Thaharah
Oleh: Jamiatul Husnaini
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan
sehari-hari, thaharah menjadi bagian paling penting dan mendasar sebagai syarat
sah dalam melakukan suatu pekerjaan ibadah, shalat, misalnya.
Thaharah
menurut bahasa berarti bersih. Sedangkan thaharah menurut syara’ aalah
mengerjakan sesuatu (wudhu, tayammum, dan menghilangkan najis) yang menyebabkan
seseorang dapat mengerjakan shalat dan semisalnya.
Cakupan yang
akan dibahas dalam makalah ini mengenai macam-macam air, karena telah kita
ketahui air merupakan alat bersuci yang utama. Dalam kehidupan sehari-hari,
terkadang kita belum begitu faham terhadap macam-macam air, apakah ia termasuk
najis, atau suci. Dalam makalah ini juga akan di bahas mengenai air dua kullah
agar kita mengetahui kadar air yang bisa digunakan untuk bersuci.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa definisi thaharah?
2.
Apa saja macam-macam thaharah?
3.
Apa saja jenis-jenis air?
4.
Apa yang dimaksud air dua qullah?
BAB II THAHARAH
A.
Pengertian Thaharah
Thaharah
menurut bahasa yaitu ‘Nadzafah’ yang berarti ‘bersih atau suci’. Sedangkan jika
dibaca ‘Thuharah’ maka ia berarti ‘ kelebihan dari air yang dipergunakan untuk
bersuci’.
Menurut
istilah, thaharah berarti membersihkan diri dari najis (kotoran) dan
hadats, atau mensucikan diri dari segala macam sifat/ perangai/
akhlak/ perilaku yang kotor/ tidak terpuji. Sedangkan dalam kitab Fathul Qarib
jilid 1 disebutkan, thaharah menurut istilah
adalah suatu perkara yang menyebabkan seseorang diperbolehkan
mengerjakan shalat. Seperti wudhu’, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.[1]
Dasar Hukum thaharah terdapat dalam Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 222:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
B.
Macam-macam Thaharah
Thaharah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Thaharah Bathiniyah Ma’nawiyah (pensucian jiwa)
Thaharah dengan cara mensucikan diri, hati dan
jiwa dari noda syirik, syak (keraguan), syubhat (racun kebohongan) dan
bentuk-bentuk perbuatan maksiat lainnya. Cara-caranya dengan:
Ø
Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh semata,
dengan memfokuskan tujuan dan sasaran ibadah hanya kepada-Nya saja.
Ø
Mutaba’ah (mengikuti) Rosululloh saw dalam
beramal, berperilaku, bermuamalah dan berakhlak, bahkan dalam segala hal yang
kita anggap remeh sekalipun.
Ø
Membersihkan diri dari pengaruh dan noda hitam
perbuatan maksiat, dosa-dosa dan segala bentuk penyimpangan dalam syari’at,
dengan taubat nashuhah (sungguh-sungguh).
2. Thaharah
Dzahiriyah Hissiyah
Thaharah dzahiriyah hissiyah yaitu dengan
membersihkan badan dari kotoran, yang kotoran tersebut menyebabkan kita tidak
boleh melaksanakan shalat.[2]
Thaharah ini terbagi menjadi dua, yaitu
thaharah khobats/najis (kotoran luar) dan thaharah hadats (dari dalam).
Thaharah hadats yaitu membersihkan diri dari hadats.
Hadats menunjukkan keadaan seseorang yang tidak suci. Thoharoh hadats ini ada
tiga macam:
- Thaharah kubro
(besar), yaitu untuk menghilangkan hadats besar dengan mandi (besar).
Hadats besar di sini seperti sehabis hubungan intim dengan istri, mimpi
basah atau haidh dan nifas.
- Thaharah shugro
(kecil), yaitu untuk menghilangkan hadats kecil dengan berwudhu. Hadats
kecil di sini seperti keadaan setelah kencing, kentut atau buang hajat.
- Thaharah sebagai
pengganti dari thaharah kubro
dan shugro yaitu dengan tayamum. Jadi tayamum bisa menggantikan mandi
(besar) dan wudhu sekaligus ketika tidak ada air atau sulit menggunakan
air.
Thaharah najis adalah membersihkan diri dari najis.
Najis berbeda dengan hadats. Kalau najis itu menunjukkan sesuatu yang kotor
menurut dalil dan bentuknya konkret (dapat dilihat atau dipegang). Sedangkan
hadats menunjukkan keadaan seseorang yang tidak suci. Membersihkan najis di sini
ada tiga cara:
1.
Mencuci (ghosl)
2.
Mengusap (mash)
3.
Memerciki (nadh)
Bahkan jika
najis bisa hilang dengan sendirinya (bau, rasa dan warnanya itu hilang), maka
itu sudah bisa dinyatakan tempat, badan atau pakaian yang terkena najis menjadi
suci seperti dengan dikeringkan atau dibiarkan begitu saja.[3]
C.
Jenis-jenis Air
Air merupakan
alat bersuci, pengarang kitab Fathul Qarib, Syekh Al-‘Imam Al-‘Alim Al-‘Allamah
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i, menjelaskan macam-macam
air yang sah digunakan untuk bersuci ditinjau dari segi sumbernya ada tujuh
macam, yaitu:
a.
Air Hujan
b.
Air Laut (air asin)
c.
Air Sungai (air tawar)
d.
Air Sumur
e.
Air Sumber (air telaga)
f.
Air Es (salju)
g.
Air Embun
Ketujuh macam
air tersebut dapat digolongka menjadi dua, yaitu air yang datang dari langit
dan yang dari bumi. Hal ini jika dilihat dari segi keadaan yang wujud. Sedangkan menurut asal/sumbernya semua air
itu berasal dari langit.[4]
Sedangkan
ditinjau dari segi hukumnya, air terbagi menjadi empat kategori, yaitu:[5]
1.
Air Muthlak, yaitu air yang masih murni, suci keadaannya dan
mensucikan kepada yang lainnya, tidak
dipengaruhi oleh hal apapun selain pengaruh tempat. Diantara air
muthlak, yaitu:
a.
Air hujan,
salju atau es (hujan es), embun, mata air dan air sungai.
Alloh swt
berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
Artinya:"Dan
Alloh menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan
hujan itu". (QS. Al Anfaal:11)
Dari itu Alloh
menurunkan air hujan dari langit kepada kalian agar dia sucikan kalian dengan
air hujan itu dari hadats dan khobats. (lihat Taisir Al-Aziz Ar-Rohman: 278).
Abu Hurairah ra.
berkata tentang doa iftitah Rosululloh saw:
اللَّهُمَّ باعِدْ بَيني وَبَيْنَ
خَطايايَ كَما باعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّني مِنْ
خَطايايَ كَما يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللّهُـمَّ
اغْسِلْني مِنْ خَطايايَ، بِالثَّلْجِ وَالمـاءِ وَالْبَرَدِ“.
4.
"Ya Alloh jauhkanlah antara aku dengan
kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Alloh
sucikanlah aku dari segala kesalahan sebagaimana disucikannya baju putih dari
kotoran. Ya Alloh cucilah kesalahanku dengan air, air salju dan air embun".
(HR. Bukhori: 1/181 dan Muslim: 1/419)
b.
Air Laut
Abu Hurairah ra. berkata:
"seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
saw. seraya berkata: ya Rosululloh, saya sedang brlayar dan hanya membawa
sedikit air. Jika kami berwudhu memakai air minum itu, kami akan kehausan.
Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rosululloh saw bersabda: laut itu
suci airnya dan halal bangkainya". (HR. At-Tirmidzi: 63, ia berkata ini
hadits hasan shohih)
c. Air Zamzam.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ دَعَا بِسَجْلٍ
مِنْ مَاءِ زَمْزَمٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ
Ali ra
berkata:" sesungguhnya Rosululloh saw minta satu ketel air zamzam, lalu
beliau meminumnya dan berwudhu dengannya". (lihat Irwaul Gholil: 13,
shohih)
d.
Air yang tercampur, karena telah lama tergenang
pada suatu tempat atau karena bercampur dengan benda yang dapat merubah dzat
air tersebut seperti air yang dipeuhi oleh lumut atau ganggang atau bercampur
dengan daun-daun (yang membusuk).
2.
Air suci dan dapat mensucikan, tetapi makruh digunakan pada badan,
misalnya air musyammas. Air musyammas adalah air panas akibat sengatan matahari. Air ini tidak
makruh untuk mensucikan pakaian. Menurut pandangan syara’, air yang dipanaskan
dengan sinar matahari dalam tempat selain yang terdiri dari emas dan perak,
maka hukumnya makruh. Apabila air yang panas tersebut menjadi dingin lagi, maka
hukumnya tidak makruh memakainya. Imam Nawawi berpendirian, bahwa air tersebut
hukumnya muthlak tidak makruh, tetapi justru makruh memakai air yang sangat
panas atau dingin sekali.
3.
Air suci tetapi tidak dapat mensucikan, terbagi menjadi
menjadi dua:
a.
Air musta’mal yaitu air yang telah digunakan untuk mensucikan hadats
atau menghilangkan najis, selama warna, rasa dan baunya tidak berubah serta
volume airnya tidak bertambah.
b.
Air yang berubah salah satu dari beberapa sifatnya, disebabkan
bercampur (bersenyawa) dengan benda suci lain, sehingga menjadikan hilangnya
nama kemutlakan air tersebut, maka air ini dihukumi sama dengan hukumnya dg air
musta’mal dalam arti ia masih tetap suci tetapi tidak dapat mensucikan. Perubahan air itu dapat dibuktikan baik
dengan panca indera atau hanya dengan perkiraan sebagaimana
bila air tersebut bercampur dengan benda-benda yang kebetulan sifatnya sama.
Misalnya, kecampuran air mawar yang sudah hilang baunya atau juga
kecampuran air musta’mal. Apabila air itu berubah tidak sampai menghilangkan
air mutlaq misalnya, disebabkan kecampuran benda suci dengan
sedikit mengalami perubahan maka air itu hukumnya suci dan mensucikan demikian
juga bila air tadi berubah sebab campur dengan benda yang menurut lahirnya
mempunyai sifat yang sama dengan air itu, akan tetapi dapat
diperkirakan bahwa benda-benda itu tadi berbeda sifatnya dan tidak akan dapat
merubah keadaan air tersebut. Maka air yang semacam ini hukumnya suci dan
mensucikan.
4. Air Mutanajjis
Yaitu air
yang terkena najis (kemasukan najis), sedang volumenya kurang dari dua qullah,
baik terjadi perubahan pada sifat-sifat air tersebut atau tidak, ataupun
mencapai dua qullah, namun air tersebut mengalami perubahan, dan jika
tidak terjadi perubahan maka sah digunaka untuk bersuci. Air najis ini terbagi menjadi dua yaitu:
a. Air yang sedikit, kurang
dari dua qullah, yang terkena najis baik ia berubah atau tidak.
b. Air yang banyak (lebih dari dua qullah)
yang berubah sebab kemasukan sesuatu, baik berubahnya itu sedikit atau banyak.
Hal ini masih mempunyai dua
kemungkinan, yaitu:
a.
Jika najis tersebut
merubah dzat (rasa, warna dan bau) air, maka airnya tidak dapat digunaka untuk
thoharoh.
b.
Jika najis tersebut
tidak merubah salah satu dari dzat air, sehingga secara adat pun air tersebut
masih dianggap sebagai air, maka hukumnya suci mensucikan.
Ada
pula air yang suci dan mensucikan tetapi haram
memakainya yaitu air yang diperoleh dari ghasab atau mencuri, mengambil tanpa
izin.
D. Air Dua
Qullah[6]
Dalam
sebuah hadits dinyatakan bahwa air sebanyak dua qullah tidak mengndung kotoran.
عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ
عُمَرَ رضي الله عنهما قال : قال رسولالله صلى الله عليه وسلّم: اذا كان الماء
قلّتين لم يحمل الخبث وفى لفوظ لم ينجس اخرجه الاربعة وصحّحه ابن خزيمة والحاكم
وابن حبّان
“Abdullah
bin Umar ra. Bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila air sebanyak dua qullah,
maka tidak mengandung kotoran.” Dalam laafadz lain, “Air itu tidak najis.”
(Hadits Riwayat Imam Empat dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, dan
Ibnu Hibban).
Adapun yang dinamakan air dua qullah menurut ukuran di
negeri Baghdad, yaitu sebanyak 500 kati atau (10 blek) inilah pendapat yang
shahih. Sedangkan ukuran persatu kati menurut pendapat Imam Nawawi adalah
bernilai 128 dirham lebih 4/7 dirham.
Dalam Kitab Fathul Mu’in[7]
disebutkan bahwa ukuran dua qullah dengan timbangan itu sekitar 500 liter
Baghdad. Dengan isi, pada bangunan kubus, panjang, lebar dan tinggi 1 ¼ hasta
biasa. Dan pada bangunan silinder, yaitu yang berukuran garis tengah 1 hasta
manusia, dalamnya 2 hasta tukang kayu. Sedang 1 hasta tukang kayu panjangnya 1
¼ hasta biasa.
Dalam riwayat lain disebutkan dua qullah sama dengan
216 liter atau kubus yang semua sisinya 60 cm.[8]
Para ulama kontemporer mencoba mengukurnya (qullah)
dengan besaran zaman sekarang. Ternyata dalam ukuran masa kini, dua qullah sam
jumlahnya dengan 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah Az-zuhaily
dalam kitab al- fiqhul islami wa adillatuhu.[9]
Air dua qullah adalah tidak dihukumi sebagai air najis
bila kemasukan barang najis, selama tidak berubah lantaran najis tersebut, dan
walaupun barang najis itu sampai larut di dalamnya (sebagaimana kalau diragukan
apa air itu ada dua qullah ataukah kurang, dan bahkan sudah diyakinkan
sebelumnya bahwa ia air sedikit).
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pembahasan yang saling
relevan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Thaharah
berarti membersihkan diri dari najis (kotoran) dan
hadats, suatu pekerjaan yang
menyebabkan diperbolehkan mengerjakan shalat.
b. Macam-macam thaharah:
Ø
Thoharoh Bathiniyah Ma’nawiyah (pensucian jiwa)
Ø
Thoharoh Dzohiroh Hissiyah
c.
Jenis-jenis air:
Ø Air mutlak
Ø Air suci dan dapat mensucikan, tetapi makruh digunakan pada badan
Ø Air suci tetapi tidak dapat mensucikan
Ø Air mutanajjis
d.
Air dua qullah yaitu
air sebanyak 216 liter atau kubus yang semua sisinya 60 cm. Para ulama
kontemporer berpendapat dua qullah sama dengan 270 liter.
DAFTAR PUSTAKA\
Abu Amar, Imron. 1982. Terjemah Fathul
Qarib. Kudus: Menara Kudus.
Prof. Dr.
Sholih bin Ghonim As Sadlan. 1424 H. Taysir Al-Fiqh. Terbitan Dar Blancia, cetakan pertama.
Ma’ruf, Tolhah, dkk,. 2008. Fiqih Ibadah Versi
Ahlussunnah. Kediri: lembaga
Ta’lif Wannasyr.
As’ad, Aliy.
1980. Fathul Mu’in 1. Kudus: Menara Kudus.
Dr. Wahbah
Az-Zuhaily, Al-Fiqhul Islam Wa Adillatuhu.
[1] Drs. H. Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,
1982), hlm. 2
[3] Taysir Al Fiqh, Prof. Dr. Sholih bin
Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H, hal. 69-71.
[4] Drs. H. Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib, (Kudus: Menara Kudus,
1982), hlm. 3.
[5] H. Tolhah Ma’ruf, dkk, Fiqih Ibadah Versi Ahlussunnah, (Kediri:
lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), hlm. 4.
[6] Qullah ukuran volume air
yang digunaka dimasa rasulullah masih hidup. Bahkan 2 abad sesudahnya, para
ulama fiqih di Baghdad dan mesir sudah tidak lagi menggunakan lagi menggunakan
sekala ukuran qullah, mereka biasanya menggunakan ukuran rithl (bukan liter) yang
sering diterjemahkan dengan istilah kati.
[8] H. Tolhah Ma’ruf, dkk, Fiqih Ibadah Versi Ahlussunnah, (Kediri:
lembaga Ta’lif Wannasyr, 2008), hlm. 5.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang