HARTA WARISAN ANAK LI’AN DAN ANAK ZINA MENURUT PARA ULAMA FARO’ID
Oleh: Novi Arifah dan Sudi Putra
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Hukum
kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh
masyarakat yang ada. Menurut mereka (masyarakat Jahiliyah), ahli waris yang
berhak memperoleh harta warisan dari keluarganya yang meninggal adalah mereka
yang laki-laki, berfisik kuat, dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan
musuh dalam setiap peperangan.[1]
Adapun
dasar-dasar pewarisan pada zaman sebelum Islam adalah sebagai berikut:
·
Pertalian
kerabat (al-qarabah)
·
Janji
prasetia (al-hilf wa al-mu’aqadah)
·
Pengangkatan
anak (al-tabanni atau adopsi)[2]
Dasar-dasar
pewarisan yang digunakan pada masa awal Islam adalah:
·
Pertalian
kerabat (al-qarabah)
·
Janji
prasetia (al-hilf wa al-mu’aqadah)
·
Pengangkatan
anak (al-tabanni atau adopsi)
·
Hijrah (dari
Mekkah ke Madinah)
·
Ikatan
persaudaraan (al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan
orang-orang Ansar (penolong) di Madinah.
Dalam pokok
hukum islam sebab waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan
nasab. Seorang suami istri dapat waris mewarisi karena keduanya oleh perkawinan
yang dibenarkan oleh hukum islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan
tersebut. Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum islam juga
ditentukan oleh sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki
dengan seseorang wanita, sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau
tidaknya pengakuan ayah terhadap anak tersebut.
II.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Anak Zina dan Anak Li’an?
2. Bagaimana harta warisan Anak Zina dan
Anak Li’an?
3.
Bagaimana Status warisan anak zina
dan li’an dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI)?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
HARTA WARISAN ANAK ZINA
Anak
zina yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama.
Pengertian ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah
hukum agama. Maksudnya, harus dibedakan misalnya seorang perempuan tidak pernah
diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan
formal yuridis supaya bayi yang akan lahir mempunyai “BAPAK” maka dicarikanlah
calon bapak untuk si bayi. Dalam contoh tersebut, seseorang perlu berhati-hati
menetapkan hukum nikah tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa akad nikahh
tersebut tidak sah, kecuali apabila pernikahan itu dengan pelaku zina. Meskipun
demikian akibat hukumnya, si anak tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya.[3]
Mayoritas
ulama membolehkan pernikahan antara penzina dengan orang lain yang bukan
penzinanya.perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaan dalam memahami firman
Allah SWT dalam (Qs. An-Nur : 3):
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
3.
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin[1028]
[1028]
Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina,
demikian pula sebaliknya.
Ulama
yang memahami ayat “wa hurrima zalika ‘ala al-mu’minin” isyarat kepada nikah,
maka perkawinan wanita hamil karena zina tidak sah. Mayoritas ulama memandang
perkawinan semacam ini tidak pantas dilakukan orang beriman.[4]
Pada
umumnya, akad nikah untuk mencarikan “BAPAK” tersebut dapat di tolelir
masyarakat. Namun demikian status hukum bayi yang lahir dari akibat perzinaan,
tidak bisa dinasabkan kepada “bapaknya”. Para ulama sepakat bahwa bayi yang
lahir kurang dari 6 bulan terhitung sejak akad nikah dilangsungkan, tidak dapat
dinasabkan kepada bapaknya. Bahkan para ulama Syi’ah menegaskan bahwa anak
zina, selain tidak bisa dinasabkan kepada “bapaknya”, juga tidak bisa
dinasabkan kepada ibunya.[5] Ini dimaksudkan agar setiap orang hati-hati
dalam menjaga diri dan kehormatan diri dan keturunannya. Belum lagi soal
hukumanya jika dapat saksi-saksi yang membuktikannya.
Fatchur
Rahman mengemukakan perbedaan pendapat Ulama, apakah tenggang waktu 6 bulan itu
dihitung dari akan nikah atau sejak terjadinya hubungan suami-isteri?
·
Imam
Malik dan Imam Syafi’i berpendapat jika seorang laki-laki mengawani seorang
wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam waktu kurang dari 6 bulan
kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah 6 bulan dari akad
perkawinannya, bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu
tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkannya
mengandung. Yang menjadi batasan adalah akad nikahnya, bukan perbuatan zinanya.
Bisa saja secara biologis misalnya melalui tes darah adalah bapaknya, tetapi
secara hukum tidak bisa dibenarkan.
·
Imam
Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam
ranjang suaminya. Karena itu anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya
kepada ayah (pezina) nya sebagai anak sah. [6]
Dasar hukum yang digunakan adalah petunjuk umum sabda Rasulullah SAW:
“Anak itu dinasabkan
kepada orang yang seranjang tidur”. (Riwayat lima orang ahli hadis).
Tampaknya,
pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih tepat dalam konteks pemahaman ke-
Indonesiaan. Sebagai bangsa timur yang bercorak religius, nilai-nilai etika dan
moral menjadi sangat penting diaplikasikan. Oleh karena itu, dengan mengambil
ketegasan hukum diatas diharapkan kita lebih berhati-hati agar tidak terjebak
dengan kenikmatan sesaat yang membawa xsengsara berkepanjangan, terutama bagi
si anak.
Dari
penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa menurut mayoritas ulam, anak zina
tidak mewarisi ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab
dianatara mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya,
begitu juga sebaliknya, ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu, yang bisa
mewarisi harta peninggalanya.
2.
HARTA WARISAN ANAK LI’AN
Li’an
adalah sumpah seorang suami bahwa ia akan menerima laknat Allah, apabila
tuduhan terhadap istrinya berzina ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang
dituduhkan suami terhadap isterinya itu benar dan melahirkan anak, maka si anak
tersebut dinamakan anak li’an. Sudah barang tentu akan ditolak oleh ayahnya,
karena dianggap bukan anak “darah dagingnya”. Jadi anak li’an, dapat
didefinisikan sebagai anak yang kehadirannya tidak diakui oleh suaminya ibunya
(melalui sidang pengadilan)[7]
meskipun antara suami isteri terikat dalam perkawinan yang sah.
Pasal
162 KHI di Indonesia menyebutkan “bilamana li’an terjadi, maka perkawinan itu
putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang
suaminya terbebas dari kewajibaan memberi nafkah”.
Adapun
teknis pelaksanaan li’an, suami menuduh istrinya telah berzina disertai sumpah
4 kali atas nama Allah bahwa tuduhannya benar. Pada sumpah kelima, suami
mengatakan bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika ia berdusta. Kemudian
isteri diberikan kesempatan untuk menolak tuduhan dengan cara bersumpah 4 kali
atas nama Allah dengan mengatakan bahwa suaminya berdusta. Pada sumpahnya yang
kelima ia mengatakan laknat Allah menimpa dirinya jika tuduhan suaminya benar.
Dasarnya firman Allah SWT dalam Q.s an-Nur: 6-7):
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
7. dan (sumpah) yang
kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang
berdusta[1030].
[1030] Maksud ayat 6
dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat
orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah
benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan
kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan
Li'an.
8. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya
suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang
kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang
benar.
Para
ulama sepakat bahwa status hukum anak li’an sama dengan anak zina. Yaitu bahwa
anak hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. Dasarnya adalah tindakan Nabi
SAW:
“Riwayat dari Ibn ‘Umar
ra. Bahwa seorang laki-laki telah meli’an isterinya pada masa Nabi SAW dan
menafikan anak isterinya tersebut, maka Nabi SAW menceraikan antara keduanya
dan mempertemukan nasabnya anak kepada ibunya”. (Riwayat al-Bukhari dan Abu
Dawud).
“Rasulullah SAW
menjadikan hak waris anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu
sesudahnya.” (Riwayat Abu Dawud).
Dari
uraian diatas dapat ditegaskan bahwa anak li’an disamakan status hukumnya
dengan anak zina. Mereka hanya bisa mewarisi ibu dan saudara-saudaranya yang
seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapak dan ahli waris lainnya, karena
tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Persoalan
yang timbul, bagaimanakah apabila anak zina atau anak li’an tersebut
berkedudukan sebagai si mati. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
a. Para sahabat besar seperti ‘Umar ibn
al-Khattab, ‘Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud menempatkan ibu dari anak zina
atau li’an sebagai ahli waris tunggal, sebagai ashab al-furud dan ‘asabah
sehkaligus. Karena di dalam kenyataannya, sejak li’an itu terjadi hubungan
perkawinan menjadi terputus selamanya (bain) praktis ibu bertindak sebagai ibu dan
bapak sekaligus. Fungsi demikian sejalan dengan sabda Nabi SAW:
“Nabi
SAW bersabda: Wanita itu dapat memperoleh tiga macam harta, harta peninggalan
budaknya yang telah dibebaskan, harta peninggalan anak pungutnya dan harta
peninggalan anak li’annya” (Riwayat Abu Dawud).
b. Para ulama Madinah, termasuk di dalamnya
Zaid ibn Sabit menyatakan bahwa harta peninggalan anak zina dan anak li’an
dapat di warisi sebagaimana anak lainnya. Yaitu berdasarkan ketentuan furud al-muqaddarah.[8]
Ibu menerima 1/6, jika ada saudara-saudara seibu menerima 1/3 dan5 sisanya
diserahkan ke bait al-mal.[9]
Pendapat ini kemudian di ikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu
Hanifah. Yang terakhir ini menentukan persyaratan, apabila ada ahli waris zawu al-arham, mereka harus didahulukan,
daripada di setorkan ke bait al-mal.
Jadi menurut mazhab ini, ibu tidak bisa berperan sebagai ahli waris penerima
‘asabah.
Contohnya,
seorang wanita meninggal, ahli warisnya terdiri dari nenek, anak perempuan
(tidak sah), dan cucu perempuan garis perempuan. Harta warisan Rp 12.000.000,-
Bagian masing-masing adalah:
1.
Menurut
Imam Malik dan Syafi’i:
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM
6
|
HW. Rp 12.000.000,-
|
Penerimaan
|
Nenek
|
1/6
|
1
|
1/6*Rp 12.000.000,-
|
Rp 2.000.000,-
|
Anak PR
|
1/2
|
3
|
3/6* Rp 12.000.000,-
|
Rp 6.000.000,-
|
Cucu PR
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
||||
4
|
Jumlah
|
Rp 8.000.000,-
|
Sisa
Rp 12.000.000,- - Rp 8.000.000,-= Rp 4.000.000,- di setor ke bait al-mal. Anak perempuan (tidak sah)
tetap menerima bagian karena yang meninggal adalah ibunya, karena statusnya
sebagai ahli waris yang sah.
2.
Menurut
Imam Hanafi:
Ahli Waris
|
Bagian
|
AM
6
|
HW. Rp 12.000.000,-
|
Penerimaan
|
Nenek
|
1/6
|
1
|
1/6*Rp 12.000.000,-
|
Rp 2.000.000,-
|
Anak PR
|
1/2
|
3
|
3/6* Rp 12.000.000,-
|
Rp 6.000.000,-
|
Cucu PR
|
-
|
2
|
2/6* Rp 12.000.000,-
|
Rp 4.000.000,-
|
-
|
||||
6
|
Jumlah
|
Rp 12.000.000,-
|
Sisa
yang seharusnya diserahkan ke bait al-mal menurut pendapat Imam Malik dan
Syafi’i, diserahkan kepada cucu perempuan garis perempuan (zawu al-arham)
menurut Imam Hanafi.
3.
STATUS WARISAN
ANAK ZINA DAN LI’AN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
(KHI)
Di dalam pasal 186 KHI menyebutkan :
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Dalam pandangan Islam, apabila
seseorang telah jelas memiliki adanya hubungan darah dengan ibu bapaknya, maka
di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada suatu
penghalang dan selama syarat-syaratnya telah cukup sempurna, dan tak dapat
seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang
ibu.[10]
Dalam hal ini yang menjadi pandangan
ialah hubungan darah si anak dengan ibunya saja tidak dengan bapaknya. Seperti
yang terjadi pada anak zina dan anak li’an, hukum syara’ telah menetapkan bahwa kedua anak yang
dimaksud ini dihubungkan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya
dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu
dengan ayahnya.[11]
Dalam ‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak di akui oleh agama),
sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Oleh karena anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui
hubungan darah dengan ayahnya, maka ia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula
seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tidak
ada sebab saling mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena
anak zina itu diakui hubungan darahnya dengan ibunya, maka ia mewarisi
ibunya, sebagaimana di mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula
sebaliknya. Maka, apabila meninggal seorang anak yang diakui agama, dengan
meninggalkan ayah dan ibunya yang tidak diakui agama, maka semua harta
peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu dan dengan jalan radd.
4.
IMPLIKASI HUKUM DARI ANAK ZINA DAN ANAK LI`AN
Implikasi hukum dari anak zina dan
li`an adalah sebagai berikut:[12]
1)
Anak hasil
zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan nafaqoh dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.
2)
Anak hasil
zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqoh dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3)
Jika li`an
itu terbukti, maka seseorang anak akan berubah statusnya menjdi anak tidak sah
(mula`anah) dan kedudukannya dimata
hukum sama dengan anak hasil zina,
dimana dia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
sedangkan terhadap laki-laki yang menginkarinya dengan li`an tidak memiliki
hubungan apa-apa.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Anak
zina yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama.
Pengertian ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah
hukum agama. Maksudnya, harus dibedakan misalnya seorang perempuan tidak pernah
diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Anak Li’an adalah
anak yang kehadirannya tidak diakui oleh suaminya ibunya (melalui sidang
pengadilan) meskipun antara suami isteri terikat dalam perkawinan yang sah.
Anak Li’an
disamakan status hukumannya dengan Anak Zina, mereka hanya bisa mewarisi ibu
dan saudara-saudaranya yang seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapak dan
ahli waris lainnya, karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Dalam hal ini yang menjadi pandangan
ialah hubungan darah si anak dengan ibunya saja tidak dengan bapaknya. Seperti
yang terjadi pada anak zina dan anak li’an, hukum syara’ telah menetapkan bahwa kedua anak yang
dimaksud ini dihubungkan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya
dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu
dengan ayahnya.
B.
SARAN
Demikianlah yang dapat kami
sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya
banya kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan sumber
rujukan atau referensi yang kami peroleh. Penulis berharap kepada para pembaca
yang akan memberikan kritikan dan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca,
khususnya pada penulis. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta:Pt Raja Grafindo
Persada, 1998.
Rusyd,Ibn, Bidayat al-Mujtahid, Semarang: Usaha Keluarga, tt.
Al-Qazwiny, Al-Kazimi , al-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim,
Beirut: Dar al-Zahra’, 1397/1977.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung: 1991/1992.
Ash-Shiddieqy, Muhammd Hasbi , Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997.
Mardani, hukum kewarisan islam
indonesia, Rajawali Pers, Jakarta:
2004.
[1] Ahmad Rofiq, fiqh mawaris, jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1998,
hlm. 5
[2] Ibid., hlm. 8
[3] Ibid., hlm. 131
[4] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Semarang: Usaha Keluarga, hlm. 30.
[5] Al-Kazimi al-Qazwiny, al-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, Beirut:
Dar al-Zahra’, 1397/1977, hlm. 229.
[6] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981, hlm.221.
[7] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung:
1991/1992, hlm. 65.
[8] Bagian-bagian tertentu yang telah dirinci besar kecilnya, seperti ½,
1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3.
[9] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981, hlm. 224.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang