Friday, 15 January 2016

Penemuan Hukum - Makalah Ilmu Hukum

Penemuan Hukum
Oleh: Jamiatul Husnaini

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum adalah suatu sistem yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibuat oleh badan hukum yang berwenang yang berisi perintah dan larangan, memiliki sanksi dan bersifat memaksa untuk mengatur kehidupan masyarakat. Hukum sangat diperlukan dalam sebuah Negara, karena hukum berfungsi untuk memberikan perlindungan atas segala kepentingan manusia. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan hukum yang sama.
Dalam pelaksanaannya, hukum terkadang dapat dijalankan dengan normal, tertib dan damai, namun terkadang ada banyak pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan dalam penegakan hukum tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya Hukum tertulis dalam mengatur kehidupan, agar hukum tersebut bisa dijalankan oleh semua pihak, baik kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah.
Karena sejatinya, hukum tidak boleh pandang bulu. Sebab, jika hal itu terjadi akan terjadi banyak kekacauan dalam sistem hukum itu sendiri. Pelanggaran-pelanggaran dalam hukum seringkali disebabkan oleh oknum-oknum tertentu. Oleh sebab itu, perlu adanya penegakan hukum agar pelanggaran tidak terjadi lagi sehingga hukum menjadi suatu kenyataan dalam masyarakat.
Dalam penegakan hukum, selalu ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan Keadilan (Gerechtigkeit). Jika hukum telah ditegakkan secara adil dan merata, maka akan tercipta suasana hukum yang aman, normal dan tertib dalam suatu Negara.
B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dan kegunaan (Urgensi) Penemuan Hukum oleh Hakim?
2.      Apa sajakah Aliran-aliran Ilmu Hukum?

BAB II
PENEMUAN HUKUM
A.    Pengertian Penemuan Hukum
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yang dimaksud dengan penemuan hukum (Rechtsvinding dan Law Making) adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya ketidakjelasan dalam tersebut. Dari segi teori dikatakan bahwa hukum itu sudah ada pada perilaku manusia-manusia itu sendiri (Paul Scholten).
Penemuan hukum, pada hakikatnya mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematika yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (Rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret.
Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.[1]
Hukum atau peraturan hukum bertujuan untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia, sedangkan kegiatan kehidupan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Maka tidak mengherankan jika peraturan hukum itu tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Oleh karena tidak lengkap atau tidak jelas, maka hukumnya harus dilengkapi dan dijelaskan yang berarti bahwa hukumnya harus ditemukan, digali di dalam masyarakat guna memecahkan masalah-masalah hukum. Jadi hukumnya itu sudah ada, bukannya tidak atau belum ada yang masih harus diciptakan, tetapi sudah ada hanya saja masih harus dicari, diketemukan atau digali kepermukaan.[2]
Penemuan hukum tidak sama dengan penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan hukum yang sudah ada, sedangkan menciptakan hukum berarti menciptakan suatu hukum yang sebelumnya tidak ada. Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan hukum (undang-undang), bahkan menilai undang-undang saja dilarang. Tugas hakim adalah menerapkan menemukan hukumnya. Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga yudikatif untuk menciptakan atau membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu pada dasarnya dilarang atau tidak menciptakan hukum namun tidak tertutup kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim yang tugasnya sehari-hari menemukan hukum dalam memecahkan masalah hukum konkret, menciptakan hukum juga. Tidak ada kesengajaan untuk menciptakan hukum tetapi ada kemungkinan dalam menemukan hukumnya tanpa disadari hakim menciptakan hukum.
Terlepas dari tidak wajibnya mengikuti preseden, diacunya yurisprudensi kuat bagi penyelesaian sengketa serupa menunjukkan bahwa tugas hakim bukan hanya sekadar menerapkan undang-undang. Melalui keputusannya yang menjadi yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu dalam praktik penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminology yang digunakan oleh undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah, hakim dalam hal ini lalu melakukan pembentukan hukum (Rechtsvorming), analogi (Rechtsanalogie), penghalusan hukum (Rechtsverfijning) atau penafsiran (Interpretatie). Kegiatan-kegiatan semacam itu dalam sistem hukum continental disebut sebagai penemuan hukum (Rechtstivinding).[3]
B.     Penafsiran Hukum
Penafsiran atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya. Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan, yaitu:
1)      Penafsiran gramatikal atau konteks, dengan cara mempelajari dan menggunakan hubungan kalimat.
2)      Penafsiran sistematis, konteks, dengan cara mempelajari sistem dan rumusan undang-undang, yang meliputi:
a)      Penalaran analogi dan penalaran a kontrario. A kontrario adalah memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah undang-undang.
b)      Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk yang lemah yang terdahulu secara logis tak ada perbedaan).
c)      Penghalusan hukum atau rechtsverfijning atau pengkhususan berlakunya undang-undang.
3)      Penafsiran historis, dengan cara mempelajari:
a)      Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP, BW hukum Romawi dan sebagainya.
b)      Sejarah undang-undang, konteks, penjelasan-penjelasan dari pembentuk-pembentuk undang-undang pada pembentukan undang-undang yang bersangkutan.
4)      Penafsiran teleologis, konteks, dengan cara pergaulan sosial.[4]
C.    Kegunaan Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum juga di dalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan dalam hukum menunjukkan adanya beberapa permasalahan bahwa[5]:
a)      Adakalanya pembuat Undang-undang sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian-pengertian yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian atau pemaknaan;
b)      Adakalanya istilah, kata, pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat.
c)      Adakalanya terjadi suatu masalah yang tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.
Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :
1.      Unsur sistem hukum, meliputi;
a)      Hukum undang-undang, yaitu hukum yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
b)      Hukum kebiasaan, yaitu keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian dalam masyarakat.
c)      Hukum Yurisprudensi, yaitu hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
d)     Hukum Traktat, yaitu hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
e)      Hukum Ilmiah (ajaran), yaitu hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
2.      Pembidangan sistem hukum, meliputi;
a)      Ius Constitutum (hukum yang berlaku pada masa sekarang atau saat ini).
b)      Ius Constituendum (hukum yang berlaku pada masa yang akan datang, berlaku kelak).
D.    Pendapat Aliran-Aliran Ilmu Hukum
Pada zaman dahulu, sebelum tahun 1800 dimana pada umumnya masyarakat hidup dengan bermacam-macam hukum kebiasaan yang berbeda menurut tempat dan waktu. Akan tetapi dengan banyaknya hukum kebiasaan itu sehingga semakin kabur dan samar-samar, karena memperlihatkan perbedaan yang terlampau besar. Sehingga orang mulai tidak merasa puas dengan hukum-hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), maka mulailah ahli-ahli hukum Romawi menghendaki bahwa peraturan-peraturan (hukum) kebiasaan itu dituliskan.
Memang sumber hukum tertua adalah kebiasaan atau tradisi hal ini tidak berpedoman pada aturan-aturan yang diundangkan atau yang dicatat melainkan pada aturan-aturan yang diwariskan secara diam-diam. Akibat dari tidak ada suatu pedoman yang berlaku secara umum, sering menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa/hakim dalam melaksanakan kekuasaannya. Setelah melihat kenyataan tersebut di atas, maka timbullah usaha ke arah kodifikasi yaitu pada zaman Romawi terlihat pada masa Kaisar Justinianus, yang menghasilkan “Corpus Iuris Civilis”.
Akibat munculnya hal tersebut mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan tentang hubungan undang-undang, hukum, dan hakim. Ini timbul karena ada yang beranggapan bahwa apabila hakim/penguasa menyelesaikan suatu perkara harus bersumber pada undang-undang, sebaliknya harus bersumber pada hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jelasnya akan ditelaah menurut beberapa pandangan atau aliran dalam ilmu hukum.
E.     Aliran-Aliran Ilmu Hukum
Di dalam ilmu hukum terdapat beberapa Aliran Hukum yang berkembang yaitu:
1.      Aliran Legisme
Paham ini beranggapan bahwa undang-undang itu merupakan yang supreme dinamakan “Legisten dan Canonisten”, dan alirannya disebut aliran Legisme. Pandangan ini cocok dengan ajaran hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke-17 dan abad ke-18. Dan mendapat dukungan lebih kuat dari teori-teori : Montesquieu dan J.J. Rousseau.
Kodifikasi sebagai landasan dari aliran legisme, bertujuan untuk kesederhanaan hukum dimana hukum mudah di dapat, kesatuan hukum (unifikasi hukum), dan kepastian hukum. Setelah adanya kodifikasi yang mengakibatkan lahirnya aliran logisme yang beranggapan bahwa tidak ada sumber hukum lain kecuali undang-undang.
Hakim hanya merupakan terompet undang-undang yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Sesuai dengan teori-teori Montesquieu atau J.J.  Rousseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif saja, ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas memasukkan sesuatu hal yang konkrit dalam undang-undang dengan jalur tutur simpul (silogisme) hukum, secara dedukasi yang logis.
Bahwa hakim mengambil sikap menahan diri. Ia tidak boleh melanggar kebebasan para warga negara, untuk mengatur hubungan hukum mereka.  Hakim hanya bertindak apabila para warga negara sudah melampaui batas menurut undang-undang. Hakim harus memberi keputusan menurut undang-undang, ia sama sekali tidak boleh menilai-nilai batiniah atau kepatutan dari undang-undang.
Sejak awal abad XX, pandangan aliran legisme telah ditinggalkan. Karena Ketidakjelasan aturan undang-undang yang disebabkan adanya terminology yang kabur, istilah yang bermakna ganda, dan istilah-istilah yang bersifat evaluatif. Dalam rangka menjernihkan arti penting dan makna yang dibuatnya aturan itulah dibutuhkan kreativitas hakim untuk melakukan pembentukan hukum (Rechtsvorming).
2.      Aliran Historis (sejarah)
Pelopor dari aliran ini yang terkenal adalah F.C. Von Savigni (1779-1861), yang mencari sumber asal dari hukum positif di dalam kesadaran hukum bersama dari masyarakat. Aliran sejarah lahir sebagai reaksi terhadap ajaran hukum alam atau kodrat dari abad ke-17 dan abad ke-18, yang mencoba membangun hukum yang berlaku menyeluruh dan abadi (universal dan abadi) hanya dengan mempergunakan akal pikiran (rasio) manusia tanpa mau melihat kenyataan hidup yang berubah-ubah. Aliran ini menentang aliran legisme.
Pada tahun 1814 F.C. Von Savigny menimbulkan goncangan dengan menulis suatu brosur terhadap usaha kodifikasi yang timbul pada waktu itu di Jerman. Untuk suatu kodifikasi dia menganggap Jerman masih belum matang.
Hukum itu tidak dibuat, tetapi berada dan tumbuh dengan bangsa itu.  Hukum itu adalah “kehidupan suatu bangsa dilihat dari suatu sudat khusus”, suatu aspek dari “Kehidupan bangsa yang sehat”.
Kemudian dijelaskan oleh Von Savigny, bahwa kesadaran hukum tidak dapat disamakan dengan keyakinan mayoritas dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen). Hukum yang tumbuh dari semangat atau keyakinan rakyat berkembang secara pasti dan tetap seperti kehidupan rakyat sendiri. Jadi singkatnya, bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan rakyat.
Pandangan bersumber pada jiwa bangsa (Volkegeyst), kesadaran hukum masyarakat hukumnya bersumber hanya menekankan kepada kebiasaan, dan bentuk hukumnya berupa hukum kebiasaan. Jadi, hukum itu berkembang dari hubungan hukum yang sederhana kedalam masyarakat modern.
3.      Aliran Begriffsjurisprudenz
Dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip pandangan aliran Legisme, maka aliran Begriffsjurisprudenz telah memperbaiki kelemahan yang ada.  Menurut pendapat aliran ini, bertitik tolak dari beberapa aksioma (rechtgrundsatse, asas dasar hukum yang telah diakui secara umum) melalui dedukasi logis, orang dapat turun ke soal pertentangan, yang memisahkan para pihak. Dengan demikian terjadilah suatu sistem hukum yang cocok, digantungkan pada pengertian dasar.
Yang paling ideal adalah apabila sistem yang ada itu akan dapat dibangun dalam semacam piramida, dengan suatu asas pokok di puncaknya. Dari situ akan dapat dibuat lagi pengertian yang baru sebab pengertian itu banyak menghasilan “mereka berpasang-pasangan dan melahirkan yang baru”.  Itu sebabnya teori ini disebut Begriffjurisprudenz.
Ciri khas dari aliran ini adalah terutama, bahwa di dalam hukum itu dilihat sebagai suatu sistem yang terpadu, mencakup segala-galanya yang menguasai segala tindakan sosial.
Pendekatan ilmiah mengenai hukum itu, dengan aparat-aparatnya yang diperhalusnya itu, bukan hanya merupakan stimulasi yang kuat bagi timbulnya positivisme hukum, tetapi memberikan juga kepada hakim suatu kumpulan argumen yang ditarik dari ilmu pengetahuan, jadi yang dianggap obyektif bagi keputusannya. Begriffsjurisprudenz memberi kepada hakim lebih banyak ruang lingkupnya dari legisme. Ia tidak usah mengingatkan diri pada teks undang-undang, tetapi boleh juga mengemukakan argumennya dari peraturan hukum yang “tidak kelihatan”, yang tersembunyi dalam kitab undang-undang.
Aliran ini juga mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, akan tetapi dia dapat memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri, oleh karena dia mempunyai daya meluas. Cara memperluas hukum itu hendaknya dipandang dari dogmatik sebab hukum itu adalah suatu kesatuan yang tertutup, sebagaimana dikatakan oleh Brinz. Brinz mengatakan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan jalan membuat konstruksi-konstuksi hukum, yaitu dengan cara (metode) sebagai berikut:
a)      Abstractie (Analogi) yaitu penafsiran daripada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Adanya analogi, akibat dibutuhkan perluasan hukum dengan menyesuaikan tempat, waktu dan situasi. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum perdata (privat), terutama sekali dalam hukum perikatan (Verbintenissenrecht). Sedangkan hukum public yang sifatnya memaksa (Dwingentrecht) tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1 KUH Pidana. Pasal tersebut menegaskan, bahwa seseorang tidak dapat dihukum, selain atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang.
b)      Determinatie (Penghalusan Hukum) yaitu memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum dengan cara mempersempit berlakunya suatu pasal yang merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum bermaksud mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang. Dalam sistem undang-undang terdapat ruangan kosong apabila sistem undang-undang (sistem formal hukum) tidak dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai dengan kenyataan sosial (Social Werkelijkheid). Penghalusan hukum merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim. Sifat penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan.
c)      Argumentum a Contrario yaitu penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya, penafsiran a contrario adalah sama dengan penafsiran analogi, hanya saja hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif sedang a controrio hasilnya negatif. Argumentum a contrario mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.[6]
4.      Aliran Interessenjurisprudenz
Penganut aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme dan aliran Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum. Demi untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
Jadi peraturan hukum itu oleh hakim haruslah dilihat tidak secara logis formal, melainkan seyogyanya dinilai menurut tujuannya.  Pada dasarnya tujuan itu adalah, bahwa peraturan itu bermaksud melindungi kepentingan tertentu. Pembuat undang-undang ketika ia mengeluarkan suatu peraturan, telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan membandingkannya satu sama lain dan kemudian mengadakan pilihan.
5.      Aliran Freirechtbewegung
Menurut Herman Kantorowicz, bahwa undang-undang banyak mengandung kekosongan-kekosongan dan tugas hakim untuk memenuhinya, dia merupakan penganut terkemuka dari aliran Freirechtbewegung yang timbul pada waktu itu di Jerman. Aliran ini membela suatu perluasan dari kekuasaan memutuskan dari peradilan. Kiranya penggunaan dogmatis yang kaku dari undang-undang hendaknya orang bekerja dengan alasan-alasan yang tidak menyimpang dari kejadian yang akan diputus itu.
Aliran ini juga disebut sebagai Aliran Hukum Bebas, dengan kuat mempropagandakan pemakaian pengertian dari “itikad baik”, “adat istiadat baik”, “pendapat masyarakat”, tidak hanya ditempat-tempat yang secara tegas ditunjuk oleh undang-undang, tetapi juga di luarnya, sehingga dengan demikian hakim memperoleh suatu senjata melalui keputusan yang tidak adil yang dilarikan dari pemakaian undang-undang yang cermat.
Freirechtshule menunjukan suatu penemuan hukum yang lebih bebas, sekalipun tidak demikian bebasnya sebagaimana sebenarnya dikehendaki oleh beberapa penganut ajaran ini, tetapi masih jauh lebih bebas terhadap undang-undang dan sistem dari undang-undang itu dari pada sebelumnya.
6.      Aliran Sosiologische Rechtsschule
Aliran ini lahir akibat aliran Freirechtbewegung, aliran ini juga disebut aliran sosiologi hukum. Penganutnya Hamaker dan Hymans dari Negeri Belanda dan dari Amerika misalnya : Roscoe Pound.
Pokok pikiran dari aliran ini ialah terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim, berhubungan dengan adanya “freies Ermessen” dari aliran hukum bebas di atas. Mereka pada dasarnya tidak setuju dengan kebebasan bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya. Undang-undang harus tetap dihormati, tetapi sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka undang-undang.
Menurut penganut aliran ini, hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya, supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat.
7.      Aliran Open System van het Recht (Sistem Hukum Terbuka)
Setelah melihat pandangan-pandangan aliran-aliran di atas adalah berat sebelah, yaitu kadang-kadang terlampau mengutamakan dogma, kepastian hukum, dan juga kadang-kadang mendudukkan hakim dalam posisi yang terlalu penting dalam peranannya atau juga terlalu mementingkan kenyataan sosial.
Aliran ini diwakili oleh Paul Scholten, yang menjelaskan “Hukum itu merupakan suatu sistem ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan unik yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampai pada asas-asasnya”.
Betul bahwa hukum itu bersifat logis, akan tetapi karena sifatnya sendiri, dia tidak tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang selalu akan menambah luasnya sistem tersebut. Oleh karena itu tepat untuk disebut Sistem Terbuka. Selanjutnya dikatakan, bahwa sistem hukum itu adalah dinamis, bukan saja pembentuk baru secara sadar oleh badan perundang-undangan, tetapi juga karena pelaksanaannya di dalam masyarakat. Pelaksanaan itu selalu disertai penilaian, baik sambil membuat konstruksi-konstruksi hukum ataupun penafsiran.
Badan perundang-undangan dalam membentuk hukum yang baru terikat untuk menemukan kontinuitas dengan yang lama, sedangkan hakim dalam mempertahankan hukum itu turut menambahkan sesuatu yang baru seraya mendapatkan hubungan yang telah ada.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan dalam makalah ini yang telah diuraikan secara rinci di atas, dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
1.      Pengertian dan Kegunaan Penemuan Hukum
a)      Penemuan hukum (Rechtsvinding dan Law Making), Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya ketidakjelasan di dalamnya.
b)      Kegunaan Penemuan Hukum adalah mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum.
2.      Aliran Aliran Ilmu Hukum
a)      Aliran Legisme
b)      Aliran Historis (sejarah)
c)      Aliran Begriffsjurisprudenz
d)     Aliran Interessenjurisprudenz
e)      Aliran Freirechtbewegung
f)       Aliran Sosiologische Rechtsschule
g)      Aliran Open System van het Recht (Sistem Hukum Terbuka)

DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Moerad, Pontang. 2009. Catatan Mata Kuliah Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana. Bandung.
Mahmud Marzuki, Peter. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Soeroso. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.




[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001).
[2] Pontang Moerad, Catatan Mata Kuliah Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Langlangbuana, (Bandung, 2009).
[3] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 282.
[4] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 156-157.
[5]  Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001)
[6] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 111-115.

#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang
loading...