MUDHARABAH
Oleh: Jamiatul Husnaini, Safri Erwansyah & Khadijah
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada
dasarnya, islam telah membolehkan memberi keringanan kepada manusia untuk
menggunakan uangnya dalam suatu usaha dengan bentuk kerja sama, seperti halnya mudharabah.
Terkadang sebagian orang memiliki harta, tetapi tidak berkemampuan
memproduktifkannya. Terkadang ada pula orang yang tidak memiliki harta, tetapi
ia mempunyai kemampuan memproduktifkannya. Karena itu, syariat membolehkan
muamalah ini supaya kedua belah pihak dapat mengambil manfaat.
Mudharabah adalah suatu
bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara dua belah pihak, yaitu salah
satunya menyerahkan modal kepada seseorang untuk di perdagangkan dan
keuntungannya dibagi antara pemilik modal dan yang memperdagangkan menurut
persentase yang disepakati kedua belah pihak.
Mudharabah menurut Ibn
Hajr telah ada sejak zaman Rasulullah SAW., beliau telah mengetahui dan mengikutinya,
bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Pada saat itu Rasulullah melakukan
perjalanan ke Syam untuk menjual barang-barang milik Khadijah ra. Yang kemudian
menjadi istri beliau.
Mudharabah pada saat ini
belum banyak dipahami oleh sebagian masyarakat, pun mahasiswa. Seyogyanya,
sebagai umat Islam, kita mulai mempelajari bentuk-bentuk kerja sama yang telah
Rasulullah ajarkan. Bentuk-bentuk kerja sama tersebut akan banyak kita jumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, penulis mengangkat sebuah makalah
tentang mudharabah. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara rinci,
mulai dari pengertian mudharabah, dasar hukum, syarat dan rukun,
jenis-jenis akad mudharabah sampai pada pembahasan berakhirnya akad mudharabah.
Sistem
mudharabah saat ini telah berkembang dan diterapkan dalam Bank-bank
syariah di berbagai negara. Tidak hanya di Indonesia, Pakistan, Mesir, Kuwait,
Uni Emirat Arab, Malaysia, Bahrain, Iran, Turki pun menggunakan sistem mudharabah
dalam bank-banknya.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang akan
dibahas secara rinci dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian mudharabah secara
etimologi dan terminologi?
2. Apa sajakah dasar hukum yang dijadikan
landasan dalam sistem kerja sama mudharabah?
3. Apa syarat dan rukun yang harus dipenuhi
dalam mudharabah?
4. Apa saja jenis-jenis akad yang terdapat
dalam mudharabah?
5. Apa penyebab berakhirnya akad mudharabah?
BAB II PEMBAHASAN
MUDHARABAH
A.
Pengertian Mudharabah
Mudharabah berasal dari
kata ضَرْبًا-يَضْرِبُ-ضَرَبَ yang berarti bergerak, menjalankan,
memukul, dan lain-ain (lafaz ini termasuk lafaz musytarak yang mempunyai banyak arti), kemudian mendapat ziyadah (tambahan) sehingga menjadi مُضَارِبُ-يُضَارِبُ-ضَارَبَ
yang
berarti saling bergerak, saling pergi, saling menjalankan atau saling memukul. [1]
Dalam
arti lain, ضَارَبَberarti
berdagang atau memperdagangkan, misalnya, ضارب
في المال أو به berdagang atau
memperdagangkan.[2]
Mudharabah berasal dari
kata al-dharab, yag secara harfiah berrti bepergian atau sejalan.
Sebagaimana firman Allah SWT.
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ
فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Dan orang-orang yang berjalan
di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Qs. Al-Muzamil: 20).
Selain al-dharab, disebut juga Qiradh yang berasal
dari al-Qardhu berarti al-Qath’u (potongan), karena pemilik
memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian
keuntungan. Ada juga yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan sebutan
muamalah. Jadi, secara etimologi, mudharabah atau qiradh berarti al-qath’u
(potongan), berjalan, dan bepergian.
Menurut istilah, mudharabah dikemukakan oleh para ulama,
sebagai berikut.
1.
Menurut para fuqaha, mudharabah adalah akad antara dua pihak
(orang) yang saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada
pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan.
2.
Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah memandang tujuan dua
pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta
diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta itu.
3.
Malikiyah berpendapat, mudharabah adalah dalam akad
perwakilan, diperdagangkan dengan
pembayaran yang ditentukan (emas dan perak).
4.
Imam Hanabilah berpendapat, mudharabah adalah ibarat pemilik
harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang
dengan bagian keuntungan yang diketahui.
5.
Ulama Syafi’iyah berpendapat, mudharabah adalah akad yang
menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.
6.
Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah adalah akad antara dua
belah pihak, salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan
dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
Dari beberapa pengertian yang telah diungkapkan oleh para ulama di
atas, dapat disimpulkan dan dipahami bahwa mudharabah adalah akad kerja
sama suatu usaha antara pemilik modal dengan pengelola modal tersebut, dengan
syarat keuntungan yang diperoleh dibagi kedua belah pihak sesuai kesepakatan.
B.
Dasar Hukum Mudharabah
Melakukan mudharabah adalah boleh (mubah), landasan hukumnya
adalah sebagai berikut.
1.
Al-Qur’an
a.
QS. Al-Muzzammil: 20
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ
فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Dan
orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah.”
b.
QS. An-Nisa: 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kau saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu.”
c.
QS. Al-Maidah: 1
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu..”
d.
QS. Al-Baqarah: 283
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
2.
Hadits
a.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib ra., bahwasanya
Rasulullah saw. Bersabda:
ثَلَاثٌ
فِيْهِنَّ الْبَرَكَهُ الْبَيْعُ اِلَى اَجَلِ وَالْمُقَارَضَةُ وَخَلَطُ الْبُرَّ
لِلْبَيْتِ وَلآ لِلْبَيْعِ
“Ada tiga perkara yang diberkahi, yaitu
jual bei yag ditangguhkan, memberi modal, dan mencampur gandum dengan jelai
untuk keluarga, bukan untuk dijual.”
b. Hadits
Nabi riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas ra.:
“Abbas
bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah,
serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib)
harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu
didengar Rasulullah,beliau membenarkannya.”
c.
Ijma’
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’.[3]
d. Qiyas
Transaksi mudharabah
diqiyaskan dengan musaqah.
e. Kaidah Fiqih
اَلأَصْلُ
فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى
تَحْرِيْمِهَا
“Pada dasarnya,
semua bentuk muamalah boleh dilalakuan kecuali ada dalil yag mengharamkannya.”
Berdasarkan
dalil-dalil yanng telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
hukum mudharabah adalah mubah (boleh) dilakukan.
C.
Syarat dan Rukun Mudharabah
Dalam pelaksanaan mudharabah harus memenuhi berbagai syarat
dan rukun, yang menurut Zuhaily (1989: 840-847) sebagai berikut.
1.
Rukun Mudharabah
Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah di
tentukan guna mencapai keabsahannya.
Menurut madzhab Hanafiyah, rukun mudharabah ada dua, yaitu ijab
dan qabul. Ulama hanafiyah
menyatakan jika shahibul maal dan mudharib telah melafalkan ijab
dan qabul maka akad mudharabah itu telah memenuhi rukunnya dan sah.
Adapun rukun lainnya sebagaimana dinyatakan Jumhur Ulama, bagi Ulama
Hanafiyah ke semua itu masuk sebagai syarat mudharabah.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun mudharabah terdiri
dari beberapa macam, yaitu:
a.
Adanya pihak yang berakad; pemilik modal (Shahibul Maal) dan
pengelola (Mudharib),
b.
Adanya modal (Ra’sul Maal),
c.
Adanya Pekerjaan/kegiatan usaha (‘Amal),
d.
Adanya keuntungan,
e.
Adanya shighat yaitu ijab qobul.[4]
2.
Syarat Mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, syarat sah mudharabah adalah
berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat mudharabah
adalah sebagai berikut.
a.
Syarat Pihak yang ber-akad : Cakap bertindak hukum
b.
Syarat Pekerjaan (‘Amal) : seluruh pekerjaan yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam
c.
Syarat Modal (Ra’sul Maal) :
1.
Dimiliki penuh oleh shahibul maal
2.
Harus berupa uang tunai, emas, perak atau yang bernilai (aset), bukan
piutang dan bukan aset yang susah dijual.
3.
Harus dibayarkan seluruhnya kepada mudharib. Jika ada sebagian modal
yang masih berada pada shahibul maal, maka menurut Ulama Syafiiyah, Hanafiyah
dan Malikiyah akad mudharabah-nya tidak sah. Sedangkan, menurut Ulama
Hanabilah akad mudharabah-nya tidak batal selama tidak mengganggu
kelancaran usaha.
d.
Syarat Keuntungan :
1.
Keuntungan diperuntukkan bagi kedua pihak yang
berakad
3.
Keuntungan diambil dari laba usaha
4.
Shahibul maal menanggung semua
kerugian. Menurut Ulama Hanafiyah jika pemilik modal mensyaratkan kerugian
ditanggung bersama maka syarat seperti itu batal dan kerugian tetap ditanggung
oleh shahibul maal.
5.
Bilamana kerugian terjadi secara nyata dan dapat dibuktikan kebenarannya
berasal dari kelalaian mudharib maka shahibul maal lepas dari
tanggung jawab ganti rugi, pihak mudharib-lah yang akan bertanggung jawab
atas kerugian tersebut.
e.
Syarat Sighat :
1.
Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan pihak yang berakad
2.
Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik
dalam spesifikasi pekerjaan, modal dan pembagian keuntungan
3.
Tidak mengandung klausul yang bersifat
menggantungkan keabsahan transaksi pada hal / kejadian yang akan datang.[6]
D.
Jenis-jenis Akad Mudharabbah
Jenis-jenis akad mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu
ditinjau dari segi sahnya akad dan ditinjau dari segi transaksi.
1.
Ditinjau dari Segi Sahnya Akad
Ditinjau dari segi sahnya akad, mudharabah terbagi menjadi:
a. Mudharabah
Shahihah,
yaitu akad mudharabah yang sah terpenuhinya segala rukun dan syarat mudharabah.
b. Mudharabah
Fasidah,
yaitu akad mudharabah yang rusak karena tidak terpenuhinya rukun dan
atau syarat sahnya akad mudharabah.
Mudharabah yang dilakukan masuk kepada golongan fasidah,
menurut Ulama Hanafiyah, Syafai’iyah dan Hanabilah mudharib (pekerja)
hanya berhak menerima upah sesuai dengan upah yang berlaku dikalangan pekerja
(pedagang) di daerah itu, sedangkan keuntungan seluruhnya menjadi milik pemilik
modal. Ulama Malikiyah menyatakan bahwa dalam mudharabah fasidah, status
pekerja (mudharib) tetap seperti dalam mudharabah shahihah
artinya ia tetap mendapatkan bagian keuntungan.
2.
Ditinjau dari Segi Transaksi (cakupan kerja)
Berdasarkan kewenangan yang diberikan pada pengelola (mudharib),
kerja sama dalam permodalan (mudharabah) dapat dikategorikan menjadi:
a.
Mudharabah Mutlaqah
adalah akad kerja sama yang memberikan kekuasaan penuh kepada pengelola (mudharib)
untuk mengelola modal usaha. Pengelola tidak dibatasi tempat, jenis dan tujuan
usaha. Dalam mudharabah jenis ini, apabila terjadi kerugian, mudharib
tidak menanggung resiko terhadap kerugian, kerugian sepenuhnya ditanggung
pemilik modal.
b.
Mudharabah Muqayadah
adalah akad kerja sama yang menetapkan syarat-syarat yag harus dipenuhi oleh mudharib
dari pemilik modal, baik mengenai tempat, jenis maupun tujuan usaha.[7]
Batasan-batasan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari resiko
kerugian. Syarat-syarat itu harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila mudharib
melanggar batasan-batasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul. Pembatasan pada jenis mudharabah ini diperselisihkan para
ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut
berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar’i, karena hanya
sekedar ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua
belah pihak, sehingga wajib ditunaikan.
c.
Mudharabah Musytarakah
adalah bentuk kerja sama dimana mudharib menyertakan modal atau dananya
dalam kerja sama investasi. Diawal kerja sama, akad yang disepakati adalah akad
mudharabah dengan modal 100% dari pemilik modal, setelah berjalannya
operasi usaha dengan pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik
modal, pengelola dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut, jenis mudharabah
ini disebut mudharabah musytarakah yang merupakan perpaduan antara akad mudharabah
dan akad musyarakah.
E.
Berakhirnya Akad Mudharabah
Menurut Zuhaily[8],
pada prinsipnya, kontrak kerja sama dalam mudharabah akan berhenti jika
salah satu pihak menghentikan kontrak, atau meninggal dunia, atau modal yang
ditanamkan mengalami kerugian di tangan mudharib. Akad mudharabah juga
akan batal ketika pemilik modal murtad, begitu juga dengan mudharib.
Pendapat lain dikemukakan oleh Suhendi[9],
kerja sama mudharabah akan batal apabila ada perkara-perkara seperti
berikut.
1.
Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, sedangkan modal sudah dipegang oleh
pengelola dan sudah diperdagangkan, maka pengelola mendapatkan sebagian
keuntungannya sebagai upah, karena tindakannya atas izin pemilik modal dan ia
melakukan tugas berhak menerima modal. Jika terdapat keuntungan, maka
keuntungan tersebut menjadi tanggung jawab pemilik modal karena pengelola
adalah sebagai buruh yang hanya berhak menerima upah dan tidak bertanggung
jawab sesuatu apapun, kecuali atas kelalaiannya.
2.
Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola
modal atau pengelola modal berbuat sesuatu, maka pengelola bertanggung jawab
jika terjadi kerugian karena dialah penyebab kerugian.
3.
Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia atau salah
seorang pemilik modal meninggal dunia, maka mudharabah menjadi batal.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dijelaskan
secara rinci pada makalah ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1.
Mudharabah adalah
suatu bentuk kerja sama permodalan, yaitu suatu akad yang dilakukan oleh kedua
belah pihak, dimana pihak pertama memberikan modal dalam bentuk uang kepada
pihak kedua untuk diperdagangkan atau digunakan sebagai usaha. Dan keuntungan
dibagi menurut persentase yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2.
Dasar hukum mudharabah:
a.
Al-Qur’an
1)
QS. Al-Muzzammil: 20.
2)
QS. An-Nisa’: 29.
3)
QS. Al-Maidah: .,
4)
QS. Al-Baqarah: 283.
b.
Hadits
1)
Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib ra.
2)
Riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas ra.
c.
Ijma’
Yaitu
menyerahkan harta anak yatim kepada mudharib.
d.
Qiyas
Mudharabah diqiyaskan dengan akad musaqah.
e.
Kaidah Fiqih
Semua
bentuk muamalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3.
Syarat dan Rukun Mudharabah:
a. Rukun
1)
Adanya pemilik modal dan mudharib.
2)
Adanya modal (Ra’sul Maal).
3)
Adanya usaha atau pekerjaan
4)
Adanya keuntungan.
5)
Adanya shighat; ijab dan qabul.
b. Syarat
1)
Modal dan barang harus berbentuk uang tunai, bukan piutang.
2)
Orang yang berakad harus cakap hukum.
3)
Modal harus diketahui secara jelas.
4)
Persentase keuntungan harus jelas sesuai kesepakatan.
5)
Melafazkan ijab dan qabul.
4.
Jenis-jenis akad Mudharabah:
a. Ditinjau dari
segi Sahnya akad
1) Mudharabah
shahihah.
2) Mudharabah
fasidah.
b. Ditinjau dari
segi transaksi
1)
Mudharabah mutlaqah.
2)
Mudharabah muqayadah.
3)
Mudharabah musytarakah.
5.
Berakhirnya akad mudharabah:
a.
Pemilik modal meninggal dunia.
b.
Tidak terpenuhinya salah satu atau beberapa syarat mudharabah.
c.
Mudharib
dengan sengaja meninggalkan tugasnya sebagai pengelola.
d.
Salah satu pihak menghentikan kontrak.
e.
Pemilik modal maupun mudharib murtad
DAFTAR PUSTAKA
Munawwar,
Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak.
Zuhaily, Wahbah.1989. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Libanon:
Darul Fikri, Beirut.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqhus
Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir Hamzah),
Jil. 3 . Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
Nawawi,
Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Suhendi,
Hendi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sahrani, Sohari
dan Ru’fah Abdullah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
[1] Ahmad Warson Munawwar, Kamus Al-Munawwir, Arab-Indonesia
(Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta: tth), hlm. 236.
[2] Ibid, hlm. 873.
[5] Nisbah adalah besaran yang digunakan untuk pembagian keuntungan.
Pengelola dana mendapat imbalan atas kerjanya, sedangkan pemilik dana mendapat
imbalan atas penyediaan dananya.
[6] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir,
Sofwan Abbas & Amir Hamzah), Jil. 3 . Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat,
2008.
[7] Prof. Dr. H. Ismail Nawawi, MPA, M.Si. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer.
(Bogor: Ghaalia Indonesia, 2012), hlm. 142-148.
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008), hlm. 143.
[10] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 201.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang