Thursday, 9 March 2017

Pengertian Jinayah, Unsur dalam Jinayah, Hubungan Jinayah dengan Larangan & Hukuman bagi Pelaku Jinayah (Fiqh Jinayah Hukum Pidana Islam)

Fiqh Jinayah - Hukum Pidana Islam
Image result for jinayah
Jinayah
A.    Pengertian Jinayah
Jinayah berasal dari kata “Jana Yajni Jinayah”, yang berarti memetik, dosa atau kesalahan. Jinayah menurut bahasa adalah seseorang yang memanfaatkan sesuatu yang salah.[1]
Menurut istilah jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat meninmbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal, atau harta benda.[2]
Adapun al-Ahkam al-Jinayah adalah hukum pidana disebut juga hukum publik. Al-Ahkam al-Jinayah  dalam Islam untuk melindungi kepentingan dan keselamatan umat manusia dari ancaman tindak kejahatan atau pelanggaran, sehingga tercipta situasi kehidupan yang aman dan tertib.
B.     Unsur dalam Jinayah
Didalam hukum Islam, suatu perbuatan tidak dapat dihukum, kecuali jika terpenuhi semua unsurnya, baik unsur umum maupun unsur khusus.
Unsur-unsur umum tersebut ialah:
1.    Rukun syar’I (yang berdasarkan Syara’) atau disebut juga unsur formal, yaitu adanya nas Syara’ yang jelas melarang perbuatan itu dilakukan dan jika dilakukan akan dikenai hukuman. Nas Syara’ ini menempati posisi yang sangat penting sebagai azas legalitas dalam hukum pidana Islam, sehingga dikenal suatu prinsip la hukma li af al al-uqala’ qal wurud an-nass (tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sebelum datangnya nas).
2.  Rukum maddi atau disebut juga unsure material, yaitu adanya perbuatan pidana yang dilakukan.
3.  Rukum adabi yang disebut juga unsur moril, yaitu pelaku perbuatan itu dapat diminta pertanggung jawaban hukum. Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dapat diminta pertanggung jawaban hukum, seperti anak kecil, orang gila atau orang yang terpaksa, tidak dapat dihukum.[3]
Adapun unsur khusus adalah unsur-unsur yang harus ada dan melekat pada setiap bentuk tindak pidana yang dilakukan. Unsur-unsur tersebut berbeda-beda sesuai dengan tindak pidananya. Unsur yang terkandung didalam pencurian tidak sama dengan unsur yang terkandung didalam perzinahan.
C.    Hubungan Jinayah dengan Larangan
Konsep jinayah berkaitan dengan “larangan” karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’. Larangan ini timbul karena perbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara.
Sesuai dengan ketentuan fiqh, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak hanya cukup dengan “niat baik”, tetapi harus disertai dengan saksi (hukuman). Hukuman tersebut diancam kepada seorang pelaku kejahatan dan pada gilirannya pelaksanaan hukuman tadi dapat dijadikan contoh oleh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.
Hukuman merupakan sesuatu yang dapat dihindarkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa secara intrinstik hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu kebaikan, sekurang-kurangnya bagi pelaku kejahatan itu sendiri.
Sebagaimana peristiwa sosial lainnya, jinayah mempunyai dua sisi menguntungkan dan merugikan. Tidak ada perbuatan yang hanya menguntungkan atau merugikan semata. Setiap perbuatan memiliki keuntungan dan kerugian tertentu.
Oleh karena itu, dasar larangan dari perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai jinayah adalah karena perbuatan-perbuatan itu merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penetapan perbuatan-perbuatan jinayah dan hukum-hukumnya dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan serta kelangsungan hidup bermasyarakat.
Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan kewajiban bukan karena karena adanya sanksi, tetapi semata-mata karena ketinggian moralnya mereka orang-orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan dimanapun didunia ini selalu ada orang-orang yang hanya taat karena adanya hukuman, oleh karena itu jinayah tanpa hukuman tidaklah realistik.
D.    Hukuman bagi Pelaku Jinayah
Ditinjau dari berat ringannya hukuman yang dikenakan terhadap pelaku jinayah, jinayah dapat dibagi tiga yaitu; hudud, qisas-diat, dan takzir, yang biasanya disebut dengan istilah jarimah hudud, jarimah qisas diat dan jarimah ta’zir.
Yang dimaksud dengan jinayah hudud adalah suatu tindak pidana yang diancam hukuman yang sudah ditentukan bentuk dan jumlahnya, tidak ada batas terendah atau tertinggi dan hukuman ini merupakan hak Tuhan. Karena itu hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan atau digugurkan, baik oleh individu maupun oleh Negara. Hukuman itu harus dilaksanakan karena menyangkut ketentuan Tuhan dan ketentraman serta keamanan masyarakat.
Tidak kejahatan yang termasuk perkara hudud ada tujuh macam, yaitu murtad, al-bagyu, hirabah, zina, qazf, meminum minuman keras atau khamr dan pencurian.[4]
1.      Murtad ialah keluar dari agama Islam, baik secara jelas diucapkan dengan lidah, melakukan perbuatan yang menunjukkan kekafiran, maupun mempunyai keyakinan yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Hukuman yang dikenankan terhadap orang yang murtad adalah hukuman mati jika ia tidak bertobat. Konsekuensi hukuman lainnya bagi orang yang murtad adalah terputusnya hubungan perkawinan dengan suami/isteri yang muslim dan terputusnya hubungan kewarisan.
2.  Al-Bagyu ialah orang-orang yang tidak taat kepada imam yang adil dan bahkan memberontak. Hukuman yang dikenakan terhadap tindak pidana ini adalah ditumpas atau diperangi jika syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu pemberontak itu memiliki kekuatan senjata yang memungkinkannya melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan keluar dari genggaman pemerintah karena adanya kekeliruan atau salah pengertian.
3.      Hirabah ialah orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, yang disebut juga dengan istilah muharibin atau qati’ at-tariq (perampok, penyamun, atau pengganggu keamanan). Hukuman yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana ini adalah dibunuh dan disalib jika penjahat itu melakukan pembunuhan terhadap korban dan mengambil hartanya. Dihukum mati tanpa disalib jika ia melakukan pembunuhan terhadap korban tetapi tidak mengambil hartanya. Dipotong tangan kanan dan kaki kirinya jika ia tidak membunuh korban tetapi mengambil hartanya minimal sebanyak satu nishab. Dan dipenjara atau hukuman lainnya jika hanya menakut-nakuti korban tanpa mengambil harta atau membunuhnya.
4.      Dalam perbuatan zina, hukuman yang dikenakan terhadap pelakunya adalah didera 100 kali dan dibuang keluar negeri selama satu tahun jika yang melakukan perzinaan itu masih jejaka atau perawan (ghair muhsan) dan dirajam serta dilempar dengan batu hingga meninggal jika pelakunya sudah pernah berhubungan badan secara sah (muhsan).
5.    Qazf ialah menuduh orang lain melakukan perzinaan tanpa mendatangkan empat orang saksi. Hukuman yang dikenakan terhadap pelakunya adalah didera 80 kali jika penuduh itu bukan budak dan 40 kali jika penuduhnya budak.
6.  Mencuri adalah mengambil milik orang lain secara diam-diam, dalam hal pencurian, hukuman yang dikenakan terhadap pelakunya adalah potong tangan jika barang yang dicuri minimal berjumlah satu nishab (seperempat dinar menurut sebagian ulama atau 10 dirham menurut sebagian ulama lainnya).
Jinayah qisas-diat adalah perkara pidana yang diancam hukuman qisas atau diat. Bentuk dan jumlah hukuman ini juga ditentukan Syara’, tidak ada batas terendah atau tertinggi. Hal ini berbeda dengan hudud dimana hak memberi hukuman adalah hak umum yang juga disebut hak adami. Pada jarimah qisas-diat, hak member hukuman adalah hak perorangan. Karena itu, jika korban atau ahli warisnya memaafkan pelaku tindak pidana, maka hukuman tidak bisa dilaksanakan.
Adapun yang termasuk dalam jinayah qisas-diat ada lima.[5]
1.    Qatl al-‘amd, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja dengan niat benar-benar ingin membunuh dan menggunakan alat yang memungkinakan terjadinya pembunuhan. Hukuman yang dikenakan terhadap pelaku pidana ini adalah qisas, artinya pelaku dikenakan hukuman mati.
2.    Qatl syibh al-‘amd, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap korban, tetapi tidak disertai dengan niat untuk membunuh. Misalnya memukul korban dengan benda ringan yang menurut kebiasaan tidak mungkin menyebabkan kematian, tetapi ternyata korban meninggal dunia. Hukuman yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana ini adalah diat berat, berupa 100 ekor unta (30 unta betina umur 3-4 tahun, 30 unta betina umur 4-5 tahun dan 40 unta betina yang sedang hamil) diat ini wajib dibayar oleh pelaku pidana secara tunai.
3.      Qatl al-khata’ yaitu pembunuhan yang semata-mata terjadi karena kesalahan, seperti orang yang terjatuh menimpa orang lain yang menyebabkan kematian. Hukuman yang dikenakan terhadap pelaku pidana ini adalah diat ringan, berupa 100 ekor unta (masing-masing 20 ekor unta betina umur 1-2 tahun, 2-3 tahun, 3-4 tahun dan 4-5 tahun dan 20 ekor unta jantan umur 2-3 tahun).
4.  Jarh al-‘amd yaitu penganiayaan yang dilakukan dengan sengaja. Ancaman terhadap tindakan ini adalah qisas. Misalnya bagi penganiayaan yang menyebabkan korban kehilangan penglihatannya, maka pelakunya dihukum dengan menghilangkan penglihatannya.
5.  Jarh al-Khata’ yaitu penganiayaan yang dilakukan tanpa sengaja. Ancaman hukuman terhadap tindakan ini adalah diat yang besarnya sama dengan diat pembunuhan. Penganiayaan yang dikenakan hukuman ini adalah penganiayaan yang menyebabkan hilangnya anggota tubuh atau fungsinya, seperti hilangnya dua telinga, dua mata, lidah dan akal.
Jinayah takzir,[6] adalah perkara-perkara pidana yang diancam dengan hukuman takzir. Bentuk pidana dan jenis hukumnya tidak ditentukan secara pasti. Syara’ hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling berat sampai yang paling ringan. Hanya hakim yang menentukan hukuman terhadap pelakunya. Demikian pula bentuk tindak pidananya, Syara’ hanya menyebutkan sebagian kecil tindakan yang dipandang atau dianggap sebagai kejahatan, seperti menggelapkan titipan, memaki-maki orang dan memakan riba. Bentuk tindak pidana lainnya diserahkan pada ketentuan penguasa selama tidak bertentangan dengan nas dan prinsip-prinsip umum.
Jinayah dapat pula dibedakan berdasarkan niat pelakunya, cara mengerjakannya, korban perbuatan, dan tabiatnya yang khusus.
Dilihat dari sudut niat pelaku pidana, jinayah terbagi dua, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Jinayah yang sengaja adalah tindak pidana yang secara sadar diniatkan untuk dilakukan, sementara pelakunya mengetahui bahwa tindakannya itu adalah tindakan terlarang. Jinayah yang tidak sengaja ialah tindak pidana yang dilakukan secara tidak sadar dan tidak diniatkan untuk dilakukan atau tidak dimaksudkan untuk menimbulkan hal yang fatal bagi korban. Tindakan itu terjadi karena kekeliruan atau kesalahpahaman.
Dilihat dari sudut korban, yang terkena perbuatan tersebut, jinayah terbagi atas jinayah individu dan jinayah masyarakat. Jinayah individu adalah tindak pidana yang hukumannya dijatuhkan melindungi kepentingan perorangan. Sedangkan jinayah masyarakat ialah tindak pidana yang hukumannya dijatuhkan untuk kepentingan orang banyak. Jinayah Qisas-diat termasuk jinayah perorangan, sekalipun juga menyentuh kepentingan masyarakat. Sedangkan jinayah hudud termasuk jinayah masyarakat, sekalipun pada umumnya mencakup kepentingan individu, seperti mencuri dan menuduh orang berbuat zina.
Ditinjau dari sudut tabiatnya yang khusus, jinayah terbagi atas jinayah biasa dan jinayah politik. Jinayah biasa ialah tindak pidana yang tidak memiliki alasan apapun dibelakangnya, sedangkan jinayah politik ialah tindak pidana yang dilakukan karena adanya alasan-alasan politik tertentu.
Tidak semua jenis perkara jinayah ditentukan hukumannya didalam al-Qur’an. Hukuma-hukuman yang ditentukan  al-Qur’an terbatas hanya untuk lima bentuk tindak pidana, yaitu membunuh (QS. 2: 178, 179), merampok (QS. 5: 33), mencuri (QS. 5: 38,39), berzina (QS. 24: 4) dan menuduh orang lain berzina (QS. 24: 4). Bentuk pidana lainnya diterangkan hadits Rasulullah Saw.[7]
Demikian penjelasan secara umum tentang jinayah atau pidana hukum Islam, berkenaan dengan pengertian jinayah, unsur dalam jinayah, hubungan jinayah dengan larangan dan hukuman bagi pelaku jinayah. Semoga bermanfaat bagi kita semua.



[1] Abd al-Qadir Audah, 1963/1992, al-Tasyri al-Jina-I al-Islami Muqaran bi al-Qanun al-Wajdh’I, Maktabah Dar al-Urubah. : 4
[2] Ibid.
[3] Hanafi, Azaz Hukum Pidana, 1976, (Jakarta: Bulan Bintang): 14
[4] Audah, 1968: 79
[5] Audah, 1986: 405
[6] Audah, 1986: 126
[7] Imaning Yusuf, Fiqih Jinayah Hukum Pidana Islam, 2009, (Palembang: Rafah Press)
loading...