Metode Mempelajari Fiqh Siyasah
Metode
yang dipergunakan untuk mempelajari fiqh siyasah adalah ushul fiqh
dan kaidah fiqhiyyah. Hal ini, sama dengan fiqh-fiqh lain.
Penerapan dalil kully (umum) memiliki kandungan universal tidak terikat
oleh dimensi ruang dan waktu. Metode tersebut tentunya harus dilanjutkan
sebagaiaplikasi yang dapat menyantuni masalah yang ramah mempertimbangkan
kondisi dan situasi (maslahah). Membumi karena mampu mengatasi problem
kemanusiaan yang bermoral agama (secara-horisontal), secara vertikel
menyesuaikan nilai-nilai ketuhanan. Menggunakan metode ushul fiqh dan qawa’ida
al-fiqhiyyah dalam bidang siyasah syar’iyyah (fiqh siyasah)
lebih penting dibanding dengan fiqh-fiqh lain, karena masalah hampir
tidak diatur secara terperinci oleh syariat Al-Qur’an maupun al-Hadits.
Misalnya Abdul Wahab Khallaf, memandang ayat-ayat Al-Qur’an yang secara
implisit memiliki konteks siyasah hanya beberapa ayat. 10 ayat
berhubungan dengan fiqh dustury, 25 ayat dengan dawly dan 10 ayat
lagi berhubungan dengan fiqh maly. Mirip halnya fiqh munakahat
ataupun muamalah yang menggunakan metode secara langsung kepada
al-Qur’an dan al-Hadits, baru menggunakan pendekatan ijtihad. Secara umum dalam
fiqh siyasah diperlukan metode-metode, seperti: (1) al-ijma’; (2) al-qiyas
(3) al-mashlahah al-mursalah 4) fath al-dzari’ah dan sadzu
al-dzari’ah 5) al-‘adah 6) al-istihsan termasuk kaidah-kaidah
fiqhiyyah.
1.
Al-Ijma’: merupakan kesepakatan (konsensus) para fuqaha (ahli fiqh)
dalam satu kasus. Misalnya pada masa khalifah Umar ra. Dalam mengatur
pemerintahannya Umar ra melakukan musyawarah maupun kordinasi dengan para tokoh
pada saat itu. Hal-hal baru seperti membuat peradilan pidana-perdata, menggaji
tentara, administrasi negara dan lain-lain, disepakati oleh sahabat-sahabat
besar saat itu. Bahkan Umar ra mengintruksikan untuk shalat tarawih jamaah
20 rakaat dimasjid, merupakan keberaniannya yang tidak diprotes oleh sahabat
lain. Hal ini dapat disebut ijma’ sukuti.
2.
Al-Qiyas: cara ini dipergunakan jika ada kemiripan kasus hukum baru dengan
kasus hukum yang lama. Al-Qiyas berpola: a) al-ashal; 2) al-far’u
c) illat hukum dan d) hukum baru. Al-Qiyas baik dipergunakan dalam
masalah baru dengan kesamaan illat hukum yang lama, dalam dimensi waktu
dan tempat berbeda. Contoh, nabi Saw. melakukan dakwah islamiyyah dengan
mengirimkan beberapa surat pada penguasa tetangga negara, untuk diajak
menjalankan ajaran tauhid. Upaya tersebut diwujudkan dalam bentuk ekspansi
kenegara-negara tetangga oleh Umar ibn Khattab ra dan khalifah-khalifah sesudahnya.
3.
Al-Maslahah
al-Mursalah: adalah
sesuatu yang menjadi kepentingan hidup manusia, sedangkan hal tersebut tidak
ditemukan dasarnya dalam nash Al-Qur’an maupun al-Hadits baik yang
menguatkan atau yang membatalkannya. Contoh, penulisan dan pembakuan bacaan
Al-Qur’an yang ditangani oleh Usman ibn Affan ra yang kemudian dibukukan dan
dijadikan pegangan para Gubernur dibeberapa darah, sehingga menjadi mushaf
usmani. Upaya ini dilakukannya agar ayat Al-Qur’an tidak hilang dan
bacaaannya seragam.
4.
Fathu
Al-Dzari’ah dan Sadd
Al-Dzari’ah: adalah upaya rekayasa masyarakat untuk mewujudkan maslahah
dan pengendalian mereka menghindari mafsadah (bahaya). Contoh, tawanan
perang (pada saat umar ra) yang memiliki keahlian seperti membuat senjata,
tidak diatahan, tetapi ia dipekerjakan sesuai keahliannya untuk kelengkapan
persenjataan muslimin. Pemberlakuan jam malam (ronda) oleh penguasa, atau wajib
militer bagi masyarakat dimasa genting. Umar ra pernah melarang sahabat menikah
dengan wanita ahli kitab.
5.
Al-Adah artinya adat kebiasaan atau disebut juga al-uruf yaitu
tradisi manusia baik berupa perkataan maupun perbuatan. Al-Adah dibagi
dua macam 1) al-adah shohihah dan; 2) al-adah al-fasidah. Al-adah
shohihah adalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syara’,
sedangkan al-adah al-fasidah
adalah adat kebiasaan yang bertentangan dengan syara’. Contoh al-adah
shohihah adalah tukar menukar barang dan jasa antara bangsa yang
bersahabat. Maslahah al-Mursalah ditujukan untuk kepentingan umat
semata-mata, tidak terikat waktu dan tempat.
6.
Al-Istihsan
disebut juga mengabil salah satu dari dua dalil yang lebih kuat.
Ibnu al-Araby menganggap bahwa istihsan adalah melaksanakan satu
ketentuan hukum atas dasar dalil yang kuat diantara dua dalil yang ada.
7.
Kaidaah
Fiqhiyyah; kaidah fiqhiyyah kulliyah
banyak dipergunakan untuk menetapkan masalah siyasah. Kaidah-kaidah
tersebut bersifat umum, sehingga dalam aplikasinya harus memperhatikan
pengecualian-pengecualian dan syarat-syarat tertentu. Contoh: kaidah-kaidah
fiqhiyyah dipergunakan dalam fiqh siyasah adalah:
a)
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما , “Hukum selalu
konsisten dengan illatnya (alasan-alasannya), ada dan tidak adanya hukum
tergantung dengan ada dan tidak adanya alasan tersebut”. Contoh: menurut Abduh,
jika disuatu negara masih ada perjudian, dana judi kemudian diberikan kepada
fakir miskin, maka mereka dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kebutuhan
primer mereka. Pada suatu saat Umar ibn Khattab tidak memvonis pencuri-pencuri
dipotong tangan, karena kejadian tersebut berada masa paceklik. Muallaf qlubuhum
dipandang tidak ada pada saat itu, sehingga satu asnaf tidak diberi
jatah zakat.
b)
تغير الأحكام بتغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والعوائد والنيات , “Perubahan hukum sejalan dengan dimensi ruang dan waktu,
keadaan, kebiasaan dan niat (hukum adalah bersifat kondisional)”. Contoh pada
masa ORBA UUD 45 hampir tidak tersentuh oleh perubahan. Sesudah reformasi
amandemen UUD 45 dilakukan, karena pertimbangan kepentingan/ kebutuhan bangsa
dan rakyat.
c)
دفغ المفا سد وجلب المصالح , “Menghindari bahaya
agar dapat memperoleh maslahat (kebaikan secara umum)”. Contoh UU Perkawinan di
Indonesia dengan menggunakan azas monogami merupakan keinginan bangsa
Indonesia, agar menghargai terhadap terhadap perempuan. Praktik illegal
poligami dilakukan oleh laki-laki, karena kepentingan seks dan dilakukan dengan
main kucing-kucingan atau disebut nikah dibawah tangan. Oleh karena itu, dari
contoh tersebut apabila ingin berpoligami hendaknya harus berbuat adil,
kemudian juga pernikahan poligami tersebut sesuai dengan peraturan
undang-undang yang berlaku dan disetujui oleh pengadilan agama, serta tercatat
di KUA Poligami tersebut.
Baca Juga:::
- Kedudukan Fiqh Siyasah didalam Sistematika Hukum Islam
- Metode Mempelajari Fiqh Siyasah
- Sejarah Perkembangan Fiqh Siyasah
- Metode Mempelajari Fiqh Siyasah
- Sejarah Perkembangan Fiqh Siyasah