Saturday 16 January 2016

MUDHARABAH - Fiqh Muamalah

MUDHARABAH
Oleh: Jamiatul Husnaini, Safri Erwansyah & Khadijah

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, islam telah membolehkan memberi keringanan kepada manusia untuk menggunakan uangnya dalam suatu usaha dengan bentuk kerja sama, seperti halnya mudharabah. Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan memproduktifkannya. Terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaat.
Mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara dua belah pihak, yaitu salah satunya menyerahkan modal kepada seseorang untuk di perdagangkan dan keuntungannya dibagi antara pemilik modal dan yang memperdagangkan menurut persentase yang disepakati kedua belah pihak.
Mudharabah menurut Ibn Hajr telah ada sejak zaman Rasulullah SAW., beliau telah mengetahui dan mengikutinya, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Pada saat itu Rasulullah melakukan perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah ra. Yang kemudian menjadi istri beliau.
Mudharabah pada saat ini belum banyak dipahami oleh sebagian masyarakat, pun mahasiswa. Seyogyanya, sebagai umat Islam, kita mulai mempelajari bentuk-bentuk kerja sama yang telah Rasulullah ajarkan. Bentuk-bentuk kerja sama tersebut akan banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, penulis mengangkat sebuah makalah tentang mudharabah. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara rinci, mulai dari pengertian mudharabah, dasar hukum, syarat dan rukun, jenis-jenis akad mudharabah sampai pada pembahasan berakhirnya akad mudharabah.
Sistem mudharabah saat ini telah berkembang dan diterapkan dalam Bank-bank syariah di berbagai negara. Tidak hanya di Indonesia, Pakistan, Mesir, Kuwait, Uni Emirat Arab, Malaysia, Bahrain, Iran, Turki pun menggunakan sistem mudharabah dalam bank-banknya.
B.     Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas secara rinci dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian mudharabah secara etimologi dan terminologi?
2.      Apa sajakah dasar hukum yang dijadikan landasan dalam sistem kerja sama mudharabah?
3.      Apa syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam mudharabah?
4.      Apa saja jenis-jenis akad yang terdapat dalam mudharabah?
5.      Apa penyebab berakhirnya akad mudharabah?
  
BAB II PEMBAHASAN
MUDHARABAH
A.    Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata ضَرْبًا-يَضْرِبُ-ضَرَبَ yang berarti bergerak, menjalankan, memukul, dan lain-ain (lafaz ini termasuk lafaz musytarak yang mempunyai banyak arti), kemudian mendapat ziyadah (tambahan) sehingga menjadi  مُضَارِبُ-يُضَارِبُ-ضَارَبَ  yang berarti saling bergerak, saling pergi, saling menjalankan atau saling memukul. [1]
Dalam arti lain,  ضَارَبَberarti berdagang atau memperdagangkan, misalnya,     ضارب في المال أو به   berdagang atau memperdagangkan.[2]
Mudharabah berasal dari kata al-dharab, yag secara harfiah berrti bepergian atau sejalan. Sebagaimana firman Allah SWT.
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Dan orang-orang yang  berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Qs. Al-Muzamil: 20).
Selain al-dharab, disebut juga Qiradh yang berasal dari al-Qardhu berarti al-Qath’u (potongan), karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Ada juga yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan sebutan muamalah. Jadi, secara etimologi, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u (potongan), berjalan, dan bepergian.

Menurut istilah, mudharabah dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut.
1.      Menurut para fuqaha, mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang) yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan.
2.      Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
3.      Malikiyah berpendapat, mudharabah adalah dalam akad perwakilan,  diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
4.      Imam Hanabilah berpendapat, mudharabah adalah ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan bagian keuntungan yang diketahui.
5.      Ulama Syafi’iyah berpendapat, mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
6.      Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah adalah akad antara dua belah pihak, salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan dan dipahami bahwa mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat keuntungan yang diperoleh dibagi kedua belah pihak sesuai kesepakatan.
B.     Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah adalah boleh (mubah), landasan hukumnya adalah sebagai berikut.
1.      Al-Qur’an
a.       QS. Al-Muzzammil: 20
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
            “Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
b.      QS. An-Nisa: 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
      Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
c.       QS. Al-Maidah: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
            “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu..”
d.      QS. Al-Baqarah: 283
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
2.      Hadits
a.       Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib ra., bahwasanya Rasulullah saw. Bersabda:
ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَهُ الْبَيْعُ اِلَى اَجَلِ وَالْمُقَارَضَةُ وَخَلَطُ الْبُرَّ لِلْبَيْتِ وَلآ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkahi, yaitu jual bei yag ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
b.      Hadits Nabi riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas ra.:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,beliau membenarkannya.”
c.       Ijma’
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.[3]
d.      Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan dengan musaqah.
e.       Kaidah Fiqih
اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilalakuan kecuali ada dalil yag mengharamkannya.”
Berdasarkan dalil-dalil yanng telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum mudharabah adalah mubah (boleh) dilakukan.
C.    Syarat dan Rukun Mudharabah
Dalam pelaksanaan mudharabah harus memenuhi berbagai syarat dan rukun, yang menurut Zuhaily (1989: 840-847) sebagai berikut.
1.      Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah di tentukan guna mencapai keabsahannya.
Menurut madzhab Hanafiyah, rukun mudharabah ada dua, yaitu ijab dan qabul. Ulama hanafiyah menyatakan jika shahibul maal dan mudharib telah melafalkan ijab dan qabul maka akad mudharabah itu telah memenuhi rukunnya dan sah. Adapun rukun lainnya sebagaimana dinyatakan Jumhur Ulama, bagi Ulama Hanafiyah ke semua itu masuk sebagai syarat mudharabah.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun mudharabah terdiri dari beberapa macam, yaitu:
a.       Adanya pihak yang berakad; pemilik modal (Shahibul Maal) dan pengelola (Mudharib),
b.      Adanya modal (Ra’sul Maal),
c.       Adanya Pekerjaan/kegiatan usaha (‘Amal),
d.      Adanya keuntungan,
e.       Adanya shighat yaitu ijab qobul.[4]
2.      Syarat Mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah mudharabah adalah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat mudharabah adalah sebagai berikut.
a.       Syarat Pihak yang ber-akad : Cakap bertindak hukum
b.      Syarat Pekerjaan (‘Amal) : seluruh pekerjaan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
c.       Syarat Modal (Ra’sul Maal) :
1.       Dimiliki penuh oleh shahibul maal
2.      Harus berupa uang tunai, emas, perak atau yang bernilai (aset), bukan piutang dan bukan aset yang susah dijual.
3.      Harus dibayarkan seluruhnya kepada mudharib. Jika ada sebagian modal yang masih berada pada shahibul maal, maka menurut Ulama Syafiiyah, Hanafiyah dan Malikiyah akad mudharabah-nya tidak sah. Sedangkan, menurut Ulama Hanabilah akad mudharabah-nya tidak batal selama tidak mengganggu kelancaran usaha.
d.      Syarat Keuntungan :
1.      Keuntungan diperuntukkan bagi kedua pihak yang berakad
2.      Pembagian keuntungan harus jelas (dalam bentuk nisbah[5])
3.      Keuntungan diambil dari laba usaha
4.      Shahibul maal menanggung semua kerugian. Menurut Ulama Hanafiyah jika pemilik modal mensyaratkan kerugian ditanggung bersama maka syarat seperti itu batal dan kerugian tetap ditanggung oleh shahibul maal.
5.      Bilamana kerugian terjadi secara nyata dan dapat dibuktikan kebenarannya berasal dari kelalaian mudharib maka shahibul maal lepas dari tanggung jawab ganti rugi, pihak mudharib-lah yang akan bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

e.       Syarat Sighat :
1.      Harus jelas dan disebutkan secara  spesifik dengan pihak yang berakad
2.      Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dalam spesifikasi pekerjaan, modal dan pembagian keuntungan
3.      Tidak mengandung klausul yang bersifat  menggantungkan keabsahan transaksi pada  hal / kejadian yang akan datang.[6]

D.    Jenis-jenis Akad Mudharabbah
Jenis-jenis akad mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu ditinjau dari segi sahnya akad dan ditinjau dari segi transaksi.
1.      Ditinjau dari Segi Sahnya Akad
Ditinjau dari segi sahnya akad, mudharabah terbagi menjadi:
a.       Mudharabah Shahihah, yaitu akad mudharabah yang sah terpenuhinya segala rukun dan syarat mudharabah.
b.      Mudharabah Fasidah, yaitu akad mudharabah yang rusak karena tidak terpenuhinya rukun dan atau syarat sahnya akad mudharabah.
Mudharabah yang dilakukan masuk kepada golongan fasidah, menurut Ulama Hanafiyah, Syafai’iyah dan Hanabilah mudharib (pekerja) hanya berhak menerima upah sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pekerja (pedagang) di daerah itu, sedangkan keuntungan seluruhnya menjadi milik pemilik modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status pekerja (mudharib) tetap seperti dalam mudharabah shahihah artinya ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
2.      Ditinjau dari Segi Transaksi (cakupan kerja)
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pada pengelola (mudharib), kerja sama dalam permodalan (mudharabah) dapat dikategorikan menjadi:
a.       Mudharabah Mutlaqah adalah akad kerja sama yang memberikan kekuasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mengelola modal usaha. Pengelola tidak dibatasi tempat, jenis dan tujuan usaha. Dalam mudharabah jenis ini, apabila terjadi kerugian, mudharib tidak menanggung resiko terhadap kerugian, kerugian sepenuhnya ditanggung pemilik modal.
b.      Mudharabah Muqayadah adalah akad kerja sama yang menetapkan syarat-syarat yag harus dipenuhi oleh mudharib dari pemilik modal, baik mengenai tempat, jenis maupun tujuan usaha.[7] Batasan-batasan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian. Syarat-syarat itu harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila mudharib melanggar batasan-batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Pembatasan pada jenis mudharabah ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar’i, karena hanya sekedar  ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib ditunaikan.
c.       Mudharabah Musytarakah adalah bentuk kerja sama dimana mudharib menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Diawal kerja sama, akad yang disepakati adalah akad mudharabah dengan modal 100% dari pemilik modal, setelah berjalannya operasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik modal, pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut, jenis mudharabah ini disebut mudharabah musytarakah yang merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah.

E.     Berakhirnya Akad Mudharabah
Menurut Zuhaily[8], pada prinsipnya, kontrak kerja sama dalam mudharabah akan berhenti jika salah satu pihak menghentikan kontrak, atau meninggal dunia, atau modal yang ditanamkan mengalami kerugian di tangan mudharib. Akad mudharabah juga akan batal ketika pemilik modal murtad, begitu juga dengan mudharib.
Pendapat lain dikemukakan oleh Suhendi[9], kerja sama mudharabah akan batal apabila ada perkara-perkara seperti berikut.
1.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia melakukan tugas berhak menerima modal. Jika terdapat keuntungan, maka keuntungan tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2.      Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola modal atau pengelola modal berbuat sesuatu, maka pengelola bertanggung jawab jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3.      Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah seorang pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi batal.[10]

BAB III KESIMPULAN
      Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dijelaskan secara rinci pada makalah ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1.      Mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama permodalan, yaitu suatu akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak, dimana pihak pertama memberikan modal dalam bentuk uang kepada pihak kedua untuk diperdagangkan atau digunakan sebagai usaha. Dan keuntungan dibagi menurut persentase yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2.      Dasar hukum mudharabah:
a.       Al-Qur’an
1)      QS. Al-Muzzammil: 20.
2)      QS. An-Nisa’: 29.
3)      QS. Al-Maidah: .,
4)      QS. Al-Baqarah: 283.
b.      Hadits
1)      Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib ra.
2)      Riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas ra.
c.       Ijma’
Yaitu menyerahkan harta anak yatim kepada mudharib.
d.      Qiyas
Mudharabah diqiyaskan dengan akad musaqah.
e.       Kaidah Fiqih
Semua bentuk muamalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3.      Syarat dan Rukun Mudharabah:
a.       Rukun
1)      Adanya pemilik modal dan mudharib.
2)      Adanya modal (Ra’sul Maal).
3)      Adanya usaha atau pekerjaan
4)      Adanya keuntungan.
5)      Adanya shighat; ijab dan qabul.
b.      Syarat
1)      Modal dan barang harus berbentuk uang tunai, bukan piutang.
2)      Orang yang berakad harus cakap hukum.
3)      Modal harus diketahui secara jelas.
4)      Persentase keuntungan harus jelas sesuai kesepakatan.
5)      Melafazkan ijab dan qabul.
4.      Jenis-jenis akad Mudharabah:
a.       Ditinjau dari segi Sahnya akad
1)      Mudharabah shahihah.
2)      Mudharabah fasidah.
b.      Ditinjau dari segi transaksi
1)      Mudharabah mutlaqah.
2)      Mudharabah muqayadah.
3)      Mudharabah musytarakah.
5.      Berakhirnya akad mudharabah:
a.       Pemilik modal meninggal dunia.
b.      Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
c.       Mudharib dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola.
d.      Salah satu pihak menghentikan kontrak.
e.       Pemilik modal maupun mudharib murtad

DAFTAR PUSTAKA

Munawwar, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak. 
Zuhaily,  Wahbah.1989.  Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Libanon: Darul Fikri, Beirut.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqhus Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir Hamzah), Jil. 3 . Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
Nawawi, Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suhendi, Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.


[1] Ahmad  Warson Munawwar, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia (Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta: tth), hlm. 236.
[2] Ibid, hlm. 873.
[3] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838.
[5] Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian keuntungan. Pengelola dana mendapat imbalan atas kerjanya, sedangkan pemilik dana mendapat imbalan atas penyediaan dananya.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir Hamzah), Jil. 3 . Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat, 2008.
[7] Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. (Bogor: Ghaalia Indonesia, 2012), hlm. 142-148.
[8] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/872.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 143.
[10] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 201.

#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...