Saturday 16 January 2016

Asas Legalitas - Fiqh Jinayah

Asas Legalitas
Oleh: Jamiatul Husnaini, Yulita B.F & Eka Yanti

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam KUHP pasal 1 ayat (1) dinyatakan: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada pada umumnya.”
Hal di atas merupakan suatu pengertian dari asas legalitas menurut hkum pidana. Asas legalitas (nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali) berarti tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu.
Asas legalitas tidak hanya terdapat dalam hukum pidana, namun jauh sebelum asas legalitas ditemukan pada sekitar abad XVIII Islam telah mengaturnya terlebih dahulu. Dengan demikian, Islam selalu update dan mengikuti perkembangan zaman.
Dalam Islam telah dikenal asas legalitas begitupun dalam hukum positif, apakah dari kedua asas legalitas tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan serta perbandingannya. Oleh karena itu, Penulis membuat makalah mengenai asas legalitas dalam Hukum Islam.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah, rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan asas legalitas?
2.      Apa sumber hukum dari asas legalitas dalam hukum Islam?
3.      Bagaimana penjelasan mengenai penerapan asas legalitas dalam hukum Islam?
4.      Bagaimana pendapat para ulama mengenai lingkungan berlakunya aturan pidana?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Asas Legalitas
Secara etimologi, Legalitas Berasal dari bahasa Latin, dari kata benda ‘lex’ yang berarti ‘undang-undang’, atau dari kata jadiannya ‘legalis’ yang berarti ‘sah’ atau ‘sesuai dengan undang-undang’ dan ‘legalitas’ berarti ‘keabsahan sesuatu menurut undang-undang’. Dengan demikian, asas legalitas berarti “dasar keabsahan menurut undang-undang”. Asas legalitas secara terminologi adalah dasar pokok dari segala ketentuan pidana[1]. Sehubungan dengan asas ini, dalam KUHP pasal 1 ayat (1) dinyatakan: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.[2]
Dalam hukum pidana, asas legalitas dikenal dengan nama “Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali” yang berati “tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang pidana yang mengaturnya lebih dahulu”. Dalam kaitannya dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang-undang pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:[3]
1.      Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
2.      Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
3.      Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Dalam Syari’at Islam, istilah asas legalitas tidak ditemukan dalam hukum Islam, namun secara substansional hukum Islam menganut asas legalitas ini. Di antara kaidah-kaidah pokok yang berhubungan dengan asas tersebut adalah:
لا حكم لا فعال العقلاء قبل ورود النّص
“tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum ada nash atau ketentuan.”
Dari kaidah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan seseorang yang cakap (mukallaf) tidak mungkin dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran selama belum ada nash yang melarangnya, dan seseorang tersebut mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya hingga ada nash yang menentukannya.
الأصل في الأشياء الأباحه
“Pada dasarnya semua perkara dan perbuatan diperbolehkan.”
Dengan demikian, semua perbuatan dan semua sikap boleh dilakukan karena kebolehan dari syara’, selama belum ada nash yang melarangnya, maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan yang dilakukan itu.
Asas legalitas dalam pandangan ulama adalah suatu konsekuensi logis dari persyaratan seorang mukallaf (objek hukum). Syarat-syarat seorang mukallaf, yaitu:
1.      Pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum taklifi.
2.      Pelaku adalah orang yang pantas dimitai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman.
Adapun syarat untuk perbuatan yang diperintahkan, yaitu:
1.      Perbuatan itu mungkin untuk dikerjakan.
2.      Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yaitu berada dalam jangkauan kemampuan.
3.      Perbuatan tersebut diketahui oleh seorang mukallaf dengan sempurna, hal ini berarti:
a.       Pelaku mengetahui hukum taklifi, oleh sebab itu hukum tersebut harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak.
b.      Pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong orang tersebut untuk berbuat atau tidak berbuat. Dengan demikian, bahwa suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi mengenai hukumannya.

B.     Sumber Asas Legalitas
Asas legalitas dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an. Seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an dibawah ini.
مَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan kami tidak akan meng'azab (menghukum) manusia, sebelum kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15).
Allah SWT. tidak akan menjatuhkan suatu siksa atas umat manusia kecuali sudah ada penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-rasul-Nya, sedangkan beban yang diberikan kepada mereka adalah suatu hal yang disanggupi.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا ۚ وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَىٰ إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qashash: 59).
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Dan Al-Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al-An’am: 19).
Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat dalam syari’at Islam sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian syari’at Islam telah lebih dahulu mengenal asas ini dibandingkan dengan hukum positif yang baru mengenalnya pada akhir abad XVIII Masehi.

C.    Penerapan Asas Legalitas
1.      Penerapannya
Dalam syari’at Islam ada tiga cara penerapan asas legalitas, yaitu:
a.       Pada tindak pidana yang gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat, yaitu tindak pidana Hudud (hukuman yang ditetapkan batasannya oleh nash) dan Qishash (pembalasan yang setimpal), asas legalitas dilaksanakan secara teliti dengan mencantumkan satu-persatu hukuman bagi setiap tindak pidana.
b.      Pada tindak pidana yang tidak begitu berbahaya, yaitu tindak pidana Ta’zir, syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman. Bagi tindak pidana tersebut, syara’ hanya menyediakan sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi.
c.       Pada tindak pidana ta’zir yang diancam hukuman demi kemaslahatan umum, syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan macam tindak pidana, karena syari’at hanya mencakupkan dengan membuat suatu nash (ketentuan) umum yang bisa mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketentraman masyarakat.

2.      Lingkungan berlakunya Aturan Pidana
Secara teoritis, ajaran Islam itu untuk seluruh dunia. Akan tetapi, secara praktis sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, tidaklah demikian.
Para ulama terdahulu membagi dunia menjadi tiga klasifikasi:
a.       Negara-negara Islam
b.      Negara-negara yang berperang dengan negara Islam
c.       Negara-negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.
Dikalangan ulama terdapat tiga macam pendapat tentang masalah ini, yaitu:
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa aturan pidana hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negara muslim. Di luar negara muslim, aturan itu tidak berlaku lagi, kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan Haqq Al-Adamiy.
Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa sekalipun di luar wilayah negara muslim, aturan tidak berlaku. Akan tetapi, setiap yang dilarang tetap haram dilakukan, sekalipun dapat dijatuhi hukuman.
Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan-aturan pidana itu tidak terkait oleh wilayah, melainkan terikat oleh subjek hukum.
Berkaitan dengan hal ini, para ulama membahas lebih rinci lagi tentang ekstradisi atau penyerahan penjahat antar negara dan pengusiran pejabat. Hal ini menunjukkan bahwa serig terjadi suatu kejahatan tidak dapat ditanggulangi oleh suatu negara tertentu, kecuali dengan kerja sama antar negara.

BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan Rumusan masalah serta penjelasan dari makalah tersebut, dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1.      Legalitas berasal dari bahasa latin, ‘lex’ yang berarti ‘undang-undang’, ‘legalis’ berarti ‘sah’ atau ‘sesuai undang-undang’, dan ‘legalitas’ berarti ‘keabsahan sesuatu menurut undang-undang’. Jadi, asas legalitas berarti dasar keabsahan suatu perbuatan menurut undang-undang. Secara terminologi asas legalitas adalah dasar pokok dari segala ketentuan hukum pidana.
2.      Asas legalitas bersumber dari Al-Qur’an yang termaktub dalam QS.- Al- Isro’: 15, Al- Qashas: 59 dan Al-An’am: 19.
3.      Penerapan asas legalias yaitu mengenai tindak pidana yang gawat ( hudud dan qishas) dilaksanakan secara teliti, tindak pidana yang tidak begitu berbahaya (ta’zir) maka syara’ memberikan kelonggaran dalam penerapannya dalam hal ini hakim yang menentukan, serta pada tindak pidana ta’zir karena melanggar kemaslahatan umum syara’ juga memberikan kelonggaran.
4.      Lingkungan berlakunya aturan pidana;
a.       Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa aturan pidana hanya berlaku secara penuh diwilayah negara islam.
b.      Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa sekalipun diluar wilayah negara muslim, aturan tidak berlaku.
c.       Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan pidana tidak terkait oleh wilayah, melainkan terikat oleh subjek hukum.


DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Imaning. 2009. Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam), Palembang: Rafah Press.
KUHP dan KUHAP. 2012. Yogyakarta: Parama Publishing.
http://hukum.jogjakota.go.id/artikeldet.php?artikel_id=52 diakses pada Minggu, 16 maret 2014, pukul 18:06.



[1] Dra. Hj. Imaning Yusuf, Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam), (Palembang: Rafah Press, 2009), hlm. 41.
[2] KUHP dan KUHAP, (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), hlm. 11..
[3] http://hukum.jogjakota.go.id/artikeldet.php?artikel_id=52 diakses pada Minggu, 16 maret 2014, pukul 18:06.

___________________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...