Saturday, 28 November 2015

Wali dan Saksi (Munakahat Perbandingan)

Wali dan Saksi
Oleh: Iswahyudi

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menikah dan kehidupan berkeluarga merupakan salah satu sunnatullah terhadap makhluk, yang mana dia merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam dunia kehidupan hewan serta tumbuh-tumbuhan.
Adapun manusia: bahwasanya Allah tidak menjadikannya seperti apa yang ada pada kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat, bahkan menentukan beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya, memelihara kemuliaan dan menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan pernikahan syar'i yang menjadikan hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita merupakan hubungan mulia, dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab kabul, kelembutan serta kasih sayang. (Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam [Islamhouse.com], hal. 4).
Untuk mewujudkan pernikahan yang Syar’i tentu harus adanya rukun dan syarat dalam suatu akad nikah. Karena hal tersebut merupakan suatu bentuk sah atau tidaknya suatu pernikahan. Adapun rukun dan syarat pernikahan itu ada beberapa bagian, termasuk Wali dan Saksi.
Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai Wali dan Saksi serta Perbandingan beberapa Imam Madzhab berkenaan masalah yang ada dalam lingkup Wali dan Saksi. Hal ini bertujuan agar Mahasiswa bisa memahami sisi perbedaan dan perbandingan mengenai wali dan saksi sehingga mampu menilai mana dalil-dalil yang lebih sharih yang telah diajukan oleh para Imam Mazhab.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis mengambil beberapa rumusan masalah dalam mengupas dan membahas makalah ini, yaitu:
1.      Apa pengertian wali dan macam-macamnya?
2.  Bagaimana kedudukan wali dalam nikah menurut Imam mazhab dan syarat-syarat menjadi wali?
3.      Apa pengertian saksi dan hukum menyaksikan akad nikah?
4.      Apa syarat-syarat menjadi wali?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    WALI
1.      Pengertian Wali
Secara bahasa, wali bisa berarti rasa cinta (mahabbah) dan pertolongan (nushrah), bisa juga berarti kekuasaan (sulthah) dan kekuatan (qudrah). Ini berarti, seorang wali adalah orang yang menolong atau orang yang memiliki kekuasaan. Sedang menurut istilah, ada beberapa pengertian mengenai wali, yaitu:
1)      Orang yang menurut hukum diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum mereka dewasa (dalam Pasal 107 KHI);
2)      Pengasuh pengantin perempuan pada pernikahan (akad nikah);
3)      Orang shaleh penyebar agama;
4)      Kepala pemerintahan.
Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali dalam Al-Fiqh 'ala Madzaahib Al-Arba'ah : "Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya (wali)”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

2.      Macam-macam Wali Pernikahan
Wali dalam pernikahan ada beberapa macam, yaitu:

a)      Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena adanya hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab, terdapat perbedaan pendapat.
Imam Syafi`i memegangi keashabahan. Beliau berpendapat bahwa anak laki-laki tidak termasuk ashabah seorang wanita. Menurut Imam Syafi`i, suatu pernikahan baru dianggap sah, bila dinikahkan oleh wali yang dekat lebih dulu. Bila tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Maka selanjutnya bila wali jauh pun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali.
Imam Abu Hanifah mengemukakan, semua kerabat si wanita itu, baik dekat maupun jauh dibenarkan menjadi wali nikah.
Imam malik berpendapat keluarga dekat lebih berhak untuk menjadi wali. Selanjutnya beliau mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama, kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah seibu, kemudian saudara laki-laki seayah saja, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara-saudara lelaki seayah saja, lalu kakek dari pihak ayah, sampai ke atas.
Al-Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama daripada saudara laki-laki dan anaknya saudara laki-laki, karena kakek adalah asal, kemudian paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan saudara-saudara lelaki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula), kemudian penguasa.
Jumhur Ulama membagi wali nasab dalam dua jenis, yaitu wali dekat (wali Qarib) dan wali jauh (wali Ab’ad).

b)      Wali Hakim
Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadhi. Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: kepala pemerintahan, Khalifah (pemimpin), Penguasa atau qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.
Apabila tidak ada orang-orang tersebut, maka wali hakim dapat diangkat oleh orang-orang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang `alim. Bila ayah atau keluarga dekatnya tidak ada, maka Raja atau Amir atau penguasa dapat menjadi walinya.
Adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak ada wali nasab.
2) Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab dan wali ab`ad.
3) Wali aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh ± 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4) Wali aqrab dipenjara atau tidak bisa ditemui.
5) Wali aqrabnya adol.
6) Wali aqrabnya mempersulit.
7) Wali aqrab sedang ihram.
8) Wali aqrabnya sendiri akan menikah.
9) Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa dan wali mujbir tidak ada.

c)      Wali Tahkim
Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun cara pengangkatannya (cara tahkim) adalah: calon suami mengucapkan tahkim, “Saya angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya pada si … (calon istri) dengan mahar … dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “Saya terima tahkim ini.”.
Wali tahkim terjadi apabila:
1) Wali nasab tidak ada,
2) Wali nasab gaib atau bepergian sejauh dua hari perjalanan serta tidak ada wakilnya di situ,
3) Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
d)     Wali Maula
Wali maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan di sini yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
e)         Wali ‘adal
Wali ‘Adal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang telah balig dan berakal dengan seorang lelaki pilihannya sedangkan masing-masing pihak menginginkan pernikahkan itu dilangsungkan. Para fuqaha menyatakan bahwa apabila seorang wanita yang telah baligh dan berakal meminta walinya untuk menikahkannya dengan lelaki pilihannya yang sepada (sekufu’) maka wali tersebut tidak boleh menolak permintaan-nya itu. Lihat QS 2:232.
Seorang wali dikatakan enggan (‘adal) apabila: 1) wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan lelaki yang sepadan dengannya padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya itu, baik penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya maupun tidak, dan b) wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengan wanita itu sedangkan wanita itu meminta walinya supaya menikahkannya dengan lelaki pilihannya. Jika walinya ‘adal maka hak perwaliannya berpindah kepada wali yang jauh. Jika seluruh wali yang ada ‘adal maka hak perwalian itu berpindah kepada wali hakim.
3.      Pendapat Ulama tentang Kedudukan Wali dalam Pernikahan
Menurut jumhur ulama, sebuah pernikahan tidak sah jika tidak ada wali.
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.”
Mereka berpendapat bahwa jika seorang wanita menikahkan dirinya sendiri maka hukumnya tidak sah. Dasarnya HR. Ibn Majah dan Daruqutni dari Abu Hurairah: ”Wanita tidak boleh menikahkan wanita lain dan tidak boleh pula menikahkan dirinya sendiri.”
HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmizi, Hakim dari Aisyah: “Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal (3x)." Apabila telah terjadi hubungan suami istri maka laki-laki itu wajib membayar mahar atas sikapnya yang telah menghalalkan kehormatan wanita tersebut. jika wali enggan menikahkan seorang wanita maka pihak penguasa (hakim) bertinak sebagai wali bagi wanita uang tidak mempunyai wali.”
Imam Asy-Syafi’i mengemukakan alasan yaitu QS 2:232 “…maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…” yang menurutnya merupakan ayat yang paling tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Apabila wali tidak menjadi syarat sah dalam pernikahan maka larangan Allah kepada wali dalam ayat ini tidak akan ada artinya.
Dalam hal ini ulama Hanafiyah berbeda dengan jumhur. Menurutnya, wali tidak termasuk salah satu syarat perkawinan. Artinya seorang wanita yang sudah balig dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri atau anak perempuannya, atau bahkan menjadi wakil dalam pernikahan. Akan tetapi jika laki-laki yang akan dinikahi oleh wanita tadi tidak sepadan atau sebanding (sekufu) dengannya maka wali berhak untuk menghalangi dan menggagalkan pernikahan tersebut. Hal ini disebabkan karena keberadaan wali dalam suatu pernikahan hanyalah bersifat penyempurna dan anjuran semata, bukan menjadi syarat dah suatu pernikahan. Mereka memahami hadis lâ nikâha illâ bi waliyyin bukan berarti ‘tidak sah’ tetapi ‘tidak sempurna’ karena lâm an-nâfiyyah pada hadis tersebut berarti ’tidak sempurna’. Oleh karena itu, menurut mazhab Hanafiyah ini, keberadaan wali dalam suatu pernikahan hanyalah dianjurkan saja, tidak diwajibkan. Lagi pula, menurut mereka, hadis tentang wali tersebut semuanya termasuk hadis âhâd padahal pernikahan itu menyangkut kepentingan orang banyak bahkan menyangkut permasalahan setiap orang. Oleh karena itu tidak mungkin hanya disampaikan kepada seorang sahabat saja, yakni Abui Hurairah. Hal ini mengandung indikasi yang menunjukkan bahwa hadis tersebut dipalsukan atau dinisbahkan kepada Abu Hiurairah saja. Alasan lain, QS 2:232 itu maknanya ditujukan kepada suami, bukan kepada wali. Demikian pula QS 2:230 dan 234 yang membangsakan kepada wanita. Menurut mazhab Hanafiyah, hal ini menunjukkan bahwa wanita berhak menikahkan dirinya sendiri. Lebih lanjut HR Muslim dari Ibn Abbas: “janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan wanita perawan [yang belum pernah kawin] dimintakan izinnya, dan izinnya itu adalah diamnya” dan HR Bukhati-Muslim: “jangan dinikahkan para janda sebelum dimintai pendapatnya (dimusyawarahkan dengan mereka) dan perawan itu tidak dinikahkan sebelum dimintakan izinnya. Bagaimana izinnya? Rasuluulah menjawab: izinnya adalah diammnya.” Menurut mazhab ini, kedua hadis ini secara tegas menunjukkan bahwa wanita yang tidak bersuami lagi (janda) dan gadis mempunyai hak yang sama dalam masalah pernikahannya sehingga wali harus lebih dahulu meminta pendapat wanita tersebut dan meminta izin si gadis untuk menikahkannya.
4.      Syarat menjadi wali:

Cakap bertindak hukum, Merdeka, Muslim, Laki-laki, Adil, cerdas, Tidak dalam keadaan ihram. (As-sayyid as-Sabiq, Fiqh as-Sunnah).
Fuqaha membagi perwalian ini dari segi ‘kekuasaan menikahkan’ seseorang yang ada di bawah perwaliannya menjadi dua bentuk:
1.        Al-wilâyah al-ijbâriyyah ( الولاية الإجبارية, kekuasaan memaksa): wali mujbir.
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai kewenangan langsung/ mut-lak untuk menikahkan orang yang ada di bawah perwliannya meskipun tanpa seizin orang itu. Adapun orang yang dapat ‘dipaksa’ menikah oleh wali mujbir ini adalah:
a.       Orang yang tidak memiliki atau kehilangan kecakapan bertindak hukum (anak kecil dan orang gila).
b.      Wanita yang masih perawan tetapi belum balig dan berakal.
c.       Wanita yang telah kehilangan keperawanannya, baik karena sakit, terjatuh, ataui pun berzina.
2.      Al-wilâyah al-ikhtiyâriyyah (الولاية الإختيارية , kekuasaan sukarela): wali mukhtâr
Wali mukhtar adalah wali yang tidak memliki kekuasanaan dan kewe-nangan untuk menikahkan orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah. Ulama Hanafiyah hanya mengakui keberadaan wali mujbir saja sedangkan keberadaan wali mukhtar hanyalah dianjurkan bagi wanita yang telah baligh dan berakal, baik wanita itu masih perawan maupun sudah janda. Menurut mereka, wanita seperti ini boleh mengawinkan dirinya sendiri secara sadar dan suka rela. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (jilid VII)).

A.    SAKSI

1.      Pengertian Saksi

Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya. (Nur, 1993: 61)
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَا حَ اِلاَ بِوَلِيِّ وَ شَا هِدَي عَدْلٍ
 “Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’.
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad  nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.

2.         Hukum Menyaksikan Akad Nikah
Para Imam mazhab sepakat bahwa kesaksian merupakan syarat dalam pernikahan.
Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Namun pemberitahuan itu sebelum mereka bercampur. Apabila kedua suami istri itu telah bercampur sebelum disaksikan (diketahui) oleh orang lain, maka keduanya harus dipisahkan (fasakh).
Menurut pendapat yang mu’tamad di kalangan Malikiyah (bukan Imam Maliki), saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan.
Adapun yang menjadi dasar adalah hadis Aisyah, Nabi berkata:
 “Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Dara Quthny dan Ibnu Hibban).
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo.
Mengenai saksi dalam akad nikah, Abu Hanifah mempunyai pandangan, bahwa akad nikah dianggap sah, walaupun dihadiri oleh dua orang saksi yang fasik, sebab tujuan dari saksi itu dihadirkan untuk memberitahukan pernikahan itu telah dilangsungkan. Sedangkan Imam Syafii berpendapat, saksi itu harus orang yang adil, tidak boleh fasik.
 Syafiiyah dan Hanabilah mensyariatkan laki-laki yang menjadi saksi. Sebagaimana sabda Nabi saw.:
 “ Wanita tidak boleh menjadi saksi dalam masalah hudud (had), nikah dan talak. (HR. Abu ‘Ubaid).
Golongan Hanafiyah tidak mensyariatkan laki-laki menjadi saksi. Mereka berpendapat, saksi boleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua wanita, sebagaimana fiman Allah al-baqarah ayat 282:

 “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai. ” (Al-Baqarah: 282)
Berkenaan dengan masalah ini Ibnu Abi Laila, Abu Tsaur dan Abu Bakar al-‘Asham mengatakan, saksi tidak disyariatkan pada pernikahan, karena ayat-ayat yang berhubungan dengan pernikahan, tidak menyebutkan saksi sebagaimana ayat jual beli, utang piutang.
Allah berfirman: an-Nisa:3 dan an-Nur: 32
  Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
 “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hama-hamba sahayamu yang perempuan. (QS. An-Nur 32)

Dalam kedua ayat tersebut tidak disinggung mengenai saksi dalam pernikahan. Mereka memandang bahwa saksi tidak menjadi syarat sah nikah, namun memberitahukan pernikahan itu seperti resepsi dan acara lainnya hukumnya sunah. (Hasan, 2000: 145-149)

3.    Syarat-Syarat Saksi
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut: (Syarifudin, 2009: 83)
1)      Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
2)      Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.
3)      Berakal
       Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
4)      Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
5)      Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
6)      Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
7)      Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
8)      Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik ijab qabul itu dan dapat membedakan suara wali dan calon pengantin laki-laki.
1)        Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy). (Hasan, 1997: 153)  


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Dari pembahasan makalah tentang wali dan saksi diatas, dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah. Dan macam-macam wali antara lain seperti; (1) wali nasab, (2) wali hakim, (3) wali tahkim, (4) wali maula dan (5) wali ‘adal.
2.    Menurut jumhur ulama, sebuah pernikahan tidak sah jika tidak ada wali maka dari itu kedudukan wali adalah syarat sah nya pernikahan dan termasuk rukun didalam pernikahan. Dan syarat- syarat menjadi wali antara lain seperti; (1) Al-wilâyah al-ijbâriyyah ( الولاية الإجبارية, kekuasaan memaksa) dan (2) Al-wilâyah al-ikhtiyâriyyah (الولاية الإختيارية , kekuasaan sukarela).
3.    Saksi pernikahan adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggung jawabkan secara apa adanya didalam akad pernikahan. Sedangkan hukum menyaksikan akad nikah adalah Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi menjadi syarat sah akad nikah. Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Menurut pendapat yang mu’tamad, saksi menjadi syarat sah suatu perkawinan.
4.    Adapun syarat-syarat menjadi saksi antara lain; (1) Islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, (5) laki-laki, (6) bilangan jumlah saksi, (7) adil, (8) melihat dan (9) berpengaruh, memiliki fungsi dan tanggung jawab.


DAFTAR PUSTAKA


As-Sayyid as-Sabiq. Fiqh as-Sunnah. 2010. Mesir: Dar Al-Fikr.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri. Ringkasan Fiqih Islam. 2013. Jakarta: Terjemahan Islamhouse.com

Nur, Djamaan, Fiqh Munakahat. 1993. Semarang: Dina Utama.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab Fiqh Cet 1. 2000. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab Fiqh Cet 1. 1997. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet. 3. 2009. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


 #makalah s1 syariah dan hukum UIN Rafah
loading...