Mutlak dan Muqayyad
Makalah Ushul Fiqh
Oleh Vivit Heryani (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah PAelmbang
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketetapan hukum
syar’i yang sudah digariskan oleh Alqur’an dan as Sunnah harus dipahami dengan
sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mumpuni bagi
calon-calon mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang tidak benar dan tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Mempelajari ilmu Ushul Fiqh, mendalami dan
sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus
hukum yang handal dan diperhitungkan.
Apabila kita selidiki secara seksama tentang keadaan
tiap-tiap lafal dari segi dibatasinya atau tidaknya lafal, tampak bahwa ada
keadaannya bebas dan tidak dibatsi penggunaannya oleh yang lain (muqayyad) dan
ada pula hal-hal yang membatasi yang disebut (al-qaid). Oleh karena itu,
berbicara tentang mutlak terkait pula dengan masalah muqayyad dan al-qaid.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari mutlak dan muqayyad ?
2. Apa saja
Kedudukan Lafal Mutlak
Dan Muqayyad Serta Pengalamanya ?
3. Jelaskan dan sebutkan dari bentuk-bentuk
dan hukum lafal mutlak dan muqayyad ?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mutlak
Mutlak ini didefenisikan oleh para ulama yaitu: menurut Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab Ilmu Ushul Fi Sanbih Al-Jadid,
meyebutkan bahwa mutlak itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu
pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu. [1]Mutlak
ialah lafal-lafal yang menunjukan kepada pengertian yang tidak ada batasan oleh
hal lain. Maksudnya lafal tersebut masih mutlak,[2]
seperti firman Allah
Artinya “Maka (wajib atasnya) memerdekakan seseorang hamba sahaya” (QS Mujadilah
3)
Jadi dapat saya simpulkan bahwa
mutlak itu tidak ada ikatan (batas) yang tertentu, disini dicontohkan dalam
firman Allah Swt dalam ayat diatas menjelaskan tentang hamba sahaya, disini tidak dijelaskan hamba
sahaya yang seperti apa mukmin atau bukan, oleh sebab itu mutlak itu lebih luas
pengertiannya. Mutlak itu lafal nash yang tertentu yang tidak atau tanpa adanya
batasan yang mempersempit cakupan artinya.
B.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad
didefinsikan juga oleh para ulama ushul yaitu: menurut Syaikh Al-Khudari Beik, Muqayyad ialah lafal yang menunjukan
suatu objek (afrad) atau beberapa objek tertentu yang dibatasi oleh lafal
tertentu. Sedangkan menurut Zaky Al-Din Sya’ban, muqayyad ialah suatu lafal
yang menunjukan atas satu objek atau beberapa objek dan ia telah oleh suatu
sifat. Dan menurut Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal kepada
sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit cakupannya
atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya.[3]
Artinya “Dan barang siapa
membunuh seseorang mikmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman”. (QS An Nisa 92)[4]
Jadi
dapat saya simpulkan bahwa muqayyad adalah suatu lafal nash yang maknanya telah
tertentu karena dibatasi dengan suatu sifat tertentu sehingga pengertiannya lebih
terbatas dan pasti. Muqayyad ini kebalikan dari mutlak pengertiannya lebih
spesifik lagi
C.
Kedudukan Lafal Mutlak Dan Muqayyad Serta Pengalamanya
Prinsip
dasar yang harus diperhatikan terhadap lafal nash mutlak dan muqayyad ini
adalah lafal mutlak tetap pada kemutlakannya selama tidak ada dalil yang
memberikan qayid (batasan) dan begitu pula sebaliknya, muqayyad tetap pada
kemuqayyadannya. Jika lafal mutlak terdapat suatu dalil yang memberikan qayid
maka ia berubah tidak mutlak lagi. Dengan kata lain, lafal mutlak akan beruabah
jika ada qayid sebagai penjelasan dan yang dipakai adalah yang tersebut
terakhir. Ada dua segi yang harus diperhatikan dalam kedudukan lafal Mutlak dan
Muqayyad.
Peratama, membawa Mutlak
kepada Muqayyad jika didalam nash terdapat lafal Mutlak, kemudian ditempat lain
disebutkan dengan Muqayyad. Terdapat beberapa ketentuan yaitu:
1.
Jika
ketentuan hukum sama dan sebab penetapannya juga sama. Hal ini yang
diistilahkan oleh Syeikh Al-Khudari Beik, sebagai contoh dalam al-qur’an
dijelaskan dalam QS. Al-Maidah:3
Artinya: “Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi (QS.
Al-maidah:3)
2.
Ketentuan
hukum berlaku sama, tetapi sebab yang melatarbelakangi penetapan hukumnya
berbeda. Sebagai contoh yaitu tentang
kafarat (denda) zhihar dan kafarat pembunuhan tak sengaja (tersalah)dengan
memerdekakan budak, kafarat zhihar disebutkan dengan lafal mutlak, seperti ayat
berikut:[5]
Artinya:
“ Dan orang-orang yang menzihar istri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan”
(QS. Al-mujadilah 3)
Kemudian, tentang kafarat pembunuhan
tak sengaja disebutkan dengan la-fal muqayyad dalam ayat berikut:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ
Artinya:
“Dan barang siapa membunuh mukmin karena
tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang
mukmin.” (QS. An-nisa 92)[6]
Kedua, Mutlak tidak
dibawah kemuqayyad, ada dua hal yang harus diperhatikan:
1.
Jika
ketentuan hukum Mutlak dan Muqayyad berbeda serta latar belakang kasusnya
(sebab) jika berbeda, maka Mutlak tidak dibawa kepada Muqayyad.[7]
Artinya:
“Dan pencuri laki-laki dan perempuan,
hendaklah dipotong tangan mereka masing-masing sebagai pembalasan (hukuman)
bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-maidah 38)
Maksudnya:
Lafal (tangan) pada ayat ini adalah mutlaq dan tidak diberi qayid (batasan) hingga siku atau
pergelangan tangan.
2.
Ketentuan
hukum berbeda tetapi latar belakang kasusnya (sebab) adalah sama. Dalam hal ini
maka Mutlak dan Mukayyad diamalkan sesuai dengan ketentuan hukumnya
masing-masing.
Artinya:
“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang bersih sepuluh (usapkan) wajahkan dan tanganmu dengan tanah tersebut” (QS.
Al-maidah 6)
Maksudnya:
Bahwa dalam wudhu diperintahkan membasuh kedua tangan, dan sedangkan tayamum
diperintahkan mengusap kedua tangan. Akan tetapi, sebab atau latar belakang
kasusnya sama yaitu karena hendak mendirikan shalat. Menurut abdul karim
zaidin, mutlak dan mutayyad diamalkan menurut ketentuan masing-masing. [8]
D.
Bentuk-bentuk mutlak dan muqayyad
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
1)
Suatu
lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan
dengan muqayyad
2)
Lafal
mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
3)
Lafal
mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya
ataupun sebab hukumnya
4)
Mutlak
dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama
5)
Mutlak
dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.[9]
E.
Hukum lafal Mutlak dan Muqayyad
1)
Tidak
berbeda (sama) hukum dan sebabnya. Dalam hal ini Mutlak harus bibawa kepada Muqayyad,
artinya Muqayyad menjadi penjelasan terhadap Mutlak
2)
Berbeda
hukum dan sebabnya (kebalikan nomor 1) dalam hal ini masing-masing mutlak dan
muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak
3)
Berbeda
hukum tetapi sebabnya sama dalam hal ini masing-masing Mutlak dan Muqayyad
tetap pada tenpatnya sediri
4)
Berisi
hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya.[10]
F.
Hubungan antara mutlak dan muqayyad
Apa
bila da suatu lafal, yang disatu tempat berbentuk mutlak, sedangkan ditempat
yang lain berbentuk muqayyad, ada empat kemungkinan dari ketentuannya.
1)
Persamaan
sebab dan hukum
Apabila
kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka harus diikutkan satu
kepada lain, yakni yang muqayyad. Artinya lafal mutlak tadi, tidak lagi mutlak,
karena harus tunduk pada yang muqayyad dan harus diartikan secara muqayyad.
Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya, memiliki kesamaan
dalam cara mengertikannya. Oleh karena itu, yang muqayyad sebagai pebjelas
(yang menjelaskan) pada yang mutlak. Contoh lafal, artinya tiga hari, bentuknya
sebagimana yang terdapat dalam ayat:
Artinya:
“Barang siapa yang tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari” (QS
Al-Maidah 89)
Menurut
bacaan mutawatir, bentuk lafal diatas adalah mutlak. Akan tetapi, menurut
bacaan syadzah, bentuk lafal tersebut adalah muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab
dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi
Artinya
“Hendaknya puasa tiga hari
berturut-turut. Jadi, dibatasi oleh kata-kata berturut-turut.”
Karena
kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, qiraat mutawatir diatas harus
diikutkan pada qiraat syadzah. Jadi, cara mengartikannya dipersamakan dengan
qiraat syadzah, yaitu hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi, dalam
qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut karena keduanya sama
hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya, yaitu karena kafarat sumpah.
2)
Sebabnya
berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila
dua lafal itu berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan
hukum), bagian ini diperselisihkan oleh ulama ushul. Menurut sebagian ulama,
yang mutlak harus diikutkan pada yang muqayyad, sedangkan ulama yang mutlak
tetap pada kemutlakannya. Contoh lafal berbentuk mutlak dalam QS Mujadilah:3
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al- Mujadilah: 3)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا ۚ
Artinya:
“Dan barang siapa membunuh mukmin karena
tersalah (tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang
mukmin, serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), .” (QS. An-nisa 92)[11]
Jadi
dapat saya simpulkan bahwa hubungan antara mutlak dan muqayyad itu satu tujuan
walaupun diantara keduanya ada perbedaan
tetapi masih tetap sama. Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab dia memerdekaan
ialah karena bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat yang kedua karena membunuh
dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda sebabnya. [12]
SIMPULAN
Mutlak adalah Muhammad jawad mughniyah
dalam kitab Ilmu Ushul Fi Sanbih Al-Jadid,
meyebutkan bahwa mutlak itu adalah suatu lafal yang menunjukan kepada sesuatu
pengertian tanpa diikat oleh batasan tertentu.
Muqayyad adalah Mustafa Said Al-Khin, yaitu petunjuk makna lafal
kepada sesuatu yang telah dibatasi dengan suatu batasan yang mempersempit
cakupannya atau petunjuk lafal tersebut telah tertentu maknanya
a)
Bentuk-bentuk
mutlaq dan muqayyad
Kaidah lafal mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
a.
Suatu
lafal dipakai dengan mutlak pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan
dengan muqayyad
b.
Lafal
mutak dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya
c.
Lafal
mutlak dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya
ataupun sebab hukumnya
d.
Mutlak
dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama
e.
Mutlak
dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya
b)
Hukum
lafal Mutlak dan Muqayyad
a.
Tidak
berbeda (sama) hukum dan sebabnya. Dalam hal ini Mutlak harus bibawa kepada
Muqayyad, artinya Muqayyad menjadi penjelasan terhadap Mutlak
b.
Berbeda
hukum dan sebabnya (kebalikan nomor 1) dalam hal ini masing-masing mutlak dan
muqayyad tidak menjadi penjelasan mutlak
c.
Berbeda
hukum tetapi sebabnya sama dalam hal ini masing-masing Mutlak dan Muqayyad
tetap pada tenpatnya sediri
d.
Berisi
hukum yang sama, tetapi berlainan sebabnya
REFERENSI
Digital Al-Qur’an 2.1 2014
Burhanuddin,
2010, Fiqih Ibadah, Bandung: CV
Pustaka Setia,
Hanafie, 1980, Ushul Fiqh,
Jakarta Pusat: PT Bumirestu Jakarta
Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka
Setia,
Romli,
2006, Ushul Fiqh 1 Metodelogi Penetapan Hukum Islam,
Palembang: IAIN Raden Fatah Press
[1] Romli, Ushul Fiqh 1 Metodelogi
Penetapan Hukum Islam, (Palembang:IAIN Raden Fatah Press, 2006), hal 197
[2] Burhanuddin, Fiqih Ibadah, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010), hal 192
[3] Ibid , hal 198
[4] Al-Qur’an digital 2.1 2014
[5] Ibid, hal 199
[7] Ibid, hal 200
[8]
Romli, Ushul Fiqh 1 Metodelogi Penetapan Hukum Islam,(Palembang:IAIN
Raden Fatah Press, 2006), hal 202
[10]
Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta Pusat: PT Bumirestu
Jakarta, 1980), hal 74-76