Thursday, 14 January 2016

HARTA WARISAN ANAK LI’AN DAN ANAK ZINA MENURUT PARA ULAMA FARO’ID

HARTA WARISAN ANAK LI’AN DAN ANAK ZINA MENURUT PARA ULAMA FARO’ID
Oleh: Novi Arifah dan Sudi Putra

BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar Belakang
Hukum kewarisan sebelum Islam sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada. Menurut mereka (masyarakat Jahiliyah), ahli waris yang berhak memperoleh harta warisan dari keluarganya yang meninggal adalah mereka yang laki-laki, berfisik kuat, dan dapat memanggul senjata untuk mengalahkan musuh dalam setiap peperangan.[1]
Adapun dasar-dasar pewarisan pada zaman sebelum Islam adalah sebagai berikut:
·         Pertalian kerabat (al-qarabah)
·         Janji prasetia (al-hilf wa al-mu’aqadah)
·         Pengangkatan anak (al-tabanni atau adopsi)[2]
Dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal Islam adalah:
·         Pertalian kerabat (al-qarabah)
·         Janji prasetia (al-hilf wa al-mu’aqadah)
·         Pengangkatan anak (al-tabanni atau adopsi)
·         Hijrah (dari Mekkah ke Madinah)
·         Ikatan persaudaraan (al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Ansar (penolong) di Madinah.
Dalam pokok hukum islam sebab waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Seorang suami istri dapat waris mewarisi karena keduanya oleh perkawinan yang dibenarkan oleh hukum islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan tersebut. Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum islam juga ditentukan oleh sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan seseorang wanita, sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau tidaknya pengakuan ayah terhadap anak tersebut.

    II.            Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Anak Zina dan Anak Li’an?
2.      Bagaimana harta warisan Anak Zina dan Anak Li’an?
3.      Bagaimana Status warisan anak zina dan li’an dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)?


                                                                     BAB II
PEMBAHASAN
1.      HARTA WARISAN ANAK ZINA
Anak zina yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama. Pengertian ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah hukum agama. Maksudnya, harus dibedakan misalnya seorang perempuan tidak pernah diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan formal yuridis supaya bayi yang akan lahir mempunyai “BAPAK” maka dicarikanlah calon bapak untuk si bayi. Dalam contoh tersebut, seseorang perlu berhati-hati menetapkan hukum nikah tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa akad nikahh tersebut tidak sah, kecuali apabila pernikahan itu dengan pelaku zina. Meskipun demikian akibat hukumnya, si anak tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya.[3]
Mayoritas ulama membolehkan pernikahan antara penzina dengan orang lain yang bukan penzinanya.perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaan dalam memahami firman Allah SWT dalam (Qs. An-Nur : 3):
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin[1028]

[1028] Maksud ayat ini Ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.
Ulama yang memahami ayat “wa hurrima zalika ‘ala al-mu’minin” isyarat kepada nikah, maka perkawinan wanita hamil karena zina tidak sah. Mayoritas ulama memandang perkawinan semacam ini tidak pantas dilakukan orang beriman.[4]
Pada umumnya, akad nikah untuk mencarikan “BAPAK” tersebut dapat di tolelir masyarakat. Namun demikian status hukum bayi yang lahir dari akibat perzinaan, tidak bisa dinasabkan kepada “bapaknya”. Para ulama sepakat bahwa bayi yang lahir kurang dari 6 bulan terhitung sejak akad nikah dilangsungkan, tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya. Bahkan para ulama Syi’ah menegaskan bahwa anak zina, selain tidak bisa dinasabkan kepada “bapaknya”, juga tidak bisa dinasabkan kepada ibunya.[5]  Ini dimaksudkan agar setiap orang hati-hati dalam menjaga diri dan kehormatan diri dan keturunannya. Belum lagi soal hukumanya jika dapat saksi-saksi yang membuktikannya.
Fatchur Rahman mengemukakan perbedaan pendapat Ulama, apakah tenggang waktu 6 bulan itu dihitung dari akan nikah atau sejak terjadinya hubungan suami-isteri?
·         Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat jika seorang laki-laki mengawani seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam waktu kurang dari 6 bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah 6 bulan dari akad perkawinannya, bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada laki-laki yang menyebabkannya mengandung. Yang menjadi batasan adalah akad nikahnya, bukan perbuatan zinanya. Bisa saja secara biologis misalnya melalui tes darah adalah bapaknya, tetapi secara hukum tidak bisa dibenarkan.
·         Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya. Karena itu anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayah (pezina) nya sebagai anak sah. [6] Dasar hukum yang digunakan adalah petunjuk umum sabda Rasulullah SAW:
“Anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”. (Riwayat lima orang ahli hadis).

Tampaknya, pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih tepat dalam konteks pemahaman ke- Indonesiaan. Sebagai bangsa timur yang bercorak religius, nilai-nilai etika dan moral menjadi sangat penting diaplikasikan. Oleh karena itu, dengan mengambil ketegasan hukum diatas diharapkan kita lebih berhati-hati agar tidak terjebak dengan kenikmatan sesaat yang membawa xsengsara berkepanjangan, terutama bagi si anak.
Dari penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa menurut mayoritas ulam, anak zina tidak mewarisi ayahnya, karena status hukumnya tidak ada hubungan nasab dianatara mereka. Anak zina hanya bisa mewarisi harta peninggalan ibunya, begitu juga sebaliknya, ibunya dan saudara-saudaranya yang seibu, yang bisa mewarisi harta peninggalanya.

2.      HARTA WARISAN ANAK LI’AN
Li’an adalah sumpah seorang suami bahwa ia akan menerima laknat Allah, apabila tuduhan terhadap istrinya berzina ternyata tidak benar. Apabila perzinaan yang dituduhkan suami terhadap isterinya itu benar dan melahirkan anak, maka si anak tersebut dinamakan anak li’an. Sudah barang tentu akan ditolak oleh ayahnya, karena dianggap bukan anak “darah dagingnya”. Jadi anak li’an, dapat didefinisikan sebagai anak yang kehadirannya tidak diakui oleh suaminya ibunya (melalui sidang pengadilan)[7] meskipun antara suami isteri terikat dalam perkawinan yang sah.
Pasal 162 KHI di Indonesia menyebutkan “bilamana li’an terjadi, maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajibaan memberi nafkah”.
Adapun teknis pelaksanaan li’an, suami menuduh istrinya telah berzina disertai sumpah 4 kali atas nama Allah bahwa tuduhannya benar. Pada sumpah kelima, suami mengatakan bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika ia berdusta. Kemudian isteri diberikan kesempatan untuk menolak tuduhan dengan cara bersumpah 4 kali atas nama Allah dengan mengatakan bahwa suaminya berdusta. Pada sumpahnya yang kelima ia mengatakan laknat Allah menimpa dirinya jika tuduhan suaminya benar. Dasarnya firman Allah SWT dalam Q.s an-Nur: 6-7):
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030].

[1030] Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.
Para ulama sepakat bahwa status hukum anak li’an sama dengan anak zina. Yaitu bahwa anak hanya bisa dinasabkan kepada ibunya saja. Dasarnya adalah tindakan Nabi SAW:
“Riwayat dari Ibn ‘Umar ra. Bahwa seorang laki-laki telah meli’an isterinya pada masa Nabi SAW dan menafikan anak isterinya tersebut, maka Nabi SAW menceraikan antara keduanya dan mempertemukan nasabnya anak kepada ibunya”. (Riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud).
“Rasulullah SAW menjadikan hak waris anak li’an (mula’anah) kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya.” (Riwayat Abu Dawud).
Dari uraian diatas dapat ditegaskan bahwa anak li’an disamakan status hukumnya dengan anak zina. Mereka hanya bisa mewarisi ibu dan saudara-saudaranya yang seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapak dan ahli waris lainnya, karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Persoalan yang timbul, bagaimanakah apabila anak zina atau anak li’an tersebut berkedudukan sebagai si mati. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
a.       Para sahabat besar seperti ‘Umar ibn al-Khattab, ‘Ali ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud menempatkan ibu dari anak zina atau li’an sebagai ahli waris tunggal, sebagai ashab al-furud dan ‘asabah sehkaligus. Karena di dalam kenyataannya, sejak li’an itu terjadi hubungan perkawinan menjadi terputus selamanya (bain) praktis ibu bertindak sebagai ibu dan bapak sekaligus. Fungsi demikian sejalan dengan sabda Nabi SAW:
“Nabi SAW bersabda: Wanita itu dapat memperoleh tiga macam harta, harta peninggalan budaknya yang telah dibebaskan, harta peninggalan anak pungutnya dan harta peninggalan anak li’annya” (Riwayat Abu Dawud).
b.      Para ulama Madinah, termasuk di dalamnya Zaid ibn Sabit menyatakan bahwa harta peninggalan anak zina dan anak li’an dapat di warisi sebagaimana anak lainnya. Yaitu berdasarkan ketentuan furud al-muqaddarah.[8] Ibu menerima 1/6, jika ada saudara-saudara seibu menerima 1/3 dan5 sisanya diserahkan ke bait al-mal.[9] Pendapat ini kemudian di ikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Yang terakhir ini menentukan persyaratan, apabila ada ahli waris zawu al-arham, mereka harus didahulukan, daripada di setorkan ke bait al-mal. Jadi menurut mazhab ini, ibu tidak bisa berperan sebagai ahli waris penerima ‘asabah.
Contohnya, seorang wanita meninggal, ahli warisnya terdiri dari nenek, anak perempuan (tidak sah), dan cucu perempuan garis perempuan. Harta warisan Rp 12.000.000,- Bagian masing-masing adalah:
1.      Menurut Imam Malik dan Syafi’i:
Ahli Waris
Bagian
AM
6
HW. Rp 12.000.000,-
Penerimaan
Nenek
1/6
1
1/6*Rp 12.000.000,-
Rp 2.000.000,-
Anak PR
1/2
3
3/6* Rp 12.000.000,-
Rp 6.000.000,-
Cucu PR
-
-
-
-


-




4
Jumlah
Rp 8.000.000,-

Sisa Rp 12.000.000,- - Rp 8.000.000,-= Rp 4.000.000,- di setor ke bait al-mal. Anak perempuan (tidak sah) tetap menerima bagian karena yang meninggal adalah ibunya, karena statusnya sebagai ahli waris yang sah.

2.      Menurut Imam Hanafi:
Ahli Waris
Bagian
AM
6
HW. Rp 12.000.000,-
Penerimaan
Nenek
1/6
1
1/6*Rp 12.000.000,-
Rp 2.000.000,-
Anak PR
1/2
3
3/6* Rp 12.000.000,-
Rp 6.000.000,-
Cucu PR
-
2
2/6* Rp 12.000.000,-
Rp 4.000.000,-


-




6
Jumlah
Rp 12.000.000,-

Sisa yang seharusnya diserahkan ke bait al-mal menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i, diserahkan kepada cucu perempuan garis perempuan (zawu al-arham) menurut Imam Hanafi.
3.      STATUS WARISAN ANAK ZINA DAN LI’AN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Di dalam pasal 186 KHI menyebutkan :
“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Dalam pandangan Islam, apabila seseorang telah jelas memiliki adanya hubungan darah dengan ibu bapaknya, maka di mewarisi ibu bapaknya dan ibu bapaknya mewarisinya selama tak ada suatu penghalang dan selama syarat-syaratnya telah cukup sempurna, dan tak dapat seseorang dipandang mempunyai hubungan darah dengan ayah saja tanpa dipandang ibu.[10]
Dalam hal ini yang menjadi pandangan ialah hubungan darah si anak dengan ibunya saja tidak dengan bapaknya. Seperti yang terjadi pada anak zina dan anak li’an, hukum syara’ telah menetapkan bahwa kedua anak yang dimaksud ini dihubungkan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.[11]
Dalam ‘urf modern dinamakan wa’ad ghairu syar’i (anak yang tidak di akui oleh agama), sebagaimana ayahnya dinamakan ayah ghairu syar’i. Oleh karena anak zina, baik lelaki ataupun perempuan, tidak diakui hubungan darah dengan ayahnya, maka ia tidak mewarisi ayahnya dan tidak pula seseorang kerabat ayah, sebagaimana ayahnya tidak mewarisinya. Lantaran tidak ada sebab saling mempusakai antara keduanya, yaitu hubungan darah. Oleh karena anak zina itu diakui hubungan  darahnya dengan ibunya, maka ia mewarisi ibunya, sebagaimana di mewarisi kerabat-kerabat ibunya, demikian pula sebaliknya. Maka, apabila meninggal seorang anak yang diakui agama, dengan meninggalkan ayah dan ibunya yang tidak diakui agama, maka semua harta peninggalannya untuk ibunya dengan jalan fardlu dan dengan jalan radd.

4.      IMPLIKASI HUKUM DARI ANAK ZINA DAN ANAK LI`AN
Implikasi hukum dari anak zina dan li`an adalah sebagai berikut:[12]
1)      Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan nafaqoh dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya.
2)      Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqoh dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3)      Jika li`an itu terbukti, maka seseorang anak akan berubah statusnya menjdi anak tidak sah (mula`anah) dan kedudukannya dimata hukum sama dengan  anak hasil zina, dimana dia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sedangkan terhadap laki-laki yang menginkarinya dengan li`an tidak memiliki hubungan apa-apa.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Anak zina yaitu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut ketentuan agama. Pengertian ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa yang menjadi ukuran adalah hukum agama. Maksudnya, harus dibedakan misalnya seorang perempuan tidak pernah diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Anak Li’an adalah anak yang kehadirannya tidak diakui oleh suaminya ibunya (melalui sidang pengadilan) meskipun antara suami isteri terikat dalam perkawinan yang sah.
Anak Li’an disamakan status hukumannya dengan Anak Zina, mereka hanya bisa mewarisi ibu dan saudara-saudaranya yang seibu saja, tidak bisa mewarisi kepada bapak dan ahli waris lainnya, karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan.
Dalam hal ini yang menjadi pandangan ialah hubungan darah si anak dengan ibunya saja tidak dengan bapaknya. Seperti yang terjadi pada anak zina dan anak li’an, hukum syara’ telah menetapkan bahwa kedua anak yang dimaksud ini dihubungkan kepada ibunya dan tidak diakui hubungan darahnya dengan si ayah. Oleh karenanya, tidak ada hubungan kekerabatan antara anak itu dengan ayahnya.
B.     SARAN
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banya kekurangan dan kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan sumber rujukan atau referensi yang kami peroleh. Penulis berharap kepada para pembaca yang akan memberikan kritikan dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya pada penulis. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada, 1998.
Rusyd,Ibn, Bidayat al-Mujtahid, Semarang: Usaha Keluarga, tt.
Al-Qazwiny, Al-Kazimi , al-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, Beirut: Dar al-Zahra’, 1397/1977.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung: 1991/1992.
Ash-Shiddieqy, Muhammd Hasbi , Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997.
Mardani, hukum kewarisan islam indonesia, Rajawali Pers, Jakarta: 2004.


[1] Ahmad Rofiq, fiqh mawaris, jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 5
[2] Ibid., hlm. 8
[3] Ibid., hlm. 131
[4] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Semarang: Usaha Keluarga, hlm. 30.
[5] Al-Kazimi al-Qazwiny, al-Syi’ah fi ‘Aqaidihim wa Ahkamihim, Beirut: Dar al-Zahra’, 1397/1977, hlm. 229.
[6] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981, hlm.221.
[7] Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Humaniora Utama Press, Bandung: 1991/1992, hlm. 65.
[8] Bagian-bagian tertentu yang telah dirinci besar kecilnya, seperti ½, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, dan 2/3.
[9] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Ma’arif, 1981, hlm. 224.
[10] Muhammd Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra, Semarang: 1997, hlm. 288
[11] http://rikzaadhianr.blogspot.co.id/2011/12/hukum-waris-anak-zina-dan-lian.html
[12] Mardani, hukum kewarisan islam indonesia, Jakarta, Rajawali Pers 2004, hlm. 104

#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...