MEMINANG,
MAHAR & KAFA’AH DALAM PERKAWINAN
Makalah Fiqh Munakahat
Oleh: Yuni Nopita Sari, Yeni Marlina dan Yuli Astuti
Tarbiyah PAI_Fiqh (UIN Raden Fatah) Palembang
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam UU Perkawinan sama sekali
tidak membicarakan peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak
mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan. Islam sebenarnya telah
memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan ,
misalkan dilarang untuk mendekati zina. Dengan demikian Islam memiliki etika
dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita. Setelah adanya
selesai proses peminangan adanya mahar atau maskawin.
Mahar termasuk keutamaan agama Islam
dalam melindungi dan memuliakan kaum wanita dengan memberikan hak yang
dimintanya dalam pernikahan berupa mahar kawin yang besar kecilnya
ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak karena pemberian itu harus
diberikan secara ikhlas. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan
oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo, pembayaran
mahar harus sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam aqad pernikahan.
Mahar merupakan pemberian yang
dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya
wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah
yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di
masyarakat, terutama di Indonesia.
Manusia
diciptakan oleh Allah Swt. sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah
sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan
yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh,
berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula
dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya.
Berbagai
potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan
oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh)
yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun
tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu).1)
Islam
memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu
ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap
pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan
seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat
manusia yaitu Syari’at Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di
dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya
adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i
yang harus dipilih.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah
dibuat bahwa dalam meminang mahar dan kafa’ah telah diatur dalam Islam, bagaimana
khitbah mahar dan kafa’ah yang benar. Maka dapat kami rumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Khitbah dalam Islam dan langkah-langkah apa
saja yg dilakukan?
2. Mahar seperti apa yg sah dalam Islam?
3. Bagaimana Kafa’ah dalam perkawinan menurut Islam?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khitbah
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah
dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah
menurut etimologi meminang atau melamar. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan
laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.[1]
Pinangan yang kemudian berlanjut
dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah
merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu
sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan
dan lain-lain. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat
bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka
mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram,
adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan
pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap
menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun masa khitbah bukan lagi
saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya
ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbah.
Khitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga
juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan sangat
kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
B. Hukum Peminangan (Khitbah)
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa
tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai
untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan
bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan.
Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan
alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain
sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua
mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih
mantap.
C. Syarat-Syarat Khitbah
Membicarakan syarat pinangan tidak
dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya. Karena itu di sini
dibicarakan dalam satu sub pokok bahasan, agar di peroleh gambaran yang jelas.
Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah
ini :
a. Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai,
yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), sebab
tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan
akad perkawinan.
b. Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam
hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh
bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau
meninggalkannya ".
Perempuan yang telah dicerai
suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan
yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang dengan bahasa terus
terang atau bahasa sindiran. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah
karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus
terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran.
Perempuan yang sedang menjalani
iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang
secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana
yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan
tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
D. Melihat Wanita yang Dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan,
laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang
dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada
seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw dari
jabir:
حَدَّثَنَا
يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ
فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إِلَى مَا
يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً مِنْ بَنِي سَلِمَةَ
فَكُنْتُ أَخْتَبِئُ لَهَا تَحْتَ الْكَرَبِ حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا بَعْضَ مَا
دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila
seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan
mendorong untuk menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak hadis Nabi yang berkenaan
dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan,
maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak
ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam
literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu
kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi
menetapkan hukum wajib. [2]
E. Menikahi Wanita Tunangan Orang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita
tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si
lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat
manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat
melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab
kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.[3]
A.
Pengertian dan Hukum Mahar
Dalam istilah ahli fiqh,disamping
perkataan “mahar” juga dipakai perkataan “shadaq” , nihlah; dan faridhah”
dalam bahasa indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[4]
Mahar, secara etimologi, artinya
maskawin. Secara terminologi,mahar ialah pemberian wajib dari calon suami
kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa
cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar
adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan
untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[5]
Jika istri telah menerima
maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian
maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri
dalam memberi maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.
Allah Swt. Berfirman: (QS. An-Nisa': 20)
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan
isteri yang lain [280], sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?[6]
Karena mahar merupakan syarat sahnya
nikah, bahkan Imam Malik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum
memberikannya adalah wajib.
Allah berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ...
berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan…..(Q.S An-Nisa: 4).
Rasulullah saw. berkata:
عن عمربن
ربيعة ان امراة من بنى فزارة نزوجت على تعلين فقال رسول الله عليه وسلم : ارضيت
على تفسك ومالك بنعلين فقالت : نعم, فأجازه جازه (رواه احمد وابن ماجة واترمذى
وصححه )
Dari ‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang
perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah
saw. berkata kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan maskawin sepasang
sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR Ahmad bin Mazah dan disahihkan
oleh Turmudzi)
Sabdanya lagi:
تزوج ولو
بخاتم من حديد ( رواه البخارى )
“Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari
besi.” (HR Bukhari)
B. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada calon
istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a.
Harga
berharga
b.
Barangnya
suci dan bisa diambil manfaat.
c.
Bukan barang
yang tidak jelas keadaannya.[7]
C. Kadar (Jumlah) Mahar
Agama tidak menetapkan jumlah
minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya. Orang yang kaya
mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada
calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu
memberinya.Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan
masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal
menyabutkan, “janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena
besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,”
sesuai dengan sabda nabi:
عن سهل ابن
سعد ان النبى صلى الله عليه وسلم جأته امراة فقال : يارسول الله انى وهبت تفسى لك.
فقامت قياما طويلا. فقام رجل فقال: يارسول لله زوجنيها ان لم يكن لك بها حجة, فقال
: رسول الله صلى الله عليه وسلم هل عندك من شيء تصدقها اياها ؟ فقال : ما عندى الا
ازارى هذا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ان اعطيتها ازارك جلست لا ازار
لك, فلتمس شيئا, فقال : ما اجد شيئا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : التمس
ولو خاتم من حديد, فلتمس ولو يجد شيئا فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : هل معك
من القرأن شيئ ؟ فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا, لسوريسميها. فقال رسول الله صلى الله
عليه وسلم : قد زوجتكها بما معك من القرأن ( رواه البخارى ومسلم )
“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah
datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ia berkata: “Ya Rasulullah!
Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebutberdiri
lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: “Ya Rasulullah
saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat kepadanya”. Maka
Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau
jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “ Aku tidak memiliki sesuatu
selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau berikan sarungmu (sebagai
mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain)”.
Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.” Nabi berkata:
“Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia
tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka, Rasulullah saw. bersabda: “adakah
engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: “Ada
surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi saw.
berkata: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar)
Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim).[8]
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu
Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak
ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang
lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari
kalangan pengikut Imam Malik.
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw.,
“nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak
mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu
beliau menjelaskannya.[9]
D. Memberi Mahar
Dengan Kontan dan Utang
Mahar boleh dilaksanakan dan
diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan
utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar sebagian,
berdasarkan sabda Nabi Saw:
عن ابن عباس
عن النبى صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئ , فقال :
ماعندى شيء, فقال : فاين درك الحطمية : فأعطاه اياه ( رواه ابو دا ودو النسائى
والحاكم وصححه )
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali menggauli
Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya
apa-apa. Maka sabdanya: Dimana baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah
barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan
dishahihkan oleh Hakim).
Hadis diatas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan
yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian
terlebih dahulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat
dikalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak
boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan
bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar
sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang
membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkannya hanya
untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam
Malik.
E. Macam-macam
Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
a. Mahar Musamma
Mahar Musamma,
yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad
nikah.Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[10]
Ulama
fikih sepakat bahwa,dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan
secara penuh apabila:
1)
Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. Berfirman (QS. An-Nisa':20) :
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
20. dan jika
kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain [280], sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?
“Maksudnya
Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang
baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin,
Namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
2) Salah satu dari suami
istri meninggal. Dengan demikian menurut ijma’.
Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila
suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab
tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan
ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.Akan
tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengah,
berdasarkan firman Allah Swt.:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
... فَرَضْتُمْ
237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,(Qs
Al-Baqarah: 237)
b. Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar Mitsli yaitu mahar yang
tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima
oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan
status sosial, kecantikan, dan sebagainya.
Bila
terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau
ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan
pengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan(Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa
(Jawa Banten) , anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli
itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar Mitsli
Juga Terjadi Dalam Keadaan Sebagai Berikut:
1. Apabila
tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah,
kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
2. Jika
mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak
ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama
dibolehkan.
Firman Allah Swt,:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
........
236. tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu,
jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka
dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Al-Baqarah:236)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa
seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga
ditetapkan jumlah maharnya tertentu kepada istrinya itu.
A. Pengertian kafa’ah
Kafa’ah atau kufu’ berarti sama,
sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam perkawinan yaitu laki-laki
sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat
sosial, dan sederajat dalam akhlak dan kekayaan, kafa’ah adalah hak bagi wanita
atau walinya. Karena suatu pernikahan yang tidak seimbang, setaraf atau serasi,
akan meniumbulkan problem berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan
terjadinya perceraian. Tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan
perempuan sebanding akan merupakan factor kebahagiaan hidup suami istri dan
lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah
tangga.[11]
Namun secara umum sudut pandang yang
membenarkan adanya stratifikasi dibidang perkawinan tetap memprioritaskan aspek
keagamaan, artinya dalam soal agama itu sangat penting untuk dijadikan sebagai
tolak ukur dalam menentukan suatu keputusan yang berkaitan dengan perkawinan.
Misalnya larangan keras wanita muslim dengan pria kafir atau Non muslim,
larangan demikian menunjukkan adanaya idealitas kesetaraan dibidang agama yang
tidak boleh diabaikan.Orang islam yang kawin dengan orang non muslim dianggap
bukan sekufu yakni tidak sepadan seperti yang ada dalam Al-Qur’an, seperti
dalam firman Allah
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ
وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
..................
Artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik sebelum mereka beriman, sesungguhnya budak wanita yang mukmin lebih
baik dari pada wanita yang musyrik walaupun ia memikat hatimu. Janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari pada orang musyrik
meskipun menarik hatimu” (Al Baqoroh :221 )
Kafa’ah dapat mempersiapkan pribadi
seorang laki-laki maupun wanita untuk lebih matang dan bertanggung jawab dalam
memasuki dan menjalankan kehidupan berkeluarga (perkawinan). Dan ini tinggal
bagaimana masing-masing pihak dapat memposisikan kafa’ah sebagai ajaran luhur
yang melindungi hak-hak asasinya dan hak asasi pihak lainnya.
B. Hukum Kafa’ah Dalam Islam
Menurut Ibnu Hazm berpendapat bahwa
tidak ada ukuran dalam masalah kufu’, beliau berkata semua umat islam boleh
menikah dengan wanita muslim yang tidak tergolong perempuan pelacur dan orang
islam itu bersaudara. Seorang muslim yang fasiq asal tidak berzina, maka ia
sekufu’ dengan perempuan islam yang fasiq asal bukan wanita islam yang suka
berzina. Alasannya adalah dalam surat al-Hujaroh: 10
“Seseungguhnya orang mukmin adalah bersaudara”
Kalau ditelusuri secara histories, kafa’ah termasuk
produk fuqoha yang sebelumnya tidak dibahas secara rigit dan mendetail dalam
Al-Qur’an dan Hadits seperti yang dibahas oleh para ulama’ salaf yang mengutip
beberapa hadits nabi sekalipun hadits itu lemah.
Adapun segi-segi yang diperhitungkan dalam kafa’ah,
para ulama’ besar berbeda pendapat:
1. Sebagaian diantara mereka mengatakan, bahwa kafa’ah
itu diukur dengan nashab (keturunan ), kemerdekaan, ketaatan agama, pangakat,
pekerjaan profesi dan kekayaan.
2. penpadat lain
mengatakan, bahwa kafa’ah diukur dengan ketaatan menjalankan agama. Laki-laki
yang tidak patuh menjalankan agama, tidak kufu’ dengan perenpuan yang patuh
menjalankan agamanya. Laki-laki yang akhlaknya buruk tidak kufu; dengan
perenpuan yang akhlaknya mulia. Hal ini berdasarkan kepada teks Al Qur’an.
Allah SWT berfirman :
Mengenai kafa’ah ( kekufuran ) orang
yang berbuat dosa besar, Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa haram hukumnya
menikahkan orang yang fasiq. Seperti berbuat zina dengan orang yang sholeh atau
suci.[12]
Menurut islam, orang sholeh atau suci kufurnya dengan orang sholeh atau suci
pula dean orang yang berdosa atau kotor kufurnya orang yang berdosa atau kotor
pula, Allah SWT berfirman:
الزني لا
ينكح الا زانية او مشركة و الزانية لا ينكحها الا زان او مشرك و حرم ذلك على
المؤمنين. (النور:3)
Artinya : ” Orang-orang yang berzina hanya berhak
menikahi perempuan yang berzina pula atau perempuan yang musyrik. Perempuan
yang berzina hanya dinikahi oleh laki-laki yang berzina pula atau laki-laki
yang musyrik. Nikahnya orang mukmin dengan wanita yang berzina diharamkan bagi
orang-orang mukmin” ( An-Nur :3 )
الخبيثا ت
للخبيشين والخبيثون للخبيثات والطيبات للطيبين والطيبون للطيبات (النور: 26)
Artinya : ” Perempuan-perempuan yang kotor untuk
laki-laki yang kotor pula, laki-lakiu yang kotor untuk permpuan yang kotor.
Perempuan-perempuan yang suci untuk laki-laki yang suci pula, dan laki-laki
yang suci untuk perempuan yang suci pula” ( An Nur :26 )
KESIMPULAN
Khitbah
dalam Islam adalah meminang atau lebih dikenal dengan bertunangan . Di dalam
Islam tidak boleh mengkhitbah wanita dalam pinangan lelaki lain kecuali dengan
kondisi dan alasan tertentu.
Mahar ialah
pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon
suaminya.Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain
sebagainya.
Agama tidak
menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberikannya.
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu memberinya.
Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar
sebagian.
Kafa’ah atau
kufu’ berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu dalam
perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam akhlak dan
kekayaan, kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu pernikahan
yang tidak seimbang, setaraf atau serasi, akan meniumbulkan problem
berkelanjutan dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian. Tidak
diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding akan
merupakan factor kebahagiaan hidup suami istri dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama. PT rajawali pers.
Sabiq, Sayid. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa:
Muhammad Thalib.1980. PT Al Ma’arif. Bandung
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam.
Cet. Ke-9. 1999.UII Press. Yogyakarta
M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
Hasbi
Ash-Shiddieqi, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op.Cit,.
Abidin. Slamet. 1999. fiqih munakahat. Semarang : Cv
pustaka setia.
Iskandar. Slamet. Fiqih munakahat. Semakarang. IAIN walisongo
Slamet
abidin, fiqih munakahat.Bandung : Cv pustaka setia. 1999
Tihami Dkk. Fikih Munakahat. Jakarta:Rajagrafindo
Persada. 2010.