Wednesday 31 August 2016

Metode Mempelajari Fiqh Siyasah

Metode Mempelajari Fiqh Siyasah

Metode yang dipergunakan untuk mempelajari fiqh siyasah adalah ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh-fiqh lain. Penerapan dalil kully (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan sebagaiaplikasi yang dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problem kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikel menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metode ushul fiqh dan qawa’ida al-fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar’iyyah (fiqh siyasah) lebih penting dibanding dengan fiqh-fiqh lain, karena masalah hampir tidak diatur secara terperinci oleh syariat Al-Qur’an maupun al-Hadits. Misalnya Abdul Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur’an yang secara implisit memiliki konteks siyasah hanya beberapa ayat. 10 ayat berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawly dan 10 ayat lagi berhubungan dengan fiqh maly. Mirip halnya fiqh munakahat ataupun muamalah yang menggunakan metode secara langsung kepada al-Qur’an dan al-Hadits, baru menggunakan pendekatan ijtihad. Secara umum dalam fiqh siyasah diperlukan metode-metode, seperti: (1) al-ijma’; (2) al-qiyas (3) al-mashlahah al-mursalah 4) fath al-dzari’ah dan sadzu al-dzari’ah 5) al-‘adah 6) al-istihsan termasuk kaidah-kaidah fiqhiyyah.
1.    Al-Ijma’: merupakan kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqh) dalam satu kasus. Misalnya pada masa khalifah Umar ra. Dalam mengatur pemerintahannya Umar ra melakukan musyawarah maupun kordinasi dengan para tokoh pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana-perdata, menggaji tentara, administrasi negara dan lain-lain, disepakati oleh sahabat-sahabat besar saat itu. Bahkan Umar ra mengintruksikan untuk shalat tarawih jamaah 20 rakaat dimasjid, merupakan keberaniannya yang tidak diprotes oleh sahabat lain. Hal ini dapat disebut ijma’ sukuti.
2.    Al-Qiyas: cara ini dipergunakan jika ada kemiripan kasus hukum baru dengan kasus hukum yang lama. Al-Qiyas berpola: a) al-ashal; 2) al-far’u c) illat hukum dan d) hukum baru.  Al-Qiyas baik dipergunakan dalam masalah baru dengan kesamaan illat hukum yang lama, dalam dimensi waktu dan tempat berbeda. Contoh, nabi Saw. melakukan dakwah islamiyyah dengan mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga negara, untuk diajak menjalankan ajaran tauhid. Upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk ekspansi kenegara-negara tetangga oleh Umar ibn Khattab ra dan khalifah-khalifah sesudahnya.
3.    Al-Maslahah al-Mursalah: adalah sesuatu yang menjadi kepentingan hidup manusia, sedangkan hal tersebut tidak ditemukan dasarnya dalam nash Al-Qur’an maupun al-Hadits baik yang menguatkan atau yang membatalkannya. Contoh, penulisan dan pembakuan bacaan Al-Qur’an yang ditangani oleh Usman ibn Affan ra yang kemudian dibukukan dan dijadikan pegangan para Gubernur dibeberapa darah, sehingga menjadi mushaf usmani. Upaya ini dilakukannya agar ayat Al-Qur’an tidak hilang dan bacaaannya seragam.
4.    Fathu Al-Dzari’ah dan Sadd Al-Dzari’ah: adalah upaya rekayasa masyarakat untuk mewujudkan maslahah dan pengendalian mereka menghindari mafsadah (bahaya). Contoh, tawanan perang (pada saat umar ra) yang memiliki keahlian seperti membuat senjata, tidak diatahan, tetapi ia dipekerjakan sesuai keahliannya untuk kelengkapan persenjataan muslimin. Pemberlakuan jam malam (ronda) oleh penguasa, atau wajib militer bagi masyarakat dimasa genting. Umar ra pernah melarang sahabat menikah dengan wanita ahli kitab.
5.    Al-Adah artinya adat kebiasaan atau disebut juga al-uruf yaitu tradisi manusia baik berupa perkataan maupun perbuatan. Al-Adah dibagi dua macam 1) al-adah shohihah dan; 2) al-adah al-fasidah. Al-adah shohihah adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syara’, sedangkan al-adah al-fasidah  adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan syara’. Contoh al-adah shohihah adalah tukar menukar barang dan jasa antara bangsa yang bersahabat. Maslahah al-Mursalah ditujukan untuk kepentingan umat semata-mata, tidak terikat waktu dan tempat.
6.    Al-Istihsan disebut juga mengabil salah satu dari dua dalil yang lebih kuat. Ibnu al-Araby menganggap bahwa istihsan adalah melaksanakan satu ketentuan hukum atas dasar dalil yang kuat diantara dua dalil yang ada.
7.    Kaidaah Fiqhiyyah; kaidah fiqhiyyah kulliyah banyak dipergunakan untuk menetapkan masalah siyasah. Kaidah-kaidah tersebut bersifat umum, sehingga dalam aplikasinya harus memperhatikan pengecualian-pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Contoh: kaidah-kaidah fiqhiyyah dipergunakan dalam fiqh siyasah adalah:
a)     الحكم يدور مع علته وجودا وعدما , “Hukum selalu konsisten dengan illatnya (alasan-alasannya), ada dan tidak adanya hukum tergantung dengan ada dan tidak adanya alasan tersebut”. Contoh: menurut Abduh, jika disuatu negara masih ada perjudian, dana judi kemudian diberikan kepada fakir miskin, maka mereka dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan primer mereka. Pada suatu saat Umar ibn Khattab tidak memvonis pencuri-pencuri dipotong tangan, karena kejadian tersebut berada masa paceklik. Muallaf qlubuhum dipandang tidak ada pada saat itu, sehingga satu asnaf tidak diberi jatah zakat.
b)     تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والعوائد والنيات , “Perubahan hukum sejalan dengan dimensi ruang dan waktu, keadaan, kebiasaan dan niat (hukum adalah bersifat kondisional)”. Contoh pada masa ORBA UUD 45 hampir tidak tersentuh oleh perubahan. Sesudah reformasi amandemen UUD 45 dilakukan, karena pertimbangan kepentingan/ kebutuhan bangsa dan rakyat.
c)     دفغ المفا سد وجلب المصالح , “Menghindari bahaya agar dapat memperoleh maslahat (kebaikan secara umum)”. Contoh UU Perkawinan di Indonesia dengan menggunakan azas monogami merupakan keinginan bangsa Indonesia, agar menghargai terhadap terhadap perempuan. Praktik illegal poligami dilakukan oleh laki-laki, karena kepentingan seks dan dilakukan dengan main kucing-kucingan atau disebut nikah dibawah tangan. Oleh karena itu, dari contoh tersebut apabila ingin berpoligami hendaknya harus berbuat adil, kemudian juga pernikahan poligami tersebut sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku dan disetujui oleh pengadilan agama, serta tercatat di KUA Poligami tersebut.

Baca Juga:::

loading...