Thursday, 14 January 2016

SEWA MENYEWA ( AL-IJARAH) - Fiqh Muamalah

Sewa-Menyewa (Al-Ijarah) - Fiqh Muamalah
Oleh: Tiara dan Endra

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqh muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyrakat. Segala tindakan manusia yang bukan merupakan ibadah termasuk dalam kategori ini. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas dalam fiqih muamalah ialah al-Ijarah.
 Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan Ijarah ini yang menjadi objek transaksinya adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Rasulullah SAW Bersabda yang artinya:
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R. Ibn Majjah dari Ibn Umar). Dari hadist ini dapat dilihat bahwa proses Ijarah sudah ada sejak zaman Nabi.
Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah. Sebelum dijelaskan mengenai ijarah, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai makna operasional ijarah itu sendiri. Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat bahwa ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, mu’jir dan musta’jir, sedangkan Kamaluddin A. Marzuki sebagai penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.
Dari dua buku tersebut ada perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya digunakan untuk benda, sedangkan upah digunkan untuk tenaga. Namun dalam bahasa Arab ijarah adalah sewa dan upah. Sehingga ketika kita melihat bagaimana aplikasi dari ijarah itu sendiri dilapangan, maka kita bisa mendapati sebagai mana yang akan dibasas dalam makalah ini. Yang mana diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberikan masukan ilmu pengetahuan kepada kaum muslimin mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sewa-menyewa. Ijarah merupakan menjual manfaat yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain dengan menggunakan ketentuan syari’at islam. Kegiatan ijarah ini tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar kita. Oleh sebab itu kita harus mengetahui apa pengertian dari ijarah yang sebenarnya, rukun dan syarat ijarah, dasar hukum ijarah, manfaat ijarah dan lain sebagainya mengenai ijarah. Karena begitu pentingnya masalah tersebut maka permasalahan ini akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan Ijarah ?
2.      Apa yang menjadi dasar hukum Ijarah ?
3.      Apa yang menjadi rukun dan syarat Ijarah ?
4.      Berapa macam pembagian dan hukum Ijarah ?
5.      Bagamana cara hak menerima upah ?
6.      Bagaimana terjadi pembatalan dan berakhirnya ijarah ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijarah
Sewa menyewa atau Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al-Iwadhu’ ( ganti ) dari sebab itu Ats-Tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-Ajru ( upah ).[1]
Menurut etimologi, ijarah adalah menjual manfaat. Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
a. Menurut Ulama Hanafiyah, akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
b. Menurut Ulama Asy-Syafi’iyah, akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
c. Ulama Malikiyah dan Hanabilah, menjadikan milik sesuatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
Menurut pengertian syara’ Al-Ijarah ialah ; Urusan sewa menyewa yang jelas manfaatnya dan tujuannya, dapat diserah terimakan, boleh diganti dengan upah yang telah diketahui ( gajian tertentu ). seperti halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk di tempati, mobil untuk di naiki.
Para ulama mendefinisikan ijarah ialah sewa menyewa atas manfaat satu barang dan atau jasa antara pemilik objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan berupa sewa atau upah bagi pemilik objek sewa.[2]
Pemilik yang menyewakan manfaat di sebut Mu’ajjir (orang yang menyewakan). Pihak lain yang memberikan sewa di sebut Musta’jir ( orang yang menyewa=penyewa ) dan, sesuatu yang di akadkan untuk di ambil manfaatnya di sebut Ma’jur ( sewaan ). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaatnya di sebut Ajran atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad ini di sebut pula Mu’addhah (penggantian).[3]

B.     Dasar hukum Ijarah
Al-ijarah dalam bentuk sewa-menyewa maupun dalam bentuk upah-mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam Islam. Hukum asalnya menurut Jumhur Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat al-qur’an, hadis-hadis Nabi, dan ketetapan Ijma’ Ulama.
1.      Dasar hukum dalam Al-qur’an
فا ن ارضعن لكم فاء توهن اجو رهن ( ا لطلاق : 6)
Artinya: 
 “Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah upahnya.”(Al-Talaq: 6).[4]
2.      Dasar hukum dari hadist
اهريرةأبيعنالرزاقعبدرواه )اَجْرَهُفَلْيَعْمَلْجِيْرًااَجَرَاسْتَأْمَنِ
Artinya:
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.”(HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah).
Hadist lainnya : “Berikanlah upah atau jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”(HR. Ibnu Majah).
Dan “Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah kamu upahnya kepada tukang-tukang itu”.(HR. Bukhari dan Muslim).


3.      Landasan Ijma’nya
Landasan ijma’nya ialah bahwa semua Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah di perbolehkan sebab bermanfaat bagi manusia.[5]
Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkan al-ijarah itu adalah untuk memberi keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Banyak orang yang mempunyai uang, tetapi tidak dapat bekerja. Dipihak lain banyak banyak orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang. Dengan adanya al-ijarah keduanya saling mendapatkan keuntungan dan kedua belah pihak saling mendapatkan manfaat.

C.    Rukun dan Syarat Ijarah
a.       Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat, yaitu:
1.      Dua orang yang berakad
2.      Sighat (ijab dan kabul)
3.      Sewa atau imbalan
4.      Manfaat.
b.      Syarat Ijarah
Ada 5 syarat sah dari Ijarah, diantaranya  :
1. Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut,
2. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang di akadkan,    
    sehingga mencegah terjadinya perselisihan,
3.  Kegunaan dari barang tersebut,
4. Kemanfaatan benda di bolehkan menurut syarat,
5. Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat di manfaatkan
    kegunaannya menurut criteria, dan realita.[6]
       D. Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1.      Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti: rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a). Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad  ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.Menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum  tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
b).  Cara Memanfaatkan Barang Sewaan
1). Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
     2). Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akand idirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan ijarah dipandang rusak.
    3). Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c). Perbaikan Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, pemiliknyalah yang berkewajiban memmperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d). Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa Sewa
    1). Menyeahkan kunci jika yang disewa rumah
    2). Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat       asalnya
2. Hukum Upah-Mengupah
Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal, terbagi dua, yaitu:
   a). Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
   b). Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja-sama. Hukumnya dibolehkan bekerja-sama dengan orang lain.[7]

      E. Hak Menerima Upah
1). Selesai bekerja
Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

(عمرابيعنماجهابنرواه)عَرَقُهُيَجِفَّاَنْقَبْلَاَجْرَهُاْلاَجِيْرَاُعْطُوْا
“Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering.”[8]
2). Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang
Karena apabila dalam suatu barang itu telah terjadi kerusakan maka akad ijarah itupun batal.
3). Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlasung.
4). Mempercepat dalam bentuk akad ijarah (bayaran)
       F. Pembatalan Dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah ini:
1). Terjadi cacatt pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.
2). Rusaknya barang yang disewakan.
3). Rusanya barang yang diupahkan seperti bahan baju yang diupahkan untuk   dijahitkan
4). Terpenuhinya manfaat yang diakadkat,atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh.[9]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan ijarah diatas baik itu definisi, syarat dan rukun-rukunnya dapat penulis simpulkan bahwa:
a. Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan manusia, seperti sewa-menyewa, kontrak atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain dengan ada imbalannya atau upahnya.
b. Dalam memaknai ijarah itu sendiri banyak perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Namun intinya mereka menyetujui adanya ijarah setelah memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masing-masing para ulama, sehingga meskipun terjadi perbedaan didalamnya selalu ada pemecahan persoalan terhadap permasalahan-permasalan yang timbul dikarenakan hal-hal yang terkait dengan ijarah itu sendiri.

B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan, sehingga secara pribadi penulis sangat megharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini agar nantinya dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca khususnya bagi penulis sendiri. Terima Kasih.




[1] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq. 2010.  Fiqh Muamalat,   Jakarta: Fajar Interpratama Offset.hlm11 7
[2] Nasrun Haroen,2000.Fiqh Muamalah.Jakarta: Gaya media Pratama hlm 134

[3]Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm116

[4] QS.At-Talaq:6
[5] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si.2010. FIQH MUAMALAH, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 117
[6] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq. 2010.  Fiqh Muamalat,   Jakarta: Fajar Interpratama Offset.hlm278
[7]Rachmat Syafe’I.2004.Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.hlm. 131-134
[8] Dimyauddin Djuaini, Pengantar FIQH MUAMALAH,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 156
[9] Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq. 2010.  Fiqh Muamalat,   Jakarta: Fajar Interpratama Offset.hlm284
 #makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012-2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang

loading...