ARTIKEL FILSAFAT HUKUM KELUARGA
Hikmah dan Filsafat Diharamkannya Rujuk
dengan Istri yang di-Thalaq tiga
Oleh: Muhammad Roiz
Menurut Bahasa, talak berarti melepas tali
dan membebaskan. Menurut syara’, melepas tali nikah dengan lafal talak atau
sesamanya. Ulama sepakat bolehnya talak, sekalipun hukum asalnya adalah makruh.[1]
Dalil disyari’atkan talak adalah Al-Qur’an,
sunnah dan ijma’. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 229).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[2]
dan hitunglah waktu iddah itu.” (QS. Ath-Thalaq: 1).
Adapun dalam sunnah banyak sekali
haditsnya, diantaranya sabda Nabi saw.: “Halal yang paling dimurkai Allah
adalah talak.”[3]
Jika seorang istri ditalak (ke-satu) oleh
suaminya, lantas rujuk. Kemudian ditalak lagi (ke-dua), lantas rujuk dan
kemudian ditalak lagi, maka ini talak yang ketiga yang disebut dengan thalaq
ba’in kubra, yang diharamkan lagi rujuk bagi suaminya, sebelum sang istri
menikah kembali dengan sendirinya[4]
dengan laki-laki lain (muhallil) dan telah digauli kemudian cerai dengan
sendirinya (alami; tanpa campur tangan/perintah suami pertama). Sebagaimana
ditetapkan dalam QS. Al-Baqarah: 230;
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230).
Namun jika talak tiga itu diucapkan dalam
satu waktu, seperti ucapan, “saya talak/cerai kamu, saya talak kamu dan saya
talak kamu”, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal; apakah talak
seperti ini terhitung/tergolong talak tiga sehingga menjadi ba’in kubra
atau hanya menjadi talak satu sehingga dianggap talak raj’i (rujuk)?
Maka mayoritas ulama berpendapat bahwa
talak tiga yang diucapkn dalam satu waktu itu tergolong talak bain kubra.
Sedangkan sebagian ulama dan sahabat, seperti Ibnu Abbas dan Umar bin Khaththab
berpendapat tergolong talak satu (talak raj’i).[5]
Adapun di antara hikmah dan filsafat
diharamkannya rujuk dengan istri yang telah ditalak tiga sebelum adanya
muhallil adalah sebagai berikut:
1) Sebagai peringatan keras bagi seorang
suami, agar tidak mudah mencerai istrinya dengan talak tiga atau mencerai
sampai tiga kali, karena jika itu terjadi maka jika tetap ingin rujuk, konsekuensinya
sangat berat dan menyakitkan, yaitu istrinya harus terlebih dahulu menikah
dengan laki-laki lain dan harus digauli. Berarti suami pertama tadi harus
bersabar menunggu sampai terjadi perceraian dengan suami kedua, berarti juga ia
harus merelakan istrinya digauli oleh laki-laki lain yang menjadi suami
keduanya. Sehingga sanksi seperti ini dapat membuat jera sang suami agar tidak
lagi mencerai istrinya.
2) Sebagai rahmat, karena Islam masih tetap
memberikan kesempatan untuk rujuk walau dengan persyaratan yang sangat berat.
Sebab syariat Islam sangat memperhatikan hak-hak anak dalam hal mendapatkan
perhatian dari orang tuanya terutama ayahnya. Maka adanya muhallil merupakan
salah satu upaya untuk mengembalikan anak kepada ayah kandungnya.[6]
REFERENSI
Abdul Aziz dan Abdul Wahhab. 2009. penterj. Abdul Majid Khon, Fiqih
Munakahat, Jakarta: AMZAH.
Tamrin, Dahlan. 2007. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN Malang
Press.
Abi Said; Umar bin Gharamah al-‘Amrawi.
[1] Abdul Aziz dan Abdul
Wahhab, penterj. Abdul Majid Khon, Fiqih Munakahat,
(Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 255.
[2] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci
sebelum dicampuri. tentang masa iddah Lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan
surat Ath Thalaaq ayat 4.
[3] Abdul Aziz dan Abdul
Wahhab, penterj. Abdul Majid Khon, Fiqih Munakahat,
(Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 256..
[4] Maksudnya tidak dengan
siasat; adapun upaya helah (siasat) suami dengan menyewa/membayar laki-laki
lain untuk menikahi istrinya (yang ditalak tiga) atau yang dikenal dengan
menjadi muhallil (penghalal) adalah merupakan keharaman menurut sebagian besar
ulama, walau sebagian ulama seperti Abu HAnifah tidak mengharamkan hanya
memakruhkannya saja.