Penemuan Hukum
Oleh: Jamiatul Husnaini
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum adalah suatu sistem yang berlaku dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara yang dibuat oleh badan hukum yang berwenang yang berisi perintah
dan larangan, memiliki sanksi dan bersifat memaksa untuk mengatur kehidupan masyarakat.
Hukum sangat diperlukan dalam sebuah Negara, karena hukum berfungsi untuk
memberikan perlindungan atas segala kepentingan manusia. Setiap orang berhak
mendapatkan perlakuan hukum yang sama.
Dalam pelaksanaannya, hukum terkadang dapat dijalankan dengan
normal, tertib dan damai, namun terkadang ada banyak pelanggaran-pelanggaran
yang ditemukan dalam penegakan hukum tersebut. Oleh sebab itu, perlu adanya
Hukum tertulis dalam mengatur kehidupan, agar hukum tersebut bisa dijalankan
oleh semua pihak, baik kalangan menengah ke atas maupun menengah ke bawah.
Karena sejatinya, hukum tidak boleh pandang bulu. Sebab, jika hal
itu terjadi akan terjadi banyak kekacauan dalam sistem hukum itu sendiri.
Pelanggaran-pelanggaran dalam hukum seringkali disebabkan oleh oknum-oknum
tertentu. Oleh sebab itu, perlu adanya penegakan hukum agar pelanggaran tidak
terjadi lagi sehingga hukum menjadi suatu kenyataan dalam masyarakat.
Dalam penegakan hukum, selalu ada tiga unsur yang harus
diperhatikan, yaitu:
Kepastian Hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
dan Keadilan (Gerechtigkeit). Jika hukum telah ditegakkan secara adil
dan merata, maka akan tercipta suasana hukum yang aman, normal dan tertib dalam
suatu Negara.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa
pengertian dan kegunaan (Urgensi) Penemuan Hukum oleh Hakim?
2.
Apa
sajakah Aliran-aliran Ilmu Hukum?
BAB II
PENEMUAN HUKUM
A.
Pengertian Penemuan Hukum
Menurut Prof.
Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. yang dimaksud dengan penemuan hukum (Rechtsvinding dan Law
Making) adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap atau tidak
jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya
ketidakjelasan dalam tersebut. Dari segi teori dikatakan bahwa hukum itu sudah
ada pada perilaku manusia-manusia itu sendiri (Paul Scholten).
Penemuan hukum, pada hakikatnya mewujudkan
pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai
sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematika yang dipaparkan orang dalam
peristilahan hukum berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (Rechtsvragen),
konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan
pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal
pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret.
Terkait padanya antara lain diajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan
hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang
terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal
menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan
kaidah-kaidah hukum.[1]
Hukum atau peraturan hukum bertujuan
untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia, sedangkan kegiatan kehidupan manusia
itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Maka tidak mengherankan jika peraturan
hukum itu tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Oleh karena tidak lengkap atau
tidak jelas, maka hukumnya harus dilengkapi dan dijelaskan yang berarti bahwa
hukumnya harus ditemukan, digali di dalam masyarakat guna memecahkan masalah-masalah
hukum. Jadi hukumnya itu sudah ada, bukannya tidak atau belum ada yang masih
harus diciptakan, tetapi sudah ada hanya saja masih harus dicari, diketemukan
atau digali kepermukaan.[2]
Penemuan hukum tidak sama dengan
penciptaan hukum. Menemukan hukum berarti menemukan hukum yang sudah ada, sedangkan
menciptakan hukum berarti menciptakan suatu hukum yang sebelumnya tidak ada.
Hakim pada dasarnya dilarang menciptakan hukum (undang-undang), bahkan menilai
undang-undang saja dilarang. Tugas hakim adalah menerapkan menemukan hukumnya.
Memang bukan wewenangnya sebagai lembaga yudikatif untuk menciptakan atau
membentuk undang-undang. Walaupun hakim itu pada dasarnya dilarang atau tidak
menciptakan hukum namun tidak tertutup kemungkinan dalam menemukan hukum, hakim
yang tugasnya sehari-hari menemukan hukum dalam memecahkan masalah hukum
konkret, menciptakan hukum juga. Tidak ada kesengajaan untuk menciptakan hukum
tetapi ada kemungkinan dalam menemukan hukumnya tanpa disadari hakim
menciptakan hukum.
Terlepas dari tidak wajibnya
mengikuti preseden, diacunya yurisprudensi kuat bagi penyelesaian sengketa
serupa menunjukkan bahwa tugas hakim bukan hanya sekadar menerapkan
undang-undang. Melalui keputusannya yang menjadi yurisprudensi kuat, hakim juga
membuat hukum. Hal itu dalam praktik penyelesaian sengketa tidak dapat
dihindari manakala terminology yang digunakan oleh undang-undang tidak jelas,
undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada
bertentangan dengan situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah, hakim dalam hal
ini lalu melakukan pembentukan hukum (Rechtsvorming), analogi (Rechtsanalogie),
penghalusan hukum (Rechtsverfijning) atau penafsiran (Interpretatie).
Kegiatan-kegiatan semacam itu dalam sistem hukum continental disebut sebagai
penemuan hukum (Rechtstivinding).[3]
B. Penafsiran
Hukum
Penafsiran atau interpretasi adalah
menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada
kaitannya. Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan, yaitu:
1) Penafsiran gramatikal atau konteks,
dengan cara mempelajari dan menggunakan hubungan kalimat.
2) Penafsiran sistematis, konteks,
dengan cara mempelajari sistem dan rumusan undang-undang, yang meliputi:
a) Penalaran analogi dan penalaran a
kontrario. A kontrario adalah memastikan sesuatu yang tidak disebut oleh pasal
undang-undang secara kebalikan. Sedangkan analogi berarti pengluasan berlakunya
kaidah undang-undang.
b) Penafsiran ekstensif dan restriktif
(bentuk-bentuk yang lemah yang terdahulu secara logis tak ada perbedaan).
c) Penghalusan hukum atau
rechtsverfijning atau pengkhususan berlakunya undang-undang.
3) Penafsiran historis, dengan cara
mempelajari:
a) Sejarah hukum, konteks, perkembangan
yang telah lalu dari hukum tertentu seperti KUHP, BW hukum Romawi dan
sebagainya.
b) Sejarah undang-undang, konteks,
penjelasan-penjelasan dari pembentuk-pembentuk undang-undang pada pembentukan
undang-undang yang bersangkutan.
4) Penafsiran teleologis, konteks,
dengan cara pergaulan sosial.[4]
C. Kegunaan
Penemuan Hukum
Kegunaan dari penemuan hukum adalah
mencari dan menemukan kaidah hukum yang dapat digunakan untuk memberikan
keputusan yang tepat atau benar, dan secara tidak langsung memberikan kepastian
hukum juga di dalam masyarakat. Sementara itu, kenyataan dalam hukum menunjukkan
adanya beberapa permasalahan bahwa[5]:
a) Adakalanya pembuat Undang-undang
sengaja atau tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian-pengertian
yanga sangat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pengertian
atau pemaknaan;
b) Adakalanya istilah, kata,
pengertian, kalimat yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan tidak
jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan lagi dalam kenyataan
sebagai akibat adanya perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat.
c) Adakalanya terjadi suatu masalah
yang tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut.
Dalam menghadapi
kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau pengemban profesi hukum
lainnya harus dapat menemukan dan juga menentukan apa yang dapat dijadikan
hukum dalam rangka pembuatan keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum
yang sedang dihadapi.
Persoalan pokok yang ada dalam
sistem hukum antara lain adalah :
1. Unsur sistem hukum, meliputi;
a) Hukum undang-undang, yaitu hukum
yang dicantumkan dalam keputusan resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat
umum.
b) Hukum kebiasaan, yaitu
keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan yang tujuannya kedamaian dalam
masyarakat.
c) Hukum Yurisprudensi, yaitu hukum
yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
d) Hukum Traktat, yaitu hukum yang
terbentuk dalam perjanjian internasional.
e) Hukum Ilmiah (ajaran), yaitu hukum
yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.
2. Pembidangan sistem hukum, meliputi;
a) Ius Constitutum (hukum yang
berlaku pada masa sekarang atau saat ini).
b) Ius Constituendum (hukum yang berlaku
pada masa yang akan datang, berlaku kelak).
D. Pendapat
Aliran-Aliran Ilmu Hukum
Pada zaman dahulu, sebelum tahun
1800 dimana pada umumnya masyarakat hidup dengan bermacam-macam hukum kebiasaan
yang berbeda menurut tempat dan waktu. Akan tetapi dengan banyaknya
hukum kebiasaan itu sehingga semakin kabur dan samar-samar, karena
memperlihatkan perbedaan yang terlampau besar. Sehingga orang mulai
tidak merasa puas dengan hukum-hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), maka
mulailah ahli-ahli hukum Romawi menghendaki bahwa peraturan-peraturan (hukum)
kebiasaan itu dituliskan.
Memang sumber hukum tertua adalah
kebiasaan atau tradisi hal ini tidak berpedoman pada aturan-aturan yang
diundangkan atau yang dicatat melainkan pada aturan-aturan yang diwariskan
secara diam-diam. Akibat dari tidak ada suatu pedoman yang berlaku
secara umum, sering menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa/hakim dalam melaksanakan
kekuasaannya. Setelah melihat kenyataan tersebut di atas, maka timbullah
usaha ke arah kodifikasi yaitu pada zaman Romawi terlihat pada masa Kaisar
Justinianus, yang menghasilkan “Corpus Iuris Civilis”.
Akibat munculnya hal tersebut mengakibatkan
timbulnya beberapa pandangan tentang hubungan undang-undang, hukum, dan hakim.
Ini timbul karena ada yang beranggapan bahwa apabila hakim/penguasa
menyelesaikan suatu perkara harus bersumber pada undang-undang, sebaliknya
harus bersumber pada hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jelasnya
akan ditelaah menurut beberapa pandangan atau aliran dalam ilmu hukum.
E. Aliran-Aliran
Ilmu Hukum
Di dalam ilmu hukum terdapat
beberapa Aliran Hukum yang berkembang yaitu:
1. Aliran
Legisme
Paham ini beranggapan bahwa
undang-undang itu merupakan yang supreme dinamakan “Legisten dan Canonisten”,
dan alirannya disebut aliran Legisme. Pandangan ini cocok dengan ajaran hukum
kodrat yang rasionalistis dari abad ke-17 dan abad ke-18. Dan mendapat dukungan
lebih kuat dari teori-teori : Montesquieu dan J.J. Rousseau.
Kodifikasi sebagai landasan dari
aliran legisme, bertujuan untuk kesederhanaan hukum dimana hukum mudah di
dapat, kesatuan hukum (unifikasi hukum), dan kepastian hukum. Setelah adanya
kodifikasi yang mengakibatkan lahirnya aliran logisme yang beranggapan bahwa
tidak ada sumber hukum lain kecuali undang-undang.
Hakim hanya merupakan terompet
undang-undang yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah atau menambah
undang-undang. Sesuai dengan teori-teori Montesquieu atau J.J. Rousseau,
aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif saja, ia
hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas memasukkan sesuatu hal yang
konkrit dalam undang-undang dengan jalur tutur simpul (silogisme) hukum, secara
dedukasi yang logis.
Bahwa hakim mengambil sikap menahan
diri. Ia tidak boleh melanggar kebebasan para warga negara, untuk mengatur
hubungan hukum mereka. Hakim hanya
bertindak apabila para warga negara sudah melampaui batas menurut undang-undang.
Hakim harus memberi keputusan menurut undang-undang, ia sama sekali tidak boleh
menilai-nilai batiniah atau kepatutan dari undang-undang.
Sejak awal abad XX, pandangan aliran
legisme telah ditinggalkan. Karena Ketidakjelasan aturan undang-undang yang
disebabkan adanya terminology yang kabur, istilah yang bermakna ganda, dan
istilah-istilah yang bersifat evaluatif. Dalam rangka menjernihkan arti penting
dan makna yang dibuatnya aturan itulah dibutuhkan kreativitas hakim untuk
melakukan pembentukan hukum (Rechtsvorming).
2. Aliran
Historis (sejarah)
Pelopor dari aliran ini yang
terkenal adalah F.C. Von Savigni (1779-1861), yang mencari sumber asal dari
hukum positif di dalam kesadaran hukum bersama dari masyarakat. Aliran sejarah
lahir sebagai reaksi terhadap ajaran hukum alam atau kodrat dari abad ke-17 dan
abad ke-18, yang mencoba membangun hukum yang berlaku menyeluruh dan abadi
(universal dan abadi) hanya dengan mempergunakan akal pikiran (rasio) manusia
tanpa mau melihat kenyataan hidup yang berubah-ubah. Aliran ini menentang
aliran legisme.
Pada tahun 1814 F.C. Von Savigny
menimbulkan goncangan dengan menulis suatu brosur terhadap usaha kodifikasi
yang timbul pada waktu itu di Jerman. Untuk suatu kodifikasi dia menganggap
Jerman masih belum matang.
Hukum itu tidak dibuat, tetapi
berada dan tumbuh dengan bangsa itu. Hukum
itu adalah “kehidupan suatu bangsa dilihat dari suatu sudat khusus”, suatu
aspek dari “Kehidupan bangsa yang sehat”.
Kemudian dijelaskan oleh Von
Savigny, bahwa kesadaran hukum tidak dapat disamakan dengan keyakinan mayoritas
dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen). Hukum yang tumbuh dari
semangat atau keyakinan rakyat berkembang secara pasti dan tetap seperti
kehidupan rakyat sendiri. Jadi singkatnya, bahwa hukum tidak dibuat tetapi
tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan rakyat.
Pandangan bersumber pada jiwa bangsa
(Volkegeyst), kesadaran hukum masyarakat hukumnya bersumber hanya
menekankan kepada kebiasaan, dan bentuk hukumnya berupa hukum kebiasaan. Jadi,
hukum itu berkembang dari hubungan hukum yang sederhana kedalam masyarakat
modern.
3.
Aliran Begriffsjurisprudenz
Dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip pandangan aliran
Legisme, maka aliran Begriffsjurisprudenz telah memperbaiki kelemahan yang ada.
Menurut pendapat aliran ini, bertitik
tolak dari beberapa aksioma (rechtgrundsatse, asas dasar hukum yang
telah diakui secara umum) melalui dedukasi logis, orang dapat turun ke soal
pertentangan, yang memisahkan para pihak. Dengan demikian terjadilah suatu
sistem hukum yang cocok, digantungkan pada pengertian dasar.
Yang paling ideal adalah apabila sistem yang ada itu akan
dapat dibangun dalam semacam piramida, dengan suatu asas pokok di puncaknya.
Dari situ akan dapat dibuat lagi pengertian yang baru sebab pengertian itu
banyak menghasilan “mereka berpasang-pasangan dan melahirkan yang baru”.
Itu sebabnya teori ini disebut Begriffjurisprudenz.
Ciri khas dari aliran ini adalah terutama, bahwa di dalam
hukum itu dilihat sebagai suatu sistem yang terpadu, mencakup segala-galanya
yang menguasai segala tindakan sosial.
Pendekatan ilmiah mengenai hukum itu, dengan
aparat-aparatnya yang diperhalusnya itu, bukan hanya merupakan stimulasi yang
kuat bagi timbulnya positivisme hukum, tetapi memberikan juga kepada hakim
suatu kumpulan argumen yang ditarik dari ilmu pengetahuan, jadi yang dianggap
obyektif bagi keputusannya. Begriffsjurisprudenz memberi kepada hakim lebih
banyak ruang lingkupnya dari legisme. Ia tidak usah mengingatkan diri pada teks
undang-undang, tetapi boleh juga mengemukakan argumennya dari peraturan hukum
yang “tidak kelihatan”, yang tersembunyi dalam kitab undang-undang.
Aliran ini juga mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang
itu tidak lengkap, akan tetapi dia dapat memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri,
oleh karena dia mempunyai daya meluas. Cara memperluas hukum itu hendaknya
dipandang dari dogmatik sebab hukum itu adalah suatu kesatuan yang tertutup,
sebagaimana dikatakan oleh Brinz. Brinz mengatakan untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut dengan jalan membuat konstruksi-konstuksi hukum, yaitu dengan
cara (metode) sebagai berikut:
a) Abstractie (Analogi) yaitu penafsiran daripada
suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut
sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak
dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Adanya
analogi, akibat dibutuhkan perluasan hukum dengan menyesuaikan tempat, waktu
dan situasi. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk masalah-masalah hukum
perdata (privat), terutama sekali dalam hukum perikatan (Verbintenissenrecht).
Sedangkan hukum public yang sifatnya memaksa (Dwingentrecht) tidak
boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1 KUH Pidana. Pasal tersebut
menegaskan, bahwa seseorang tidak dapat dihukum, selain atas kekuatan ketentuan
pidana dalam undang-undang.
b) Determinatie (Penghalusan Hukum) yaitu
memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga seolah-olah tidak
ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum dengan cara mempersempit
berlakunya suatu pasal yang merupakan kebalikan daripada analogi hukum.
Penghalusan hukum bermaksud mengisi kekosongan dalam sistem undang-undang.
Dalam sistem undang-undang terdapat ruangan kosong apabila sistem undang-undang
(sistem formal hukum) tidak dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai
dengan kenyataan sosial (Social Werkelijkheid). Penghalusan hukum
merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim. Sifat penghalusan hukum adalah
tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila satu pihak disalahkan maka
akan timbul ketegangan.
c) Argumentum a Contrario yaitu penafsiran
undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian
antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam
undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah
perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di
luar peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya, penafsiran a contrario
adalah sama dengan penafsiran analogi, hanya saja hasilnya berlawanan. Analogi
membawa hasil positif sedang a controrio hasilnya negatif. Argumentum a
contrario mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya ialah
untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan
keraguan.[6]
4.
Aliran Interessenjurisprudenz
Penganut aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme
dan aliran Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak
lengkap, ia bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya
mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum. Demi untuk
mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan boleh
menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
Jadi peraturan hukum itu oleh hakim haruslah dilihat tidak
secara logis formal, melainkan seyogyanya dinilai menurut tujuannya. Pada dasarnya tujuan itu adalah, bahwa
peraturan itu bermaksud melindungi kepentingan tertentu. Pembuat undang-undang
ketika ia mengeluarkan suatu peraturan, telah mempertimbangkan berbagai
kepentingan dan membandingkannya satu sama lain dan kemudian mengadakan
pilihan.
5.
Aliran Freirechtbewegung
Menurut Herman Kantorowicz, bahwa undang-undang banyak
mengandung kekosongan-kekosongan dan tugas hakim untuk memenuhinya, dia
merupakan penganut terkemuka dari aliran Freirechtbewegung yang timbul pada
waktu itu di Jerman. Aliran ini membela suatu perluasan dari kekuasaan
memutuskan dari peradilan. Kiranya penggunaan dogmatis yang kaku dari
undang-undang hendaknya orang bekerja dengan alasan-alasan yang tidak
menyimpang dari kejadian yang akan diputus itu.
Aliran ini juga disebut sebagai Aliran Hukum Bebas, dengan
kuat mempropagandakan pemakaian pengertian dari “itikad baik”, “adat istiadat
baik”, “pendapat masyarakat”, tidak hanya ditempat-tempat yang secara tegas
ditunjuk oleh undang-undang, tetapi juga di luarnya, sehingga dengan demikian
hakim memperoleh suatu senjata melalui keputusan yang tidak adil yang dilarikan
dari pemakaian undang-undang yang cermat.
Freirechtshule menunjukan suatu penemuan hukum yang lebih
bebas, sekalipun tidak demikian bebasnya sebagaimana sebenarnya dikehendaki
oleh beberapa penganut ajaran ini, tetapi masih jauh lebih bebas terhadap
undang-undang dan sistem dari undang-undang itu dari pada sebelumnya.
6.
Aliran Sosiologische Rechtsschule
Aliran ini lahir akibat aliran Freirechtbewegung, aliran ini
juga disebut aliran sosiologi hukum. Penganutnya Hamaker dan Hymans dari Negeri
Belanda dan dari Amerika misalnya : Roscoe Pound.
Pokok pikiran dari aliran ini ialah terutama hendak menahan
dan menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim, berhubungan dengan
adanya “freies Ermessen” dari aliran hukum bebas di atas. Mereka pada dasarnya
tidak setuju dengan kebebasan bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan
undang-undang sesuai dengan perasaannya. Undang-undang harus tetap dihormati,
tetapi sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan
hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka undang-undang.
Menurut penganut aliran ini, hakim hendaknya mendasarkan
putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya,
supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung jawabkan terhadap asas-asas
keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat.
7.
Aliran Open System van het Recht
(Sistem Hukum Terbuka)
Setelah melihat pandangan-pandangan aliran-aliran di atas
adalah berat sebelah, yaitu kadang-kadang terlampau mengutamakan dogma,
kepastian hukum, dan juga kadang-kadang mendudukkan hakim dalam posisi yang
terlalu penting dalam peranannya atau juga terlalu mementingkan kenyataan
sosial.
Aliran ini diwakili oleh Paul Scholten, yang menjelaskan
“Hukum itu merupakan suatu sistem ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu
saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa
peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan unik yang bersifat
khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampai pada
asas-asasnya”.
Betul bahwa hukum itu bersifat logis, akan tetapi karena
sifatnya sendiri, dia tidak tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan
putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang selalu akan menambah luasnya
sistem tersebut. Oleh karena itu tepat untuk disebut Sistem Terbuka. Selanjutnya
dikatakan, bahwa sistem hukum itu adalah dinamis, bukan saja pembentuk baru
secara sadar oleh badan perundang-undangan, tetapi juga karena pelaksanaannya
di dalam masyarakat. Pelaksanaan itu selalu disertai penilaian, baik sambil
membuat konstruksi-konstruksi hukum ataupun penafsiran.
Badan perundang-undangan dalam membentuk hukum yang baru terikat
untuk menemukan kontinuitas dengan yang lama, sedangkan hakim dalam
mempertahankan hukum itu turut menambahkan sesuatu yang baru seraya mendapatkan
hubungan yang telah ada.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan dalam makalah ini yang
telah diuraikan secara rinci di atas, dapat diambil kesimpulan, sebagai
berikut:
1.
Pengertian
dan Kegunaan Penemuan Hukum
a)
Penemuan
hukum (Rechtsvinding dan Law Making), Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. adalah menemukannya hukum karena hukum itu tidak lengkap
atau tidak jelas. Hukumnya itu sudah ada, bukan tidak ada, namun masih adanya
ketidakjelasan di dalamnya.
b)
Kegunaan Penemuan Hukum adalah mencari dan menemukan kaidah
hukum yang dapat digunakan untuk memberikan keputusan yang tepat atau benar,
dan secara tidak langsung memberikan kepastian hukum.
2.
Aliran
Aliran Ilmu Hukum
a) Aliran Legisme
b)
Aliran Historis (sejarah)
c)
Aliran Begriffsjurisprudenz
d)
Aliran Interessenjurisprudenz
e)
Aliran Freirechtbewegung
f)
Aliran Sosiologische Rechtsschule
g)
Aliran Open System van het Recht (Sistem Hukum Terbuka)
DAFTAR PUSTAKA
Mertokusumo, Sudikno. 2001. Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Moerad, Pontang. 2009. Catatan Mata
Kuliah Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu
Hukum Universitas Langlangbuana. Bandung.
Mahmud Marzuki,
Peter. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Dirdjosisworo,
Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali
Pers.
Soeroso. 2009. Pengantar
Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum
Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2001).
[2] Pontang Moerad, Catatan Mata Kuliah
Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Langlangbuana, (Bandung, 2009).
[3] Peter
Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012), hal. 282.
[4] Soedjono
Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), hal. 156-157.
[5] Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2001)
[6] Soeroso, Pengantar
Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 111-115.
#makalah_prodi_perbandingan mazhab dan hukum_angkatan2012 2016_syariahdanhukum_UIN_Raden_fatah_palembang