
يستنبط- استنباط” yang berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali dan lainnya. Kata
dasarnya adalah “نبط- ينبط- نبطا- نبوطا (الماء)” berarti air
terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath
disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya
yang terperinci untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni.
Menurut bahasa, mazhab (مذهب) berasal dari shighah mashdar mimy (kata sifat) dan isim makan (kata
yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” (ذهب) yang
berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu (الرأى)
yang artinya “pendapat”.
Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
Sedangkan yang dimaksud dengan mazhab menurut istilah, meliputi dua pengertian, yaitu:
a. Mazhab adalah
jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
b. Mazhab adalah
fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang
diambil dari Al-Qur’an dan hadits.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh
Imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbathkan hukum Islam.
Selanjutnya Imam mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau
mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
B. Metode
Istinbath Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i sebagai imam rihalah fi
thalab al-fiqh, pernah pergi ke Hijaz untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik
dan pergi ke Irak untuk menuntut ilmu kepada Muhammad ibn Al-Hasan, salah
seorang murid Imam Abu Hanifah. Karena itu, meskipun Imam Syafi’i digolongkan
sebagai seorang yang beraliran ahlul hadits, namun pengetahuannya
tentang fiqh ahlu al-ra’yu tentu akan memberikan pengaruh kepada
metodenya dalam menetapkan hukum.
Menurut Musthafa al-Siba’iy bahwa Imam Syafi’ilah yang meletakkan
dasar pertama tentang kaidah periwayatan hadits, dan ia pula yang
mempertahankan Sunnah melebihi gurunya, yaitu Imam Malik bin Anas. Dalam bidang hadits, Imam Syafi’i berbeda
dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik bin Anas. Menurut Imam Syafi’i, apabila
suatu hadits sudah shahih sanadnya dan mustahil (bersambung sanadnya) kepada
Nabi SAW., maka sudah wajib diamalkan tanpa harus dikaitkan dengan amalan ahlul
Madinah sebagaimana yang disyaratkan Imam Malik dan tidak pula perlu ditentukan
syarat yang terlalu banyak dalam penerimaan hadits, sebagaimana yang disyaratkan
oleh Imam Abu Hanifah. Karena itu, Imam Syafi’i dijuluki sebagai Nashir As-Sunnah (Penolong Sunnah).
Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan, yang dikenal dengan qaul
al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul Qadim terdapat dalam
kitabnya yang berjudul Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Qaul Jadid
terdapat dalam kitabnya yag berjudul Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.
Qaul qadim Imam Syafi’i merupakan perpaduan antara fiqh Irak yang bersifat
Rasional dan fiqh ahlul hadits yang bersifat tradisional. Tetapi fiqh yang
demikian akan lebih sesuai dengan ulama-ulama yang datang dari berbagai negara
Islam ke Mekkah pada saat itu, mengingat situasi dan kondisi negara-negara yang
sebagian ulamanya datang ke Mekkah pada waktu itu berbeda-beda satu sama lain. Qaul
jadid dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari
fiqh dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir
pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang
telah difatwakannya di Irak.
Beberapa contoh pendapat Kaul Qadim dan Kaul Jadid antara lain:[1]
a.
Air yang terkena najis. Qaul Qadim: air yang sedikit dan
kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah ditentukan, tidak
dikategorikan air mutanajjis selama air itu tidak berubah. Qaul Jadid:
air yang sedikit dan kurang dari dua kullah, atau kurang dari ukuran yang telah
ditentukan, tidak dikategorikan air mutanajjis apakah air itu berubah atau
tidak.
b.
Zakat buah-buahan. Qaul Qadim: wajib mengeluarkan zakat
buah-buahan, walaupun yang tidak tahan lama. Qaul Jadid: tidak wajib
mengeluarkan zakat buah-buahan yang tidak tahan lama.
c.
Membaca talbiyah dalam thawaf. Qaul Qadim: sunat hukumnya
membaca talbiyah dalam melakukan thawaf. Qaul Jadid: tidak sunat membaca
talbiyah dalam melakukan thawaf.
Adapun pegangan Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum adalah
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan yng disebutkan Imam
Syafi’i dalam kitabnya, Ar-Risalah, sebagai berikut:
لَيْسَ
لِأَحَدٍ اَنْ يَقُوْلُ أَبَدًا فِي شَيْءٍ حَلَّ أَوْ حَرُمَ اِلّا مِنْ جِهَةِ
الْعِلْمِ وَ جِهَةِ الْخَبَرِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْاِجْمَاعِ
وَالْقِيَا سِ
“Tidak boleh seseorang mengatakan dalam
hukum selamanya, ini halal, ini haram, kecuali ada pengetahuan tentang itu.
Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.”
Pokok pikiran yang dapat dipahami dari perkataannya yang tercantum
dalam kitab Al-Umm, sebagai berikut:
“Dasar utama dalam menetapkan hukum
adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah
dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah
lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut dzahirnya. Apabila suatu hadits
mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang dzahirlah yang
utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih
utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijdikan dalil kecuali jika diriwayatkan
oleh Ibnu Al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang
lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi
kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada
pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah.”
Dari perkataan beliau tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa
pokok-pokok pikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:[2]
1.
Al-Qur’an dan Sunnah
Imam Syafi’i memandang Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu
martabat. Beliau menempatkan Sunnah sejajar dengan Al-Qur’an, karena menurut
beliau, Sunnah ini menjelaskan Al-Qur’an, kecuali hadits ahad tidak sama
nilainya dengan Al-Qur’an dan hadits mutawatir. Di samping itu, karena
Al-Qur’an dan Sunnah keduanya adalah wahyu, meskipun kekuatan Sunnah secara
terpisah tidak sekuat seperti Al-Qur’an.
Dalam pelaksanaannya, Imam Syafi’i menempuh cara; bahwa apabila di
dalam Al-Qur’an sudah tidak ditemukan dalil yang dicari, ia menggunakan hadits
mutawatir. Jika tidak ditemukan dala hadits mutawatir, ia menggunaka khabar
ahad. Jika tidak ditemukan dalil yang dicari dengan kesemuanya itu, maka dicoba
untuk menetapka hukumm berdasarkan dzahir Al-Qur’an atau sunnah secara
berturut. Dengan teliti ia mencoba menemukan mukhashshish dari Al-Qur’an
dan Sunnah. Selanjutnya menurut Sayyid Muhammad Musa dalam kitabnya Al-Ijtihad,
Imam Syafi’i jika tidak menemukan dalil dari dzahir nash Al-Qur’an dan Sunnah
serta tidak ditemukan mukhashshishnya, maka ia mencari apa yang pernah
dilakukan Nabi atau keputusan Nabi. Kalau tidak ditemukan juga, maka ia dicari
lagi bagaimana pendapat para sahabat. Jika ditemukan ada Ijma’ dari mereka
tentang hukum masalah yang dihadapi, maka hukum itulah yang dipakai.
Imam Syafi’i walaupun berhujjah dengan hadits ahad, namun beliau
tidak menempatkan sejajar dengan Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir. Imam Syafi’i
dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut:
a.
Perawinya terpercaya.
b.
Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkan.
c.
Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang
menyampaikan kepadanya.
d.
Perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan
hadits itu.
2.
Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia
menempatkan ijma’ ini sesudah Al-Qur’an dan Sunnah sebelum qiyas. Imam Syafi’i
menerima ijma’ sebagai hujjah dalam masalah-masalah yang tidak diterangkan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ijma’ menurut pendapat Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu
masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan bukan pula ijma’
kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa ijma’ sahabat merupakan
ijma’ yang paling kuat.
Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum itu adalah
ijma’ yag disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah.
Secara tegas ia mengatakan, bahwa ijma’ yang berstatus dalil hukum itu adalah
ijma’ sahabat.
Imam Syafi’i membagi pendapat sahabat kepada tiga bagian. Pertama,
sesuatu yang sudah disepakati, seperti ijma’ mereka untuk membiarkan lahan
pertanian hasil rampasan perang tetap dikelola oleh pemiliknya. Ijma’ seperti
ini adalah hujjah dan termasuk dalam keumumannya serta tidak dapat dikritik.
Kedua, pendapat seorang sahabat saja dan tidak ada yang lain dalam suatu
masalah, baik setuju atau menolak, maka imam Syafi’i tetap mengambilnya.
Ketiga, masalah yang mereka berselisih pendapat, maka dalam hal ini imam
Syafi’i akan memilih salah satunya yang paling dekat dengan Alquran, sunnah
atau ijma’, atau menguatkannya dengan qiyas yang lebih kuat dan beliau tidak
akan membuat pendapat baru yang bertentangan dengan pendapat yang sudah ada.
Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil
hukum dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hukum. Alasan menerima ijma’
sharih, karena kesepakatan itu disandarkann kepada nash dan berasal dari
semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung keraguan.
Sementara alasannya menolak ijma’ sukuti, karena tidak merupakan
kesepakatan semua mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu
menunjukkan setuju.
Contoh Ijma’ sahabat yaitu shalat tarawih 20 rakaat.
3.
Qiyas
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat
setelah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dalam menetapkan hukum. Qiyas menurut para ahli hukum Islam berarti penalaran analogis, yaitu
pengambilan kesimpulan dari prinsip tertentu, perbandingan hukum permasalahan
yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam
Syafi’i, yaitu zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan
patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahisd sebelumnya
sekalipun telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namu belum membuat rumusan
patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktik ijtihad secara umum belum
mempunyai patokan yang jelas, hingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yag
benar dan mana yang keliru.
Sebagai dalil pengguaan qiyas, Imam Syafi’i mendasarka pada Firman
Allah QS. An-Nisa’: 59.
“kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya)....”
Maksud “kembalikan pada Allah dan Rasulnya” itu ialah qiyaskanlah
kepada salah satu dari Al-Qur’an atau Sunnah. Selain itu, dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah,
berdasarkan hadits tentang dialog Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal, ketika ia
diutus ke Yaman.
Musthafa Muhammad Asy-Syak’ah, dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib
menjelaskan metode istibath hukum Imam Syafi’i, sebagai berikut:[3]
a. Imam Syafi’i
mendasari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok dalam
menetapkan hukum.
Abu
Tsur menyatakan bahwa Imam Syafi’i memahami adanya nash yang umum, tetapi bermakna
khusus, dan sebaliknya nash yang khusus, tetapi bermakna umum.
Contoh
ijtihad:
يايّهاالنّبيّ اذا طلّقتم النّساء
Ayat
di atas, menurut Syafi’i, ditujukan kepada Nabi, tetapi maksudnya adalah semua
manusia.metode seperti ini merupakan metode baru dalam ilmu fiqh dan ushul, dan
umat Islam pada umumnya tidak mengenalnya sebelum datangnya Imam Syafi’i.
b.
Fiqh Syafi’i merupakan campuran antara fiqh ahlu ra’yi dengan fiqh
ahlul hadits.
c.
Dalam pandangan Syafi’i, pendekatan ahlul hadits lebih jelas dalam
masalah ushul.
d.
Fiqh Syafi’i menggunakan ijma’ sebagai dasar penetapan hukum.
e.
Syafi’i juga mengukuhkan qiyas sebagai dasar mazhab.
f.
Syafi’i menolak penggunaan kaidah istihsan.
C.
Metode Istinbath Mazhab Hanbali
Metode Imam Ahmad ibn Hanbal dalam
menetapkan hukum, yaitu:
a. Nash dari Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih
Apabila beliau telah mendapati suatu nash dari
Al-Qur’an dan dari sunnah Rasul yang shahihah, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah
dengan nash itu dan tidak mengambil yang
lain.
b.
Fatwa para Sahabat Nabi SAW.
Apabila
ia tidak mendapatka suatu nash yang jelas, baik dari Al-Qur’an maupun dari
hadits shahih, maka ia menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang
tidak ada perselisihan di kalangan mereka.
c.
Fatwa para sahabat Nabi yang timbul dalam perselisihan di antara
mereka dan diambilnya yang lebih dekat kepada nash Al-Qur’an dan Sunnah.
Apabila Imam Ahmad tidak menemukan fatwa para sahabat Nabi yang disepakati
sesama mereka, maka beliau menetapkan hukum dengan cara memilih dari
fatwa-fatwa mereka yang ia pandang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
d.
Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Apabila
Imam Ahmad tidak mendapatkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang shahihah serta
fatwaa-fatwa sahabat yang disepakati atau diperselisihkan, maka beliau
menetapkan hadits mursal dan hadits dha’if. Yang dimaksud dengan hadits dha’if
oleh Imam Ahmad adalah karena ia membagi hadits dalam dua kelompok: Shahih dan
dhaif (bukan Shahih, hasan, dan dha’if seperti kebanyakan ulama).
e.
Qiyas
Apabila
Imam Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al-Qur’an dan Sunnah yang shahihah
serta fatwa-fatwa sahabat, maupun hadits dhaif dan mursal, maka Imam Ahmad
dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun
menggunakan Maslahah Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebbagai contoh,
Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta’zir terhadap orang yang selalu berbuat
kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum
khamar pada siang hari bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh
pengikut-pengikutnya. Begitu pula dengan istihsan, istishab, dan sadd
al-zara’i, sekalupun Imam Ahmad itu sangat jarang menggunakannya dalam
menetapkan hukum.
Dengan demikian, sistematika sumber hukum dan istidlal Mazhab
Hanbali, sebagaimana diringkas oleh salim Ali Ats-Tsaqafi[4], terdiri
dari:
1.
Nushus (Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’)
2.
Fatwa-fatwa sahabat
3.
Hadits-hadits mursal dan dhaif
4.
Qiyas
5.
Istihsan
6.
Sadd al-Zara’i
7.
Istishab
8.
Maslahah Mursalah
Melihat dasar-dasar Imam Ahmad, tampak bahwa penggunaan rasio
dipersempit sampai batas tertentu. Bahkan dalam analisis Mun’in A. Sirry, dalam
banyak hal, pemikiran Imam Ahmad dirujukkan pada fatwa-fatwa sahabat tanpa
membedakan apakah fatwa itu berdasarkan Sunnah, atsar atau ijtihad. Meskipun
fatwa itu merupakan rujukan kedua setelah sunnah. Berbeda dengan Imam Syafi’i,
bila terjadi ta’arud antara hadits dan fatwa sahabat, ia mengambil hadits.
Apalagi Imam Hanafi tidak menggunakan fatwa sahabat, kecuali setelah diketahui
melalui qiyas.
Contoh Istinbath Imam Hanbali[5],
yaitu Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat
penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang
meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan
budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda
yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal,
nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼
dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang
memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah
mutlak. Imam Ahmad berpendapat :“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan
amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad
berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab
dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat
itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu
lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’
dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar
(pilih) selama keduanya belum berpisah“
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
keterkaitan antara Latar Belakang, Rumusan Masalah serta pembahasan dalam
makalah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Sumber dan Metode Istinbath yang digunakan Mazhab Syafi’i yaitu:
a.
Al-Qur’an
b.
Sunnah
c.
Ijma’
d.
Qiyas
2.
Sumber dan Metode Istinbath yang digunakan Mazhab Hanbali yaitu:
a.
Nushus (Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’)
b.
Fatwa-fatwa sahabat
c.
Hadits-hadits mursal dan dhaif
d.
Qiyas
e.
Istihsan
f.
Sadd al-Zara’i
g.
Istishab
h.
Maslahah Mursalah
DAFTAR PUSTAKA
Mubarok, Jaih. 2002. Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl
Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Supriyadi,
Dedi. 2008. Pengantar Perbandingan Madzhab. Bandung: Pustaka Setia.
Ali
Ats-Tsaqafi, Salim. 1978. Mafatih al-Fiqh al-Hanbali. Mekkah. Cetakan ke
I.
M.
Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
[1] Mubarok, Jaih, Dr. 2002. Modifikasi Hukum Islam:
Studi Tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[2] Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), hlm. 123-133.
[3] Dedi Supriyadi, Pengantar Perbandingan Madzhab, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008), hlm. 175-177.
[4] Salim Ali Ats-Tsaqafi, Mafatih al-Fiqh alHanbali, Mekkah, Cetakan ke
I., 1978, hlm. 361-391.
[5] M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002, cet. Ke-4.
____________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang