Asas Legalitas
Oleh: Jamiatul Husnaini, Yulita B.F & Eka Yanti
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
KUHP pasal 1 ayat (1) dinyatakan: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
pada umumnya.”
Hal
di atas merupakan suatu pengertian dari asas legalitas menurut hkum pidana.
Asas legalitas (nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali)
berarti tidak ada tindak pidana jika belum ada undang-undang yang mengaturnya lebih
dahulu.
Asas
legalitas tidak hanya terdapat dalam hukum pidana, namun jauh sebelum asas
legalitas ditemukan pada sekitar abad XVIII Islam telah mengaturnya terlebih
dahulu. Dengan demikian, Islam selalu update dan mengikuti perkembangan zaman.
Dalam
Islam telah dikenal asas legalitas begitupun dalam hukum positif, apakah dari
kedua asas legalitas tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan serta
perbandingannya. Oleh karena itu, Penulis membuat makalah mengenai asas
legalitas dalam Hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
judul dan latar belakang masalah, rumusan masalah pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan asas legalitas?
2.
Apa sumber hukum dari asas legalitas dalam hukum Islam?
3.
Bagaimana penjelasan mengenai penerapan asas legalitas dalam hukum
Islam?
4.
Bagaimana pendapat para ulama mengenai lingkungan berlakunya aturan
pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asas Legalitas
Secara
etimologi, Legalitas Berasal dari bahasa Latin, dari kata benda ‘lex’ yang
berarti ‘undang-undang’, atau dari kata jadiannya ‘legalis’ yang berarti
‘sah’ atau ‘sesuai dengan undang-undang’ dan ‘legalitas’ berarti
‘keabsahan sesuatu menurut undang-undang’. Dengan demikian, asas legalitas
berarti “dasar keabsahan menurut undang-undang”. Asas legalitas secara
terminologi adalah dasar pokok dari segala ketentuan pidana[1].
Sehubungan dengan asas ini, dalam KUHP pasal 1 ayat (1) dinyatakan: “Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.[2]
Dalam
hukum pidana, asas legalitas dikenal dengan nama “Nullum delictum noella
poena sine praevia lege poenali” yang berati “tidak ada tindak pidana jika
belum ada undang-undang pidana yang mengaturnya lebih dahulu”. Dalam
kaitannya dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan
kepada undang-undang pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi
menjadi tiga yaitu:[3]
1. Nulla poena sine lege: tidak
ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
2. Nulla poena sine crimine: tidak
ada pidana tanpa perbuatan pidana;
3. Nullum crimen sine poena legalli:
tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Dalam
Syari’at Islam, istilah asas legalitas tidak ditemukan dalam hukum Islam, namun
secara substansional hukum Islam menganut asas legalitas ini. Di antara
kaidah-kaidah pokok yang berhubungan dengan asas tersebut adalah:
لا
حكم لا فعال العقلاء قبل ورود النّص
“tidak ada hukum bagi perbuatan orang yang berakal sehat sebelum
ada nash atau ketentuan.”
Dari
kaidah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan seseorang yang cakap
(mukallaf) tidak mungkin dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran selama belum ada
nash yang melarangnya, dan seseorang tersebut mempunyai kebebasan untuk
melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya hingga ada nash yang
menentukannya.
الأصل
في الأشياء الأباحه
“Pada dasarnya semua perkara dan perbuatan diperbolehkan.”
Dengan
demikian, semua perbuatan dan semua sikap boleh dilakukan karena kebolehan dari
syara’, selama belum ada nash yang melarangnya, maka tidak ada tuntutan
terhadap semua perbuatan yang dilakukan itu.
Asas
legalitas dalam pandangan ulama adalah suatu konsekuensi logis dari persyaratan
seorang mukallaf (objek hukum). Syarat-syarat seorang mukallaf, yaitu:
1. Pelaku sanggup memahami nash-nash
syara’ yang berisi hukum taklifi.
2. Pelaku adalah orang yang pantas
dimitai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman.
Adapun
syarat untuk perbuatan yang diperintahkan, yaitu:
1. Perbuatan itu mungkin untuk dikerjakan.
2. Perbuatan itu disanggupi oleh
mukallaf, yaitu berada dalam jangkauan kemampuan.
3. Perbuatan tersebut diketahui oleh
seorang mukallaf dengan sempurna, hal ini berarti:
a. Pelaku mengetahui hukum taklifi,
oleh sebab itu hukum tersebut harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang
banyak.
b. Pada ketentuan hukum itu sendiri
ada faktor yang mendorong orang tersebut untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dengan demikian, bahwa suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi mengenai
hukumannya.
B. Sumber Asas Legalitas
Asas
legalitas dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an. Seperti yang termaktub dalam
Al-Qur’an dibawah ini.
مَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا
“Dan kami tidak akan meng'azab (menghukum) manusia, sebelum kami
mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’: 15).
Allah
SWT. tidak akan menjatuhkan suatu siksa atas umat manusia kecuali sudah ada
penjelasan dan pemberitahuan melalui Rasul-rasul-Nya, sedangkan beban yang
diberikan kepada mereka adalah suatu hal yang disanggupi.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا ۚ وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَىٰ إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia
mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada
mereka; dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota; kecuali
penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al-Qashash: 59).
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
“Dan Al-Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran
(kepadanya).” (QS. Al-An’am: 19).
Dari
ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa asas legalitas sudah terdapat dalam syari’at Islam
sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian syari’at Islam
telah lebih dahulu mengenal asas ini dibandingkan dengan hukum positif yang baru
mengenalnya pada akhir abad XVIII Masehi.
C. Penerapan Asas Legalitas
1. Penerapannya
Dalam
syari’at Islam ada tiga cara penerapan asas legalitas, yaitu:
a. Pada tindak pidana yang gawat dan
sangat mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat, yaitu tindak pidana
Hudud (hukuman yang ditetapkan batasannya oleh nash) dan Qishash (pembalasan
yang setimpal), asas legalitas dilaksanakan secara teliti dengan mencantumkan
satu-persatu hukuman bagi setiap tindak pidana.
b. Pada tindak pidana yang tidak
begitu berbahaya, yaitu tindak pidana Ta’zir, syara’ memberikan kelonggaran
dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman. Bagi tindak pidana tersebut,
syara’ hanya menyediakan sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim sesuai
dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi.
c. Pada tindak pidana ta’zir yang
diancam hukuman demi kemaslahatan umum, syara’ memberikan kelonggaran dalam
penerapan asas legalitas dari segi penentuan macam tindak pidana, karena
syari’at hanya mencakupkan dengan membuat suatu nash (ketentuan) umum yang bisa
mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketentraman
masyarakat.
2. Lingkungan berlakunya Aturan
Pidana
Secara
teoritis, ajaran Islam itu untuk seluruh dunia. Akan tetapi, secara praktis
sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada, tidaklah demikian.
Para
ulama terdahulu membagi dunia menjadi tiga klasifikasi:
a. Negara-negara Islam
b. Negara-negara yang berperang
dengan negara Islam
c. Negara-negara yang mengadakan
perjanjian damai dengan negara Islam.
Dikalangan
ulama terdapat tiga macam pendapat tentang masalah ini, yaitu:
Imam
Abu Hanifah menyatakan bahwa aturan pidana hanya berlaku secara penuh untuk
wilayah-wilayah negara muslim. Di luar negara muslim, aturan itu tidak berlaku
lagi, kecuali untuk kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan Haqq Al-Adamiy.
Imam
Abu Yusuf berpendapat bahwa sekalipun di luar wilayah negara muslim, aturan
tidak berlaku. Akan tetapi, setiap yang dilarang tetap haram dilakukan,
sekalipun dapat dijatuhi hukuman.
Sedangkan
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa aturan-aturan pidana
itu tidak terkait oleh wilayah, melainkan terikat oleh subjek hukum.
Berkaitan
dengan hal ini, para ulama membahas lebih rinci lagi tentang ekstradisi atau
penyerahan penjahat antar negara dan pengusiran pejabat. Hal ini menunjukkan
bahwa serig terjadi suatu kejahatan tidak dapat ditanggulangi oleh suatu negara
tertentu, kecuali dengan kerja sama antar negara.
BAB
III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan Rumusan masalah serta
penjelasan dari makalah tersebut, dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Legalitas berasal dari bahasa
latin, ‘lex’ yang berarti ‘undang-undang’, ‘legalis’ berarti
‘sah’ atau ‘sesuai undang-undang’, dan ‘legalitas’ berarti ‘keabsahan
sesuatu menurut undang-undang’. Jadi, asas legalitas berarti dasar keabsahan
suatu perbuatan menurut undang-undang. Secara terminologi asas legalitas adalah
dasar pokok dari segala ketentuan hukum pidana.
2. Asas legalitas bersumber dari
Al-Qur’an yang termaktub dalam QS.- Al- Isro’: 15, Al- Qashas: 59 dan Al-An’am:
19.
3. Penerapan asas legalias yaitu
mengenai tindak pidana yang gawat ( hudud dan qishas) dilaksanakan secara
teliti, tindak pidana yang tidak begitu berbahaya (ta’zir) maka syara’
memberikan kelonggaran dalam penerapannya dalam hal ini hakim yang menentukan,
serta pada tindak pidana ta’zir karena melanggar kemaslahatan umum syara’ juga
memberikan kelonggaran.
4. Lingkungan berlakunya aturan
pidana;
a. Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa aturan pidana hanya berlaku secara penuh diwilayah negara islam.
b. Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa
sekalipun diluar wilayah negara muslim, aturan tidak berlaku.
c. Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad berpendapat bahwa aturan pidana tidak terkait oleh wilayah, melainkan
terikat oleh subjek hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf, Imaning. 2009. Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam),
Palembang: Rafah Press.
KUHP dan KUHAP. 2012.
Yogyakarta: Parama Publishing.
http://hukum.jogjakota.go.id/artikeldet.php?artikel_id=52 diakses pada Minggu, 16 maret 2014, pukul 18:06.
[1] Dra. Hj. Imaning Yusuf, Fiqih Jinayah (Hukum Pidana Islam),
(Palembang: Rafah Press, 2009), hlm. 41.
[2] KUHP dan KUHAP, (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), hlm.
11..
[3] http://hukum.jogjakota.go.id/artikeldet.php?artikel_id=52 diakses pada Minggu, 16
maret 2014, pukul 18:06.
___________________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang