Friday, 31 March 2017

Diantara Rezeki dan Zuhud - Kehidupan Seorang Pahlawan Islam : Panglima Islam (Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah) Dizaman Khulafaur Rasyidin

Related image
foto: ilustrasi
Zuhud berarti tidak suka kepada harta dan kekayaan dunia. Zuhud juga bisa diartikan bahwa harta dan kekayaan dunia menjadikan seseorang tidak lupa kepada Allah. Zuhud bukan berarti menolak rezeki dari Allah. Tetapi seorang zuhud berarti tidak ingin dirinya diperbudak oleh harta dan kekayaan dunia dari mengingat Allah serta beribadah kepada-Nya. Banyak diantara para sahabat Nabi, dalam meneladani kehidupan Nabi, bersikap zuhud terhadap harta, sehingga kehidupannya seolah-olah sangat sengsara dan menderita padahal mereka itu sebenarnya orang yang sangat kaya dan kalau mau bisa menjadi orang kaya. Bagi para sahabat nabi tersebut harta dunia hanyalah dipergunakan sekedar untuk menguatkan agamanya semata, yaitu untuk menunaikan kewajiban agama, baik wajib ‘ain maupun wajib kifayah seperti membelanjai keluarga yang menjadi tanggungannya dan lain-lain.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Umair bin Sa’ad sebagai gubernur negeri Hims di Syria atau Suriah. Setelah setahun, gubernur itu dipanggil oleh Umar ke Madinah. Umar segera datang memenuhi panggilan dinas tersebut. Ia berjalan dengan kaki telanjang sambil membawa tongkat ditangan kanannya dan tempat air minum ditangan kirinya, tempat makanannya dan piringnya dipikul diatas punggungnya. Dengan keadaan demikian, ia menghadap kepada Khalifah Umar.
Ketika Khalifah Umar melihat hal yang demikian,beliau berkata, “Apakah kita ini terkena bencana kemarau ataukah negeri Hims sebuah negeri yang miskin?”. Gubernur Umair terkejud mendengar teguran Khalifah seperti itu, lalu ia bertanya, “Mengapa demikian ya Amirul Mukminin? Padahal saya kemari ini membawa dunia dengan sarungnya.” Umar bertanya, “Apa yang saudara bawa itu?” Jawab Gubernur, “Sebuah tongkat untuk saya bersandar padanya dan untuk mengusir musuh jika saya bertemu dengannya. Lalu wadah tempat makananku dan tempat airku untuk minum dan bersuci. Demi Allah, ya Amirul Mukminin, dunia ini nanti akan mengikuti apa yang ada bersamaku ini.”
Mendengar jawaban yang tepat padat itu, Umar segera berdiri menuju kuburan Rasulullah Saw. dan Abubakar r.a. lalu menangis sambil berdoa. Setelah itu beliau kembali ke tempat duduknya semula, lantas berkata, “Apa yang telah saudara lakukan dalam menunaikan tugasmu?” Umar menjawab, “Dalam hal zakat telah saya laksanakan, yaitu mengambil unta dari yang empunya unta dan jizyah (upeti) diambil dari ahli dzimmah (kafir dzimmi yang dijamin keamanannya dalam Negara Muslim) dari tangan dimana mereka itu merasa hina. Kemudian saya bagi-bagikan kepada fuqara, orang miskin dan musafir yang terlantar. Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, jika sekiranya harta itu masih ada sisanya, tentulah saya bawa kemari untuk disetorkan.” Maka Khalifah Umaru pun segera mengambil keputusan, “Kembalilah wahai Umair kepada tugasmu semula”. Lalu segeralah Umair mohon diri untuk diperkenankan pulang menengok keluarganya.
Setelah gubernur itu keluar, maka Khalifah Umar memanggil seorang pembantunya bernama Habib. Sambil menitipkan uang seratus dinar (uang emas), beliau berpesan, agar ia melakukan penyelidikan atas diri Umair selama tiga hari, untuk melihat apakah penghidupan Umair dalam keadaan mewah, berkecukupan atau dalam keadaan sempit. Kalau ternyata penghidupannya agak sempit, hendaklah uang itu diberikan kepadanya atas nama Khalifah.
Demikianlah Habib segera menjalankan tugasnya dan bermalam dirumah Umair selama tiga malam. Habib mendapati bahwa makanan Umair sekeluarga tidak lebih dari sya’ir (sebangsa gandum yang berkualitas rendah) dan minyak. Setelah tiga hari berlalu, maka ia pun menyerahkan uang itu kepada Umair. Setelah menerima uang itu, Umair mengambil pakaian bekas yang sudah lama, kepunyaan istrinya, lalu uang itu dibungkusnya dengan sobekan pakaian tadi, sebungkus-sebungkus. Ada yang lima, ada yang enam dan ada yang tujuh dinar. Lalu ia kirimkan kepada kaum Muslim yang fakir dan miskin, sehingga uang itu habis sambil disaksikan oleh Habib.
Setelah itu, Habib segera melaporkan hal itu kepada Khalifah Umar. Kata Habib, “Ya Amirul Mukminin, saya datang dari seorang yang sangay zuhud, sedang ia tidak memiliki dunia sedikitpun.”
Ketika Umair akan berangkat menuju tempat tugasnya, Khalifah memerintahkan untuk memberikan kepadanya dua kuintal bahan pangan berupa gandum beserta dua lembar pakaian. Gubernur Umair berkata kepada Khalifah Umar, “Adapun pakaian, saya terima, ya Amirul Mukminin. Tetapi dua kuintal gandum itu saya tidak perlu, keluarga saya sudah saya tinggali satu gantang dari tepung terigu dan itu cukup untuk mereka selama saya tinggalkan sampai saya kembali.”
Demikianlah sifat zuhud, tidak suka akan harta diluar kebutuhan pokok, yang dipunyai oleh seorang gubernur Islam, sehingga dengan demikian dalam pemerintahannya, rakyat pasti merasa aman dan tenteram dan taat patuh kepada yang berwajib, karena terpelihara kewibawaannya, sehingga rakyat sungguh-sungguh menghargainya.
Pada waktu yang lain, Khalifah Umar memberikan sebuah pundi-pundi berisi uang empat ratus dinar kepada pesuruhnya untuk dibawa kepada Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah, sambil dipesankan kepadanya, “Tunggulah beberapa saat dan lihatlah apa yang dilakukannya terhadap uang itu.”
Pesuruh itu pun pergi ke rumah Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah dan memberikan uang tersebut kepadanya seraya berkata, “Khalifah mengatakan bahwa uang ini untuk sebahagian dari keperluan Tuan.” Abu ‘Ubaidah menerima uang itu lalu berkata, “Mudah-mudahan Allah menghubungkan kasih sayang-Nya juga memanggil hamba-sahayanya yang perempuan, seraya berkata, “Bawalah tujuh dinar ini kepada Si Fulan, yang lima ini kepada Si Fulan,” hingga uang yang diberikan oleh Khalifah Umar habis dalam waktu sekejap.
Setelah menyaksikan kejadian itu, pesuruh itu pun pulang memberikan laporan kepada Khalifah Umar. Tetapi rupanya Khalifah telah menyiapkan sebuah pundi-pundi lain untuk dibawa kepada Mu’az bin Jabal dengan pesan dan tugas yang sama kepada pesuruh itu. Dan ternyata Mu’az pun melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu ‘Ubaidah sampai isi pundi-pundi itu pun habis dalam waktu tak berapa lama.
Setelah pesuruh itu meloporkan apa yang telah disaksikannya dan dilakukan oleh kedua orang tadi (keduanya adalah sahabat Nabi Saw.), berkatalah Khalifah Umar, “Sesungguhnya mereka adalah bersaudara antara satu dengan yang lainnya, semoga Allah meridhai mereka semuanya. Aamiin.”
Kehidupan Seorang Pahlawan Islam
Jika tadi diceritakan tentang zuhud para sahabat dalam kehidupan sehari-hari, berikut ini kita ceritakan kehidupan zuhud seorang panglima Islam pada masa awal Islam tersebut.
Dalam sejarah Islam, diterangkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab r.a. melantik Abu ‘Ubaidah Ibn al-Jarrah sebagai panglima pasukan yang dikirim ke Syria untuk menaklukkan dan mengislamkan tanah Syam. Tugas yang begitu berat tetapi suci itu oleh Abu ‘Ubaidah berhasil diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Pada suatu ketika, Khalifah Umar datang berkunjung ke sana, antara lain juga untuk melakukan semacam inspeksi ke daerah kekuasaan Islam. Beliau disambut dan dielu-elukan oleh kaum Muslimin yang dipimpin oleh Abu ‘Ubaidah sendiri, sebagaimana lazimnya kedatangan seorang Khalifah.
Kiranya Khalifah ingin pula mengetahui bagaimana kehidupan panglimanya, kemudian terjadilah percakapan sebagai berikut.
“Mari kita pergi berkunjung ke rumah saudara.”
“Apa gerangan yang tuan lakukan dirumah saya? Kiranya Tuan akan memeras air mata saja.”
Tak lama kemudian, keduanya memasuki rumah Panglima. Alangkah kagetnya Khalifah Umar ketika melihat kekanan dan kekiri didalam rumah itu karena tidak tampak sesuatu pun kekayaan yang berharga sesuai dengan martabat seorang panglima. Maka tercetuslah kata-kata berikut dari mulut beliau, “Mana kekayaanmu wahai Abu ‘Ubaidah, padahal saudara adalah raja sekaligus panglima didaerah ini.”
Setelah itu keduanya terdiam. Lalu, kesunyian itu dipecahkan oleh suara Khalifah yang menanyakan kepada Abu ‘Ubaidah, “Apakah saudara mempunyai makanan yang tersedia? Aku ingin mencicipinya.”
Panglima Muslim di Syam itu segera masuk keruangan dalam dan kemudian segera pula keluar dengan membawa beberapa potong roti kering yang kelihatannya telah lama disimpan. Rupanya hanya makanan yang semacam itulah yang dapat dihidangkannya ke hadapan Khalifah.
Begitu melihat makanan yang terhidang, tiba-tiba dan tanpa disadari bercucuranlah air mata Khalifah Umar. Lalu dengan sedu-sedan, beliau berkata, “Engkau benar-benar telah mengubah dunia ini. Kiranya semua dari kami tidak sama dengan engkau wahai Abu ‘Ubaidah.”
Demikianlah gambaran kehidupan salah seorang panglima Islam pada zaman awal Islam. Memang pantaslah kalau kaum Muslim pada waktu itu sering mendapat bantuan dan pertolongan Allah sehingga umat Islam benar-benar memimpin dunia dalam segala bidang kehidupan. Tetapi sebaliknya, kaum Muslim pada zaman sekarang ini. Kita melihat kemewahan berada dimana-mana dinegeri Muslim. Kekayaan bertumpuk-tumpuk pada diri para pemimpin Islam, namun kemajuan Islam dan kaum Muslim tidak tampak. Kekayaan disini tidak ada berkahnya, karena boleh jadi kekayaan itu didapat dengan cara tidak wajar atau tidak halal, sedangkan Allah Maha Mengetahui segala-galanya.
Semoga Allah berkenan menurunkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita khususnya kepada para pemimpin kita.

#Source:
H. M. Ali Usman, Rezeki dalam al-Qur’an, 2010 (Bandung: PT. Kiblat Buku Utama)
loading...