ARTIKEL FILSAFAT HUKUM KELUARGA
Hikmah dan Filsafat Larangan Muslimah
Menikah dengan selain Muslim
Oleh: Jamiatul Husnaini
Ilustrasi |
Perkawinan (Az-Zawaj) atau
pernikahan, menurut bahasa az-zawaj diartikan pasangan atau jodoh.
Sedangkan menurut syara’, fuqaha memberikan definisi secara umum akad zawaj adalah
pemilikan sesuatu melalui jalan yang disyariatkan dalam agama. Tujuannya,
menurut tradisi manusia dan menurut syara’ adalah menghalalkan sesuatu
tersebut. Akan tetapi itu bukanlah tujuan perkawinan (zawaj) yang
tertinggi dalam syariat Islam. Tujuan yang tertinggi adalah memelihara
regenerasi, memelihara gen manusia, dan masing-masing suami mendapatkan
ketenangan jiwa karena kecintaan dan kasih sayangnya dapat disalurkan.[1]
Sebagaimana firman Allah:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.” (QS.
Ar-Rum (30): 21)
Telah menjadi kesepakatan (ijma’) para
ulama dalam hal larangan menikahnya perempuan muslimah dengan non muslim
sekalipun dari ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Keharaman ini dikarenakan adanya
Nash Al-Qur’an yang melarangnya, yaitu QS. Al-Baqarah: 221.[2]
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah (2): 221).
Masalah ini dalam kitab-kitab fiqih lebih dikenal dengan istilah kafa’ah
(kesesuaian/kesederajatan) yang berjumlah lima kafa’ah. Dan kafa’ah
fi al-Din (agama) adalah kafa’ah yang disepakati oleh seluruh ulama;
artinya laki-laki yang akan menikahi seorang muslimah haruslah se-kufu’
alias sederajat agamanya (sama-sama Islam). Sedangkan empat kafa’ah yang
lainnya masih diperselisihkan oleh para ulama, yaitu kafa’ah dalam hal nasab
(garis keturunan), hirfah (pekerjaan), huriyah (merdeka/bukan
budak) dan salamah al-‘uyub (selamat dari penyakit/tidak cacat).
Sebagian ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanbali ada yang memasukkan juga kafa’ah
fi al-‘ilm (keilmuan/kepandaian) dan kafa’ah fi al-mal (kekayaan).
Maka jika terjadi pernikahan yang tidak se-kufu’ akan mengakibatkan
nikahnya fasid (tidak sah) dan bagi sang ayah dari pihak perempuan
diperbolehkan untuk mem-fasakh (membatalkan) pernikahan tersebut.
Hal itu sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 61, yang berbunyi:[3]
Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan
untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ karena perbedaan agama atau
ikhtilaafu al-dien.
Dan di antara hikmah serta filsafat
keharaman muslimah menikah dengan non muslim adalah sebagai berikut:[4]
1) Perempuan pada umumnya lemah dan patuh pada
suaminya, maka ketika seorang muslimah menikah dengan non muslim ada
kekhawatiran ia akan dipengaruhi atau bahkan dipaksa suaminya untuk masuk ke
dalam agamanya. Dan hal semacam ini banyak terjadi di penjuru bumi ini,
terutama di Indonesia. Pemaksaan itu, umumnya dilakukan setelah mereka memiliki
anak, agar sang istri mudah dipengaruhi, karena mereka berat dan sayang
terhadap masa depan anak-anaknya.
2) Agama anak pada umumnya akan ikut dan sama
dengan agama ayahnya, belum lagi jika sang ayah berupaya mendidik anaknya
sesuai dengan agamanya, bahkan tidak jarang disekolahkan ke ssekolah yang
berciri khas dengan agamanya yang non muslim.
3) Karena Islam adalah agama yang luhur dan
tinggi dan tidak boleh ada yang melebihinya. Dan jika seorang muslimah menikah
dengan non muslim, berarti Islam dikalahkan oleh agama lain, karena suaminya
yang non muslim sebagai kepala (pemimpin) rumah tangga.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
simpulkan bahwa seorang muslimah dilarang dan diharamkan menikah dengan seorang
laki-laki non muslim, karena dalam Islam diharamkan menikah berbeda agama. Hal
itu akan menodai kesucian agama Islam dan kesakralan suatu pernikahan.
REFERENSI
Abdul Aziz dan Abdul Wahhab. 2009. penterj. Abdul Majid Khon, Fiqih
Munakahat, Jakarta: AMZAH.
Al-Asyqar, Umar Sulaiman. 2004. Ahkam al-Zawaj fi Dloi al-Kitab wa
as-Sunnah. Cet. III; Oman-Yordania: Dar al-Nafais..
Tim Nuansa Aulia. 2012. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Nuansa
Aulia.
Tamrin, Dahlan. 2007. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN Malang
Press.
[1] Abdul Aziz dan Abdul
Wahhab, penterj. Abdul Majid Khon, Fiqih Munakahat,
(Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 35-36.
[2] Umar Sulaiman al-Asyqar, Ahkam
al-Zawaj fi Dloi al-Kitab wa as-Sunnah, (Cet. III; Oman-Yordania: Dar
al-Nafais, 2004), hlm. 99.