Wali dan Saksi
Oleh: Iswahyudi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Menikah dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu sunnatullah
terhadap makhluk, yang mana dia merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam
dunia kehidupan hewan serta tumbuh-tumbuhan.
Adapun manusia: bahwasanya Allah tidak menjadikannya seperti apa
yang ada pada kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat, bahkan
menentukan beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya, memelihara
kemuliaan dan menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan pernikahan syar'i
yang menjadikan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita merupakan
hubungan mulia, dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab kabul, kelembutan
serta kasih sayang. (Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih
Islam [Islamhouse.com], hal. 4).
Untuk mewujudkan pernikahan yang Syar’i tentu harus adanya rukun
dan syarat dalam suatu akad nikah. Karena hal tersebut merupakan suatu bentuk
sah atau tidaknya suatu pernikahan. Adapun rukun dan syarat pernikahan itu ada
beberapa bagian, termasuk Wali dan Saksi.
Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Wali dan Saksi serta
Perbandingan beberapa Imam Madzhab berkenaan masalah yang ada dalam lingkup
Wali dan Saksi. Hal ini bertujuan agar Mahasiswa bisa memahami sisi perbedaan
dan perbandingan mengenai wali dan saksi sehingga mampu menilai mana
dalil-dalil yang lebih sharih yang telah diajukan oleh para Imam Mazhab.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa
rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah ini, yaitu:
1.
Apa pengertian
wali dan macam-macamnya?
2. Bagaimana
kedudukan wali dalam nikah menurut Imam mazhab dan syarat-syarat menjadi wali?
3.
Apa pengertian saksi dan hukum menyaksikan akad nikah?
4.
Apa syarat-syarat menjadi wali?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
WALI
1.
Pengertian Wali
Secara bahasa,
wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah),
bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini
berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki
kekuasaan. Sedang menurut istilah, ada beberapa pengertian mengenai wali,
yaitu:
1)
Orang yang menurut hukum diserahi kewajiban
mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum mereka dewasa (dalam Pasal 107
KHI);
2)
Pengasuh pengantin perempuan pada pernikahan
(akad nikah);
3)
Orang shaleh penyebar agama;
4)
Kepala pemerintahan.
Sedangkan
Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al-Fiqh 'ala Madzaahib Al-Arba'ah
: "Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah,
maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa
pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan
adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena
wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali
dinyatakan tidak sah.
2.
Macam-macam
Wali Pernikahan
Wali
dalam pernikahan ada beberapa macam, yaitu:
a)
Wali Nasab
Wali nasab
adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab, terdapat perbedaan pendapat.
Imam Syafi`i memegangi keashabahan. Beliau
berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam
Syafi`i, suatu
pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu.
Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya
bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik
dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah.
Imam malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk
menjadi wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah
lebih utama,
kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian
saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara
laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki
seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada
saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal,
kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki
sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian
penguasa.
Jumhur Ulama
membagi wali nasab dalam dua jenis, yaitu wali dekat (wali Qarib) dan
wali jauh (wali Ab’ad).
b)
Wali Hakim
Wali Hakim
adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim
adalah: kepala pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara
untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak
ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang
terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang `alim. Bila ayah atau keluarga
dekatnya tidak ada, maka Raja atau Amir atau penguasa dapat menjadi walinya.
Adanya wali
hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak ada wali nasab.
2) Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali
ab`ad.
3) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan
sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4) Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa
ditemui.
5) Wali aqrabnya adol.
6) Wali aqrabnya mempersulit.
7) Wali aqrab sedang ihram.
8) Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9) Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi
sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.
c)
Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan
atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami
mengucapkan tahkim, “Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon
istri) dengan mahar … dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal
yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya
terima tahkim ini.”.
Wali tahkim
terjadi apabila:
1) Wali nasab tidak ada,
2) Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua
hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ,
3) Tidak ada qadi
atau pegawai
pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
d)
Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya
majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam
perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang
dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
e)
Wali ‘adal
Wali ‘Adal adalah wali yang enggan menikahkan
wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang lelaki pilihannya sedangkan
masing-masing pihak menginginkan pernikahkan itu dilangsungkan. Para fuqaha
menyatakan bahwa apabila seorang wanita yang telah baligh dan berakal meminta
walinya untuk menikahkannya dengan lelaki pilihannya yang sepada (sekufu’) maka
wali tersebut tidak boleh menolak permintaan-nya itu. Lihat QS 2:232.
Seorang
wali dikatakan enggan (‘adal) apabila: 1) wali tidak mau menikahkan wanita itu
dengan lelaki yang sepadan dengannya padahal wanita itu menerima lamaran calon
suaminya itu, baik penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada
walinya maupun tidak, dan b) wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki
pilihannya yang sepadan dengan wanita itu sedangkan wanita itu meminta walinya
supaya menikahkannya dengan lelaki pilihannya. Jika walinya ‘adal maka hak
perwaliannya berpindah kepada wali yang jauh. Jika seluruh wali yang ada
‘adal maka hak perwalian itu berpindah kepada wali hakim.
3.
Pendapat Ulama
tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Menurut jumhur ulama, sebuah pernikahan tidak sah jika
tidak ada wali.
لا نكاح الا
بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada
nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
Mereka berpendapat bahwa jika seorang wanita menikahkan
dirinya sendiri maka hukumnya tidak sah. Dasarnya HR. Ibn Majah dan Daruqutni
dari Abu Hurairah: ”Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh
pula menikahkan dirinya sendiri.”
HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, Hakim dari Aisyah:
“Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal
(3x)." Apabila telah terjadi hubungan suami istri maka laki-laki itu wajib
membayar mahar atas sikapnya yang telah menghalalkan kehormatan wanita
tersebut. jika wali enggan menikahkan seorang wanita maka pihak penguasa
(hakim) bertinak sebagai wali bagi wanita uang tidak mempunyai wali.”
Imam Asy-Syafi’i mengemukakan alasan yaitu QS 2:232
“…maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya…” yang menurutnya merupakan ayat yang paling tegas mensyaratkan adanya
wali dalam pernikahan. Apabila wali tidak menjadi syarat sah dalam pernikahan
maka larangan Allah kepada wali dalam ayat ini tidak akan ada artinya.
Dalam hal ini ulama Hanafiyah berbeda dengan jumhur.
Menurutnya, wali tidak termasuk salah satu syarat perkawinan. Artinya
seorang wanita yang sudah balig dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri
atau anak perempuannya, atau bahkan menjadi wakil dalam pernikahan. Akan tetapi
jika laki-laki yang akan dinikahi oleh wanita tadi tidak sepadan atau sebanding
(sekufu) dengannya maka wali berhak untuk menghalangi dan menggagalkan
pernikahan tersebut. Hal ini disebabkan karena keberadaan wali dalam suatu
pernikahan hanyalah bersifat penyempurna dan anjuran
semata, bukan menjadi syarat dah suatu pernikahan. Mereka memahami hadis lâ
nikâha illâ bi waliyyin bukan berarti ‘tidak sah’ tetapi ‘tidak sempurna’ karena lâm an-nâfiyyah pada hadis tersebut
berarti ’tidak sempurna’. Oleh karena itu, menurut mazhab Hanafiyah ini,
keberadaan wali dalam suatu pernikahan hanyalah dianjurkan saja, tidak
diwajibkan. Lagi pula, menurut mereka, hadis tentang wali tersebut semuanya
termasuk hadis âhâd padahal pernikahan itu menyangkut kepentingan orang banyak
bahkan menyangkut permasalahan setiap orang. Oleh karena itu tidak mungkin
hanya disampaikan kepada seorang sahabat saja, yakni Abui Hurairah. Hal ini
mengandung indikasi yang menunjukkan bahwa hadis tersebut dipalsukan atau
dinisbahkan kepada Abu Hiurairah saja. Alasan lain, QS 2:232 itu maknanya
ditujukan kepada suami, bukan kepada wali. Demikian pula QS 2:230 dan 234 yang
membangsakan kepada wanita. Menurut mazhab Hanafiyah, hal ini menunjukkan bahwa
wanita berhak menikahkan dirinya sendiri. Lebih lanjut HR Muslim dari Ibn
Abbas: “janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan wanita perawan
[yang belum pernah kawin] dimintakan izinnya, dan izinnya itu adalah diamnya”
dan HR Bukhati-Muslim: “jangan dinikahkan para janda sebelum dimintai
pendapatnya (dimusyawarahkan dengan mereka) dan perawan itu tidak dinikahkan
sebelum dimintakan izinnya. Bagaimana izinnya? Rasuluulah menjawab: izinnya
adalah diammnya.” Menurut mazhab ini, kedua hadis ini secara tegas menunjukkan
bahwa wanita yang tidak bersuami lagi (janda) dan gadis mempunyai hak yang sama
dalam masalah pernikahannya sehingga wali harus lebih dahulu meminta pendapat
wanita tersebut dan meminta izin si gadis untuk menikahkannya.
4. Syarat menjadi wali:
Cakap bertindak hukum,
Merdeka, Muslim, Laki-laki, Adil, cerdas, Tidak dalam keadaan ihram. (As-sayyid
as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah).
Fuqaha membagi perwalian ini dari segi ‘kekuasaan
menikahkan’ seseorang yang ada di bawah perwaliannya menjadi dua bentuk:
1.
Al-wilâyah al-ijbâriyyah ( الولاية الإجبارية,
kekuasaan memaksa): wali mujbir.
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai kewenangan
langsung/ mut-lak untuk menikahkan orang yang ada di bawah perwliannya meskipun
tanpa seizin orang itu. Adapun orang yang dapat ‘dipaksa’ menikah oleh wali
mujbir ini adalah:
a.
Orang yang tidak memiliki atau kehilangan kecakapan bertindak
hukum (anak kecil dan orang gila).
b.
Wanita yang masih perawan tetapi belum balig dan berakal.
c.
Wanita yang telah kehilangan keperawanannya, baik karena sakit,
terjatuh, ataui pun berzina.
2.
Al-wilâyah al-ikhtiyâriyyah (الولاية الإختيارية
, kekuasaan sukarela): wali mukhtâr
Wali mukhtar adalah wali yang tidak memliki kekuasanaan
dan kewe-nangan untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya untuk
menikah. Ulama Hanafiyah hanya mengakui keberadaan wali mujbir saja sedangkan
keberadaan wali mukhtar hanyalah dianjurkan bagi wanita yang telah baligh dan
berakal, baik wanita itu masih perawan maupun sudah janda. Menurut mereka,
wanita seperti ini boleh mengawinkan dirinya sendiri secara sadar dan suka
rela. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (jilid
VII)).
A.
SAKSI
1.
Pengertian Saksi
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau
mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah
adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara
apa adanya. (Nur, 1993: 61)
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits
walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah,
sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَا حَ اِلاَ بِوَلِيِّ وَ شَا هِدَي عَدْلٍ
“Tidak sah suatu akad nikah kecuali
(dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan
Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah
perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi
(bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi
dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi
sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya
informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa
ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan
saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung
informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam
proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan
kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah
aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah
dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah
mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi
sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan
pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah
yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1
(26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara
yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan
dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24
KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan,
bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan
tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1)
menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka
Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah
atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami
istri, jaksa dan suami atau istri”.
2.
Hukum Menyaksikan Akad
Nikah
Para Imam mazhab sepakat bahwa
kesaksian merupakan syarat dalam pernikahan.
Kehadiran saksi dalam akad nikah,
adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama.
Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran
saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan
(diumumkan) kepada orang banyak. Namun pemberitahuan itu sebelum mereka
bercampur. Apabila kedua suami istri itu telah bercampur sebelum disaksikan
(diketahui) oleh orang lain, maka keduanya harus dipisahkan (fasakh).
Menurut pendapat yang mu’tamad di
kalangan Malikiyah (bukan Imam Maliki), saksi menjadi syarat sah suatu
perkawinan.
Adapun yang menjadi dasar adalah
hadis Aisyah, Nabi berkata:
“Tidak sah nikah tanpa wali
dan dua orang saksi yang adil”.
(HR. Dara Quthny dan Ibnu Hibban).
Kehadiran saksi pada saat akad nikah
amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga,
terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan
suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak
menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Mengenai saksi dalam akad nikah, Abu
Hanifah mempunyai pandangan, bahwa akad nikah dianggap sah, walaupun dihadiri
oleh dua orang saksi yang fasik, sebab tujuan dari saksi itu dihadirkan untuk
memberitahukan pernikahan itu telah dilangsungkan. Sedangkan Imam Syafii
berpendapat, saksi itu harus orang yang adil, tidak boleh fasik.
Syafiiyah dan Hanabilah mensyariatkan
laki-laki yang menjadi saksi. Sebagaimana sabda Nabi saw.:
“ Wanita tidak
boleh menjadi saksi dalam masalah hudud (had), nikah dan talak. ” (HR. Abu ‘Ubaid).
Golongan Hanafiyah tidak
mensyariatkan laki-laki menjadi saksi. Mereka berpendapat, saksi boleh dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua wanita, sebagaimana fiman Allah
al-baqarah ayat 282:
“ Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai. ” (Al-Baqarah:
282)
Berkenaan dengan masalah ini Ibnu
Abi Laila, Abu Tsaur dan Abu Bakar al-‘Asham mengatakan, saksi tidak
disyariatkan pada pernikahan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan
pernikahan, tidak menyebutkan saksi sebagaimana ayat jual beli, utang piutang.
Allah berfirman: an-Nisa:3 dan
an-Nur: 32
“ Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. ”
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“ Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hama-hamba sahayamu yang perempuan. “ (QS. An-Nur 32)
Dalam kedua ayat tersebut tidak
disinggung mengenai saksi dalam pernikahan. Mereka memandang bahwa saksi tidak
menjadi syarat sah nikah, namun memberitahukan pernikahan itu seperti resepsi
dan acara lainnya hukumnya sunah. (Hasan, 2000: 145-149)
3. Syarat-Syarat Saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang
saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari
pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus
memenuhi syarat sebagai berikut: (Syarifudin, 2009: 83)
1)
Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut
kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi
saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
2)
Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah
mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati
pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha
dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3)
Berakal
Orang
gila tidak dapat dijadikan saksi.
4)
Mendengar Dan Memahami
Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab
qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
5)
Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad
nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
6)
Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur:
kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya
mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali
empat orang.
7)
Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya
dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain
hanafiyah.
8)
Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat
melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal
dia dapat mendengar dengan baik ijab qabul itu dan dapat membedakan suara wali
dan calon pengantin laki-laki.
1)
Pengaruh, Fungsi dan Tanggung
Jawab Saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting
artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama
menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami
mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak
menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah
menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu.
Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara
halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan
terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh
cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan.
Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam
keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh
masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul
‘ursy). (Hasan, 1997: 153)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tentang wali dan saksi diatas, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak
mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang
dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah. Dan macam-macam wali antara lain
seperti; (1) wali nasab, (2) wali hakim, (3) wali tahkim, (4) wali maula dan
(5) wali ‘adal.
2.
Menurut jumhur ulama, sebuah
pernikahan tidak sah jika tidak ada wali maka dari itu kedudukan wali adalah
syarat sah nya pernikahan dan termasuk rukun didalam pernikahan. Dan syarat-
syarat menjadi wali antara lain seperti; (1) Al-wilâyah al-ijbâriyyah ( الولاية الإجبارية, kekuasaan
memaksa) dan (2) Al-wilâyah al-ikhtiyâriyyah (الولاية الإختيارية , kekuasaan
sukarela).
3.
Saksi pernikahan adalah
orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggung jawabkan secara apa
adanya didalam akad pernikahan. Sedangkan hukum menyaksikan akad nikah adalah Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah
sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah
wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Menurut pendapat yang mu’tamad, saksi menjadi syarat sah suatu
perkawinan.
4.
Adapun syarat-syarat menjadi saksi antara
lain; (1) Islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mendengar dan memahami ucapan
ijab qabul, (5) laki-laki, (6) bilangan jumlah saksi, (7) adil, (8) melihat dan
(9) berpengaruh, memiliki fungsi dan tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
As-Sayyid as-Sabiq. Fiqh as-Sunnah. 2010. Mesir: Dar Al-Fikr.
Syaikh Muhammad bin
Ibrahim At-Tuwaijri. Ringkasan Fiqih Islam. 2013. Jakarta: Terjemahan
Islamhouse.com
Nur, Djamaan, Fiqh
Munakahat. 1993. Semarang: Dina Utama.
Hasan, M. Ali. Perbandingan
Mazhab Fiqh Cet 1. 2000. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Hasan, M. Ali. Perbandingan
Mazhab Fiqh Cet 1. 1997. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
Syarifudin, Amir.
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3. 2009. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
#makalah s1 syariah dan hukum UIN Rafah