Saturday 16 January 2016

Lafal Nash - Resume Ushul Fiqh 2

LAFAL NASH
Oleh: Jamiatul Husnaini

A.    LAFAL NASH  YANG JELAS
Lafal nash yang jelas adalah suatu lafal yang jelas artinya dan jelas penunjukannya terhadap maksud yang dikehendaki sehingga tidak memerlukan penjelasan dari luar. Ada empat tingkatan lafal nash yang jelas menurut Mazhab Hanafi, yaitu:
1.      Zahir ( الظاهر)
Menurut Zaky al-Din Sya’ban, Zahir adalah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas tanpa memerlukan penjelasan dari luar.
Sedangkan menurut Quthub Mustafa Sanu, Zahir adalah suatu lafal yang jelas pengertiannya tanpa adanya keterangan dari luar dan lafal zahir ini dimungkinkan untuk ditakhsis atau dita’wilkan.
Misal pada Qur’an surat Al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’..”
Ayat ini begitu jelas artinya, bahwa hukum jual beli halal dan riba haram hukumnya. Ayat ini juga menyatakan dan membantah anggapan orang-orang munafik Makkah pada waktu itu ahwa jual beli sama dengan riba’.
Contoh lain, Qur’an surat An-Nisa: 3
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
“maka nikahilah oleh kamu wanita mana saja yang kamu sukai, dua, tiga dan sampai empat orang..”
Ayat ini secara jelas menjelaskan batasan atau jumlah wanita yang boleh dinikahi oleh laki-laki yang sampai empat orang dalam satu waktu dan tidak boleh lebih dari itu.
Lafal zahir wajib diamalkan selama tidak terdapat dalil lain yang menyangkalnya, karena pada dasarnya lafal nash yang jelas (zahir) itu jika sudah jelas maknanya tidak boleh diubah dari arti zahirnya kecuali ada dalil yang menghendakinya.

2.      Al-Nash     (النص)
Al-Nash adalah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dan terdapat kemungkinan untuk di ta’wil dan ditakhsis serta tidak dapat dinasakh kecuali pada masa Nabi SAW. Hal ini menurut Wahbah Zuhaili.
Muhammad Al-Jarjani mengemukakan, Al-Nash adalah suatu lafal yang lebih jelas maknanya atau pengertiannya dari zahir dan pengertian tersebut dapat dipahami dari susunan atau ungkapan kalimatnya.
Contoh Qur’an surat Al-Baqarah: 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba’..”
Ayat ini dilihat secara al-nash adalah menjelaskan perbedaan antara jual eli dan riba’. Dengan kata lain bahwa jual beli dan riba’ adalah dua hal yang tidak sama dan inilah maksud semula ayat ini.
3.      Mufassar ( المفسر)
Menurut Abdul Karim Zaidan, secara bahasa المفسر berasal dari kata فسر yang berarti terang, menerangkan atau jelas. Sedangkan menurut istilah, mufassar adalah lafal yang pengertian maknanya lebih jelas dari al-nash dan kejelasan maknanya itu ditunjukkan oleh lafal itu sendiri, mufassar tidak dapat dita’wilkan atau dialihkan artinya kepada arti lain.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, mufassar adalah suatu lafal yang sifatnya sendiri menunjukkan kepada makna yang jelas dan rinci sehingga tidak dapat dita’wilkan kepada arti lain.
Kejelasan lafal mufassar dapat dilihat da ditandai oleh beberapa indikator atau ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Penunjukkannya terdapat makna yang jelas sekali
b.      Penunjukkannya itu hanya dari lafalnya sendiri tanpa memerlukan qorinah (penjelasan) dari luar.
c.       Karena jelas dan rinci maknanya, maka ia tidak mungkin dita’wil.
Mufassar ada dua macam, yaitu:
a.       Menurut asalnya lafal itu memang sudah jelas dan rinnci, sehingga tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Misal, An-Nur: 4
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina), kemudian mereka tidak dapat mendatangkan saksi, maka deralah (pukul) mereka sebanyak delapan puluh kali...”

Bilangan dalam ayat di atas jelas dan rinci yaitu “delapan puluh keli” dera, tidak ada kemungkinan untuk dipahami dengan lebih atau kurang dari bilangan itu.
b.      Lafal itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan eberapa pemahaman artinya. Kemudian ada dalil yang menjelaskan artinya sehingga ia enjadi jelas. Contoh, An-Nisa’: 92
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“Orang-orang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan budak/hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya..”

Ayat ini berbicara tentang kewajiban membayar/menyerahkan diyat (denda) kepada keluarga korban yang dibunu, tetapi tidak dijelaskan berapa jumlahnya, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan. Setelah ayat ini turun, kemudian Rasulullah memberi penjelasan yang merincikan keadaan dan cara membayar diyat itu, sehingga ayat di atas menjadi rinci dan jelas.

4.      Muhkam (المحكم)
Secara etimologi muhkam berarti ‘tepat’, tetap dan pasti. Adapun secara terminologi, Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa muhkam adalah suatu lafal yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas dengan tidak menerima ta’wil dan takhsis.
Lafal muhkam berada pada urutan paling tinggi dari segi kejelasannya, jika dibandingkan dengan ketiga bentuk lafal sebelumnya.
Contoh, Al-Ikhlas:1-4 yang menjelaskan ketetapan pasti tentang iman dan mengesakan Allah, tidak dapat dita’wilkan, ditakhsis serta dinasakh dan dibatalkan.
Para ulama sepakat bahwa lafal muhkam wajib diamalkan secara qath’iy, karena tidak ada pengertian lain kecuali apa yang disebutkan oleh lafal itu sendiri.
Lafal muhkam dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.       Muhkam lidzatihi yaitu lafal nash yang tidak ada kemungkinan untuk dibatalkan ata dinasakh. Tidak mungkin ada nasakh terhadap hukum yang terkandung dalam lafal muhkam itu sendiri.
b.      Muhkam lighairihi yaitu muhkam karena ada faktor atau sebab dari luar nash. Sehingga muhkam tidak dapat dinasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi tidak ada nash yang menasakhnya.

B.     LAFAL NASH YANG TIDAK JELAS
Lafal nash yang tidak jelas artinya dibagi menjadi empat macam tingkatan menurut Mazhab Hanafi, yaitu:
1.      Khafi
Khafi  menurut Muhammad Abu Zahrah adalah suatu lafal yang samar-samar artinyaa pada sebagian penunjukkannya (madlulnya), karena terdapat faktor luar, bukan dari segi sighat lafalnya.
Contoh, Al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangan mereka”
Dalam ayat ini lafal السارق sesungguhnya cukup jelas, yang berarti “orang yang mengambil harta orang lain ditempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi.” Penerapan hukuman terhaap pencuri cukup jelas. Akan tetapi pencuri memiliki illat yang sama dengan penopet, perampok, dan lain-lain. Persoalannya apakah hukuman potong tangan berlaku terhadap semua arti tersebut. Disinilah timbul kesamaran arti tersebut.
2.      Musykil
Menurut zaky al-Din Sya’ban, musykil adalah suatu lafal yang samar-samar (tersembunyi) maknanya dan ia hanya ddapat dipahami setelah dilakukannya pembahasan dan penelitian dengan memperhatikan qarinah dan tanda-tanda yang terkait dengan lafal tersebut.
Contoh, Al-Baqarah: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“wanita-wanita yangg ditalak hendaknya menahan diri (beriddah) dengan tiga kali suci..”
Dalam ayat ini terdapat lafal Quru’ yang mengandung dua arti atau ganda yaitu “haidh” dan “suci”. Oleh karena itu wanita yang ditalak oleh suaminya apakah beriddah dengan “tiga kali suci” atau “tiga kali haidh”. Adapun yang meyebabkan kemusykilan ini karena lafal itu musytarak, yaitu lafal nash yang mengandung beberapa arti sedangkan sighatnya sendiri tidak menunjukkan kepada makna tertentu.
3.      Mujmal
Mujmal adalah suatu lafal yang maknanya mengandung beberapa keadaan dan beberapa hukum yang terhimpun padanya.
Yang menyebabkan terjadinya mujmal terhadap lafal nash adalah disebabkan oleh salah satu dari tiga hal, yaitu:
a.       Lafal itu musytarak yang tidak disertai qarinah
b.      Karena lafal itu secara bahasa adalah asing seperti lafal هلوعا
إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
“sesungguhnya manusia diciptakan keluh kesah” (Al-Ma’ariij: 19)
Ayat ini sesungguhnya tidak dapat dipahami maksudnya sehingga ada penjelasan langsung dari syari’ yaitu Al-Ma’ariij: 20-21.
c.       Kemujmalan itu karena perubahan makna lughawi ke makna istilahi

4.      Mutasyabbih
Mutasyabbih adalah lafal yang samar (tersembunyi) maknanya dan tidak ada jalan untuk dapat mengetahui maksudnya.
Ketidakjelasan atau kasamaran lafal mutasyabbih ini karena sighatnya tidak menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dan tidak ada pula qarinah yang dapat dijadikan alat untuk mengetahuinya.
Dilihat dari segi keberadaan mutasyabbih, ulama membedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.       Mutasyabbih dalam bentuk potongan-potongan huruf hijaiyah yang terdapat dalam al-Qur’an.
b.      Ayat-ayat yang menurut zahirnya mempersamakan Allah dengan makhluknya sehingga yat tersebut tidak mungkin dipahami menurut arti lughawinya. Contoh, Al-fatah: 10
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan Allah di atas tangan mereka..”

C.    LAFAL NASH DARI SEGI PENGGUNAANNYA
terbagi menjadi empat macam, yaitu:
1.      Hakikat yaitu suatu lafal yang secara bahasa digunakan untuk arti sebenarnya.
2.      Majaz yaitu suatu lafal yang dipakai untuk rti lain yang bukan arti hakiki.
3.      Sarih yaitu suatu lafal yang jelas pengertia dan maksudnya karena ering digunakan baik dalam bentuk hakikat maupun majaz.
4.      Kinayah yaitu suatu lafal yang tertutup maksudnya oleh lafal itu sendiri, ia tidak dapat dipahami kecuali ada qarinah (petunjuk) yang dapat menjelaskan maksudnya.

DILALAH LAFAL NASH

Dilalah berarti petunjuk atau penunjukkan. Menurut istilah, dilalah adalah keadaan sesuatu yan dapat memastikan untuk mengetahui yang lainnya.
A.    DILALAH LAFAL NASH MENURUT MAZHAB HANAFI
Terbagi menjadi empat macam, yaitu:
1.      Ibarat Al-Nash
Ibarat al-nash adalah petunjuk kalimat kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.
Contoh, Al-baqarah: 275 yang menjelaskan bahwa antara jual beli dan riba adalah berbeda atau tidak sama.
2.      Isyarat al-Nash
Isyarat al-Nash adalah ketentuan lafal atas suatu ketetapan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagia rti yang diucapkan di ungkapkan.
Contoh, Al-Baqarah: 233 mengandung arti bahwa anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya.
3.      Dilalat Al-Nash
Dilalatun nash adalah peunjuk lafal atas ketetapan hukum yang disebutkan nash berlaku juga atas hukum yang tidak disebutkan nash karena adanya persamaan ‘llat.
Contoh,  Al-Isra’: 23 tidak boleh meengatakan ‘ahh’ kepada kedua orang tua, berlaku juga hukum ketidakbolehan memukul, menghardik, dan sebagainya.
4.      Iqtidla’ al-Nash
Iqtiqla’ al-nash adalah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada nash yang tidak disebutkan.
Contoh, Al-Maidah: 3.

B.     DILALAH LAFAL MENURUT MAZHAB SYAFI’I
Ada dua macam, yaitu:
1.      Dilalat al-manthuq adalah penunjukkan lafal nash terhadap ketetapan hukum sesuai dengan yang diucapkan atau dituturkan langsung oleh nash itu sendiri.
Contoh, An-Nisa’: 23 menunjukkan haram menikahi anak-anak tiri yan berada dalam asuhan suami dari istri-istri yang telah digauli.
2.      Dilalat al-mafhum adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukuk yang tidak disebutkan langsung dalam susunan kaliamat, berdasarkan pemahaman dibalik tersurat.
Terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Mafhum muwafaqah yaitu penunjukkan lafal terhadap hukum yang disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan, karena persamaan ‘illat.
b.      Mafhum mukhalafah yaitu penunjukkan lafal atas hukum yang tidak disebutkan merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang disebutkan nash.
Macam-macam:
1.      Mafhum shifat yaitu menetapkan hukum yag dikaitkan dengan sifat yang terdapat dalam lafal dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat yang dimaksud.
2.      Mafhum syarat yaitu menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat.
3.      Mafhum al-ghayah yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan hinggaan atau limid waktu.
4.      Mafhum ‘adad yaitu penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan.
5.      Mafhum laqab yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum atas suatu yang tidak disebutkan  berkaitan dengan nama atau jenis tertentu.

IJTIHAD

A.    Pengertian Ijtihad
Menurut Muhammad Abu Zahrah, secara bahasa ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu, atau berarti bersungguh- sungguh. Adapun menurut istilah Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah pengerahan kemampuan seorang faqih dalam menggali hukum- hukum yang bersifat amaliyah dari dalil- dalil secara terperinci. Sementara itu Quthb Mustafa Sanu, menyebutkan bahwa ijtihad secara istilah adalah upaya sungguh- sungguh seorang faqih untuk menghasilkan hukum syara’.

B.     Perkembangan Ijtihad
1.      Masa pertumbuhan, dilihat dari masa sahabat dan dilihat dari masa rasul.
2.      Masa perkembangan dan kemajuan, dilihat pada masa ulama- ulama.
3.      Masa kemunduran ( ditutupnya pintu ijtihad), mulai malasnya orang berijtihad dan munculnya taklik.
4.       Masa kebangkitan dan pengembalian kembali gerakkan ijtihad, disini ijtihad disebut dengan kebangkitan ijtihad yaitu:
1.      Muncul pandangan mazhab tidak mengikat.
2.      Kembali pada al- Qur’an dan Sunnah (Hadits).
3.      Munculnya persoalan- persoalan baru dan munculnya permasalahan- permasalahan baru.
4.      Menyesuaikan hukum- hukum islam denga ketentuan- ketentuan baru (diadaptasikan).

C.    Syarat- syarat Ijtihad
1.      Menurut Muhammad Abu Zahrah, syarat- syarat ijtihad itu adalah sebagai berikut:
a.       Mengetahui bahasa arab dengan baik.
b.      Mengetahui dan paham tentang al- Qur’an, terutama yang berkaitan nasakh- mansukh.
c.       Mengetahui Sunnah (hadits) nabi dengan baik.
d.      Mengetahui dan memahami berbagai persoalan yang disepakati (ijma’) dan yang tidak diesepakati dikalangan ulama.
e.       Mengetahui qiyas, yaitu teori analogi hukum.
f.       Mengetahui al- ahkam, yaitu tujuan pokok ditrunkannnya syari’at islam.

D.    Lapangan Ijtihad
Adapun persoalan- persoalan yang menjadi lapangan ijtihad sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut:
1.      Berkaitan dengan hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang- seorang atau berberapa orang yang tidak sampai ke derajat mutawatirnya.
2.      Lafal- lafal nash al- Qur’an atau hadis yang menunjukkan pengertian tidak tegas ( zhanniy).
3.       Masalah- masalah yang tidak dapat disebutkan secara tekstual didalam nash al- Qur’an dan al- Hadis serta tidak ada pula ijma’ yang menyebutkannya.

E.     Macam-macam Ijtihad dan Bentuk- Bentuk Ijtihad
A.    Macam –macam ijtihad meliputi:
1.      Ijtihad Fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh prang perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid saja.
2.      Ijtihad Jama’iy adalah ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif atau bersama- sama.
B.     Bentuk- bentuk ijtihad meliputi:
1.      Ijtihad bayani
2.      Ijtihad Qiyasi
3.      Ijtihad Istishlahy
4.      Ijtihad Intiqai
5.      Ijtihad Insyai

F.     Kelompok Mushawibah dan Mukhathiah
1.      Golongan al- Mushawibah adalah semua golongan yang mengatakan bahwa setiap mujtahid itu benar dalam ijtihadnya.
2.      Golongan Mukhaththiah adalah bahwa kebenaran itu hanya satu dan yang lainnya itu salah.

G.    Pembatalan dan Perubahan Hasil Ijtihad
Pembatalan dan perubahan ijtihad itu berkenaan dengan hasil ijtihad atau fatwa, yang terkait dengan persoalan perubahan waktu, keadaan dan tempat serta perkembangan masyarakat. Hal ini lah yang bahwa suatu hasil ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dan tidak dapat diingkari serta tidak dapat diganggu gugat
 (diubah) hukumnya karena perubahan keadaan ( zaman).

___________________________________
#makalah_prodi_perbandinganmazhabdanhukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...