Kasus Kewarisan Orang Mati Bersama Menurut Ulama Faraidh
Oleh: Tiara dan Samsul
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam mensyaratkan berlakunya
saling waris mewarisi dalam hukum waris islam adalah kematian. Kematian yang
dialami oleh seseorang bahkan beberapa orang secara bersamaan bisa disebabkan
karena kecelakaan mobil, tertimbun, banjir, kebakaran dsb. Terkait dengan hal
ini, salah satu kasus yang ada dalam hukum mawaris adalah “kewarisan orang yang
mati bersama-sama”. Dalam ilmu faraidh atau mawaris, syarat dan rukun merupakan
salah satu yang harus dipenuhi sebelum diadakannya pembagian warisan. Artinya “tidak
berlaku suatu hukum ketika sebuah syarat serta rukun yang mendukung adanya
hukum itu tidak ada”. Terkait dengan topik bahasan, orang yang meninggal
secara bersama-sama secara praktis tidak saling mewarisi diantara mereka, akan
tetapi harta “tirkah” dibagikan kepada ahli waris mereka yang masih
hidup, ini merupakan kesepakatan ulama (jumhur). Ada dua permasalahan
yang ada dalam masalah tersebut, yaitu:
Pertama,
orang yang meninggal secara serentak, bersama-sama atau secara seketika.
Artinya dalam masalah pertama ini antara yang meninggal tidak diketahui siapa
yang lebih dahulu meninggal. Oleh karena itu jumhur berpendapat diantaranya Abu
Bakar, Zaid, Ibnu Abbas, Al-Auza’i, Malik, Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan juga
Ahmad, bahwa mereka tidak saling mewarisi, maka dari itu
kalangan sunni mengikuti pendapat ini. Akan tetapi, kalangan syi’i
dalam hal ini berpendapat diantara mereka saling mewarisi, pendapat ini
dinukilkan dari Umar, Ali, Imam Ahmad, Syureih, Al-Sya’bi, ‘Atha’, Ibnu Abi
Laila, Ibnu Mas’ud.
Kedua,
orang yang meninggal secara barsamaan, tetapi ada tenggang waktu yang dapat
dibuktikan secara pasti bahwa diantara mereka meninggal secara beruturan. Tidak
ada perbedaan pendapat diantara kalangan sunni maupun Syi’i bahwa mereka saling
mewarisi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kewarisan orang yang mati
bersama ?
2. Bagaimana cara pembagian warisan orang yang mati
bersama ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian orang mati bersama
Orang
yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat saling
waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami kecelakaan
dalam satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam, kebakaran,
tabrakan kendaraan, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, tenggelam, tertimbun,
ataupun hal-hal lainnya. Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk
orang yang mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di
antara mereka yang lebih dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian. Hal
ini bisa diketahui dengan cara bertanya kepada orang yang menyaksikan, atau
adanya salah seorang atau lebih dari mereka yang selamat dari bencana tersebut
yang menyaksikan siapa yang paling dulu meninggal, lalu siapa yang hidup
kemudian walaupun hidupnya itu hanya sesaat saja. Jika memang keadaannya
demikian, pembagian waris akan lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan
memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua
(yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah
kepada ahli warisnya yang berhak dan begitulah seterusnya.[1]
Namun
jika diketahui bahwa mereka meninggal sekaligus, maka mereka tidak dapat saling
waris-mewarisi, karena syarat menerima warisan adalah ahli waris dalam keadaan
hidup ketika si pemilik harta meninggal, baik meninggal yang hakiki ataupun
yang dihukumkan sudah meninggal. Dan syarat ini tidak ada pada kejadian di
atas. Begitu pula jika kita tidak mengetahui bagaimana kematian itu
terjadi apakah ia berurutan atau sekaligus, atau bisa jadi kita mengetahui
bahwa mereka meninggal secara beruntun, hanya saja tidak diketahui dengan jelas
siapa yang lebih dahulu, atau kita mengetahui siapa yang terakhir, hanya kita
lupa siapa orangnya, maka terhadap keadaan-keadaan seperti ini, menurut Imam
Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak dapat saling mewarisi.[2]
Sedangkan
menurut Imam Syafi’i jika kita atau saksi lupa urutan siapa yang
meninggal pertama dan siapa yang meninggal kemudian hingga yang meninggal
paling terakhir, maka perkara seperti ini harus ditunda dahulu hingga teringat
atau saling berdamai. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, apabila
antara ahli waris berselisih pendapat siapa yang lebih dahulu meninggal
sementara masing-masing tidak memiliki bukti, maka mereka harus saling
bersumpah seterusnya mereka tidak lagi saling mewarisi karena tidak ada faktor
yang dapat menguatkan. Apabila tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli
waris, maka masing-masing ahli waris mendapat bagian dari harta yang
ditinggalkan tidak termasuk harta yang diterimanya sebagai warisan, hal itu
demi mencegah terjadinya mata rantai yang tidak diketahui ujung pangkalnya.[3]
Jadi
menurut pendapat jumhur ulama yang dapat saling mewarisi adalah orang-orang
yang mati secara berurutan, dengan diketahui siapa yang mati pertama kali dan
yang mati kemudian. Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara
bersamaan lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal
setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang
berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak
setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut para ulama ahli faraid
hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris
pada saat kematian pewaris.
Sedangkan
jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati
tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di
antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah
yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: “Tidak ada hak
saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan,
dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta
yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya”. Hal
demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan
dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera
dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.[4]
B.
Cara pembagian warisan orang mati bersama
Konsep penyelesaian masalah Ala-Sunni
·
Kasus pertama (tidak diketahui siapa
yang meninggal pertama dan kedua)
Suami-isteri meninggal secara
bersamaan akibat kecelakaan sepeda motor, masing-masing tidak diketahui siapa
yang lebih dahulu meninggal. Sedangkan mereka masing-masing mempunyai harta
sebanyak Rp. 1.000.000 dan meninggalkan ahli waris: Suami: Anak laki-laki
dan anak perempuan, ayah dan ibu. Isteri: Anak laki-laki dan anak
perempuan, saudara perempuan sekandung dan ayah. Penyelesaiannya sbb:
Ahli waris suami
|
bagian
|
6
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Anak laki-laki
|
Ashabah Bil Ghairi
|
4
|
Anak perempuan
|
Ashabah Bil Ghairi
|
1.1 Tabel ahli waris suami
Ayah
=1/6 x Rp.
1.000.000
= Rp. 166.667
Ibu
=1/6 x Rp.
1.000.000
= Rp. 166.667
Ank Lk dan Pr
=4/6 x Rp. 1.000.000
= Rp. 666.666 +
= Rp. 1.000.000
Bagian anak laki-laki 2x bagian
anak perempuan, maka masing-masing mendapat;
Asal masalah menjadi 3. Maka: Rp. 666.666:
3 = Rp. 222.222, karena berlaku 2:1, Anak laki-laki
mendapat 2 x Rp. 222.222 = Rp. 444.444, dan anak Pr mendapat 1 x Rp. 222.222 =
Rp. 222.222.
Ahli waris isteri
|
Bagian
|
6
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
Anak Lk
|
Ashabah Bil Ghairi
|
5
|
Anak Pr
|
||
Saudara perempuan
|
Mahjub
|
__
|
1.2
tabel ahli waris isteri
Ayah:
=1/6 x Rp.
1.000.000
= Rp. 166.667
Anak
lk dan pr =5/6 x Rp.
1.000.000
= Rp. 833.333 +
= Rp. 1.000.000
Bagian
anak pr dan lk sbb:
Asal
masalah adalah 3. Maka Rp. 833.333 : 3 = Rp. 277.777.
Bagian
anak lk = 2 x Rp.
277.777 = Rp. 555.554
Bagian
anak pr = 1 x Rp.
277.777 = Rp. 277.777
·
kasus kedua (diketahui kematian
orang pertama dan kedua)
Masih dalam contoh diatas, akan
tetapi si-suami diketahui lebih dulu diketahui secara pasti kematiannya dari
pada isterinya. Maka pembaginannya sbb:
Ke-1
Ahli waris suami
|
bagian
|
24
|
Isteri
|
1/8
|
3
|
Ayah
|
1/6
|
4
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
Anak lk
|
Ashabah bil Ghairi
|
13
|
Anak pr
|
1.3 tabel ahli waris suami
isteri
: 3/24 x Rp.
1.000.000
= Rp. 125.000
ayah
: 4/24 x Rp.
1.000.000
= Rp. 166.667
ibu
: 4/24 x Rp. 1.000.000
= Rp. 166.667
ank
lk dan pr : 13/24 x Rp.
1.000.000
= Rp. 541.666 +
= Rp. 1.000.000
Bagian
ank lk dan pr:
Asal
masalah 3, maka Rp. 541.666 : 3 = Rp. 180.555
Jadi:
Bagian
anak lk = 2 x
Rp. 180.555 = Rp. 361.110
Bagian
anak pr = 1
x Rp. 180.555 = Rp. 180.555
Ke-2
Pada bagian kedua, harta isteri
bertambah menjadi Rp. 1.125.000. karena harta isteri mula-mula Rp. 1.000.000,
kemudian ditambah bagian waris dari harta suami yaitu Rp. 125.000
Ahli waris isteri
|
bagian
|
6
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
Anak laki-laki
|
Ashabah bil Ghairi
|
5
|
Anak perempuan
|
||
Saudara perempuan
|
Mahjub
|
__
|
1.4
tabel ahli waris isteri
bagian
ayah
: 1/6 x Rp.
1.125.000 = Rp. 187.500
bagian
ank lk &
pr : 5/6 x Rp.
1.125.000 =
Rp. 937.500 +
= Rp. 1.125.000
Sedangkan bagian anak lk dan anak
pr 2:1
Asal masalah 3, maka Rp. 937.500
: 3 = Rp. 312.500
Bagian anak
lk = 2 x Rp.
312.500 = Rp. 625.000
Bagian anak
pr = 1x Rp.
312.500 = Rp. 312.500
Konsep penyelesaian masalah Ala-Syi’i
Bagi golongan Syi’i yang
bersumber dari pendapat yang diriwayatkan dari Umar dan Ali yang diamalkan oleh
Imam Ahmad,[5] Syureih, Al-Sya’bi, ‘Atha’, ibnu Abi Laila dan juga
diriwayatkan oleh ibnu Mas’ud, yang mengatakan bahwa antara mereka yang
mengalami kecelakaan bersama itu saling mewarisi, baik diketahui siapa yang
lebih dulu meninggal atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal
diantara mereka. Sehingga golongan ini memberikan argumentasi dengan apa yang
telah dikatakan oleh Sya’bi bahwa suatu ketika terjadi musibah besar yang
menyebabkan orang mati dalam satu-satu rumah. Berita bencana itu dilaporkan
kepada umar, kemudian beliau mengirim surat yang isinya, “hendaklah mereka
menjadikan sebagiannya menjadi ahli waris terhadap yang lainnya”.[6]
Mengenai pandangan di atas, M.
Jawad Mughniyah menyatakan bahwa cara penyelesaian model ini tidak dikenal oleh
kalangan sunni, yang mempunyai pengaruh besar terhadap masalah ini. Para ulama
mazhab kontenporer mereka telah memberikan uraian yang sangat memadai dan
membuat cabang permasalahan yang belum terpikirkan oleh ulama lain.[7]
Contoh:
Sebuah bangunan ambruk menimpa
seorang suami-isteri, yang waktu kematian mereka tidak diketahui, dan juga
tidak diketahui diantara mereka siapa yang lebih dulu meninggal dunia. Mereka
masing masing memiliki harta dan Ahli waris sbb:
Suami
: harta sebanyak Rp. 1.000.000. Dan ahli waris terdiri dari isteri, anak
laki-laki, ayah, dan ibu.
Isteri
: harta sebanyak Rp. 1.000.000. Dan ahli waris terdiri dari suami, anak
laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung.
Sebelum
harta dibagikan kepada ahli waris, maka dikeluarkan terlebih dulu harta suami
untuk isteri dan harta isteri untuk suami.
Maka:
Bagian
isteri 1/8 x Rp. 1.000.000 = Rp. 125.000 + Rp. 1.000.000 (harta
Asal) = Rp. 1.125.000
Bagian
suami ¼ x Rp. 1.000.000 = Rp. 250.000 + Rp. 1.000.000 (harta asal) = Rp.
1.250.000
Penyelesaian:
Ahli waris (Suami)
|
Bagian
|
6
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Anak Lk
|
Ashabah Bin Nafsi
|
4
|
1.5
tabel ahli waris suami
Jadi:
Ayah
: 1/6 x Rp.
1.250.000
= Rp. 208.333
Ibu
: 1/6 x Rp.
1.250.000
= Rp. 208.333
Anak
: 4/6 x Rp.
1.250.000
= Rp. 833.333 +
= Rp.
1.250.000
Ahli waris (isteri)
|
Bagian
|
6
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
Anak laki-laki
|
Ashabah Bin Nafsi
|
5
|
Saudara laki-laki kandung
|
Mahjub
|
__
|
1.6
tabel ahli waris isteri
Jadi:
Ayah
: 1/6 x Rp.
1.125.000
= Rp. 187.500
Anak
: 5/6 x Rp.
1.125.000
= Rp. 937.500 +
= Rp. 1.125.000
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
- Orang yang meninggal secara bersama-sama yang
tidak diketahui siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu, maka
jumhur ulama sepakat bahwa diantara yang meninggal itu tidak saling
mewarisi, akan tetapi apabila diketahui secara pasti orang yang meninggal
pertama dan kemudian, maka yang kemudian itu mendapat warisan orang yang
meninggal pertama. Pendapat ini digunakan oleh mayoritas ulama sunni.
Berbeda dengan ulama sunni, menurut ulama syi’i,
mereka yang memiliki hak saling mewarisi yang meninggal secara bersamaan,
tetap memiliki hak mewarisi.
- Hak saling mewarisi antara orang yang mati secara
bersamaan hanya terjadi apabila diketahui secara pasti siapa yang pertama
meninggal dunia.
- Apabila orang yang meninggal secara bersama-sama,
kemudian diantara mereka tidak mempunyai ahli waris, maka harta “tirkah”
(peniggalan) mereka masing-masing diberikan kepada Baitul Mal, pendapat
ini menirut jumhur Fuqaha.
DAFTAR
PUSTAKA
Ash-Shiddieqy,
Hasbi, T. M, FiqhulMawaris, BulanBintang, Jakarta, 1973
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih
Lima Mazhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, penerjemah: Masykur A.B, dkk.
Jakarta: PT Lentera Basrimata, 1996
Sarifuddin,
Amir. HukumKewarisan Islam. Jakarta: KencanaPrenada
Media Group, 2008
http://:duniafaroid.blogspot.in.com
[6]
Prof. Dr. Amir
Sarifuddin, Hukum kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Gruop, 2008), cet-3, hal-143
#makalah_prodi_perbandinganmazhab&hukum_syariah_angkatan2012-2016_dan_hukum_UIN_RAFAH