Lafaz Sharih dan Kinayah
Makalah Ushul Fiqh
Oleh: Alamsyah (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden Fatah Palembang
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk menginterpretasikan Al Qur‘an dan sunah dalam upaya mendeduksi
ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Bahasa Al Qur’an dan Sunah harus dipahami secara benar
agar dapat menggunakan sumber-sumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan implikasi-implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini para
ulama’ ushul fiqh memasukkan klasifikasi kata kata dan pemakaian-pemakaiannya kedalam metodelogi Ushul Al Fiqh.
Biasanya mujtahid tidak akan melakukan
interpretasi jika nash itu sendiri sudah merupakan dalil yang jelas. Tetapi
sejauh ini, fiqh sebagian besar memuat ketentuan-ketentuan yang dirumuskan melalui interpretasi
dari ijtihad, sebagai mana nanti akan didiskusikan.
Dari sudut pemakaian yang sesunguhnya, seperti apakah suatu kata digunakan
dalam makna utamanya, makna harfiyah, makna teknis, ataukah maknanya yang
lazim, kata-kata juga diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: harfiyah
(haqiqi) dan metaforsis (majazi). Disini kita hanya akan membahas tentang apa itu sharih dan qinayah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lafadz Sharih
Secara arti kata, sharih dari
kata sharaha berarti terang ; ia menjelaskan apa yang ada
dalam hatinya terhadap orang lain dengan ungkapan yang seterang mungkin. Dalam
pengertian istilah hukum, sharih berarti : “Setiap lafadz yang
terbuka makna dan maksudnya, baik dalam bentuk haqiqah atau majaz”. Sharih
adalah lafadz yang tidak memerlukan penjelasan. menurut abdul azhim bin
badawi al-khalafi, bahwa yang dimaksud dengan sharih adalah suatu kalimat yang
langsung dapat dipahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain.[1]
Maksud yang dikehendaki
oleh pembicara dapat diketahui dari lafadz yang digunakan tanpa memerlukan
penjelasan lain. Umpamanya pada waktu seseorang ingin menceraikan isterinya, ia
berkata kepada isterinya, “engkau saya ceraikan”. Kebalikan dari sharih ialah kinayah yang
secara arti kata berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukan arti lain.
Bentuk lafadz sharih
adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan
bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun Contoh lafadz
yang Sharih diantaranya:
a. Aku ceraikan kau dengan
talak satu.
b. Aku telah melepaskan
(menjatuhkan) talak untuk engkau.
c. Hari ini aku ceraikan
kau.
Jika suami melafazkan
talak dengan mengunakan kalimah yang "Sharih" seumpama di atas ini,
maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat
imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak
membutuhkan niat.[2]
Selan itu, Jumhur
Ulama’ sepakat berpendapat bahwa Talak yang sharih ialah lafadz yang jelas dari
segi maknanya dan kebiasaannya membawa arti talak. Contohnya, seorang suami
berkata kepada isterinya, “Saya ceraikan engkau”.[3] Lafaz tersebut memberi kesan jatuh talak
walaupun tanpa niat.
Sebagaimana pendapat
para ulama diatas, bahwa yang dikatakan talak sharih didalam pengucapanya
terdapat tiga perkataan seperti halnya yang disebutkan oleh Imam Syafi’i dan
segolongan fuqaha Dzahiri. Diantaranya adalah talak (cerai), firaq (pisah),
sarah (lepas). Maka apabila seorang suami megucapkan salah satu dari ketiga
kata tersebut maka jatuhlah talak terhadap istrinya.[4]
Berikut firman Allah
SWT.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ
يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ
مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ
مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ
إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Artinya:Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila.Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(Q.S. Al-baqarah:3)
وَاِنْ خِتُمْ اَلاّ تُقْسِطًوْا فِى
الْيٰتٰمٰى فَنْكِحُوْا مَا طَا بَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ
مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ اَلاَّ تَعْدِ
لُوْا فَوَا حِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ
ذٰلِكَ اَدْنٰى اَلاَّ تَعْلُوْا
Artinya:“Dan jika kalian khawatir
tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian
menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka
nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.
Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (Q.S
An-Nisa: 3)
Jadi Berdasarkan
pengertian di atas dapat kita pahami bahwa lafadz sharih adalah lafadz yang di
ucapkan secara tegas dan pasti, tidak memerlukan penjelasan lagi. Selain itu
lafaz sharih juga suatu kalimat yang langsung dapat di pahami makna sebenarnya.
Lawan dari lafaz sharih yaitu kinayah yang selanjutnya akan di jelaskan berikut
ini.
B. Pengertian Kinayah
Dalam pengertian
istilah hukum, kinayah adalah :“Apa yang dimaksud dengan suatu
lafadz bersifat tertutup sampai dijelaskan oleh dalil”.Setiap lafadz yang
pemahaman artinya melalui lafadz lain dan tidak dari lafadz itu sendiri, pada
dasarnya termasuk dalam arti kinayah,karena masih memerlukan penjelasan
Kinayah adalah lafadz yang memerlukan penjelasan. Menurut Jumhur
Ulama kinayah adalah suatu ucapan talak yang diucapkan dengan
kata-kata yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat
dikatakan lain, seperti ucapan suami “pulanglah kamu”.[5]
Sementara Kinayah pula
membawa maksud kalimah yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih
pengertiannya. Umpamanya jika suami melafazkan kepada isterinya perkataan,
sebagai contah kinayah sebagai berikut:
a. Kau boleh pulang ke
rumah orang tua mu.
b. Pergilah engkau dari
sini, ke mana engkau suka.
c. Kita berdua sudah tidak
ada hubungan lagi.
Mengenai talak kinayah
ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya,
diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab
Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami
melafadzkan kepada isterinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak.
Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh
talaknya apabila dengan adanya niat.[6]
Talak dengan cara
kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas,
kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya
tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh.[7] Apabila seorang menjatuhkan talak secara
kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah
memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya
hanya niat dan tujuan.
Ibnu Taimiyah r.a
berpendapat bahwa talak tidak berlaku kecuali dia menghendakinya.[8] Beliau berargumen bahwa amal
perbuatan dalam Islam tidak dinilai kecuali dengan adanya niat. Misalkan
seseorang mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak
meniatkan untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.[9] Contoh yang lain, seseorang melakukan
sahur dan makan ketika maghrib, tetapi dia tidak niat untuk syiam (puasa), maka
amal dia ini tidak dianggap sebagai amalan syiam. Orang duduk di masjid tanpa
niat i'tikaf maka dia tidak bisa disebut melakukan ibadah i'tikaf.[10]
Penggunaan nama
seseorang dengan memakai kata ganti-nama termasuk kinayah. Kalau
dikatakan “Si Ahmad sedang sholat dengan tekun,” akan mudah orang memahaminya.
Tetapi kalau dikatakan, “ia sedang shalat dengan tekun,” orang akan bertanya,
“siapa yang sedang shalat itu?”.
Demikian pula ucapan yang
mengandung keragaman maksud, termasuk kinayah. Umpamanya seseorang
mengatakan kepada isterinya, “pulanglah kau ke rumah ibu mu,”. Ungkapan ini
mengandung beberapa maksud: dapat berarti cerai dan dapat pula berarti pulang
sementara. Bila seseorang menggunakan ucapan tersebut kepada isterinya dan yang
dimaksud dengan ucapannya itu untuk cerai, berarti ia menggunakan lafaz kinayah untuk
“cerai”.
Dari segi apa yang
diucapkan seseorang, kalau suatu lafaz bukan menunjukan pada arti yang
sebenarnya, maka kinayah itu sama dengan majaz. Tetapi
di antara keduanya terdapat perbedaan, yaitu : Pada majaz harus ada keterkaitan
antara apa yang dimaksud oleh lafaz sebenarnya dengan lafaz lain yang dipinjam
untuk itu. Umpamanya orang “pemberani” disebut “singa”. Tetapi pada kinayah
dapat terjadi tanpa keterkaitan, bahkan mungkin berlawanan dengannya. Umpamanya
menamai seseorang dengan menggunakan nama anaknya meskipun kebetulan sifat
orang itu berbeda dengan anaknya. Ini termasuk kepada bentuk kinayah, kalau
anaknya pemberani dinamai dengan suja’ secara kinayah si ayah
akan dinamai Abu Suja’. Padahal si ayah sendiri seorang penakut.
Jadi dalam kinayah tersebut, tidak ada keterkaitan antar lafadz yang digunakan
dengan keadaan yang sebenarnya.
Ketentuan yang berlaku terhadap
lafadz sharih dalam ucapan adalah berlakunya apa yang disebut dalam lafadz itu
dengan sendirinya, tanpa memerlukan pertimbangan tertentu atau niat, dan tidak
perlu pula menggunakan ungkapan yang resmi untuk itu. Umpamanya lafaz “cerai”
untuk memutuskan hubungan antara suami isteri. Dalam bentuk apapun, jika lafaz
itu diucapkan, maka berlangsunglah perceraian, seperti : “saya ceraikan
engkau”, “hai, cerai”, “kita bercerai”, atau kata lain yang
sejenis lafaz (kata) tersebut. Ketentuan yang berlaku terhadap lafaz kinayah adalah
bahwa untuk terjadi dan shahnya apa yang diinginkan dengan ucapan itu
diperlukan adanya niat atau kesengajaan dalam hati ; atau cara lain yang sama
artinya dengan itu.[11]
Jadi dari penjelasan di atas dapat di pahami bahwasanya kinayah
adalah lafaz atau perkataan yang
memerlukan penjelasan lebih mendalam untuk mendapatkan suatu pengertian dari
sebuah perkataan atau ungkapan. Terkadang lafaz itu di jelaskan melalui kata
lain atau lafadz lain untuk dapat memahami pengertian dari lafaz yang pertama. Kinayah
berbeda dengan majaz, jika majaz atara perkataan pertama dengan
apa yang di umpamakan sama bentuk sifatnya.
makna talak dan selain talak),
dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan, misalnya seseorang
mengerjakan aktivitas shalat dari takbir sampai salam tetapi tidak meniatkan
untuk shalat, maka shalatnya tidak sah.
DAFTAR REFERENSI
Bakry, Sidi Nasa, 2003, Fiqh dan Ushul
Fiqh, Cet. IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perseda.
Djazuli A dan 1 Nurol Aen,
2000, Ushul Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet. 1, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Karim,
Syafi’i, 2001, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka
Satia.
Syarifudin, Amir, 2001, Ushul Fiqih,Jakarta : Logos
Wacana Ilmu.
[1] Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet.
IV, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda,2003), hlm,153.
[2] Ibid hlm. 115.
[3] Ibid hlm 121
[4] Ibid.
[5] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet.
II, (Bandung: Pustaka Satia, 2001,)hlm, 180.
[6] A Djazuli dan Nurol Aen, Ushul
Fiqh (Metode Hukum Islam), Cet.
1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 412.
[7] Ibid., hlm. 425
[8] Sidi Nasa Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet.
IV, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Perseda, 2003),hlm,131
[9] Ibid.
[10] Ibid., hlm. 134
[11] Prof. Dr. H.Amir Syarifudin. Ushul Fiqih. (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu,2001), hlm.25-37