➤ Baca Juga:
Talfiq |
Secara etimologi, kata talfiq ( تلفيق ) berasal dari akar kata
“لفق – يلفق - تلفيق
“, yang berarti “merapatkan dua tepi” atau mempertemukan menjadi
satu”. Adapun secara istilah terdapat sejumlah definisi dengan redaksional yang
berbeda. Wahbah Zuhaili,[1][2]
menyebutkan bahwa talfiq itu ialah:
ان يترتب على العمل بتقليد.
“Mengamalkan
(ajaran agama) dengan mengikuti beberapa mazhab.”
Amir Syarifuddin,[3] menyebutkan
bahwa talfiq itu mengamalkan atau beramal dalam urusan agama dengan
pedoman kepada petunjuk beberapa mazhab. Sementara itu, dalam Ensiklopedi
Hukum Islam [4]
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan talfiq ialah cara mengamalkan
suatu ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara berbagai
mazhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berbagai mazhab.
Sebagai contoh dapat dikemukakan disini ialah tentang wudhu’. Ketika
berwudhu’, khususnya dalam hal menyapu (mengusap) kepala seseorang mengikuti cara
yang dikemukakan oleh Syafi;i. Imam Syafi’I berpendapat bahwa dalam berwudhu’
seorang cukup menyapu sebagian kepala, minimal tiga helai rambut. Setelah berwudhu;
orang tersebut bersentuhan kulit dengan seorang wanita yang bukan mahramnya. Menurut
Syafi’I, wudhu’ orang (orang laki-laki) tersebut batal. Jika bersentuhan dengan
mahramnya tidaklah batal.[5]
Akan tetapi, dalam hal bersentuhan kulit dengan wanita bukan mahram
setelah berwudhu orang (laki-laki) tersebut mengambil pendapat Imam Abu Hanifah
dan meninggalkan pendapat Imam Syafi’I. Dalam pandangan Imam Abu Hanifah bahwa
persentuhan kulit antara pria dan wanita bukan mahram dalam keadaan wudhu’
tidaklah batal wudhu’nya. Dalam kasus ini pada amalan wudhu’ terkumpul dua
pendapat sekaligus yaitu pendapat Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah.
Jika dilihat dari pendapat dua mazhab itu secara terpisah maka
wudhu’ tersebut tidak sah. Dalam mazhab Syafi’I wudhu’ tidak sah karena
bersangkutan telah bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahram. Dilihat dari
Mazhab Hanafi wudhu’ tersebutpun tidak sah, karena orang tersebut hanya menyapu
sebagian kepalanya. Karena menurut Imam Abu Hanifah, dalam berwudhu’ kepala
harus disapu atau diusap seluruhnya.[6]
Para ulama memang memperbincangkan persoalan talfiq ini. Menurut
Amir Syarifuddin,[7]
ulama yang tidak mengikatkan diri kepada salah satu mazhab atau kepada seorang
mujtahid tidak merasa perlu memperbincangkan persoalan talfiq ini. Demikian
juga, halnya dengan kalangan ulama yang mengharuskan bermazhab bahwa mereka
tidak perlu membicarakan talfiq, karena talfiq itu hakikatnya
adalah pindah mazhab.
Adapun perbincangan talfiq itu muncul, karena ada sebagian
ulama yang membolehkannnya. Bahkan, meyoritas ulama fiqh dan ushul fiqh
membolehkan talfiq dalam mengamalkan suatu pendapat.[8] Namun
demikian, diingatkan juga bahwa dibolehkan talfiq itu tidak dimaksudkan
untuk memudah-mudahkan dalam beragama. Talfiq itu dibolehkan hendaklah
memperhatikan hal-hal berikut:[9]
1. Mengambil
cara yang termudah karena hendaklah disebabkan adanya uzur. Hal ini diingatkan
oleh Al-Gazali bahwa talfiq tidak boleh didasarkan pada keinginan
mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu.
2. Talfiq
tidak boleh membatalkan hukum yang telah ditetapkan hakim, karena
apabila hakim telah menentukan pilihan hukum dari beberapa pendapat tentang
sesuatu masalah maka hukum itu wajib ditaati.
3. Talfiq tidak boleh dilakukan dengan mencabut kembali suatu hukum atau
amalan yang sudah diyakini. Namun harus diingat, bahwa talfiq akan
ditolak jika tujuannya hanya mencari-cari kemudahan dan keringanan, yang dalam
istilah ulama ushul disebut dengan “ تتبع الرخص “.[10] Akan
tetapi, bila talfiq itu dilakukan dengan motivasi maslahat, yaitu untuk
menghindarkan kesulitan dalam beragama, maka hal ini dapat dilakukan.[11]
➤ Baca Juga:
[1] Muhammad
Yunus, Kamus Arab Indonesia, 1990 (Jakarta: PT. Hidayakarya Agung) hlm.
399. Bandingan Amir Syarifuffin, Ushul Fiqh, Jilid II, 2001 (Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu) hlm. 427
[2]
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, 1986 (Damaskus: Dar
al-Fikr) hlm. 1121
[3]
Amir Syarifudddin, Loc.cit
[4]
Aziz Dahlan et.all, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, 1996 (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve) hlm. 1786
[5] Ibid.
[6]
Romli SA, Ushul Fiqh Metodologi Penetapan Hukum Islam Jilid 2, 2008
(Palembang: Tunas Gemilang Press)
[7] Amir
Syarifuddin, op.cit., hlm. 427
[8] Aziz
Dahlan et.all, op.cit., hlm. 1786
[9] Ibid.
[10] Amir
Syarifuddin, op.cit., hlm. 428
[11] Ibid.