Monday, 4 April 2016

MEMINANG, MAHAR & KAFA’AH DALAM PERKAWINAN

 MEMINANG, MAHAR & KAFA’AH DALAM PERKAWINAN
Makalah Fiqh Munakahat
Oleh: Yuni Nopita Sari, Yeni Marlina dan Yuli Astuti
Tarbiyah PAI_Fiqh (UIN Raden Fatah) Palembang

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan , misalkan dilarang untuk mendekati zina. Dengan demikian Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita. Setelah adanya selesai proses peminangan adanya mahar atau maskawin.
Mahar termasuk keutamaan agama Islam dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya ditetapkan  atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya.
Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).1)
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih.



B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dibuat bahwa dalam meminang mahar dan kafa’ah telah diatur dalam Islam, bagaimana khitbah mahar dan kafa’ah yang benar. Maka dapat kami rumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana Khitbah dalam Islam dan langkah-langkah apa saja yg dilakukan?
2.    Mahar seperti apa yg sah dalam Islam?
3.    Bagaimana Kafa’ah  dalam perkawinan menurut Islam?



PEMBAHASAN


A.  Pengertian Khitbah
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut etimologi meminang atau melamar. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.[1]
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dan lain-lain. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.

B.  Hukum Peminangan (Khitbah)
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.

C.  Syarat-Syarat Khitbah
Membicarakan syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu sub pokok bahasan, agar di peroleh gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :
a. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya ".
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran.
Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.

D.  Melihat Wanita yang Dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw dari jabir:
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِي سَلِمَةَ فَكُنْتُ أَخْتَبِئُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hukum wajib. [2]

E.  Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.[3]

  A. Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh,disamping perkataan “mahar” juga dipakai perkataan  “shadaq” , nihlah; dan faridhah” dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[4]
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[5]
 Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah Swt. Berfirman: (QS. An-Nisa': 20)
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?[6]
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
            Allah berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ...
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…..(Q.S An-Nisa: 4).
Rasulullah saw. berkata:
عن عمربن ربيعة ان امراة من بنى فزارة نزوجت على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم : ارضيت على تفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأجازه جازه (رواه احمد وابن ماجة واترمذى وصححه )
Dari ‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan maskawin sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR Ahmad bin Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya lagi:
تزوج ولو بخاتم من حديد ( رواه البخارى )
“Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari)

B.  Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.       Harga berharga
b.      Barangnya suci dan bisa diambil manfaat.
c.       Bukan barang yang tidak jelas keadaannya.[7]

C.  Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang  bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن سهل ابن سعد ان النبى صلى الله عليه وسلم جأته امراة فقال : يارسول الله انى وهبت تفسى لك. فقامت قياما طويلا. فقام رجل فقال: يارسول لله زوجنيها ان لم يكن لك بها حجة, فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها اياها ؟ فقال : ما عندى الا ازارى هذا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان اعطيتها ازارك جلست لا ازار لك, فلتمس شيئا, فقال : ما اجد شيئا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : التمس ولو خاتم من حديد, فلتمس ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : هل معك من القرأن شيئ ؟ فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا, لسوريسميها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : قد زوجتكها بما معك من القرأن ( رواه البخارى ومسلم )

“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ia berkata: “Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi saw. berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).[8]
           
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
 Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., “nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[9]

D.    Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال : ماعندى شيء, فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى والحاكم وصححه )
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan dishahihkan oleh Hakim).
            Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.
            Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar  (diangsur) ada yang membolehkannya hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik.
  
E.     Macam-macam Mahar
            Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
a.      Mahar Musamma
         Mahar Musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[10]
         Ulama fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1)       Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman (QS. An-Nisa':20) :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

“Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2)      Salah satu dari suami istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah, berdasarkan firman Allah Swt.:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا 
... فَرَضْتُمْ
237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,(Qs Al-Baqarah: 237)

b. Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.
         Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten) , anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar Mitsli Juga Terjadi Dalam Keadaan Sebagai Berikut:
1. Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
 Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan.
Firman Allah Swt,:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
........
236. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Al-Baqarah:236)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.

A. Pengertian kafa’ah
Kafa’ah atau kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam akhlak dan kekayaan, kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu pernikahan yang tidak seimbang, setaraf atau serasi, akan meniumbulkan problem berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding akan merupakan factor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.[11]
Namun secara umum sudut pandang yang membenarkan adanya stratifikasi dibidang perkawinan tetap memprioritaskan aspek keagamaan, artinya dalam soal agama itu sangat penting untuk dijadikan sebagai tolak ukur dalam menentukan suatu keputusan yang berkaitan dengan perkawinan. Misalnya larangan keras wanita muslim dengan pria kafir atau Non muslim, larangan demikian menunjukkan adanaya idealitas kesetaraan dibidang agama yang tidak boleh diabaikan.Orang islam yang kawin dengan orang non muslim dianggap bukan sekufu yakni tidak sepadan seperti yang ada dalam Al-Qur’an, seperti dalam firman Allah
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ 
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
..................
Artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih baik dari pada wanita yang musyrik walaupun ia memikat hatimu. Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik meskipun menarik hatimu” (Al Baqoroh :221 )
Kafa’ah dapat mempersiapkan pribadi seorang laki-laki maupun wanita untuk lebih matang dan bertanggung jawab dalam memasuki dan menjalankan kehidupan berkeluarga (perkawinan). Dan ini tinggal bagaimana masing-masing pihak dapat memposisikan kafa’ah sebagai ajaran luhur yang melindungi hak-hak asasinya dan hak asasi pihak lainnya.

B. Hukum Kafa’ah Dalam Islam
Menurut Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak ada ukuran dalam masalah kufu’, beliau berkata semua umat islam boleh menikah dengan wanita muslim yang tidak tergolong perempuan pelacur dan orang islam itu bersaudara. Seorang muslim yang fasiq asal tidak berzina, maka ia sekufu’ dengan perempuan islam yang fasiq asal bukan wanita islam yang suka berzina. Alasannya adalah dalam surat al-Hujaroh: 10
“Seseungguhnya orang mukmin adalah bersaudara”
Kalau ditelusuri secara histories, kafa’ah termasuk produk fuqoha yang sebelumnya tidak dibahas secara rigit dan mendetail dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti yang dibahas oleh para ulama’ salaf yang mengutip beberapa hadits nabi sekalipun hadits itu lemah.
Adapun segi-segi yang diperhitungkan dalam kafa’ah, para ulama’ besar berbeda pendapat:
1.    Sebagaian diantara mereka mengatakan, bahwa kafa’ah itu diukur dengan nashab (keturunan ), kemerdekaan, ketaatan agama, pangakat, pekerjaan profesi dan kekayaan.
2.     penpadat lain mengatakan, bahwa kafa’ah diukur dengan ketaatan menjalankan agama. Laki-laki yang tidak patuh menjalankan agama, tidak kufu’ dengan perenpuan yang patuh menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak kufu; dengan perenpuan yang akhlaknya mulia. Hal ini berdasarkan kepada teks Al Qur’an. Allah SWT berfirman :
Mengenai kafa’ah ( kekufuran ) orang yang berbuat dosa besar, Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa haram hukumnya menikahkan orang yang fasiq. Seperti berbuat zina dengan orang yang sholeh atau suci.[12] Menurut islam, orang sholeh atau suci kufurnya dengan orang sholeh atau suci pula dean orang yang berdosa atau kotor kufurnya orang yang berdosa atau kotor pula, Allah SWT berfirman:
الزني لا ينكح الا زانية او مشركة و الزانية لا ينكحها الا زان او مشرك و حرم ذلك على المؤمنين. (النور:3)
Artinya : ” Orang-orang yang berzina hanya berhak menikahi perempuan yang berzina pula atau perempuan yang musyrik. Perempuan yang berzina hanya dinikahi oleh laki-laki yang berzina pula atau laki-laki yang musyrik. Nikahnya orang mukmin dengan wanita yang berzina diharamkan bagi orang-orang mukmin” ( An-Nur :3 )
الخبيثا ت للخبيشين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات (النور: 26)
Artinya : ” Perempuan-perempuan yang kotor untuk laki-laki yang kotor pula, laki-lakiu yang kotor untuk permpuan yang kotor. Perempuan-perempuan yang suci untuk laki-laki yang suci pula, dan laki-laki yang suci untuk perempuan yang suci pula” ( An Nur :26 )
KESIMPULAN
           
Khitbah dalam Islam adalah meminang atau lebih dikenal dengan bertunangan . Di dalam Islam tidak boleh mengkhitbah wanita dalam pinangan lelaki lain kecuali dengan kondisi dan alasan tertentu.
Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya.
Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.
Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian.
            Kafa’ah atau kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam akhlak dan kekayaan, kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu pernikahan yang tidak seimbang, setaraf atau serasi, akan meniumbulkan problem berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding akan merupakan factor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.


 DAFTAR PUSTAKA

Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama. PT rajawali pers.
Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib.1980. PT Al Ma’arif. Bandung

Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. 1999.UII Press. Yogyakarta

M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Hasbi Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit,.

Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit.

Abidin. Slamet.  1999.  fiqih munakahat. Semarang : Cv pustaka setia.

Iskandar. Slamet. Fiqih munakahat. Semakarang. IAIN walisongo

Slamet abidin, fiqih munakahat.Bandung : Cv pustaka setia. 1999
Tihami Dkk. Fikih Munakahat. Jakarta:Rajagrafindo Persada. 2010.




[1]  Sayyid Sabiq. Op. Cit Hlm.20
[2]  Ibn Rusdy, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Hlm 37
[3]  Ibid
[4]  Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1974. Hlm 81
[5]  Abdurrahman Al-Jazari, Al-Fiqh’ala Madzahabi Al-Arba’ah, Juz 4. Hlm. 94
[6]  Hasbi AshShidieqii. Al-Qur’an, Op. Cit,Hlm. 119
[7]  Abdurrahman Al-jaziri. Op. Cit. Hlm. 103
[8]  Ibid. Hlm 83
[9]  H. Abd. Rahman Ghazali. Op. Cit. Hlm 88-89
[10]  M. Abdul Mujid Dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta. Pustaka Firdaus. 1995. Hlm 189
[11]  M. Abdul Mujid. Op. Cit. Hlm 147
[12]  Tihami Dkk. Fikih Munakahat. Jakarta:Rajagrafindo Persada. 2010. Hlm. 59
loading...