Thursday, 14 January 2016

Kasus Kewarisan Orang Mati Bersama Menurut Ulama Faraidh

Kasus Kewarisan Orang Mati Bersama Menurut Ulama Faraidh
Oleh: Tiara dan Samsul
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam mensyaratkan berlakunya saling waris mewarisi dalam hukum waris islam adalah kematian. Kematian yang dialami oleh seseorang bahkan beberapa orang secara bersamaan bisa disebabkan karena kecelakaan mobil, tertimbun, banjir, kebakaran dsb. Terkait dengan hal ini, salah satu kasus yang ada dalam hukum mawaris adalah “kewarisan orang yang mati bersama-sama”. Dalam ilmu faraidh atau mawaris, syarat dan rukun merupakan salah satu yang harus dipenuhi sebelum diadakannya pembagian warisan. Artinya “tidak berlaku suatu hukum ketika sebuah syarat serta rukun yang mendukung adanya hukum itu tidak ada”. Terkait dengan topik bahasan, orang yang meninggal secara bersama-sama secara praktis tidak saling mewarisi diantara mereka, akan tetapi harta “tirkah” dibagikan kepada ahli waris mereka yang masih hidup, ini merupakan kesepakatan ulama (jumhur). Ada dua permasalahan yang ada dalam masalah tersebut, yaitu:
Pertama, orang yang meninggal secara serentak, bersama-sama atau secara seketika. Artinya dalam masalah pertama ini antara yang meninggal tidak diketahui siapa yang lebih dahulu meninggal. Oleh karena itu jumhur berpendapat diantaranya Abu Bakar, Zaid, Ibnu Abbas, Al-Auza’i, Malik, Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan juga Ahmad, bahwa mereka tidak saling mewarisi, maka dari itu kalangan sunni mengikuti pendapat ini. Akan tetapi, kalangan syi’i dalam hal ini berpendapat diantara mereka saling mewarisi, pendapat ini dinukilkan dari Umar, Ali, Imam Ahmad, Syureih, Al-Sya’bi, ‘Atha’, Ibnu Abi Laila, Ibnu Mas’ud. 
Kedua, orang yang meninggal secara barsamaan, tetapi ada tenggang waktu yang dapat dibuktikan secara pasti bahwa diantara mereka meninggal secara beruturan. Tidak ada perbedaan pendapat diantara kalangan sunni maupun Syi’i bahwa mereka saling mewarisi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kewarisan orang yang mati bersama ?
2.      Bagaimana cara pembagian warisan orang yang mati bersama ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian orang mati bersama
Orang yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat saling waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami kecelakaan dalam satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam, kebakaran, tabrakan kendaraan, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, tenggelam, tertimbun, ataupun hal-hal lainnya. Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk orang yang mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian. Hal ini bisa diketahui dengan cara bertanya kepada orang yang menyaksikan, atau adanya salah seorang atau lebih dari mereka yang selamat dari bencana tersebut yang menyaksikan siapa yang paling dulu meninggal, lalu siapa yang hidup kemudian walaupun hidupnya itu hanya sesaat saja. Jika memang keadaannya demikian, pembagian waris akan lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak dan begitulah seterusnya.[1]
Namun jika diketahui bahwa mereka meninggal sekaligus, maka mereka tidak dapat saling waris-mewarisi, karena syarat menerima warisan adalah ahli waris dalam keadaan hidup ketika si pemilik harta meninggal, baik meninggal yang hakiki ataupun yang dihukumkan sudah meninggal. Dan syarat ini tidak ada pada kejadian di atas. Begitu pula  jika kita tidak mengetahui bagaimana kematian itu terjadi  apakah ia berurutan atau sekaligus, atau bisa jadi kita mengetahui bahwa mereka meninggal secara beruntun, hanya saja tidak diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu, atau kita mengetahui siapa yang terakhir, hanya kita lupa siapa orangnya, maka terhadap keadaan-keadaan seperti ini, menurut Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali tidak dapat saling mewarisi.[2]
Sedangkan menurut Imam Syafi’i jika kita atau saksi lupa urutan siapa yang meninggal pertama dan siapa yang meninggal kemudian  hingga yang meninggal paling terakhir, maka perkara seperti ini harus ditunda dahulu hingga teringat atau saling berdamai. Sedangkan menurut madzhab Imam Ahmad, apabila antara ahli waris berselisih pendapat siapa yang lebih dahulu meninggal sementara masing-masing tidak memiliki bukti, maka mereka harus saling bersumpah seterusnya mereka tidak lagi saling mewarisi karena tidak ada faktor yang dapat menguatkan. Apabila tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli waris, maka masing-masing ahli waris mendapat bagian dari harta yang ditinggalkan tidak termasuk harta yang diterimanya sebagai warisan, hal itu demi mencegah terjadinya mata rantai yang tidak diketahui ujung pangkalnya.[3]
Jadi menurut pendapat jumhur ulama yang dapat saling mewarisi adalah orang-orang yang mati secara berurutan, dengan diketahui siapa yang mati pertama kali dan yang mati kemudian. Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian  inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut para ulama ahli faraid  hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.
Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan: “Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya”. Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.[4]

B.     Cara pembagian warisan orang mati bersama
Konsep penyelesaian masalah Ala-Sunni
·         Kasus pertama (tidak diketahui siapa yang meninggal pertama dan kedua)
Suami-isteri meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan sepeda motor, masing-masing tidak diketahui siapa yang lebih dahulu meninggal. Sedangkan mereka masing-masing mempunyai harta sebanyak Rp. 1.000.000 dan meninggalkan ahli waris: Suami: Anak laki-laki dan anak perempuan, ayah dan ibu. Isteri: Anak laki-laki dan anak perempuan, saudara perempuan sekandung dan ayah. Penyelesaiannya sbb:
Ahli waris suami
bagian
6
Ayah
1/6
1
Ibu
1/6
1
Anak laki-laki
Ashabah Bil Ghairi
4
Anak perempuan
Ashabah Bil Ghairi
1.1 Tabel ahli waris suami
Ayah                       =1/6 x Rp. 1.000.000                         = Rp. 166.667
Ibu                          =1/6 x Rp. 1.000.000                          = Rp. 166.667
Ank Lk dan Pr       =4/6 x Rp. 1.000.000                         = Rp. 666.666 +
                                                                                           = Rp. 1.000.000



Bagian anak laki-laki 2x bagian anak perempuan, maka masing-masing mendapat;
Asal masalah menjadi 3. Maka: Rp. 666.666: 3     = Rp. 222.222, karena berlaku 2:1, Anak laki-laki mendapat 2 x Rp. 222.222 = Rp. 444.444, dan anak Pr mendapat 1 x Rp. 222.222 = Rp. 222.222.
Ahli waris isteri
Bagian
6
Ayah
1/6
1
Anak Lk
Ashabah Bil Ghairi
5
Anak Pr
Saudara perempuan
Mahjub
­­__
1.2     tabel ahli waris isteri
Ayah:                          =1/6     x Rp. 1.000.000                      = Rp. 166.667
Anak lk dan pr            =5/6     x Rp. 1.000.000                      = Rp. 833.333 +
                                                                                                = Rp. 1.000.000
Bagian anak pr dan lk sbb:
Asal masalah adalah 3. Maka Rp. 833.333 : 3 = Rp. 277.777.
Bagian anak lk            = 2 x Rp. 277.777         = Rp. 555.554
Bagian anak pr            = 1 x Rp. 277.777         = Rp. 277.777

·         kasus kedua (diketahui kematian orang pertama dan kedua)
Masih dalam contoh diatas, akan tetapi si-suami diketahui lebih dulu diketahui secara pasti kematiannya dari pada isterinya. Maka pembaginannya sbb:
Ke-1
Ahli waris suami
bagian
24
Isteri
1/8
3
Ayah
1/6
4
Ibu
1/6
4
Anak lk
Ashabah bil Ghairi
13
Anak pr
1.3     tabel ahli waris suami
isteri                : 3/24 x Rp. 1.000.000                        = Rp. 125.000
ayah                 : 4/24 x Rp. 1.000.000                        = Rp. 166.667
ibu                   : 4/24 x Rp. 1.000.000                        = Rp. 166.667
ank lk dan pr   : 13/24 x Rp. 1.000.000                      = Rp. 541.666 +
                                                                                    = Rp. 1.000.000
Bagian ank lk dan pr:
Asal masalah 3, maka Rp. 541.666 : 3 = Rp. 180.555
Jadi:
Bagian anak lk            = 2 x Rp. 180.555       = Rp. 361.110
Bagian anak pr            = 1 x Rp. 180.555       = Rp. 180.555
Ke-2
Pada bagian kedua, harta isteri bertambah menjadi Rp. 1.125.000. karena harta isteri mula-mula Rp. 1.000.000, kemudian ditambah bagian waris dari harta suami yaitu Rp. 125.000

Ahli waris isteri
bagian
6
Ayah
1/6
1
Anak laki-laki
Ashabah bil Ghairi
5
Anak perempuan
Saudara perempuan
Mahjub
__
1.4     tabel ahli waris isteri
bagian ayah                       : 1/6 x Rp. 1.125.000              = Rp. 187.500
bagian ank lk & pr             : 5/6 x Rp. 1.125.000             = Rp. 937.500 +
                                                                                          = Rp. 1.125.000
Sedangkan bagian anak lk dan anak pr 2:1
Asal masalah 3, maka Rp. 937.500 : 3      = Rp. 312.500
Bagian anak lk      = 2 x Rp. 312.500       = Rp. 625.000
Bagian anak pr      = 1x Rp. 312.500        = Rp. 312.500


Konsep penyelesaian masalah Ala-Syi’i
Bagi golongan Syi’i yang bersumber dari pendapat yang diriwayatkan dari Umar dan Ali yang diamalkan oleh Imam Ahmad,[5] Syureih, Al-Sya’bi, ‘Atha’, ibnu Abi Laila dan juga diriwayatkan oleh ibnu Mas’ud, yang mengatakan bahwa antara mereka yang mengalami kecelakaan bersama itu saling mewarisi, baik diketahui siapa yang lebih dulu meninggal atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal diantara mereka. Sehingga golongan ini memberikan argumentasi dengan apa yang telah dikatakan oleh Sya’bi bahwa suatu ketika terjadi musibah besar yang menyebabkan orang mati dalam satu-satu rumah. Berita bencana itu dilaporkan kepada umar, kemudian beliau mengirim surat yang isinya, “hendaklah mereka menjadikan sebagiannya menjadi ahli waris terhadap yang lainnya”.[6]
Mengenai pandangan di atas, M. Jawad Mughniyah menyatakan bahwa cara penyelesaian model ini tidak dikenal oleh kalangan sunni, yang mempunyai pengaruh besar terhadap masalah ini. Para ulama mazhab kontenporer mereka telah memberikan uraian yang sangat memadai dan membuat cabang permasalahan yang belum terpikirkan oleh ulama lain.[7]

Contoh:
Sebuah bangunan ambruk menimpa seorang suami-isteri, yang waktu kematian mereka tidak diketahui, dan juga tidak diketahui diantara mereka siapa yang lebih dulu meninggal dunia. Mereka masing masing memiliki harta dan Ahli waris sbb:
Suami  : harta sebanyak Rp. 1.000.000. Dan ahli waris terdiri dari isteri, anak laki-laki, ayah, dan ibu.
Isteri    : harta sebanyak Rp. 1.000.000. Dan ahli waris terdiri dari suami, anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung.
Sebelum harta dibagikan kepada ahli waris, maka dikeluarkan terlebih dulu harta suami untuk isteri dan harta isteri untuk suami.
Maka: 
Bagian isteri 1/8 x Rp. 1.000.000   = Rp. 125.000 + Rp. 1.000.000 (harta Asal)    = Rp. 1.125.000
Bagian suami ¼ x Rp. 1.000.000   = Rp. 250.000 + Rp. 1.000.000 (harta asal) = Rp. 1.250.000
Penyelesaian:
Ahli waris (Suami)
Bagian
6
Ayah
1/6
1
Ibu
1/6
1
Anak Lk
Ashabah Bin Nafsi
4
1.5     tabel ahli waris suami
Jadi:
Ayah   : 1/6 x Rp. 1.250.000              = Rp. 208.333
Ibu       : 1/6 x Rp. 1.250.000              = Rp. 208.333
Anak   : 4/6 x Rp. 1.250.000              = Rp. 833.333 +
                                                            = Rp. 1.250.000

Ahli waris (isteri)
Bagian
6
Ayah
1/6
1
Anak laki-laki
Ashabah Bin Nafsi
5
Saudara laki-laki kandung
Mahjub
__
1.6     tabel ahli waris isteri
Jadi:
Ayah   : 1/6 x Rp. 1.125.000              = Rp. 187.500
Anak   : 5/6 x Rp. 1.125.000              = Rp. 937.500 +
                                                            = Rp. 1.125.000


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
  1. Orang yang meninggal secara bersama-sama yang tidak diketahui siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu, maka jumhur ulama sepakat bahwa diantara yang meninggal itu tidak saling mewarisi, akan tetapi apabila diketahui secara pasti orang yang meninggal pertama dan kemudian, maka yang kemudian itu mendapat warisan orang yang meninggal pertama. Pendapat ini digunakan oleh mayoritas ulama sunni. Berbeda dengan ulama sunni,  menurut ulama syi’i, mereka yang memiliki hak saling mewarisi yang meninggal secara bersamaan, tetap memiliki hak mewarisi.
  2. Hak saling mewarisi antara orang yang mati secara bersamaan hanya terjadi apabila diketahui secara pasti siapa yang pertama meninggal dunia.
  3. Apabila orang yang meninggal secara bersama-sama, kemudian diantara mereka tidak mempunyai ahli waris, maka harta “tirkah” (peniggalan) mereka masing-masing diberikan kepada Baitul Mal, pendapat ini menirut jumhur Fuqaha.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi, T. M, FiqhulMawaris, BulanBintang, Jakarta, 1973

Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Mazhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, penerjemah: Masykur A.B, dkk. Jakarta: PT Lentera Basrimata, 1996

Sarifuddin, Amir. HukumKewarisan Islam. Jakarta: KencanaPrenada Media Group, 2008

http://:duniafaroid.blogspot.in.com




[1] Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, hal. 19.
[2] Ibid
[3] Ibid, hal. 21.
[4] http://:duniafaroid.blogspot.in.com
[5] “Hukum kewarisan Islam (Amir Sarifuddin)”. Hal-143
[6] Prof. Dr. Amir Sarifuddin, Hukum kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Gruop, 2008), cet-3, hal-143
[7] Muhammad Jawad Mughniyah,...hal-617

#makalah_prodi_perbandinganmazhab&hukum_syariah_angkatan2012-2016_dan_hukum_UIN_RAFAH
loading...