LAFAL NASH
Oleh: Jamiatul Husnaini
A.
LAFAL NASH YANG JELAS
Lafal nash yang
jelas adalah suatu lafal yang jelas artinya dan jelas penunjukannya terhadap
maksud yang dikehendaki sehingga tidak memerlukan penjelasan dari luar. Ada
empat tingkatan lafal nash yang jelas menurut Mazhab Hanafi, yaitu:
1.
Zahir ( الظاهر)
Menurut Zaky
al-Din Sya’ban, Zahir adalah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian
yang jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
Sedangkan
menurut Quthub Mustafa Sanu, Zahir adalah suatu lafal yang jelas pengertiannya
tanpa adanya keterangan dari luar dan lafal zahir ini dimungkinkan untuk
ditakhsis atau dita’wilkan.
Misal pada
Qur’an surat Al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’..”
Ayat ini begitu
jelas artinya, bahwa hukum jual beli halal dan riba haram hukumnya. Ayat ini
juga menyatakan dan membantah anggapan orang-orang munafik Makkah pada waktu
itu ahwa jual beli sama dengan riba’.
Contoh lain,
Qur’an surat An-Nisa: 3
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ
وَرُبَاعَ
“maka nikahilah
oleh kamu wanita mana saja yang kamu sukai, dua, tiga dan sampai empat orang..”
Ayat ini secara
jelas menjelaskan batasan atau jumlah wanita yang boleh dinikahi oleh laki-laki
yang sampai empat orang dalam satu waktu dan tidak boleh lebih dari itu.
Lafal zahir
wajib diamalkan selama tidak terdapat dalil lain yang menyangkalnya, karena
pada dasarnya lafal nash yang jelas (zahir) itu jika sudah jelas maknanya tidak
boleh diubah dari arti zahirnya kecuali ada dalil yang menghendakinya.
2.
Al-Nash (النص)
Al-Nash adalah
suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan terdapat
kemungkinan untuk di ta’wil dan ditakhsis serta tidak dapat dinasakh kecuali
pada masa Nabi SAW. Hal ini menurut Wahbah Zuhaili.
Muhammad
Al-Jarjani mengemukakan, Al-Nash adalah suatu lafal yang lebih jelas maknanya
atau pengertiannya dari zahir dan pengertian tersebut dapat dipahami dari
susunan atau ungkapan kalimatnya.
Contoh Qur’an
surat Al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’..”
Ayat ini
dilihat secara al-nash adalah menjelaskan perbedaan antara jual eli dan riba’.
Dengan kata lain bahwa jual beli dan riba’ adalah dua hal yang tidak sama dan
inilah maksud semula ayat ini.
3.
Mufassar ( المفسر)
Menurut Abdul
Karim Zaidan, secara bahasa المفسر berasal dari
kata فسر yang berarti terang,
menerangkan atau jelas. Sedangkan menurut istilah, mufassar adalah lafal yang
pengertian maknanya lebih jelas dari al-nash dan kejelasan maknanya itu
ditunjukkan oleh lafal itu sendiri, mufassar tidak dapat dita’wilkan atau
dialihkan artinya kepada arti lain.
Menurut Abdul
Wahab Khallaf, mufassar adalah suatu lafal yang sifatnya sendiri menunjukkan
kepada makna yang jelas dan rinci sehingga tidak dapat dita’wilkan kepada arti
lain.
Kejelasan lafal
mufassar dapat dilihat da ditandai oleh beberapa indikator atau ciri-ciri
sebagai berikut:
a.
Penunjukkannya terdapat makna yang jelas sekali
b.
Penunjukkannya itu hanya dari lafalnya sendiri tanpa memerlukan
qorinah (penjelasan) dari luar.
c.
Karena jelas dan rinci maknanya, maka ia tidak mungkin dita’wil.
Mufassar ada
dua macam, yaitu:
a.
Menurut asalnya lafal itu memang sudah jelas dan rinnci, sehingga
tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misal, An-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat
zina), kemudian mereka tidak dapat mendatangkan saksi, maka deralah (pukul)
mereka sebanyak delapan puluh kali...”
Bilangan dalam ayat di atas jelas dan rinci yaitu “delapan puluh
keli” dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari
bilangan itu.
b.
Lafal itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan eberapa
pemahaman artinya. Kemudian ada dalil yang menjelaskan artinya sehingga ia
enjadi jelas. Contoh, An-Nisa’: 92
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja,
hendaklah ia memerdekakan budak/hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada
keluarganya..”
Ayat ini berbicara tentang kewajiban membayar/menyerahkan diyat
(denda) kepada keluarga korban yang dibunu, tetapi tidak dijelaskan berapa
jumlahnya, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan. Setelah ayat ini
turun, kemudian Rasulullah memberi penjelasan yang merincikan keadaan dan cara
membayar diyat itu, sehingga ayat di atas menjadi rinci dan jelas.
4.
Muhkam (المحكم)
Secara
etimologi muhkam berarti ‘tepat’, tetap dan pasti. Adapun secara terminologi,
Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa muhkam adalah suatu lafal yang
menunjukkan kepada pengertian yang jelas dengan tidak menerima ta’wil dan
takhsis.
Lafal muhkam
berada pada urutan paling tinggi dari segi kejelasannya, jika dibandingkan
dengan ketiga bentuk lafal sebelumnya.
Contoh,
Al-Ikhlas:1-4 yang menjelaskan ketetapan pasti tentang iman dan mengesakan
Allah, tidak dapat dita’wilkan, ditakhsis serta dinasakh dan dibatalkan.
Para ulama
sepakat bahwa lafal muhkam wajib diamalkan secara qath’iy, karena tidak ada
pengertian lain kecuali apa yang disebutkan oleh lafal itu sendiri.
Lafal muhkam
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Muhkam lidzatihi yaitu lafal nash yang tidak ada kemungkinan untuk
dibatalkan ata dinasakh. Tidak mungkin ada nasakh terhadap hukum yang
terkandung dalam lafal muhkam itu sendiri.
b.
Muhkam lighairihi yaitu muhkam karena ada faktor atau sebab dari
luar nash. Sehingga muhkam tidak dapat dinasakh bukan karena nash atau teksnya
itu sendiri tetapi tidak ada nash yang menasakhnya.
B.
LAFAL NASH YANG TIDAK JELAS
Lafal nash yang
tidak jelas artinya dibagi menjadi empat macam tingkatan menurut Mazhab Hanafi,
yaitu:
1.
Khafi
Khafi menurut Muhammad Abu Zahrah adalah suatu
lafal yang samar-samar artinyaa pada sebagian penunjukkannya (madlulnya),
karena terdapat faktor luar, bukan dari segi sighat lafalnya.
Contoh,
Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangan mereka”
Dalam ayat ini
lafal السارق sesungguhnya cukup jelas, yang berarti “orang yang mengambil
harta orang lain ditempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi.” Penerapan
hukuman terhaap pencuri cukup jelas. Akan tetapi pencuri memiliki illat yang
sama dengan penopet, perampok, dan lain-lain. Persoalannya apakah hukuman
potong tangan berlaku terhadap semua arti tersebut. Disinilah timbul kesamaran
arti tersebut.
2.
Musykil
Menurut zaky
al-Din Sya’ban, musykil adalah suatu lafal yang samar-samar (tersembunyi)
maknanya dan ia hanya ddapat dipahami setelah dilakukannya pembahasan dan
penelitian dengan memperhatikan qarinah dan tanda-tanda yang terkait dengan
lafal tersebut.
Contoh,
Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“wanita-wanita
yangg ditalak hendaknya menahan diri (beriddah) dengan tiga kali suci..”
Dalam ayat ini
terdapat lafal Quru’ yang mengandung dua arti atau ganda yaitu “haidh” dan
“suci”. Oleh karena itu wanita yang ditalak oleh suaminya apakah beriddah
dengan “tiga kali suci” atau “tiga kali haidh”. Adapun yang meyebabkan
kemusykilan ini karena lafal itu musytarak, yaitu lafal nash yang mengandung
beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna
tertentu.
3.
Mujmal
Mujmal adalah
suatu lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang
terhimpun padanya.
Yang menyebabkan
terjadinya mujmal terhadap lafal nash adalah disebabkan oleh salah satu dari
tiga hal, yaitu:
a.
Lafal itu musytarak yang tidak disertai qarinah
b.
Karena lafal itu secara bahasa adalah asing seperti lafal هلوعا
إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
“sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah” (Al-Ma’ariij: 19)
Ayat ini sesungguhnya tidak dapat dipahami maksudnya sehingga ada
penjelasan langsung dari syari’ yaitu Al-Ma’ariij: 20-21.
c.
Kemujmalan itu karena perubahan makna lughawi ke makna istilahi
4.
Mutasyabbih
Mutasyabbih
adalah lafal yang samar (tersembunyi) maknanya dan tidak ada jalan untuk dapat
mengetahui maksudnya.
Ketidakjelasan
atau kasamaran lafal mutasyabbih ini karena sighatnya tidak menunjukkan kepada
makna yang dikehendaki dan tidak ada pula qarinah yang dapat dijadikan alat
untuk mengetahuinya.
Dilihat dari
segi keberadaan mutasyabbih, ulama membedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Mutasyabbih dalam bentuk potongan-potongan huruf hijaiyah yang
terdapat dalam al-Qur’an.
b.
Ayat-ayat yang menurut zahirnya mempersamakan Allah dengan
makhluknya sehingga yat tersebut tidak mungkin dipahami menurut arti
lughawinya. Contoh, Al-fatah: 10
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan mereka..”
C.
LAFAL NASH DARI SEGI PENGGUNAANNYA
terbagi menjadi
empat macam, yaitu:
1.
Hakikat yaitu suatu lafal yang secara bahasa digunakan untuk arti
sebenarnya.
2.
Majaz yaitu suatu lafal yang dipakai untuk rti lain yang bukan arti
hakiki.
3.
Sarih yaitu suatu lafal yang jelas pengertia dan maksudnya karena
ering digunakan baik dalam bentuk hakikat maupun majaz.
4.
Kinayah yaitu suatu lafal yang tertutup maksudnya oleh lafal itu
sendiri, ia tidak dapat dipahami kecuali ada qarinah (petunjuk) yang dapat
menjelaskan maksudnya.
DILALAH LAFAL NASH
Dilalah berarti
petunjuk atau penunjukkan. Menurut istilah, dilalah adalah keadaan sesuatu yan
dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.
A.
DILALAH LAFAL NASH MENURUT MAZHAB HANAFI
Terbagi menjadi
empat macam, yaitu:
1.
Ibarat Al-Nash
Ibarat al-nash
adalah petunjuk kalimat kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa
yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.
Contoh,
Al-baqarah: 275 yang menjelaskan bahwa antara jual beli dan riba adalah berbeda
atau tidak sama.
2.
Isyarat al-Nash
Isyarat al-Nash
adalah ketentuan lafal atas suatu ketetapan hukum yang tidak disebutkan
langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagia rti yang diucapkan di
ungkapkan.
Contoh,
Al-Baqarah: 233 mengandung arti bahwa anak adalah milik ayah dan oleh karenanya
anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya.
3.
Dilalat Al-Nash
Dilalatun nash
adalah peunjuk lafal atas ketetapan hukum yang disebutkan nash berlaku juga
atas hukum yang tidak disebutkan nash karena adanya persamaan ‘llat.
Contoh, Al-Isra’: 23 tidak boleh meengatakan ‘ahh’
kepada kedua orang tua, berlaku juga hukum ketidakbolehan memukul, menghardik,
dan sebagainya.
4.
Iqtidla’ al-Nash
Iqtiqla’
al-nash adalah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan,
yang sebenarnya tergantung kepada nash yang tidak disebutkan.
Contoh,
Al-Maidah: 3.
B.
DILALAH LAFAL MENURUT MAZHAB SYAFI’I
Ada dua macam,
yaitu:
1.
Dilalat al-manthuq
adalah penunjukkan lafal nash terhadap ketetapan hukum sesuai dengan yang
diucapkan atau dituturkan langsung oleh nash itu sendiri.
Contoh, An-Nisa’: 23 menunjukkan haram menikahi anak-anak tiri yan
berada dalam asuhan suami dari istri-istri yang telah digauli.
2.
Dilalat al-mafhum
adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukuk yang tidak disebutkan
langsung dalam susunan kaliamat, berdasarkan pemahaman dibalik tersurat.
Terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Mafhum muwafaqah yaitu penunjukkan lafal terhadap hukum yang
disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan, karena
persamaan ‘illat.
b.
Mafhum mukhalafah yaitu penunjukkan lafal atas hukum yang tidak
disebutkan merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang disebutkan nash.
Macam-macam:
1.
Mafhum shifat yaitu menetapkan hukum yag dikaitkan dengan sifat
yang terdapat dalam lafal dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat
yang dimaksud.
2.
Mafhum syarat yaitu menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan
yang dikaitkan dengan syarat.
3.
Mafhum al-ghayah yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan
hinggaan atau limid waktu.
4.
Mafhum ‘adad yaitu penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari
yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan.
5.
Mafhum laqab yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum atas suatu yang
tidak disebutkan berkaitan dengan nama
atau jenis tertentu.
IJTIHAD
A.
Pengertian Ijtihad
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, secara bahasa ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan
untuk mencapai sesuatu, atau berarti bersungguh- sungguh. Adapun menurut
istilah Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad
adalah pengerahan kemampuan seorang faqih dalam menggali hukum- hukum yang
bersifat amaliyah dari dalil- dalil secara terperinci. Sementara itu Quthb
Mustafa Sanu, menyebutkan bahwa ijtihad secara istilah adalah upaya sungguh-
sungguh seorang faqih untuk menghasilkan hukum syara’.
B.
Perkembangan Ijtihad
1.
Masa pertumbuhan, dilihat dari masa sahabat dan dilihat dari masa
rasul.
2.
Masa perkembangan dan kemajuan, dilihat pada masa ulama- ulama.
3.
Masa kemunduran ( ditutupnya pintu ijtihad), mulai malasnya orang
berijtihad dan munculnya taklik.
4.
Masa kebangkitan dan
pengembalian kembali gerakkan ijtihad, disini ijtihad disebut dengan
kebangkitan ijtihad yaitu:
1.
Muncul pandangan mazhab tidak mengikat.
2.
Kembali pada al- Qur’an dan Sunnah (Hadits).
3.
Munculnya persoalan- persoalan baru dan munculnya permasalahan-
permasalahan baru.
4.
Menyesuaikan hukum- hukum islam denga ketentuan- ketentuan baru
(diadaptasikan).
C.
Syarat- syarat Ijtihad
1.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, syarat- syarat ijtihad itu adalah
sebagai berikut:
a.
Mengetahui bahasa arab dengan baik.
b.
Mengetahui dan paham tentang al- Qur’an, terutama yang berkaitan
nasakh- mansukh.
c.
Mengetahui Sunnah (hadits) nabi dengan baik.
d.
Mengetahui dan memahami berbagai persoalan yang disepakati (ijma’)
dan yang tidak diesepakati dikalangan ulama.
e.
Mengetahui qiyas, yaitu teori analogi hukum.
f.
Mengetahui al- ahkam, yaitu tujuan pokok ditrunkannnya syari’at
islam.
D.
Lapangan Ijtihad
Adapun
persoalan- persoalan yang menjadi lapangan ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh
Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut:
1.
Berkaitan dengan hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
orang- seorang atau berberapa orang yang tidak sampai ke derajat mutawatirnya.
2.
Lafal- lafal nash al- Qur’an atau hadis yang menunjukkan pengertian
tidak tegas ( zhanniy).
3.
Masalah- masalah yang tidak
dapat disebutkan secara tekstual didalam nash al- Qur’an dan al- Hadis serta
tidak ada pula ijma’ yang menyebutkannya.
E.
Macam-macam Ijtihad dan Bentuk- Bentuk Ijtihad
A.
Macam –macam ijtihad meliputi:
1.
Ijtihad Fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh prang perorangan
atau hanya beberapa orang mujtahid saja.
2.
Ijtihad Jama’iy adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang
secara kolektif atau bersama- sama.
B.
Bentuk- bentuk ijtihad meliputi:
1. Ijtihad bayani
2. Ijtihad Qiyasi
3. Ijtihad
Istishlahy
4. Ijtihad Intiqai
5. Ijtihad Insyai
F.
Kelompok Mushawibah dan Mukhathiah
1. Golongan al-
Mushawibah adalah semua golongan yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu
benar dalam ijtihadnya.
2. Golongan
Mukhaththiah adalah bahwa kebenaran itu hanya satu dan yang lainnya itu salah.
G.
Pembatalan dan Perubahan Hasil Ijtihad
Pembatalan dan
perubahan ijtihad itu berkenaan dengan hasil ijtihad atau fatwa, yang terkait
dengan persoalan perubahan waktu, keadaan dan tempat serta perkembangan
masyarakat. Hal ini lah yang bahwa suatu hasil ijtihad itu tidak dapat dibatalkan
dan tidak dapat diingkari serta tidak dapat diganggu gugat
(diubah) hukumnya karena perubahan keadaan (
zaman).
___________________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang