Wednesday, 13 January 2016

WARISAN ORANG HILANG (MAFQUD) MENURUT ULAMA FARAID

WARISAN ORANG HILANG (MAFQUD) MENURUT ULAMA FARAID
Oleh: Muhammad Rois
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Dalam kajian fikih Islam, penentuan status orang hilang atau Mafqud, apakah yang bersangkutan masih hidup atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut banyak aspek, salah satunya adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil asobah. Sedangkan sebagai pewaris, tentu ahli warisnya memerlukan kejelasan status kewafatannya, karena status ini merupakan salah satu syarat untuk dapat dikatakan bahwa kewarisan mafqud bersangkutan sebagai telah terbuka.
Para ahli Faraidl memberikan batasan atau arti mafqud ialah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, tempat tinggalnya (domisilinya) dan tidak diketahui pula tentang hidup dan matinya. Pembahasan warisan orang hilang (mafqud) ini termasuk bagian miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai dengan cara/jalan perkiraan seperti waris khuntsa (wadam) dan waris anak dalam kandungan.
Dalam masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, MA. menyatakan bahwa kedudukan hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang (dianggap) hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, sehingga dapat diketahui dengan jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati atau hidupnya.


  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulisan makalah ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas melalui rumusan masalah yang nantinya akan menjadi pembahsan pada makalah ini :
  1. Apa pengertian dari mafqud ?
  2. Bagaimana status hukum mafqud dan batas waktunya ?
  3. Bagaimana metode pembagian harta waris bagi orang yang mafqud ?


BAB II
PEMBAHASAN


Sebelum penyusun membahas inti dari makalah ini, tidak ada salahnya jika kami mengingat kembali tentang definisi Waris yang pada semester sebelumnya kita pernah pelajari, kalau kita tarik kesimpulan dari beberapa pakar hukum serta referensi, dapat kita fahami  bahwa, warisan merupakan harta peninggalan orang yang sudah meninggal dunia yang di bagikan kepada semua ahli waris yang sesuai dengan ketentuan syari’at Islam, perdata maupun adat.
 
  1. Pengertian Kata Mafqud
Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu, ada yang mengartikan mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal. Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.
Mereka mensistematiskan pembahasan mafqud ini dalam bagian “miratsuts taqdiry”, yaitu pusaka mempusakai dengan jalan perkiraan, seperti pusaka khuntsa, dan anak dalam kandungan (janin).
Al-Mafqud adalah orang yang tidak diketahui beritanya karena telah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Dalam keadaan yang serba tidak jelas demikian, sudah tentu perlu diambil langkah-langkah untuk mengetahuinya, atau paling tidak menetapkan status hukumnya. Apakah melalui cara lain. Dalam konteks pewarisan, al-mafqud dapat berperan sebagai muawarris apabila ternyata dalam kepergiannya meninggalkan harta sementara ahli waris lain bermaksud memanfaatkannya. Dapat juga bertindak sebagai ahli waris, manakala ada saudara yang meninggal dunia.
Dengan demikian mafqud berarti orang yang hilang. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Contohnya adalah seorang pembisnis yang pergi berbisnis ke suatu daerah yang tengah dilanda perang, para relasinya yang dihubungi tidak diketahui keberadaannya, karena, menurut mereka, pembisnis tersebut telah pulang ke negerinya, sedangkan keluarganya di rumah menyatakan bahwa ia telah lama tidak pulang. Contoh lainnya adalah seorang yang merantau ke negara lain, baik dalam rangka melakukan studi atau kegiatan lainnya dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui secara pasti keberadaannya.
Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan, hak-hak orang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan. Para  ulama sepakat menetapkan bahwa harta si al-mafqud ditahan dahulu sampai ada berita yang jelas. Persoalannya sampai kapan penagguhan semacam ini, mereka berbeda pendapat apakah ditetapkan berdasarkan perkiraan waktu saja, atau diserahkan kepada ijtihad hakim. Dan apabila diserahkan kepada hakim, kapan ia dapat memberi putusan hukum.
  1. Status Hukum Mafqud dan Batasannya
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud yaitu:
  1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik  yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah
الثا بت بالبينة كالثا بت بالمعا ينة
“yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan”.
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati hakiki.
  1. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi atau menetapkan kematian bagi si mafqud yaitu:
  1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah empat tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan: “Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia.” (HR. Bukhari dan Syafi’i)
  2. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
  3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur  90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 90 tahun.”
  4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat situasi hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas dua situasi:
  1. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
  2. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menuntut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-Nya.
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan atau menghukumi status bagi mafqud tersebut dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum masih bersifat masih dapat diperdebatkan. Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli warisnya. Menurut para ulama  setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia pada waktu keluarnya penetapan hakim.
Menurut pendapat yang shaheh, apabila sudah berlalu sekian masa, lalu hakim menetapkan bahwa orang yang tidak ada beritanya seperti itu biasanya sudah tidak hidup lagi, maka harta peninggalannya boleh dibagi-bagi oleh ahli warisnya pada saat hakim memberi ketetapan (keputusan).
  1. Metode Pembagian Hak Warisan Orang Yang Mafqud
Sebelum membahas secara lebih lanjut terkait dengan permasalahan hak waris orang hilang perlu diadakan pemisahan dalam fungsinya:
  1. Sebagai muwarits, orang yang mewariskan harta peninggalannya kepada para ahli waris
  2. Sebagai warits, orang yang mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia
Pertama, sebagai mawarits (yang mewariskan). Para ulama sepakat menetapkan bahwa harta milik si mafqud itu harus ditahan lebih dahulu sampai ada berita yang jelas bahwa ia benar-benar telah meninggal dunia atau diberi vonis oleh hakim tentang kematiannya. Selama belum jelas atau belum ada vonis hakim tentang kematiannya, harta miliknya tidak boleh dibagi-bagikan kepada para ahli warisnya. Mereka mengemukakan dua alasan sebagai berikut:
  1. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu syarat pusaka mempusakai itu adalah adanya kematian si muwarris, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Padahal si mafqud masih diragukan tentang kematiannya.
  2. Membagi-bagikan harta milik si mafqud kepada ahli warisnya atas dasar ke-ghaibannya semata-mata, padahal ada kemungkinan ia masih hidup, adalah membahayakan (merugikan) padanya. Bahaya itu harus ditolak secara mutlak. Sebab menurut dalil “istishhabul-hal” ia masih hidup. Oleh karena itu ia masih mempunyai hak milik penuh terhadap harta bendanya.
Maka dari paparan di atas dapat diambil sebuah pemahaman, jika pada suatu waktu ia muncul kembali dalam keadaan hidup, sudah barang tentu ia dapat mengambil kembali seluruh harta bendanya yang sedang ditahan.tetapi kalau dia benar-benar telah meninggal dunia atau telah divonis oleh hakim tentang kematiannya para ahli waris yang masih hidup disaat kematiannya yang hakiki maupun yang hukmi, dapat mewarisi harta bendanya yang sedang ditahan.
Kedua, sebagai warits (yang mewarisi). Kebanyakan para fuqaha’ sependapat bahwa bagian si mafqud yang bakal diterimakan kepadanya ditahan dahulu, sampai jelas persoalannya. Hal itu disebabkan karena:
  1. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu syarat mempusakai bagi orang yang mewarisi itu ialah hidupnya orang yang mewarisi disaat kematian orang yang mewariskan. Padahal hisupnya mafqud, yang mewarisi masih diragukan.
  2. Memberikan harta pusaka kepadanya beserta adanya kemungkinan kematiannya adalah menimbulkan bahaya  (kerugian) bagi para ahli waris. Bahaya itu harus dielakan sesuai dengan prinsip agama islam “la dharara wa la dhirara” (tidak mengandung bahaya dan tidak pula membuat bahaya). Satu-satunya jalan untuk menghindarkan bahaya bagi para ahli waris itu ialah menganggap kematian si mafqud.
Lantas, bagaimana nasibnya apabila pada suatu waktu ia muncul dalam keadaan hidup ?
Pertama, jika ia muncul dalam keadaan hidup, sebelum adanya vonnis hakim atau sesudah adanya vonnis hakim tetapi harta peninggalan belum dibagi-bagikan kepada para ahli waris, maka ia berhak mengambil bagiannya yang sedang ditahan oleh ahli waris yang memang disediakan untuknya.
Kedua, jika ia muncul dalam keadaan hidup, sesudah adanya vonnis dari hakim tentang kematiannya dan harta peninggalan sudah dibagi-bagikan kepada para ahli waris, sampai bagian yang ditahan untuk si mafqud sekalipun, maka ia berhak mengambil sisa bagiannya yang tinggal pada tangan ahli waris. Ini berarti jika bagiannya yang telah dibagi-bagikan kepada ahli waris itu telah habis atau telah rusak hingga tak ada sisa sedikitpun, para ahli waris tidak dimintai pertanggung jawaban untuk menggantinya atau menukarnya. Sebab dengan adanya putusan hakim tentang kematiannya, walaupun putusan hakim tersebut ternyata kemudian tidak sesuai dengan kenyataannya itu tidak dapat membatalkan hak para ahli waris untuk memiliki dan mentransaksikan harta milik sesuai dengan putusan, selain harta peninggalan yang masih tinggal pada mereka.
Untuk mempermudah membantu pemahaman dalam hak warisan bagi orang yang mafqud, maka dalam hal ini penulis juga mengetengahkan sebuah contoh sebagai berikut:
Contoh, Seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami, saudara perempuan sekandung dan saudara laki-laki sekandung yang hilang. Si mayit meninggalkan harta sebesar Rp. 12.000.000 berapakah jumlah harta warisan yang diperoleh setiap ahli waris dan berapakah jumlah harta warisan yang ditangguhkan pembagiannya untuk orang yang hilang?
  • Jika orang yang hilang (saudara laki-laki sekandung) diperkirakan masih hidup.
No
Ahli Waris
Bagian
AM. 2
HW. 12 jt
    Penerima
1
Suami
   ½
   1
1/2 x 12 jt
Rp. 6.000.000
2
Saudara skd pr
ع .  ب
   1
1/3 x  6 jt
Rp. 2.000.000
3
Saudara skd lk2
    (hidup)
ع .  ب

2/3 x  6 jt
Rp. 4.000.000
Jumlah

MS. 2

Rp. 12.000.000


  • Kedua jika orang yang hilang (saudara laki-laki sekandung) diperkirakan sudah meninggal
No
Ahli Waris
Bagian
AM. 2
HW. 12 jt
Penerima
1
Suami
   ½
  1
1/2 x 12 jt
Rp. 6.000.000
2
Saudara skd pr
   ½
  1
1/2 x 12 jt
Rp. 6.000.000
3
Saudara skd lk2          (telah mati)
   -
   -
      -
          -
Jumlah

MS. 2

Rp. 12.000.000


Contoh lain lagi misalkan; Seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dua saudara perempuan sebapak dan saudara laki-laki sebapak yang hilang. Si mayit meninggalkan harta sebesar Rp. 48.000.000 berapakah jumlah harta warisan yang diperoleh setiap ahli waris dan berapakah jumlah harta warisan yang ditangguhkan pembagiannya untuk orang yang hilang?
  • Jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan masih hidup.
No
Ahli Waris
Bagian
AM 6
HW. 48 jt
Penerima
1
Suami
   ½
  3
3/6 x 48 jt
Rp. 24.000.000
2
Ibu
  1/6
  1
1/6 x 48 jt
Rp. 8.000.000
3
2 Saudara pr se Bpk
ع 0 ب
  2
2/4 x 48 jt
Rp. 8.000.000
4
Saudara lk2 se Bpk (hidup)
ع 0 ب   
  
2/4 x 48 jt
Rp. 8.000.000
Jumlah

MS. 6

Rp. 48.000.000
*2 saudara perempuan se-bapak @ Rp. 4.000.000
  • Kedua jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan sudah meninggal


No
Ahli Waris
Bagian
AM 6
HW.48 jt
Penerima
1
Suami
   ½
  3
3/8 x 48 jt
Rp. 18.000.000
2
Ibu
  1/6
  1
1/8 x 48 jt
Rp.   6.000.000
3
2 Saudara pr se Bpk
  2/3
  4
4/8 x 48 jt
Rp. 24.000.000
Jumlah

MS. 8

Rp. 48.000.000


Dengan demikian harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya karena tidak terpenuhi-nya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya (mati hakiki) maupun mati secara hukum. Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui empat tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum empat tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, jika status si mafqud itu sebagai muwarits, maka ia harus dianggap masih hidup dan jika mafqud itu sebagai warits, maka ia harus dianggap sudah mati. Atau dengan istilah lain dapat dikatakan jika harta benda yang bakal diwarisi itu masih bersangkutan dengan harta benda miliknya sendiri, ia harus dianggap masih hidup, dan jika harta benda itu bersangkutan dengan harta benda orang lain, ia dianggap sudah mati, sampai ada bukti yang jelas tentang kematiannya atau ada vonnis dari hakim tentang kematiannya. Dengan memperhatikan dahulu ketentuan-ketentuan berikut:
  1. Jika si mafqud berstatus sebagai ahli waris yang dapat menghijab hirman para ahli waris yang lain.
  2. Jika si mafqud sebagai ahli waris yang tak dapat menghijab hirman ahli waris yang lain, tetapi ia bersama-sama mewarisi, maka bagian si mafqud saja yang ditahan, sedangkan bagian ahli waris yang lain diberikan.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Dan menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan, hak-hak orang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud yaitu:
  1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik  yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum
  2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
permasalahan hak waris orang hilang perlu diadakan pemisahan dalam fungsinya:
  1. Sebagai muwarits, orang yang mewariskan harta peninggalannya kepada para ahli waris
  2. Sebagai warits, orang yang mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia


DAFTAR PUSTAKA


Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Raja Grafindo, Jakarta, 2002.
Rahman, Ftchur, Ilmu Waris, (Bandung: PT Alma’arif, 1975),
Aziz, Abdul, Ensiklopedia Hukum Islam I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997.
Zaidun, Achmad dan Asrori, Ma’ruf, Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid II, Bina Ilmu, Surabaya, 1997
Lubis, Suhrawardi K. Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Aldizar, Addys, Hukum Waris, (Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004). #makalah_prodi_perbandinganmazhab&hukum_syariah_dan_hukum_UIN_RAFAH

loading...