Saturday 2 April 2016

MUTLAK DAN MUQAYYAD (Pengertian, Kedudukan Lafal, Bentuk-Bentuk dan Hukum)

Mutlak dan Muqayyad
Makalah Ushul Fiqh
Oleh Vivit Heryani (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah PAelmbang

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
      Ketetapan hukum syar’i yang sudah digariskan oleh Alqur’an dan as Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mumpuni bagi calon-calon mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mempelajari ilmu Ushul Fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan.
      Apabila kita selidiki secara seksama tentang keadaan tiap-tiap lafal dari segi dibatasinya atau tidaknya lafal, tampak bahwa ada keadaannya bebas dan tidak dibatsi penggunaannya oleh yang lain (muqayyad) dan ada pula hal-hal yang membatasi yang disebut (al-qaid). Oleh karena itu, berbicara tentang mutlak terkait pula dengan masalah muqayyad dan al-qaid.
1.2 Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian dari mutlak dan muqayyad ?
2. Apa saja  Kedudukan Lafal Mutlak Dan Muqayyad Serta Pengalamanya ?
3. Jelaskan dan sebutkan dari bentuk-bentuk dan hukum lafal mutlak dan muqayyad ?


PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mutlak
Mutlak ini didefenisikan oleh para ulama yaitu: menurut Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Ilmu Ushul Fi Sanbih Al-Jadid, meyebutkan bahwa mutlak itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu. [1]Mutlak ialah lafal-lafal yang menunjukan kepada pengertian yang tidak ada batasan oleh hal lain. Maksudnya lafal tersebut masih mutlak,[2] seperti firman Allah

Artinya “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seseorang hamba sahaya” (QS Mujadilah 3)
            Jadi dapat saya simpulkan bahwa mutlak itu tidak ada ikatan (batas) yang tertentu, disini dicontohkan dalam firman Allah Swt dalam ayat diatas menjelaskan tentang  hamba sahaya, disini tidak dijelaskan hamba sahaya yang seperti apa mukmin atau bukan, oleh sebab itu mutlak itu lebih luas pengertiannya. Mutlak itu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya batasan yang mempersempit cakupan artinya.

B.     Pengertian Muqayyad

Muqayyad didefinsikan juga oleh para ulama ushul yaitu: menurut Syaikh Al-Khudari Beik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal tertentu. Sedangkan menurut Zaky Al-Din Sya’ban, muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukan atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah oleh suatu sifat. Dan menurut Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya.[3]


Artinya “Dan barang siapa membunuh seseorang mikmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (QS An Nisa 92)[4]

Jadi dapat saya simpulkan bahwa muqayyad adalah suatu lafal nash yang maknanya telah tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih terbatas dan pasti. Muqayyad ini kebalikan dari mutlak pengertiannya lebih spesifik lagi

C.    Kedudukan Lafal Mutlak Dan Muqayyad Serta Pengalamanya

Prinsip dasar yang harus diperhatikan terhadap lafal nash mutlak dan muqayyad ini adalah lafal mutlak tetap pada kemutlakannya selama tidak ada dalil yang memberikan qayid (batasan) dan begitu pula sebaliknya, muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Jika lafal mutlak terdapat suatu dalil yang memberikan qayid maka ia berubah tidak mutlak lagi. Dengan kata lain, lafal mutlak akan beruabah jika ada qayid sebagai penjelasan dan yang dipakai adalah yang tersebut terakhir. Ada dua segi yang harus diperhatikan dalam kedudukan lafal Mutlak dan Muqayyad.
Peratama, membawa Mutlak kepada Muqayyad jika didalam nash terdapat lafal Mutlak, kemudian ditempat lain disebutkan dengan Muqayyad. Terdapat beberapa ketentuan yaitu:
1.      Jika ketentuan hukum sama dan sebab penetapannya juga sama. Hal ini yang diistilahkan oleh Syeikh Al-Khudari Beik, sebagai contoh dalam al-qur’an dijelaskan dalam QS. Al-Maidah:3


Artinya: “Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi (QS. Al-maidah:3)

2.      Ketentuan hukum berlaku sama, tetapi sebab yang melatarbelakangi penetapan hukumnya berbeda. Sebagai contoh yaitu tentang kafarat (denda) zhihar dan kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah)dengan memerdekakan budak, kafarat zhihar disebutkan dengan lafal mutlak, seperti ayat berikut:[5]

Artinya: “ Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan” (QS. Al-mujadilah 3)

Kemudian, tentang kafarat pembunuhan tak sengaja disebutkan dengan la-fal muqayyad dalam ayat berikut:

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ  
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin.” (QS. An-nisa 92)[6]

Kedua, Mutlak tidak dibawah kemuqayyad, ada dua hal yang harus diperhatikan:
1.      Jika ketentuan hukum Mutlak dan Muqayyad berbeda serta latar belakang kasusnya (sebab) jika berbeda, maka Mutlak tidak dibawa kepada Muqayyad.[7]

 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong tangan mereka masing-masing sebagai pembalasan (hukuman) bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-maidah 38)

Maksudnya: Lafal  (tangan) pada ayat ini adalah mutlaq dan tidak diberi qayid (batasan) hingga siku atau pergelangan tangan.

2.      Ketentuan hukum berbeda tetapi latar belakang kasusnya (sebab) adalah sama. Dalam hal ini maka Mutlak dan Mukayyad diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya masing-masing.

Artinya: “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih sepuluh (usapkan) wajahkan dan tanganmu dengan tanah tersebut” (QS. Al-maidah 6)

Maksudnya: Bahwa dalam wudhu diperintahkan membasuh kedua tangan, dan sedangkan tayamum diperintahkan mengusap kedua tangan. Akan tetapi, sebab atau latar belakang kasusnya sama yaitu karena hendak mendirikan shalat. Menurut abdul karim zaidin, mutlak dan mutayyad  diamalkan menurut ketentuan masing-masing. [8]

D.    Bentuk-bentuk mutlak dan muqayyad
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1)            Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad
2)            Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3)            Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya
4)            Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama
5)            Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.[9]

E.     Hukum lafal Mutlak dan Muqayyad
1)      Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya. Dalam hal ini Mutlak harus bibawa kepada Muqayyad, artinya Muqayyad menjadi penjelasan terhadap Mutlak
2)      Berbeda hukum dan sebabnya (kebalikan nomor 1) dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak
3)      Berbeda hukum tetapi sebabnya sama dalam hal ini masing-masing Mutlak dan Muqayyad tetap pada tenpatnya sediri
4)      Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.[10]

F.     Hubungan antara mutlak dan muqayyad
Apa bila da suatu lafal, yang disatu tempat berbentuk mutlak, sedangkan ditempat yang lain berbentuk muqayyad, ada empat kemungkinan dari ketentuannya.

1)      Persamaan sebab dan hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka harus diikutkan satu kepada lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlak tadi, tidak lagi mutlak, karena harus tunduk pada yang muqayyad dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya, memiliki kesamaan dalam cara mengertikannya. Oleh karena itu, yang muqayyad sebagai pebjelas (yang menjelaskan) pada yang mutlak. Contoh lafal, artinya tiga hari, bentuknya sebagimana yang terdapat dalam ayat:

 فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya: “Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari” (QS Al-Maidah 89)

Menurut bacaan mutawatir, bentuk lafal diatas adalah mutlak. Akan tetapi, menurut bacaan syadzah, bentuk lafal tersebut adalah muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi

Artinya “Hendaknya puasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dibatasi oleh kata-kata berturut-turut.”

Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, qiraat mutawatir diatas harus diikutkan pada qiraat syadzah. Jadi, cara mengartikannya dipersamakan dengan qiraat syadzah, yaitu hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya, yaitu karena kafarat sumpah.

2)         Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlak harus diikutkan pada yang muqayyad, sedangkan ulama yang mutlak tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal berbentuk mutlak dalam QS Mujadilah:3

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al- Mujadilah: 3)

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ 
Artinya: “Dan barang siapa membunuh mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin, serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS. An-nisa 92)[11]

Jadi dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad itu satu tujuan walaupun  diantara keduanya ada perbedaan tetapi masih tetap sama. Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan ialah karena bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda sebabnya. [12]

SIMPULAN
Mutlak adalah Muhammad jawad mughniyah dalam kitab Ilmu Ushul Fi Sanbih Al-Jadid, meyebutkan bahwa mutlak itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu.
Muqayyad adalah Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya
a)         Bentuk-bentuk mutlaq dan muqayyad
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a.       Suatu lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad
b.      Lafal mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
c.       Lafal mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya
d.      Mutlak dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama
e.       Mutlak dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya

b)      Hukum lafal Mutlak dan Muqayyad
a.          Tidak berbeda (sama) hukum dan sebabnya. Dalam hal ini Mutlak harus bibawa kepada Muqayyad, artinya Muqayyad menjadi penjelasan terhadap Mutlak
b.         Berbeda hukum dan sebabnya (kebalikan nomor 1) dalam hal ini masing-masing mutlak dan muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak
c.          Berbeda hukum tetapi sebabnya sama dalam hal ini masing-masing Mutlak dan Muqayyad tetap pada tenpatnya sediri
d.         Berisi hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya


REFERENSI
Digital Al-Qur’an 2.1 2014
Burhanuddin, 2010, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia,
Hanafie, 1980, Ushul Fiqh, Jakarta Pusat: PT Bumirestu Jakarta
Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia,
Romli, 2006, Ushul Fiqh 1 Metodelogi Penetapan Hukum Islam, Palembang: IAIN Raden Fatah Press




[1] Romli, Ushul Fiqh 1 Metodelogi Penetapan Hukum Islam, (Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2006), hal 197
[2] Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 192
[3] Ibid , hal 198
[4] Al-Qur’an digital 2.1 2014
[5] Ibid, hal  199
[6] Ibid, 2014
[7] Ibid, hal 200
[8] Romli, Ushul Fiqh 1 Metodelogi Penetapan Hukum Islam,(Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2006), hal 202
[9] Rahmat Syafe’i, ilmu ushul fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 212-213
[10] Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta Pusat: PT Bumirestu Jakarta, 1980), hal 74-76
[11] Ibid, 2014
[12] Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hal 198-199
loading...