foto: ilustrasi |
Zuhud berarti
tidak suka kepada harta dan kekayaan dunia. Zuhud juga bisa diartikan bahwa
harta dan kekayaan dunia menjadikan seseorang tidak lupa kepada Allah. Zuhud
bukan berarti menolak rezeki dari Allah. Tetapi seorang zuhud berarti tidak
ingin dirinya diperbudak oleh harta dan kekayaan dunia dari mengingat Allah
serta beribadah kepada-Nya. Banyak diantara para sahabat Nabi, dalam meneladani
kehidupan Nabi, bersikap zuhud terhadap harta, sehingga kehidupannya
seolah-olah sangat sengsara dan menderita padahal mereka itu sebenarnya orang
yang sangat kaya dan kalau mau bisa menjadi orang kaya. Bagi para sahabat nabi
tersebut harta dunia hanyalah dipergunakan sekedar untuk menguatkan agamanya
semata, yaitu untuk menunaikan kewajiban agama, baik wajib ‘ain maupun wajib
kifayah seperti membelanjai keluarga yang menjadi tanggungannya dan lain-lain.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Umair bin
Sa’ad sebagai gubernur negeri Hims di Syria atau Suriah. Setelah setahun,
gubernur itu dipanggil oleh Umar ke Madinah. Umar segera datang memenuhi panggilan
dinas tersebut. Ia berjalan dengan kaki telanjang sambil membawa tongkat
ditangan kanannya dan tempat air minum ditangan kirinya, tempat makanannya dan
piringnya dipikul diatas punggungnya. Dengan keadaan demikian, ia menghadap
kepada Khalifah Umar.
Ketika Khalifah Umar melihat hal yang demikian,beliau berkata,
“Apakah kita ini terkena bencana kemarau ataukah negeri Hims sebuah negeri yang
miskin?”. Gubernur Umair terkejud mendengar teguran Khalifah seperti itu, lalu
ia bertanya, “Mengapa demikian ya Amirul Mukminin? Padahal saya kemari ini
membawa dunia dengan sarungnya.” Umar bertanya, “Apa yang saudara bawa itu?”
Jawab Gubernur, “Sebuah tongkat untuk saya bersandar padanya dan untuk mengusir
musuh jika saya bertemu dengannya. Lalu wadah tempat makananku dan tempat airku
untuk minum dan bersuci. Demi Allah, ya Amirul Mukminin, dunia ini nanti akan
mengikuti apa yang ada bersamaku ini.”
Mendengar jawaban yang tepat padat itu, Umar segera berdiri menuju
kuburan Rasulullah Saw. dan Abubakar r.a. lalu menangis sambil berdoa. Setelah
itu beliau kembali ke tempat duduknya semula, lantas berkata, “Apa yang telah
saudara lakukan dalam menunaikan tugasmu?” Umar menjawab, “Dalam hal zakat
telah saya laksanakan, yaitu mengambil unta dari yang empunya unta dan jizyah
(upeti) diambil dari ahli dzimmah (kafir dzimmi yang dijamin keamanannya dalam
Negara Muslim) dari tangan dimana mereka itu merasa hina. Kemudian saya
bagi-bagikan kepada fuqara, orang miskin dan musafir yang terlantar. Demi
Allah, wahai Amirul Mukminin, jika sekiranya harta itu masih ada sisanya,
tentulah saya bawa kemari untuk disetorkan.” Maka Khalifah Umaru pun segera
mengambil keputusan, “Kembalilah wahai Umair kepada tugasmu semula”. Lalu
segeralah Umair mohon diri untuk diperkenankan pulang menengok keluarganya.
Setelah gubernur itu keluar, maka Khalifah Umar memanggil seorang
pembantunya bernama Habib. Sambil menitipkan uang seratus dinar (uang emas),
beliau berpesan, agar ia melakukan penyelidikan atas diri Umair selama tiga
hari, untuk melihat apakah penghidupan Umair dalam keadaan mewah, berkecukupan
atau dalam keadaan sempit. Kalau ternyata penghidupannya agak sempit, hendaklah
uang itu diberikan kepadanya atas nama Khalifah.
Demikianlah Habib segera menjalankan tugasnya dan bermalam dirumah Umair
selama tiga malam. Habib mendapati bahwa makanan Umair sekeluarga tidak lebih
dari sya’ir (sebangsa gandum yang berkualitas rendah) dan minyak. Setelah tiga
hari berlalu, maka ia pun menyerahkan uang itu kepada Umair. Setelah menerima
uang itu, Umair mengambil pakaian bekas yang sudah lama, kepunyaan istrinya,
lalu uang itu dibungkusnya dengan sobekan pakaian tadi, sebungkus-sebungkus.
Ada yang lima, ada yang enam dan ada yang tujuh dinar. Lalu ia kirimkan kepada
kaum Muslim yang fakir dan miskin, sehingga uang itu habis sambil disaksikan
oleh Habib.
Setelah itu, Habib segera melaporkan hal itu kepada Khalifah Umar.
Kata Habib, “Ya Amirul Mukminin, saya datang dari seorang yang sangay zuhud,
sedang ia tidak memiliki dunia sedikitpun.”
Ketika Umair akan berangkat menuju tempat tugasnya, Khalifah
memerintahkan untuk memberikan kepadanya dua kuintal bahan pangan berupa gandum
beserta dua lembar pakaian. Gubernur Umair berkata kepada Khalifah Umar,
“Adapun pakaian, saya terima, ya Amirul Mukminin. Tetapi dua kuintal gandum itu
saya tidak perlu, keluarga saya sudah saya tinggali satu gantang dari tepung
terigu dan itu cukup untuk mereka selama saya tinggalkan sampai saya kembali.”
Demikianlah sifat zuhud, tidak suka akan harta diluar kebutuhan
pokok, yang dipunyai oleh seorang gubernur Islam, sehingga dengan demikian
dalam pemerintahannya, rakyat pasti merasa aman dan tenteram dan taat patuh
kepada yang berwajib, karena terpelihara kewibawaannya, sehingga rakyat
sungguh-sungguh menghargainya.
Pada waktu yang lain, Khalifah Umar memberikan sebuah pundi-pundi
berisi uang empat ratus dinar kepada pesuruhnya untuk dibawa kepada Abu
‘Ubaidah Ibn al-Jarrah, sambil dipesankan kepadanya, “Tunggulah beberapa saat
dan lihatlah apa yang dilakukannya terhadap uang itu.”
Pesuruh itu pun pergi ke rumah Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah dan
memberikan uang tersebut kepadanya seraya berkata, “Khalifah mengatakan bahwa
uang ini untuk sebahagian dari keperluan Tuan.” Abu ‘Ubaidah menerima uang itu
lalu berkata, “Mudah-mudahan Allah menghubungkan kasih sayang-Nya juga
memanggil hamba-sahayanya yang perempuan, seraya berkata, “Bawalah tujuh dinar
ini kepada Si Fulan, yang lima ini kepada Si Fulan,” hingga uang yang diberikan
oleh Khalifah Umar habis dalam waktu sekejap.
Setelah menyaksikan kejadian itu, pesuruh itu pun pulang memberikan
laporan kepada Khalifah Umar. Tetapi rupanya Khalifah telah menyiapkan sebuah
pundi-pundi lain untuk dibawa kepada Mu’az bin Jabal dengan pesan dan tugas
yang sama kepada pesuruh itu. Dan ternyata Mu’az pun melakukan seperti apa yang
dilakukan oleh Abu ‘Ubaidah sampai isi pundi-pundi itu pun habis dalam waktu
tak berapa lama.
Setelah pesuruh itu meloporkan apa yang telah disaksikannya dan
dilakukan oleh kedua orang tadi (keduanya adalah sahabat Nabi Saw.), berkatalah
Khalifah Umar, “Sesungguhnya mereka adalah bersaudara antara satu dengan yang
lainnya, semoga Allah meridhai mereka semuanya. Aamiin.”
Kehidupan
Seorang Pahlawan Islam
Jika tadi diceritakan tentang zuhud para sahabat dalam kehidupan
sehari-hari, berikut ini kita ceritakan kehidupan zuhud seorang panglima Islam
pada masa awal Islam tersebut.
Dalam sejarah Islam, diterangkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab
r.a. melantik Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah sebagai panglima pasukan yang dikirim
ke Syria untuk menaklukkan dan mengislamkan tanah Syam. Tugas yang begitu berat
tetapi suci itu oleh Abu ‘Ubaidah berhasil diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Pada suatu ketika, Khalifah Umar datang berkunjung ke sana, antara lain juga
untuk melakukan semacam inspeksi ke daerah kekuasaan Islam. Beliau disambut dan
dielu-elukan oleh kaum Muslimin yang dipimpin oleh Abu ‘Ubaidah sendiri,
sebagaimana lazimnya kedatangan seorang Khalifah.
Kiranya Khalifah ingin pula mengetahui bagaimana kehidupan
panglimanya, kemudian terjadilah percakapan sebagai berikut.
“Mari kita pergi berkunjung ke rumah saudara.”
“Apa gerangan yang tuan lakukan dirumah saya? Kiranya Tuan akan
memeras air mata saja.”
Tak lama kemudian, keduanya memasuki rumah Panglima. Alangkah
kagetnya Khalifah Umar ketika melihat kekanan dan kekiri didalam rumah itu
karena tidak tampak sesuatu pun kekayaan yang berharga sesuai dengan martabat
seorang panglima. Maka tercetuslah kata-kata berikut dari mulut beliau, “Mana
kekayaanmu wahai Abu ‘Ubaidah, padahal saudara adalah raja sekaligus panglima
didaerah ini.”
Setelah itu keduanya terdiam. Lalu, kesunyian itu dipecahkan oleh
suara Khalifah yang menanyakan kepada Abu ‘Ubaidah, “Apakah saudara mempunyai
makanan yang tersedia? Aku ingin mencicipinya.”
Panglima Muslim di Syam itu segera masuk keruangan dalam dan
kemudian segera pula keluar dengan membawa beberapa potong roti kering yang
kelihatannya telah lama disimpan. Rupanya hanya makanan yang semacam itulah
yang dapat dihidangkannya ke hadapan Khalifah.
Begitu melihat makanan yang terhidang, tiba-tiba dan tanpa disadari
bercucuranlah air mata Khalifah Umar. Lalu dengan sedu-sedan, beliau berkata,
“Engkau benar-benar telah mengubah dunia ini. Kiranya semua dari kami tidak
sama dengan engkau wahai Abu ‘Ubaidah.”
Demikianlah gambaran kehidupan salah seorang panglima Islam pada
zaman awal Islam. Memang pantaslah kalau kaum Muslim pada waktu itu sering
mendapat bantuan dan pertolongan Allah sehingga umat Islam benar-benar memimpin
dunia dalam segala bidang kehidupan. Tetapi sebaliknya, kaum Muslim pada zaman
sekarang ini. Kita melihat kemewahan berada dimana-mana dinegeri Muslim.
Kekayaan bertumpuk-tumpuk pada diri para pemimpin Islam, namun kemajuan Islam
dan kaum Muslim tidak tampak. Kekayaan disini tidak ada berkahnya, karena boleh
jadi kekayaan itu didapat dengan cara tidak wajar atau tidak halal, sedangkan
Allah Maha Mengetahui segala-galanya.
Semoga Allah berkenan menurunkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita
khususnya kepada para pemimpin kita.
#Source:
H. M. Ali Usman, Rezeki
dalam al-Qur’an, 2010 (Bandung: PT. Kiblat Buku Utama)