Friday, 7 October 2016

Bagaimana Zakat di Zaman Nabi Muhammad Saw. Dan Para Sahabatnya?

Image result for zakat
Zakat, Foto:thehumbeli.com
Pertanyaan
Bagaimana zakat di zaman Nabi Muhammad Saw. Dan para sahabatnya?
Jawaban
Permasalahan zakat tidak bisa dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat.Demikian juga pada zaman Nabi Muhammas Saw.awal hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi Saw., para sahabatnya, dan segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Mekah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya ditempat baru tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup kecuali Utsman bin Affan karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Mekah.
Kalangan anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Mekah) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik.Mereka beranggapan pula bahwa tangan diatas lebih utama daripada tangan dibawah.
Keahlian orang-orang muhajirin adalah berdagang. Pada suatu hari, Sa’ad bin Ar-Rabi’ menawarkan hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, tetapi Abdurrahman menolaknya. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak lama, berkat kecakapannya berdagang, ia menjadi kaya kembali. Bahkan, sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa dagangannya. Selain Abdurrahman, orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan hal serupa. Kelihaian orang-orang Mekah dalam berdagang ini membuat orang-orang di luar Mekah berkata, “Dengan perdagangan itu, ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas”.
Perhatian orang-orang Mekah pada perdagangan ini diungkap dalam Al-Qur’an pada ayat-ayat yang mengandung tijarah:

رِجَالٞ لَّا تُلۡهِيهِمۡ تِجَٰرَةٞ وَلَا بَيۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ ٣٧

Artinya:
“Laki-laki (orang) yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat.Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (hari kiamat)” (QS. An-Nur/24: 37).

Tidak semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang.Sebagian dari mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang anshar.Tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya, Abu Hurairah. Kemudian, Rasulullah Saw. menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya shuffa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni Shuffa).Belanja (gaji) mereka berasal dari garta kaum muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan.
Setelah keadaan perekonomian kaum muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan.Di Yatsrib (Madinah) inilah Islam mulai menemukan kekuatannya.
Pada masa Nabi Saw., harta benda yang wajib dizakati adalah binatang ternak (kambing, sapid an unta), barang-barang berharga (emas dan perak), dan tumbuh-tumbuhan (syair/biji gandum, gandum, anggur kering/kismis, dan kurma).Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan zaman dan berkembangnya harta benda yang dicari sehingga harta yang diwajibkan zakat mulai berkembang sesuai dengan “illat”.Jadi, berdasarkan “illat” inilah ditetapkan hukum zakat.
Pada masa Nabi Muhammad Saw., kuda tidak wajib dizakati karena diperlukan untuk peperangan. Sebaliknya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab kuda sudah dikenai zakat karena kuda sudah dikembangkan menjadi binatang ternak. Demikian juga, pada masa Nabi Muhammad Saw.hingga masa tabi’in tidak ada zakat pada rumah karena rumah digunakan sebagai tempat tinggal. Akan tetapi, setelah rumah disewakan sehingga mendatangkan hasil, Imam Ahmad bin Hanbal pun mengeluarkan zakat dari hasil sewa rumahnya.Begitu juga seterusnya, mulai dari zaman sahabat, harta yang dizakati berkembang sesuai dengan sifat perkembangan harta itu sendiri.
Meskipun harta yang wajib dizakati berkembang, zakat tetap menjadi kewajiban bagi kaum muslimin dimana pun dan kapanpun. Oleh karena itu, pada masa Khalifah Abu Bakar, mereka yang enggan membayar zakat, diperangi dan ditumpas karena dianggap telah memberontak pada hukum agama. Hal ini menunjukkan bahwa zakat merupakan kewajiban yang tidak bias ditawar-tawar lagi.

Baca Juga:::

Source:
Al-FurqonHasbi, 125 Masalah Zakat, (Solo: TigaSerangkai, 2008)
Dan Berbagai Sumber ….
loading...